Analisis Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Positif Di Indonesia
Analisis Perkawinan Sejenis Menurut Hukum Positif Di Indonesia
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya (laki-
laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik-menarik antara satu
dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis dapat dikatakan
untuk membentuk suatu ikatan lahir dan bathin dengan tujuan menciptakan suatu
keluarga/rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera dan abadi.1
Hal ini bukanlah suatu keharusan, agar orang berpendapat kepada
persetubuhan belaka, walaupun hal persetubuhan adalah faktor yang juga penting
sebagai penunjang atau pendorong dalam rangka merealisir keinginan hidup
bersama, baik untuk mendapatkan keturunan, maupun sekedar memenuhi
kebutuhan biologis atau keinginan hawa nafsu belaka. Seseorang yang hidup
bersama, kekuatan untuk bersetubuh bukanlah merupakan suatu syarat yang tidak
boleh tidak harus ada, karena hal ini tidaklah selalu terdapat pada semua golongan
orang, seperti misalnya orang yang sudah lanjut usia.2 Hal ini seperti yang
dikemukakan oleh Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH:
“bahwa diperbolehkan suatu perkawinan antara dua orang yang sudah
sangat lanjut usianya, bahkan diperbolehkan pula suatu perkawinan
dinamakan “In ex tremis”, yaitu pada waktu salah satu pihak sudah
hamper meninggal dunia.”3
1 Djoko Prakoso dan I Ketut Muartika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di IndonesiaI, (Jakarta:
PT. Bina Aksara, 1987), hlm. 1.
2 Ibid.
3 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia,(Jakarta: Penerbit Sumur
1
dilandasi atas hubungan seksual. Kini menjadi suatu kajian tersendiri bagi
hubungan seksual yang dilakukan secara menyimpang atau tidak umum
dilakukan oleh kebanyakan orang (yaitu hubungan kelamin laki-laki dengan
kelamin perempuan), melainkan hubungan seksual yang dilakukan laki-laki
dengan laki-laki, yang lazim disebut hubungan secara sodomi, pelakunya
yang umum dikenal homoseksual. Begitu juga hubungan seksual yang
menyimpang karena dilakukan oleh perempuan dengan perempuan, melalui
oralseks, pelakunya lazim disebut lesbian.
Perkawinan sesama jenis (gay dan lesbian) merupakan bentuk menyalahi
ketentuan hukum positif dan hukum Islam dalam suatu hidup bersama antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat dalam
peraturan perundang-undangan maupun agama. Sebagaimana tujuan perkawinan
adalah untuk mencapai kebahagiaan suami isteri, untuk mendapatkan keturunan
dan menegakkan ajaran agama, dalam kesatuan kelurga yang bersifat parental.
Sementara itu agama, menekankan esensi perkawinan untuk mencegahmaksiat
atau terjadinya perzinahan maupun pelacuran. Namun, tujuan tersebut mulai tidak
berlaku bagi kaum gay dan lesbian dalam menuntut hak asasi manusia atau HAM
atas kesetaraan gender, yakni dengan menuntut agar keinginan berpasangan
untuk membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah.
Salah satu syarat sah dari suatu perkawinan menurut ketentuan
hukum positif sebagaimana Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang
menyebutkan bahwa adanya ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan.
Sementara itu, hukum Islam lebih lanjut menekankan bahwa perkawinan
menjadi sah apabila terdapat tujuan untuk menegakkan ajaran agama dalam
kesatuan kelurga yang bersifat parental. Namun, masalah yang kemudian
muncul adalah kebebasan hak asasi manusia (HAM) dalam menuntut kebebasan
memilih dan menentukan perkawinannya. Salah satu kebebasan yang dikehendaki
tersebut yakni perkawinan sejenis yang dilakukan oleh kaum gay dan lesbian.
Perkawinan sejenis dipandang destruktif dan menyalahi kodrati fitrah manusia
yang seharusnya dapat melakukan ikatan bersama lawan sejenis dan
mendapat keturunan, namun berbeda dengan perkawinan sejenis yang lebih
menginginkan hubungan menyimpang tersebut atas dasar cinta dan kasih saying
2
guna membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah.5
B. ISSUE HUKUM
5 Nur Chasanah, Studi Komparatif Hukum Positif Dan Hukum Islam Di Indonesia Mengenai
Perkawinan Sejenis, Jurnal Cendekia Vol. 12 No 3 Sept 2014, hlm. 67-68.
6 Rofqi Hasan, Heboh Pernikahan Sejenis di Bali, Majelis Adat: Ini Cuntaka!
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/09/16/058701212/heboh-pernikahan-sejenis-di-bali-
majelis-adat-ini-cuntaka diakses pada Kamis, 8 Oktober 2015
3
Bila ternyata itu bukan upacara pernikahan, keberadaan rohaniwan dan simbol-
simbol Hindu dapat dianggap sebagai suatu penodaan atas simbol agama.
“Penelitian akan sampai ke masalah itu dengan meminta keterangan desa adat dan
aparat setempat dan tentunya pihak hotel atau tempat yang menjadi lokasi,”
ujarnya. Hal ini dilakukan karena perkawinan sejenis yang diduga dilakukan di Bali
itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di wilayah
Indonesia.
C. PEMBAHASAN
7 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2002),
hlm. 61.
8
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga,
(Surabaya: Airlangga Press University, 2008), hlm. 18.
9 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2000), hlm. 23.
4
yang diatur oleh syariah. Dengan akad itu kedua calon akan diperbolehkan bergaul
sebagai suami isteri.10
10
Kaelany H.D., Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, (Bandung: Bumi Aksara), hlm. 107.
11
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1988).
12 Nur Chasanah, Op.Cit., hlm 69.
5
mutlak membentuk keluarga dengan perkawinan. Timbulnya penyelewengan
tersebut atau adanya perkawinan sesama sejenis adalah akibat pengaruh
konflik masyarakat yang dipengaruhi oleh gerakan-gerakan sosial dari individu
dan kelompok sosial berbasis pada identitas, golongan, etnis, maupun tribal
(kaum gay dan kaum lesbian). Konfik tersebut menuntut kaum gay dan
kaum lesbian atas dasar persamaan hak asasi manusia dan juga kodrati.
6
Pasal 1
- Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri;
- Ikatan lahir bathin itu ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia yang kekal dan sejahtera;
- Ikatan lahir bathin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan pada
Ketuhanan Yang Maha Esa.
7
d. Undang-Undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus
telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar
supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir
pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. UU ini
menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun wanita, ialah 19
tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita;
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia,
kekal dan sejahtera, maka UU ini menganut prinsip untuk mempersukar
terjadinya perceraian;
f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan
masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga
dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.
Selain itu, di dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan16 dikatakan juga bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya. Ini berarti selain negara hanya mengenal
perkawinan antara wanita dan pria, negara juga mengembalikan lagi hal tersebut
kepada agama masing-masing.
8
Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Adminduk:
18 Terdapat 7 (tujuh) surat yang menyatakan lingkupan homoseksual atau gay, yakni QS.
Al-A;raf (7):80-102, QS. Hud (11):77-82, QS. Al-Anbiya’ (21):74, QS. Al-Syu’ara’ (26): 160-173,
QS. An-Naml (27):54-58, dan QS. Al-Ankabut (29): 26-35, dikutip dari Hamka, Tafsir Al-Azhar,
(Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1975), hlm. 165.
9
bisadiperdebatkan di dunia medis, bahkan kalaupun asumsi ini memang benar, al-
Qur’an dengan tegas menolak menjadikannya sebagai pembenaran bagi pecinta
sesama jenis.19
Dari arti surah di atas dapat penulis tarik bahwasanya dari sisi agama Islam,
perkawinan antara sesama jenis secara tegas dilarang. Hal ini dapat dilihat dalam
Surah Al-A’raaf (7): 80-84, jadi perkawinan sejenis adalah haram hukumnya. Di
samping itu Perkawinan sesama jenis di Indonesia, dari kacamatra agama dan
adat, belum mendapat perespektif layak untuk dilakukan, bahkan dapat disebut dari
kacamata agama sebagai suatu perbuatan dosa dan dari kacamata adat
merupakan perbuatan dosa dan aib. Diluar Indonesia, di negara-negara yang telah
lama menjungjung tinggi HAM, persamaan jender, ada yang sudah berani
mengakui perkawinan sesama jenis.
19Abu Ameenah Bilal Philips, Islam dan Homoseksual, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003),
hlm. 44.
10
Pernikahan yang di anggap wajar dalam masyarakat adalah pernikahan
heteroseksual atau nikah dengan lawan jenis. Maka tidaklah salah ketika
pernikahan homoseksual atau nikah dengan sesama jenis banyak mendapat
kontroversi di masyarakat karena di anggap aneh, menyimpang dari hukum syara’,
dan yang lebih ironis lagi di bilang sakit jiwa.
Selain itu juga, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mempertegas dengan
beberapa Pasal yang tidak jauh berbeda dengan hukum normatif, yakni
syarat perkawinan yang sah adalah ikatan batin dan biologis antara laki-laki dan
perempuan sebagaimana ketentuan Pasal 1 huruf a, Pasal 1 huruf d, Pasal 29
ayat (3) serta Pasal 30 KHI.
Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai
pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
Pasal 30 KHI:
11
1) Pelaku (gay) harus dibunuh secara muthlak,
2) Pelakunya (gay) harus di hadd sebagaimana hadd zina, yakni dengan
hukuman muhsan maupun dirajam, dan
3) Pelakunya harus disanksi sesuai perlakuannya.20
20 Mohammad Thalib, As-Sayid Sabiq Cet. Ke-13., Fikih Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif,
1997), hlm. 132.
21 Hukum Perkawinan Sesama Jenis di Indonesia, Hukum Online,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50c9f71e463aa/hukum-perkawinan-sesama-jenis-di-
indonesia , diakses pada Jumat, 9 Oktober 2015.
12
yang pluralis dan multikultural seperti di Indonesia, sehingga kaum gay
dan lesbian membentuk sebuah kelompok ataupun organisasi yang
menuntut adanya legalisasi hak asasi manusia seperti halnya perkawinan
sejenis tersebut. Adapun jenis dari diskrimanisi dalam hal ini disebut
sebagai diskriminasi gender22
2) stereotype, maksudnya kaum gay dan lesbian mendapat prasangka
yang subjektif dan tidak tepat seperti penampilan, tingkah laku (feminim),
dan hubungan dengan lingkungan hedonis. Tentu dalam hal ini,
stereotype masyarakat memandang gay dan lesbian memiliki konsep
orientasi seksual dengan peran gender yang memiliki risiko di
kalangan masyarakat kebanyakan, sehingga gay dan lesbian merasa
terpinggirkan dan diwaspadai.23 dan
3) psyco-social, maksudnya kaum gay dan lesbian membentuk identitas dirinya
mulai sejak usia dini melalui hubungan dan interaksi yang kompleks
atau secara biologis, psikologis dan faktor-faktor sosial lainnya.24
hlm. 33.
13
kedudukan lain. Demikian juga, pembedaan tidak boleh didasarkan atas dasar
kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah
dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk
wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan
yang lain.
Hal tersebut ditekankan kembali pada Pasal 28I (5)26 yang menyatakan bahwa
“Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai
25 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UUD
1945, Pasal 28 B ayat (1).
26 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Op.
14
dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan”.
Melalui kedua kaidah dasar yang disebutkan itu, kita tentu tidak mungkin
mengabaikan keinginan Warga Negara Indonesia (WNI) yang ditakdirkan Tuhan
YME yang berperilaku menyimpang (para gay dan lesbian) untuk menuntut
keinginan mereka untuk membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah.
15
D. KESIMPULAN
16
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abu Ameenah Bilal Philips, Islam dan Homoseksual, (Jakarta: Pustaka Zahra,
2003).
Endang Sumiari, Gender dan Feminisme, (Yogyakarta: Penerbit Jala Sutra, 2004).
Djoko Prakoso dan I Ketut Muartika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di IndonesiaI,
(Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987).
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1975).
Kaelany H.D., Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, (Bandung: Bumi Aksara).
Mohammad Thalib, As-Sayid Sabiq Cet. Ke-13., Fikih Sunnah, (Bandung: Al-
Ma’arif, 1997)
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga,
(Surabaya: Airlangga Press University, 2008).
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia ,(Jakarta: Penerbit Sumur
Bandung, 1984).
Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2002).
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2000).
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005).
Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, UUD 1945.
Republik Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU. No. 1 Tahun 1974,
Lembaran Negara No. 1 Tahun 1974, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019.
Republik Indonesia, Undang-Undang Administrasi Kependudukan, UU. No. 23
Tahun 2006, Lembaran Negara No. 124 Tahun 2006, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4674.
Kompilasi Hukum Islam
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
17
ICECSR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Jurnal
Nur Chasanah, Studi Komparatif Hukum Positif Dan Hukum Islam Di Indonesia
Mengenai Perkawinan Sejenis, Jurnal Cendekia Vol. 12 No 3 Sept 2014.
Kamus
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1988).
Majalah
Majalah Nasehat Perkawinan No. 109 ke X Jni 1981, Penerbit Badan Penasehat
Perkawinan Perselisihan dan Perceraian (BP4).
Rofqi Hasan, Heboh Pernikahan Sejenis di Bali, Majelis Adat: Ini Cuntaka!
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/09/16/058701212/heboh-pernikahan-
sejenis-di-bali-majelis-adat-ini-cuntaka diakses pada Kamis, 8 Oktober 2015
18