Topik : Stroke
Sub Topik : Pengaruh ROM Terhadap Kekuatan Otot pada Pasien Stroke Iskemik
1.
2. Merinci Masalah
Stroke adalah kerusakan fungsi saraf akibat kelainan vascular yang berlangsung
lebih dari 24 jam atau kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai
darah kebagian otak sehingga mengakibatkan penghentian suplai darah ke otak,
kehilangan sementara atau permanen gerakan, berfikir, memori, bicara atau sensasi
dan mobilisasi (Black, 2005). Angka kejadian stroke meningkat seiring dengan
pertambahan usia (Siswono, 2001). Data tahun 2007 dari Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) menunjukkan bahwa sebanyak 15 juta orang per tahun di seluruh dunia
terkena stroke (World Health Report, 2007). Indonesia sendiri merupakan negara
dengan jumlah penderita stroke terbesar di Asia dimana stroke merupakan penyakit
nomor tiga yang mematikan setelah penyakit jantung dan kanker serta menempati
urutan pertama dalam hal penyebab kecacatan fisik (Pdpersi, 2001). Setiap tahunnya
diperkirakan 500 ribu penduduk di Indonesia terkena serangan stroke (Yastroki, 2010).
Menurut (AHA, 2015) Stroke secara umum terbagi menjadi dua Jenis yaitu stroke
hemoragi dan non hemoragi (iskemik). Stroke hemoragi ialah stroke yang disebabkan
oleh pecahnya pembulu darah dalam otak yang terjadi di daerah tertentu sehingga
memenuhi jaringan otak, perdarahan ini disebabkan oleh adanya perdarahan di intra
selebral atau perdarahan subarakhroid. Adanya perdarahan ini akan menimbulkan
dampak berupa gejala neurogi karena adanya tekanan pada saraf dalam tengkorak
(AHA, 2015). Stroke non hemoragi (iskemik) ialah suatu gangguan peredaran darah
otak yang terjadi karena adanya obstruksi atau adanya sumbatan yang menyebabkan
hipoksia di otak (AHA, 2015). Stroke jenis ini biasa memeiliki tanda terjadi
kelemahan (hemiparesis atau hemiplegia), mual muntah, nyeri kepala (KIM, 2016)).
Stroke merupakan penyebab umum kematian urutan ketiga di negara maju setelah
penyakit kardiovaskular dan kanker. Setiap tahun, lebih dari 700.000 orang Amerika
mengalami stroke, 25% diantaranya berusia dibawah 65 tahun, dan 150.000 orang
meninggal akibat stroke atau akibat komplikasi segera setelah stroke. Setiap saat, 4,7
juta orang di Amerika Serikat pernah mengalami stroke, mengakibatkan pelayanan
kesehatan yang berhubungan dengan stroke mengeluarkan biaya melebihi $18 milyar
setiap tahun (Goldszmidt & Caplan, 2017).
Indonesia termasuk penelitian berskala yang cukup besar dilakukan oleh survey
ASNA di 28 Rumah Sakit seluruh Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada penderita
stroke akut yang dirawat di Rumah Sakit (Hopital Based Study), dan dilakukan survey
mengenai faktor-faktor risiko, lama perawatan dan mortalitas dan morbiditasnya.
Dengan analisa penelitian ini kita memperoleh gambaran dan profil stroke di
Indonesia, distribusi demografik dan gambaran faktor risiko stroke, gambaran klinis,
morbiditas dan mortalitasnya di Indonesia. Penderita laki-laki lebih banyak dari
perempuan dan profil usia dibawah 45 tahun cukup banyak yaitu s11.8%, usia 45-64
th bejumlah 54,2% dan diatas usia 65 tahun 33,5% (Rasyid & Soertidewi, 2016).
Penelitian lain yang dilakukan di Itali menyatakan bahwa 67,3-82,6% mengalami
stroke iskemik, 9,9-19,6% mengalami intraserebral hemoragik, 1,6-4,0% subaraknoid
hemoragik dan 1,2-1,7% tidak terdeteksi (Blackwell, 2011). Berdasarkan keterangan
yang telah dipaparkan, peneliti mengkhususkan untuk melakukan penelitian pada
orang yang mengalami stroke iskemik. Menteri Kesehatan Republik Indonesia
menjelaskan, berdasarkan data dari tahun 1991 hingga tahun 2007 (hasil Riset
Kesehatan tahun 2007) menunjukkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian dan
kecacatan utama hampir di seluruh Rumah Sakit (RS) di Indonesia. Sementara data
Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) tahun 2009 menunjukkan bahwa
penyebab kematian utama di RS akibat stroke adalah sebesar 15%, artinya 1 dari 7
kematian disebabkan oleh stroke dengan tingkat kecacatan mencapai 65% (DepKes,
2013).
Kompleknya permasalahan yang muncul pada pasien stroke, sehingga perlu
penanganan yang segera, tepat, teliti dan penuh kesabaran dan melibatkan kerja sama
antar disiplin ilmu seperti dokter, Physiotherapist, speech therapist, occupational
therapist juga termasuk keterlibatan keluarga pasien (Warlow, 2001) Penanganan yang
cepat, tepat dan adekuat diharapkan akanmempercepat penyembuhan serta dapat
memperkecil risiko kecacatan fisik dan komplikasi lainnya yang akan timbul.
Permasalahan yang sering ditemui dapat berupa kelemahan pada anggota gerak yang
berakibat berkurangnya kemampuan fungsional motorik, namun dengan latihan ROM
maka dapat meningkatkan kembali nilai kekuatan otot. Latihan kekuatan otot ini
dilakukan pada lengan, tangan, bahu dan ektremitas bawah karena pasien akan
menunggung seluruh berat tubuh pada otot –otot ini untuk melakukan aktivitas. Otot
trisep dan latissimus dorsi adalah otot- otot penting yang digunakan dalam mendukung
saat berjalan.
Pelaksanaan latihan ROM pada pasien stroke secara intens, terarah dan teratur,
maka dapat mempengaruhi kemampuan motorik pasien untuk meningkatkan
kemandirian. Setelah latihan ini dilakukan maka pasien dapat melakukan aktivitas
sehari-hari sehingga pasien pulang tidak lagi ketergantungan pada perawat dan
keluarga ataupun orang lain.
4.
A. Latar Belakang
Stroke adalah kerusakan fungsi saraf akibat kelainan vascular yang berlangsung
lebih dari 24 jam atau kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai
darah kebagian otak sehingga mengakibatkan penghentian suplai darah ke otak,
kehilangan sementara atau permanen gerakan, berfikir, memori, bicara atau sensasi
dan mobilisasi (Black, 2005). Angka kejadian stroke meningkat seiring dengan
pertambahan usia (Siswono, 2001). Data tahun 2007 dari Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) menunjukkan bahwa sebanyak 15 juta orang per tahun di seluruh dunia
terkena stroke (World Health Report, 2007). Indonesia sendiri merupakan negara
dengan jumlah penderita stroke terbesar di Asia dimana stroke merupakan penyakit
nomor tiga yang mematikan setelah penyakit jantung dan kanker serta menempati
urutan pertama dalam hal penyebab kecacatan fisik (Pdpersi, 2001). Setiap tahunnya
diperkirakan 500 ribu penduduk di Indonesia terkena serangan stroke (Yastroki, 2010).
Menurut (AHA, 2015) Stroke secara umum terbagi menjadi dua Jenis yaitu stroke
hemoragi dan non hemoragi (iskemik). Stroke hemoragi ialah stroke yang disebabkan
oleh pecahnya pembulu darah dalam otak yang terjadi di daerah tertentu sehingga
memenuhi jaringan otak, perdarahan ini disebabkan oleh adanya perdarahan di intra
selebral atau perdarahan subarakhroid. Adanya perdarahan ini akan menimbulkan
dampak berupa gejala neurogi karena adanya tekanan pada saraf dalam tengkorak
(AHA, 2015). Stroke non hemoragi (iskemik) ialah suatu gangguan peredaran darah
otak yang terjadi karena adanya obstruksi atau adanya sumbatan yang menyebabkan
hipoksia di otak (AHA, 2015). Stroke jenis ini biasa memeiliki tanda terjadi
kelemahan (hemiparesis atau hemiplegia), mual muntah, nyeri kepala (KIM, 2016)).
Stroke merupakan penyebab umum kematian urutan ketiga di negara maju setelah
penyakit kardiovaskular dan kanker. Setiap tahun, lebih dari 700.000 orang Amerika
mengalami stroke, 25% diantaranya berusia dibawah 65 tahun, dan 150.000 orang
meninggal akibat stroke atau akibat komplikasi segera setelah stroke. Setiap saat, 4,7
juta orang di Amerika Serikat pernah mengalami stroke, mengakibatkan pelayanan
kesehatan yang berhubungan dengan stroke mengeluarkan biaya melebihi $18 milyar
setiap tahun (Goldszmidt & Caplan, 2017).
Indonesia termasuk penelitian berskala yang cukup besar dilakukan oleh survey
ASNA di 28 Rumah Sakit seluruh Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada penderita
stroke akut yang dirawat di Rumah Sakit (Hopital Based Study), dan dilakukan survey
mengenai faktor-faktor risiko, lama perawatan dan mortalitas dan morbiditasnya.
Dengan analisa penelitian ini kita memperoleh gambaran dan profil stroke di
Indonesia, distribusi demografik dan gambaran faktor risiko stroke, gambaran klinis,
morbiditas dan mortalitasnya di Indonesia. Penderita laki-laki lebih banyak dari
perempuan dan profil usia dibawah 45 tahun cukup banyak yaitu s11.8%, usia 45-64
th bejumlah 54,2% dan diatas usia 65 tahun 33,5% (Rasyid & Soertidewi, 2016).
Penelitian lain yang dilakukan di Itali menyatakan bahwa 67,3-82,6% mengalami
stroke iskemik, 9,9-19,6% mengalami intraserebral hemoragik, 1,6-4,0% subaraknoid
hemoragik dan 1,2-1,7% tidak terdeteksi (Blackwell, 2011). Berdasarkan keterangan
yang telah dipaparkan, peneliti mengkhususkan untuk melakukan penelitian pada
orang yang mengalami stroke iskemik. Menteri Kesehatan Republik Indonesia
menjelaskan, berdasarkan data dari tahun 1991 hingga tahun 2007 (hasil Riset
Kesehatan tahun 2007) menunjukkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian dan
kecacatan utama hampir di seluruh Rumah Sakit (RS) di Indonesia. Sementara data
Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) tahun 2009 menunjukkan bahwa
penyebab kematian utama di RS akibat stroke adalah sebesar 15%, artinya 1 dari 7
kematian disebabkan oleh stroke dengan tingkat kecacatan mencapai 65% (DepKes,
2013).
Berdasarkan hasil penelitian dari Tiarnida Nababan & Eflin Giawa (2018) dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh ROM pada pasien stroke iskemik terhadap
peningkatan kekuatan otot di RSU. Royal Prima Medan 2018 dengan hasil uji
wilcoxon pada saat uji pre test dan post test maka didapat nilai Z = -1.890ª dengan p-
value sebesar 0,059 < 0,05 yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima.
Range of motion adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya
kotraksi dan pergerakan otot, di mana klien menggerakan masing-masing
persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif (Maimurahman &
Fitria, 2012).
Kekuatan otot adalah kemampuan otot menahan beban, baik berupa beban eksternal
maupun beban internal (Irfan, 2010 & Yuliastati, 2011). Menurut WHO tentang stroke
adalah gejala-gejala defisit fungsi susunan saraf yang diakibatkan oleh penyakit
pembuluh darah otak dan bukan oleh yang lain dari itu (Pudiastuti, 2011). Menurut
asumsi peneliti pengaruh ROM pada pasien stroke iskemik terhadap peningkatan
kekuatan otot dapat membuat pasien mengerti dan tahu cara berlatih dalam
memberikan pergerakan baik otot, persendian yang sesuai dengan gerakan normal
maupun secara aktif dan pasif saat melakukan kontraksi pergerakan.
Menurut Hasil penelitian dari Marlina (2011), Rata-rata kekuatan otot responden
pada latihan ROM sebelum intervensi adalah 3,68 dengan standar deviasi 1,62. Pada
pengukuran sesudah intervensi didapat rata-rata 4,60 dengan standar deviasi 0,81.
Terlihat nilai perbedaan mean antara pengukuran pertama dan kedua 0,92 dengan
standart deviasi 1,07 hasil uji statistik didapatkan nilai 0,000 maka dapat disimpulkan
bahwa ada perbedaaan yang signifikan antara latihan ROM pertama dengan latihan
kedua pada kelompok intervensi. Rata-rata kekuatan otot responden pada latihan ROM
sebelum intervensi pada kelompok kontrol adalah 2,76 dengan standar deviasi 1,71.
Pada pengukuran setelah intervensi didapat rata- rata 2,84 dengan standar deviasi 1,79.
Terlihat nilai perbedaan mean antara pengukuran pertama dan kedua 0,80 dengan
standar deviasi 0,27 hasil uji statistik didapatkan nilai 0,16. Secara konsep, pemulihan
ekstremitas tidak hanya ditentukan oleh pemulihan fungsional jaringan otak saja tetapi
juga dilihat dari ada tidaknya penyakit penyerta yang menghambat peningkatan
kekuatan otot. Selain itu, juga ditentukan oleh intensitas program rehabilitasi yang
dijalankan pasien stroke (YASTROKI, 2007). ROM pada pasien yang mengalami
kelemahan pada awalnya sangat penting untuk mencegah terjadinya kontraktur
sehingga dapat mengurangi risiko deformitas menetap dan palsi akibat dari tekanan
(Ginsberg. 2007).
Program latihan ROM makin dini dilakukan maka makin bagus pula hasilnya
karena tidak ada kerusakan lanjut yang tidak dapat disembuhkan, makin cepat otot
menjadi kuat maka makin sedikit pula kemungkinan terjadi atropi, makin dini pasien
di berikan latihan maka makin kesempatan adanya perubahan osteoporotic yang terjadi
pada tulang panjang. Program latihan ROM dapat mengoptimalkan kekuatan otot
sehingga meningkatkan perawatan diri secara maksimal (Smeltzer & Bare.2004).
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori bahwa setelah diberikan latihan ROM
maka dapat meningkatkan kekuatan otot pada kelompok intervensi yaitu rata-rata
kekuatan otot pertama 3,68 tetapi setelah diberikan latihan ROM selama 6 hari maka
dapat meningkatkan kekuatan otot yang dibuktikan dengan hasil peningkatan kekuatan
otot pada hari keenam rata-rata 4,60 dibandingkan kekuatan otot pada kelompok
kontrol sebelum intervensi 2,76 dan setelah intervensi dilakukan pengukuran kedua
pada hari keenam maka diperoleh rata- rata peningkatan kekuatan otot adalah 2,84
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang bermakna kekuatan otot
sebelum latihan ROM dengan setelah latihan ROM.
Sedangkan Rata-rata selisih nilai kekuatan otot kelompok intervensi sebelum dan
sesudah latihan ROM adalah 0,96, dengan standar deviasi 1,07. Hasil uji statistik
didapatkan p= 0,000 (α=0,05) dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang bermakna
latihan ROM terhadap peningkatan kekuatan otot pada pasien stroke iskemik. Hal ini
menunjukkan bahwa intervensi yang telah diberikan dapat diterima oleh pasien stroke
Iskemik diruang rawat saraf Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh.
Pada pasien stroke sebagian besar akan mengalami kecacatan, terutama pada
kelompok usia diatas 50 tahun (Black, 2005). Manifestasi klinis biasanya terjadi
kelumpuhan yang mendadak pada salah satu sisi tubuh, hal tersebut diakibatkan oleh
lesi (pembuluh darah yang tersumbat) yang secara khusus dapat mengenai sisi kontra
lateral dari tubuh. Derajat kelainan akibat lesi berbeda satu pasien dengan pasien
lainnya, tergantung dari lokasi dan luas lesi yang akan tampak pada disfungsi motorik
(Smeltzer & Bare, 2004).
Kompleknya permasalahan yang muncul pada pasien stroke, sehingga perlu
penanganan yang segera, tepat, teliti dan penuh kesabaran dan melibatkan kerja sama
antar disiplin ilmu seperti dokter, Physiotherapist, speech therapist, occupational
therapist juga termasuk keterlibatan keluarga pasien (Warlow, 2001) Penanganan yang
cepat, tepat dan adekuat diharapkan akanmempercepat penyembuhan serta dapat
memperkecil risiko kecacatan fisik dan komplikasi lainnya yang akan timbul.
Permasalahan yang sering ditemui dapat berupa kelemahan pada anggota gerak yang
berakibat berkurangnya kemampuan fungsional motorik, namun dengan latihan ROM
maka dapat meningkatkan kembali nilai kekuatan otot. Latihan kekuatan otot ini
dilakukan pada lengan, tangan, bahu dan ektremitas bawah karena pasien akan
menunggung seluruh berat tubuh pada otot –otot ini untuk melakukan aktivitas. Otot
trisep dan latissimus dorsi adalah otot- otot penting yang digunakan dalam mendukung
saat berjalan.
Pelaksanaan latihan ROM pada pasien stroke secara intens, terarah dan teratur,
maka dapat mempengaruhi kemampuan motorik pasien untuk meningkatkan
kemandirian. Setelah latihan ini dilakukan maka pasien dapat melakukan aktivitas
sehari-hari sehingga pasien pulang tidak lagi ketergantungan pada perawat dan
keluarga ataupun orang lain. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa selisih peningkatan
kekuatan otot kelompok intervensi sebelum dan sesudah latihan ROM adalah 0,96,
dengan standar deviasi 1,07. Hasil uji statistik didapatkan p= 0,000 (α=0,05) dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh yang bermakna latihan ROM terhadap peningkatan
kekuatan otot pada pasien stroke iskemik di ruang Saraf Rumah Sakit Umum Daerah
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Hal ini terjadi karena intervensi yang diberikan sesuai
dengan landasan teori dan intens latihan yang teratur dan tepat.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian lebih
lanjut untuk mengetahui pengaruh rom terhadap kekuatan otot pada pasien stroke
iskemikdi rumah sakit muhammadiyah palembang tahun 2019.
5.
B. Latar Belakang
Persalinan adalah suatu proses pergerakan atau pengeluaran hasil konsepsi
(janin dan uri) dari dalam rahim melalui jalan lahir atau dengan jalan lain. Persalinan
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu persalinan secara normal atau spontan (lahir
melalui vagina) dan persalinan abnormal atau persalinan dengan bantuan suatu
prosedur seperti sectio caesarea. Persalinan normal adalah proses lahirnya bayi
dengan tenaga ibu sendiri tanpa bantuan alat-alat serta tidak melukai ibu dan bayi
yang umumnya berlangsung kurang dari 24 jam. Persalinan abnormal adalah
persalinan pervaginam dengan bantuan alat-alat atau melalui dinding perut dengan
operasi caesarea (Winkjosastro, 2007 dalam Yusliana, 2015).
Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding perut (Lestari, 2017). Menurut Bobak, Lowdermilk
& Jensen, 2004 dalam Yusliana (2015), sectio caesarea adalah suatu cara
pengeluaran hasil konsepsi melalui pembuatan sayatan pada dinding uterus melalui
perut yang dikarenakan beberapa indikasi medis yaitu placenta prevaria,
preeklamsia, gawat janin, kelainan letak janin dan janin besar agar dapat menurunkan
resiko kematian ibu jika melahirkan secara normal.
Indikasi yang diakukannya operasi sectio caesarea pada ibu antara lain,
dystosia bayi besar, fetal distress, letak lintang janin dan plasenta previa sedangkan
indikasi pada janin antara lain gawat janin, prolapsus funikui kehamilan kembar dan
primigravida tua (Manuaba, 2012).
Post operasi sectio caesarea akan menimbulkan nyeri hebat dan proses
pemulihannya berlangsung lebih lama di bandingkan dengan persalinan normal
(David T, 2007 dalam Fithria, 2018). Pernyataan ini didukung oleh Hestiantoro
(2009), persalinan sectio caesarea memiliki nyeri lebih tinggi yaitu sekitar 27,3%
dibandingkan dengan persalinan normal yang hanya sekitar 9% (Wahyu, 2018).
Nyeri adalah sensasi yang tidak menyenangkan dan sangat individual yang
tidak dapat dibagi kepada orang lain. Nyeri dapat memenuhi seluruh pikiran
seseorang, mengatur aktivitasnya, dan mengubah kehidupan orang tersebut (Berman
& Kozier 2009 dalam Wahyu, 2018).
Setiap orang yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau paska
pembedahan harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena dampak dari
nyeri itu sendiri akan menimbulkan respon stress metabolik (MSR) yang akan
mempengaruhi semua system tubuh dan memperberat kondisi pasiennya. Hal ini akan
merugikan pasien akibat timbulnya perubahan fisiologis dan psikologis pasien itu
sendiri. Stimulus nyeri dapat berupa stimulus yang bersifat fisik atau mental,
sedangkan kerusakan dapat terjadi pada jaringan aktual atau pada fungsi ego individu
(Potter & Perry, 2009 dalam Wahyu, 2018).
Dampak nyeri post sectio caesarea pada ibu jika tidak ditangani yaitu
mobilisasi terbatas, bonding attachment (ikatan kasih sayang) terganggu/tidak
terpenuhi, Activity of Daily Living (ADL) terganggu, Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
tidak dapat terpenuhi karena adanya peningkatan intensitas nyeri apabila ibu bergerak
jadi respon ibu terhadap bayi kurang, sehingga ASI sebagai makanan terbaik bagi
bayi dan mempunyai banyak manfaat bagi bayi maupun ibunya tidak dapat diberikan
secara optimal (Afifah, 2009 dalam Fithriana, dkk, 2018).
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sinta dkk (2014) dalam
Lestari (2017) di Universitas Udayana Denpasar tentang Efektivitas Relaksasi Benson
terhadap penurunan intenistas nyeri luka post sectio caesarea sebelum dilakukan
relaksasi benson didapatkan intensitas nyeri sebesar 5,07 dan setelah dilakukan
relaksasi benson intensitas nyeri sebesar 3,6 hal ini menunjukan penurunan intensitas
nyeri.
Menurut Dewi (2014) dalam Lestari (2017) Relaksasi benson efektif dalam
menurunkan nyeri post sectio caesarea yaitu dalam waktu 2 hari, dalam satu hari
dilakukan 15 menit setelah pemberian analgesik. Cara kerja teknik relaksasi benson
ini adalah berfokus pada kata atau kalimat tertentu yang diucapkan berulang kali
dengan ritme teratur yang disertai sikap pasrah pada Tuhan yang Maha Esa sambil
menarik nafas dalam. Dari ungkapan kata atau kalimat tersebut dapat meningkatkan
beta-endorfin dan menurunkan katekolamin yang mampu menghambat stimulus nyeri
pada post sectio caesarea(Guyton, 2007 dalam Lestari 2017).
Hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 19 februari 2019 dengan salah
satu bidan Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang bahwa untuk mengatasi nyeri
post sectio caesarea hanya diberikan obat pereda nyeri, dan untuk terapi relaksasi
benson belum pernah dilakukan di RS. Muhammadiyah Palembang.
1. Masalah Post operasi sectio caesarea akan menimbulkan nyeri hebat dan proses
pemulihannya berlangsung lebih lama di bandingkan dengan persalinan
normal (David T, 2007 dalam Fithria, 2018). Pernyataan ini didukung oleh
Hestiantoro (2009), persalinan sectio caesarea memiliki nyeri lebih tinggi
yaitu sekitar 27,3% dibandingkan dengan persalinan normal yang hanya
sekitar 9% (Wahyu, 2018).
2. Dampak Dampak nyeri post sectio caesarea pada ibu jika tidak ditangani yaitu
mobilisasi terbatas, bonding attachment (ikatan kasih sayang)
terganggu/tidak terpenuhi, Activity of Daily Living (ADL) terganggu,
Inisiasi Menyusu Dini (IMD) tidak dapat terpenuhi karena adanya
peningkatan intensitas nyeri apabila ibu bergerak jadi respon ibu terhadap
bayi kurang, sehingga ASI sebagai makanan terbaik bagi bayi dan
mempunyai banyak manfaat bagi bayi maupun ibunya tidak dapat
diberikan secara optimal
3. Area Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan
Spesifik penelitian yang berjudul “Pengaruh teknik relaksasi benson terhadap
intensitas nyeri post sectio caesarea di RS. Muhammadiyah Palembang”.
Metode Peneitian : Quasi eksperimenal dengan pre test and post test design
with control group.