Oleh :
Teungku Riyandi Syafri, S.HI.,MA
NIDN : 0706197901
Dosen Syariah Institut Agama Islam Al-Aziziyah-Samalanga
ABSTRAK
Qawaid Fiqhiyah. Sejak dahulu sampai saat ini hamper tidak ada ulama yang
mengingkari akan penting peranan qawaid fiqhiyah dalam kajian ilmu syariah
(fiqih). Para ulama menghimpun sejumlah persoalan fiqh yang ditempatkan pada
suatu qawaid fiqhiyah. Apabila ada masalah fiqh yang dapat dijangkau oleh suatu
kaidah fiqh, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah kaidah fiqh tersebut. Melalui
qawaid fiqhiyah atau kaidah fiqh yang bersifat umum memberikan peluang bagi
ummat yang melakukan studi terhadap fiqh untuk dapat menguasai fiqh dengan
lebih mudah dan tidak memakan waktu yang relatif lama, justru dengan Qawaid
Fiqhiyah penguasaan permasalahan fiqh akan lebih mudah difahami. Qawaid fiqhiyah
(kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua. Banyak dari akademisi
yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu
qawaid fiqhiyah. Oleh karena itu, saya selaku penulis mencoba untuk menerangkan
tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, perbedaan, hubungan antara
keduanya, dalil-dalailnya, Qawaid Fiqhiyah dan Ushul fiqih, tujuan, manfaat dan
dasar-dasar pengambilannya. Bertujuan untuk memudahkan pemahaman tentang
qawaid fiqhiyah, di bawah ini dikemukakan pengertian atau definisi qawaid
fiqhiyah yang penulis bahas nantinya dalam bab II. Qawaid Fiqhiyyah merupakan
alat untuk memutuskan perkara-perkara yang belum terdapat nashnya baik dalam
al-qur’an maupun hadist, termasuk pada ibarat nash yang masih umum atau lafadh
ammiyah. qawaid fiqhiyyah merupakan wasilah, jembatan penghubung, antara
dalil dan hukum. Salah satu dasar penggunaan qawaid fiqhiyyah sebagai dalil
untuk memutuskan persoalan syariat terdapat dalam al-qur’an pada firman Allah
SWTdalam surat al-a’raf ayat 199. Urgensi penggunaan qawaid fiqhiyyah dalam
persoalan fiqh mencakupi seluruh hukum yang berhubungan dengan af’al
mukallaf. Baik dalam fiqh ibadat, muamalat, munakahat maupun jinayat.
Kedudukan Qawaid Fiqhiyyah dalam ifta dan qadha terdapat pada istimbath
hukum yang masih umum lafazd.
1
BAB I
PENDAHULUAN
Qawaid Ushuliyah, fiqih dan ushul fiqh tidak dapat dipisahkan antara satu dengan
yang lainnya. Keempat ilmu tersebut saling terkait dengan perkembangan fiqih,
karena pada dasarnya yang menjadi pokok pembicaraan adalah fiqih, Qawaid
fiqhiyah, ushul fiqih dan qawaid ushuliyah adalah ilmu-ilmu yang berbicara
tentang fiqih. Dengan demikian kajian qawaid fiqhiyah, ushul fiqih dan qawaid
usuliyah tersebut adalah alat untuk sampai kepada kajian hukum fiqih.
mengistinbathkan suatu hukum, satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan
pula
modern ini, maka, hendaklah kita memahami secara baik tentang konsep disiplin
ilmu ini karenanya merupakan asas dalam pembentukan hukum Islam. Masih
jarang diantara kaum muslim yang memahami secara baik tentang pedoman
2
penyelesaian hukum Islam. Menjadi suatu kewajiban sebagai seorang muslim
untuk memahami dan meyikapi persoalan hukum dalam Islam karena proses
kehidupan tidak terlepas dari kegiatan hukum yang berkaitan dengan af’al
mukallaf, apalagi untuk memenuhi kebutuhan hidup dizaman moderen ini, kita
BAB II
PEMBAHASAN
3
”ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari
dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan
analisa dan perenungan"2
2 . Hasbi as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta bulan bintang 1975. hal. 25
3 . Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, Jakarta. Bulan bintang. 1976. hal.11.
4 . Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta, hal.13
5. Aly Ahmad Al-Nadawy, Al-Qawaid Al-Fiqhiyah, Cet. VI. (Dar Al-basyar : Jedah). hal 271-
272
6. Ali Ahmad Al-Nadhawy, Al-Qawaid Fiqhiyyah, Cet. VI. (Dar Al-Basyar, Jedah t.t). hal.
272.
4
Kalimat ‘Khuz,’ yang berartikan perintah untuk melakukan perbuatan
menyambung tali persaudaraan, dan kalimat “afwa” menunjuki kepada
memaafkan kesalahan orang lain, sedangkan kalimat “amar bilma’ruf” dalam
ayat di atas menunjuki kepada menyambung tali persaudaraan dan meningkatkan
ketaqwaan kepada Allah SWT pada jalan yang haram dan yang halal. Selanjutnya
kalimat “wa’arid anil jahilina” menunjuki kepada perintah dilarang melakukan
kezaliman.
Pada ayat di atas, jika kita lihat dari sisi qawaid fiqhiyyah jelas bahwa ayat
tersebut dapat digunakan sebagai dalil untuk memutuskan hukum dalam perkara
syariat Islam
5
2. Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk.
3. Al-Masyaqqatu Tajlib at- Taysir.
4. Adh-Dhararu Yuzal,
5. Al- ’Adatu Muhakkamah.
b. Al-Qawa’id al-Kulliyyah : yaitu qawa’id yang menyeluruh yang
diterima oleh madzhab-madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih
sedikit dari pada qawa’id yang lalu. Seperti kaidah : al-Kharaju bi adh-
dhaman/Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung
kerugian, dan kaidah : adh-Dharar al- Asyaddu yudfa’ bi adh-Dharar al-Akhaf
Bahaya yang lebih besar dihadapi dengan bahaya yang lebih ringan. Banyak
kaidah- kaidah ini masuk pada kaidah yang 5, atau masuk di bawah kaidah yg
lebih umum.
c. Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab), yaitu kaidah-kaidah
yang menyeluruh pada sebagian madzhab, tidak pada madzhab yang lain. Kaidah
ini terbagi pada 2 bagian :
1. Kaidah yang ditetapkan dan disepakati pada satu madzhab.
2. Kaidah yang diperselisihkan pada satu madzhab.
Contoh, kaidah : ar-Rukhash la Tunathu bi al- Ma’ashiy Dispensasi tidak
didapatkan karena maksiat. Kaidah ini masyhur di kalangan madzhab Syafi’i dan
Hanbali, tidak di kalangan mazhab Hanafi, dan dirinci di kalangan madzhab
Maliki.
d. Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah
yang diperselisihkan dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah itu diaplikasikan dalam
satu furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yg lain, dan diperselisihkan dalam furu’
satu madzhab.
Contoh, kaidah : Hal al-’Ibroh bi al-Hal aw bi al-Maal?/Apakah hukum
yang dianggap itu pada waktu sekarang atau waktu nanti? Kaidah ini
diperselisihkan pada madzhab Syafi’i. oleh karena itu pada umumnya diawali
dengan kata :hal apakah.7
6
D. KEDUDUKANNYA DALAM IFTA DAN QADHA
Kedudukan qawaid fiqhiyyah dalam ifta dan qadha pada persoalan hukum
Islam adalah sebagai alat untuk istimbath yaitu sebagai metode dalam mengambil
sebuah hukum yang belum terdapat nashnya baik adalam al-qaur’an maupun
hadist.
Menurut bacaan penulis dalam kitab Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah bahwa Ifta
dan Qadha boleh digunakan sebagai alat untuk mengistimbathkan hukum Islam
dengan ketentuan apabila nash tersebut masih umum. Lebih jelas boleh dilihat
dalam kitab Al-qawaid Al-Fiqhiyyah karang Aly Ahmad Al-Nadhawiy pada
halam 333. Pembahasan yang ketiga Ifta dan Qhada’.
Pada akhirnya untuk melihat tentang arti penting dan kegunaan qawa’id
fiqhiyyah dapat dilihat dari pendapat Ali Ahmad al-Nadwi berikut ini:
a. Bahwa qawa’id fiqhiyyah itu mempermudah untuk menguasai fikih Islam,
menghimpun masalah-masalah yang berserakan, dengan jalan
menyusun furu’-furu’ yang banyak tersebut dalam satu alur di bawah
satu kaidah.
b. Kaidah-kaidah itu membantu menjaga dan menguasai persoalan-
persoalan yang banyak diperdebatkan, dengan cara menjadikan kaidah
itu sebagai jalan untuk menghadirkan hukum.
c. Mendidik orang yang berbakat fikih dalam mendekatkan analogi (ilhaq)
dan takhrij untuk mengetahui hukum-hukum, yang belum digariskan
dalam fikih.
d. Mempermudah orang yang membahas fikih dalam mengikuti
(memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema-
tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik tertentu.
e. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan yang menunjukkan
bahwa hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling
berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar.
f. Pengetahuan tentang kaidah merupakan kemestian, karena kaidah
mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam.
7
Dari satu sisi qawa’id fiqhiyyah sebagai alat untuk mempermudah ahli fiqh
dalam mengistimbatkan hukum disisi lain qawa’id fiqhiyyah jarang sekali
dipergunakan hanya pada saat-saat tertentu yang berhubungan dengan kasus-kasus
hukum.
8
eksistensinya sebelum eksistensinya furu’, karena akan menjadi dasar seorang
fakih dalam menetapkan hukum. Posisinya seperti al-Qur’an terhadap sunah dan
nash al-Qur’an lebih kuat dari zahirnya. Ushul sebagai pembuka furu’.
Posisinyaseperti anak terhadap ayah, buah terhadap pohon, dan tanaman terhadap
benih.
e. Qawaid fiqhiyyah sama dengan ushul fiqih dari satu sisi dan berbeda
dari sisi yang lain. Adapun persamaannya yaitu keduannya sama-sama
mempunyai kaidah yang mencakuip berbagai juz’i, sedangkan perbedaannya yaitu
kaidah ushul adalah masalah-masalah yang dicakup oleh bermacam-macam dalil
tafshily yang dapat mengeluarkan hukum syara’. Kalau kaidah fiqih adalah
masalah-masalah yang mengandung hukumhukum fiqih saja. Mujtahid dapat
sampai kepadanya dengan berpegang kepada masalah-masalah yang dijelaskan
ushul fiqih. Kemudidan bila seorang fakih mengapllikasikan hukum-hukum
tersebut terhadap hukum-hukum farsial, maka itu bukanlah kaidah, namun, bila ia
menyebutkan hukum-hukum tersebut dengan qaidah-qaidah kuliyyah (peristiwa-
peristiwa universal)yang dibawahanya terdapat berbagai hukum juz’i maka itu
disebut kaidah. Qawaid kuliyyah dan hukum-hukum juz’i benar-benar masuk
dalam madlul (kajian) fikih, keduanya menunggu kajian mujtahid terhadap ushul
fiqih yang membangunnya.9
9
ﻣﻌﺮﻓﺔ دﻻ ﺋﻞ اﻟﻔﻘﮫ اﺟﻤﺎﻻ وﻛﯿﻔﯿﺔ اﻟﺴﺘﻔﺎدة ﻣﻨﮭﺎ وﺣﺎل اﻟﻤﺴﺘﻔﯿﺪ
“pengetahuan secara global tentang dalil-dalil fiqih, metode
penggunaannya, dan keadaan (syarat-syarat) orang yang
menggunakannya.”
Definisi ini menekankan tiga objek kajian ushul fiqih, yaitu :
1. Dalil (sumber hukum)
2. Metode penggunaan dalil, sumber hukum, atau metode penggalian
hukum dari sumbernya.
3. Syarat-syarat orang yang berkompeten dalam menggali (mengistinbath)
hukum dan sumbernya.
Dengan demikian, ushul fiqih adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau
sumber hukum dan metode penggalian (istinbath) hukum dari dalil atau
sumbernya. Metode penggalian hukum dari sumbernya tersebut harus ditempuh
oleh orang yang berkompeten. Hukum yang digali dari dalil/sumber hukum itulah
yang kemudian dikenal dengan nama fiqih. Jadi fiqih adalah produk operasional
ushul fiqih. Sebuah hukum fiqih tidak dapat dikeluarkan dari dalil/sumbernya
(nash al-Qur’an dab sunah) tanpa melalui ushul fiqih. Ini sejalan dengan
pengertian harfiah ushul fiqih, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqih.
Misalnya hukum wajib sholat dan zakat yang digali (istyinbath) dari ayat
Al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 43 yang berbunyi
....... واﻗﯿﻤﻮا اﻟﺼﻼة وءاﺗﻮااﻟﺰﻛﻮة
Firman Allah diatas berbentuk perintah yang menurut ilmu ushul fiqih,
perintah pada asalnya menunjukan wajib selama tidak ada dalil yang merubah
ketentuan tersebut
( )اﻻﺻﻞ ﻓﻰ اﻻﻣﺮ ﻟﻠﻮﺟﻮب.
Disamping itu qawaid fiqhiyah dapat dijadikan sebagai kerangka acuan
dalam mengetahui hukum perbuatan seorang mukalaf. Ini karena dalam
menjalanklan hukum fiqih kadang-kadang mengalami kendala-kendala. Misalnya
10
kewajiban shalat lima waktu yang harus dikerjakan tepat pada waktunya.
Kemudian seorang mukalaf dalam menjalankan kewajibannya mendapat
halangan, misalnya ia diancam bunuh jika mengerjakan shalat tepat pada
waktunya. Dalam kasusu seperti ini, mualaf tersebut boleh menunda sholat dari
waktunya karena jiwanya terancam. Hukum boleh ini dapat ditetapkan lewat
pendekatan qawaid fiqhiyah, yaitu dengan menggunakan qaidah :”“اﻟﻀﺮار ﯾﺰال
bahaya wajid dihilangkan. Ini adalah salah satu perbedaan antara qawaid
ushuliyah dengan qawaid fiqhiyah. Qawaid ushuliyah menkaji dalil hukum (nash
al-Qur’an dan sunah) dan hukum syarak, sedangkan qawaid fiqhiyah mengkaji
perbuatan mukalaf dan hukum syarak.
Demikianlah hubungan antara fiqih, qawaid fiqhiyah, ushul fiqih dan.
Hukum syarak (fiqih) adalah hukum yang diistinbath dari nash al-Qur’an dan
sunnah melalui pendekatan ushul fiqih yang diantaranya menggunakan qawaid
ushuliyah. Hukum syarak (fiqih) yang telah diistinbath tersebut diikat oleh qawaid
fiqhiyah, dengan maksud supaya lebih mudah difahami dan identfikasi.10
11
diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan
sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan
cara yang tidak langsung.
5. Mempermudah dalam menguasai materi hukum.
6. Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang
banyak diperdebatkan.
7. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq)
dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan baru.
8. Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti
(memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari
tempatnya.11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa kesimpulan :
1. Qawaid Fiqhiyyah merupakan alat untuk memutuskan perkara-perkara
yang belum terdapat nashnya baik dalam al-qur’an maupun hadist,
termasuk pada ibarat nash yang masih umum atau lafadh ammiyah. qawaid
fiqhiyyah merupakan wasilah, jembatan penghubung, antara dalil dan
hukum.
2. Salah satu dasar penggunaan qawaid fiqhiyyah sebagai dalil untuk
memutuskan persoalan syariat terdapat dalam al-qur’an pada firman Allah
SWTdalam surat al-a’raf ayat 199.
3. Urgensi penggunaan qawaid fiqhiyyah dalam persoalan fiqh mencakupi
seluruh hukum yang berhubungan dengan af’al mukallaf. Baik dalam fiqh
ibadat, muamalat, munakahat maupun jinayat.
4. Kedudukan Qawaid Fiqhiyyah dalam ifta dan qadha terdapat pada
istimbath hukum yang masih umum lafazd.
12
B. Saran-Saran.
Penulis menyadari bahwa jurnal ini masih banyak kekurangan dan
jauh sekali dari kesempurnaan, oleh sebab itu saran dan kritikan yang
bersifat membangun dari kawan-kawan sangat penulis harapkan. Semoga
beranfaat Amin yarabbal Alamin.
SEKIAN
DAN TERIMA KASIH
DAFTAR PUSTAKA
Ali Ahmad Al-Nadhawy, Al-Qawaid Fiqhiyyah, Cet. VI. (Dar Al-Basyar, Jedah
t.t).
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta.
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: GayaMedia
Pratama, 2008).
Ahmad Muhammad Asy-Syafii, ushul fiqh al-Islami, iskandariyah
muassasah tsaqofah al- Jamiiyah .1983.
Ali Ahmad al Nadawy, al Qawi’id al Fiqhiyyah, (Dmasascus; Dar al
Qalam, 1994).
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, Jakarta. Bulan bintang. 1976.
Hasbi as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta bulan bintang 1975.
http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin/01-02-pendahuluan oleh H. Asnin
Syafiuddin, Lc. MA diposting pada tanggal 10 september 2012.
Syarif Hidayatullah, Qawa’id Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam
Transaksi Keuangan Syari’ah Kontemporer (Mu’amalat, Maliyyah islamiyyah,
mu’ashirah), (Depok, Gramata Publishing).
13
14