Menurut bahasa ijtihad memiliki arti pengerahan segenap kemampuan untuk mengerjakan
sesuatu yang sulit serta bisa juga bermakna bersungguh-sungguh dalam bekerja dengan segenap
kemampuan. Sedangkan menurut istilah, ijtihad adalah segenap kemampuan dari seorang ahli
fiqh atau mujtahid secara maksimal untuk menetapkan hukum syara yang amali atas dasar dalil-
dali yang tafshili.
Dasar hukum ijtihad banyak ditemukan pada ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW, yang
nash-nashnya memerintahkan untuk menggunakan pikiran dan akal serta mengambil i’tibar
(pelajaran).
Dasar hukum ijtihad dalam al-Qur’an; antara lain:
a. يَتَفَك ُرونَ ِلقَ ْوم آليَات ذَلِكَ فِي إِن
“Sesungguhnya pada yang demikian ini terdapat tanda-tanda (kebesaran allah) bagi kaum yang
memikirkan” (Q.S. al-Ra’ad:3, al-Rum:21, al-Zumar:42)
b. ص ِر َٰٓيَأُو ِلى فَٱ ْعتَبِ ُروا
َ ْٱْل َ ْب
“Maka ambilah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai
pandangan” (Q.S. Al-Hasyr:2)
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan kepada manusia agar menggunakan pikiran dan akal serta
mengambil i’tibar.
c. َاب ِإلَيْكَ أَ ْنزَ ْلنَا ِإنا
َ ق ْال ِكتِ اس بَيْنَ ِلتَحْ ُك َم ِب ْال َح
ِ ّللاُ أ َ َراكَ ِب َما الن
“Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dnegan membawa kebenaran, supaya
kamu mengadili anatar manusia dengan apa yan telah allah wahyukan kepadamu” (Q.S. Al-
Nisa’: 105)
Kata ( أَ َراك ِب َماapa yang diperintahkan Allah kepadamu) pada ayat tersebut mencakup penetapan
hukum yang berdasarkan penetapan hukum dari hukum yang ditetapkan langsung dari nash,
yang dikenal dengan istilah qiyas. Jadi, ayat di atas secara terbuka mengakui prinsip ijtihad
dengan metode qiyas sebagai salah satu cara dalam berijtihad.
Dari hadits diatas, bahwa ijtihad diakui oleh Rasulullah SAW. untuk dijadikan sebagai salah satu
sumber hukum Islam, bila tidak ditemukan di dalam al-Qur’an dan Sunnah dalil-dalil yang
secara tegas digunakan untuk menerapkan hukum masalah yang aktual, walaupun kemungkinan
ijtihad yang dilakukan itu keliru menurut pandangan Allah. Hadits-hadits di atas, juga
memberikan dorongan kepada orang yang sudah mampu berijtihad untuk melakukan ijtihad.
Kedudukan ijtihad adalah sebagai sumber ajaran Islam ketiga. Sementara, fungsi dari ijtihad
adalah untuk menetapkan suatu hukum yang hukum tersebut tidak ditemukan dalilnya didalam
Al-Qur’an dan hadits. Sedangkan untuk masalah-masalah yang terdapat dalilnya didalam Al-
Qur’an dan hadits maka tidak boleh diijtihadkan lagi.
1) Seorang Mujtahid harus mengetahui betul ayat dan sunnah yang berhubungan dengan hukum.
2) Seorang Mujtahid harus mengetahui masalah-masalah yang telah di ijma’kan oleh para ahlinya
3) Seorang Mujtahid harus mengetahui bahasa arab dan ilmu-ilmunya dengan sempurna.
Posisi Tashwib
Posisi ini prinsipnya memandang bahwa Allah Swt. tidak memberi keputusan hukum yang pasti
(hukm muʿayyan) dalam perkara yang belum pasti sehingga mujtahid diberi keleluasaan untuk
melakukan ijtihad.
Seorang mujtahid hanya dituntut untuk melakukan penalaran yang dapat menghantarkannya pada
keyakinan bahwa pendapatnya kemungkinan besar benar (ghalabat al-zhann). Apabila ada dua
orang mujtahid berselisih pendapat karena mempunyai dua hasil ijtihad yang berbeda, keduanya
tetap dianggap benar karena sama-sama sudah mencapai ghalabat al-zhann. Dua-duanya
mendapat ganjaran. Posisi ini diwakili oleh Abu Bakr al-Baqillani.
Posisi Takhthiah
Posisi ini dipelopori oleh Abu Ishaq al-Isfara’ini. Posisi ini berpandangan bahwa Allah Swt.
mempunyai sebuah keputusan hukum yang pasti (hukm muʿayyan) sebagai sebuah kebenaran
dalam perkara yang belum pasti hanya saja tidak dapat ditangkap secara utuh oleh manusia.
Manusia hanya mungkin untuk sampai pada point yang paling mendekati kebenaran saja (al-
aqrab).
Seorang mujtahid yang dengan penalarannya berhasil sampai pada poin yang paling mendekati
kebenaran tersebut dinilai benar dan berpahala. Namun demikian seorang mujtahid yang dengan
ijtihadnya tidak berhasil sampai pada poin yang paling mendekati kebenaran tersebut, maka dia
dan ijtihadnya dinilai salah tapi kemudian kesalahannya tersebut dimaafkan.
Posisi Tengah
Menengahi dua posisi di atas, di mana yang satu membenarkan semua pendapat (tashwib)
meskipun saling bertentangan dan yang lain menilai bahwa satu dari dua pendapat yang
bertentangan adalah salah (takhthiah), Imam al-Haramayn al-Juwayni mengajukan posisi
intelektual alternatif.
Di satu sisi, dia mengkritik al-Baqillani yang menganggap tidak ada hukum yang pasti (sebagai
poin kebenaran) dalam urusan yang tidak pasti dan mengambil pendapat al-Isfara’ini yang
menyatakan adanya keputusan hukum yang dikehendaki Tuhan sebagai poin kebenaran.
Di sisi yang lain, Imam al-Haramayn juga mengkritik pendapat al-Isfara’ini berkaitan dengan
mujtahid dan ijtihād yang salah sebagai pendapat yang tidak tepat seraya mengadopsi pendapat
al-Baqillani tentang pentingnya ghalabat al-zhann sebagai basis bagi sebuah amal.
Singkatnya, bagi Imam al-Haramayn al-Juwayni, yang dituntut dari seorang mujtahid itu adalah
menyampaikan penalaran agar mencapai titik terdekat dengan kebenaran (al-aqrab atau al-
ashbah) hingga tingkat yang meyakinkan (ghalabat al-zhann). Selama seorang mujtahid berhasil
mencapai tingkat ghalabat al-zhann dalam berijtihad dan beramal selaras dengan hasil ijtihadnya
tersebut, maka dia dinilai benar dan berpahal.
Misalnya dalam hal penentuan awal Ramadan. Anggap saja awal Ramadan yang benar menurut
Allah Swt bertepatan dengan 6 Juni 2016. Namun, kebenaran tentang tanggal masehi awal
Ramadan tersebut tidak dapat diketahui dengan pasti.
Dalam hal ini, tugas seorang mujtahid bukanlah untuk mengetahui kebenaran tanggal tersebut
dengan pasti, melainkan, untuk sampai pada keyakinan yang tinggi (ghalabat al-zhann) bahwa
ijtihadnya mendekati kebenaran tersebut. Yang kemudian harus dilakukan oleh seorang mujtahid
adalah menggunakan metode tertentu, baik ru’yah maupun hisab, untuk menghantarkan
ijtihadnya kepada poin yang paling mendekati kepada kebenaran, yakni awal Ramadan menurut
Allah Swt.
Jika seorang mujtahid dengan metode ru’yah menyimpulkan dengan keyakinan yang tinggi
(ghalabat al-zhann) bahwa awal Ramadan adalah 6 Juni 2016 dan dia mulai berpuasa hari itu,
maka dia dinilai benar. Benar dalam dua pengertian, yaitu bahwa dia beramal sesuai dengan
ijtihadnya dan sekaligus sampai pada kebenaran tanggal yang sesuai dengan yang dikehendaki
oleh Allah Swt.
Demikian pula dengan mujtahid lain yang dengan metode hisab sampai pada kesimpulan yang
meyakinkan (ghalabat al-zhann) bahwa awal Ramadan adalah 7 Juni 2016 dan lalu mulai
berpuasa pada hari itu. Dia juga dianggap benar. Benar dalam pengertian bahwa dia telah
mengamalkan hasil ijtihadnya meskipun salah dalam hal menemukan tanggal yang tepat menurut
Allah Swt.
Hal yang sebaliknya bisa terjadi, misalnya jika awal Ramadan yang benar menurut Allah Swt.
bertepatan dengan 7 Juni 2016. Maka, yang menggunakan metode ru’yah dinilai benar karena
mengamalkan hasil ijtihadnya meskipun salah dalam hal menemukan tanggal awal Ramadan
yang sebenarnya. Sementara yang menggunakan metode hisab dinilai benar dalam dua
pengertian sekaligus, mengamalkan hasil ijtihadnya dan menemukan tanggal yang sebenarnya.
Posisi intelektual yang seperti ini memberikan jalan bagi kita untuk dapat menghargai pendapat
orang lain dengan lebih mudah dan lapang hati. Meskipun pendapat orang lain itu kita anggap
salah, meleset dari kebenaran sejati, tapi jika pendapat tersebut didasarkan atas penalaran yang
lurus dan jujur, kita patut untuk menghormati dan menghargainya. Yang menjadi titik kritis
bukan pendapat akhirnya, tapi cara bernalarnya. Kalau penalarannya tidak lurus dan jujur, maka
penalaran orang tersebut musti diluruskan sesuai dengan kaidah penalaran yang benar dan
diterima (baik penelaran logis maupun tekstual). Tapi kalau yang dianggap salah adalah
pendapatnya sedangkan penalarannya sudah lurus dan jujur, maka posisi orang tersebut harus
dihargai dan dihormati
Sumber :
Staff.uny.ac.id
BUKU AJAR PENGANTAR HUKUM ISLAM: Dari Semenanjung Arabia hingga
Indonesia