Anda di halaman 1dari 8

Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya 1 (1) (2015): 94-101

ANTHROPOS
Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya
Available online http://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/anthropos

Waria dalam Pandangan Antropologi Tubuh

Agung Suharyanto *

Program Studi Pendidikan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan

Diterima Februari 2015; Disetujui April 2015; Dipublikasikan Juni 2015

Abstrak
Focus dari tulisan ini adalah mengenai pergulatan waria dalam dirinya, identitas dan kehidupan social. Waria melihat diri mereka
sendiri jauh lebih penting dibandingkan melihat dunia mereka sebagai dunia yang terisolir dan terpojok atau perjuangan kelas
dan rasial. Hal ini mengingatkan bahwa identitas itu sendiri bukan semata-mata dibentuk secara individual, tetapi juga secara
sosial, yakni ketika perilaku seseorang tersebut dipresentasikan secara sosial. Waria bisa didefinisikan ketika seorang laki laki
berperilaku seperti perempuan, umumnya orang akan mengatakan bahwa dia banci, meski dunia banci sebenarnya tidak
sesederhana itu. Sebaliknya, seseorang yang sudah benar-benar mapan dengan ke-bancian-nya, dan kemudian menjadi pelacur,
maka bukan banci yang dimaknai sebagai identitas tersebut, melainkan pelacur. Dengan demikian antara perilaku individu
dengan realitas di dalam masyarakat terjadi satu proses dialektika antara tubuh dan sosial.

Kata Kunci : Waria, Antropologi, Tubuh

Abstract
Focus of this writing is around struggle of transvestites in itself, identity and social life. Transvestites looks at themselves, as more
important in comparison with viewing their world as excluded and accused, or merely class and racial struggle. It minds that identity
itself is not merely formed individually, but also socially, namely when behaviour of someone presented socially. Transvestites could
be defined when a man behaves as woman, which generally considered that it is transvestites, although its world truly is not as
simple as that. Otherwise, someone who have really been established transvestity, and then become prostitute, so it is not trans-
vestites which is considered as that identity, but prostitute. Therefore, between individual behaviour and reality in a community,
dialectical process on relation between body and social is taking place.

Keywords: Transvestites, ; Anthropology; Body.

How to Cite: Suharyanto, A. (2015). Waria dalam Pandangan Antropologi Tubuh, Anthropos: Jurnal Antropologi
Sosial dan Budaya, 1 (1): 94-101.

*Corresponding author: p-ISSN 2460-4585


E-mail: suharyantoagung@gmail.com

94
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya 1 (1) (2015): 94-101

PENDAHULUAN maupun dari yaitu sisi negative maupun dari sisi


Secara lebih terbatas, kita kenal juga para pelaku itu sendiri yang terus berkutat dengan
konstruksi gender orang-orang yang secara tubuhnya. Diantara controversial yang
biologislaki-laki, tetapi mengkonstruksi berkembang di masyarakat, di sisi lain, Pada
perilaku dan identitas gender yang sesuai atau beberapa masyarakat adat, tidak saja
lebih mirip konstruksi gender perempuan. penerimaan yang terjadi pada orang-orang yang
Masyarakat Bugis mempunyai nama calabai menyeberang gender atau memadukan dua atau
untuk orang-orang macam ini, tetapi pada lebih gender dalam dirinya: ada pranata-pranata
masyarakat-masyarakat lainnya, walaupun orang (institusi) yang secara signifikan melibatkan
penyeberang gender macam ini dikenal, tidak ada orang-orang macam itu, seperti bissu di
istilah yang dipakai untuk menyebut mereka. masyarakat Bugis, yang dahulu menjaga dan
Kadang istilah seperti banci dipakai untuk memelihara arajang, pusaka kerajaan, di
menyebut orang-orang ini juga. lingkungan istana, dan hingga kini pun masih
Dalam budaya nasional kita pun dikenal menjadi perantara manusia dengan para
identitas gender waria (wadam), dan sampai dewata, yang membantu Allah, Tuhan yang Esa;
batas tertentu adanya istilah tomboi. Sebagian atau basir di masyarakat Dayak Ngaju, yang juga
masyarakat merancukan identitas gender ini menjadi perantara antara dunia ini dengan
dengan identitas seksual macam homoseks/gay dunia para arwah nenek-moyang; atau tadu
atau lesbi, dan memang acapkali terjadi tumpang- mburake pada masyarakat Toraja Pamona, yang
tindih antara identitas gender dan memimpin ritus-ritus spiritual; atau para
orientasi/identitas seksual seperti ini seniman pertunjukan tradisional yang
bahkan di kalangan waria maupun memerankan gender yang lain, seperti pada
gay/lesbi sendiri. Belakangan ini ditengarai ludruk di Jawa Timur.
juga mulai timbulnya orang-orang beridentitas Salah satu fenomena yang sampai sekarang
biseks, namun wacana sosial di seputar ini masih masih ada di masyarakat Bugis Sulawesi adalah
sangat terbatas di masyarakat kita. Bissu yang merupakan waria suci yang
Individu yang terlahir laki-laki (secara menganggap sebutan calabai itu lebih bermartabat
biologis) ini, tidak semuanya patuh pada konstruksi dibanding sebutan bencong atau banci, yang mana
gender laki-laki secara sosial-budaya. dianggap merendahkan martabat mereka. Di
Mereka memilih atau mengkonstruksi samping itu, calabai yang tergabung dalam
sendiri perilaku dan identitas gendernya, dan komunitas bissu menganggap diri mereka lebih
masyarakat pun dengan berbagai derajat mulia dibandingkan calabai pada umumnya
penerimaan mengenali mereka sebagai banci karena kesaktian dan fungsinya dalam masyarakat
(Melayu), bandhu (Madura), calabai (Bugis), yang menjadikan mereka disegani. Bissu pada
kawe-kawe (Sulawesi umumnya), wandu (Jawa) umumnya, memiliki batas ketabuan terhadap
dan istilah-istilah lainnya yang belum berbagai hal. Para bissu tidak diperkenankan
semuanya dikenali bahkan oleh para peneliti memakai pakaian yang tidak senonoh, genit, dan
gender dan seksualitas pun. Belum lagi adanya terlepas dari skandal seks. Dalam upacara adat,
orang-orang yang interseks, yang dalam derajat mereka menjadi penjaga pusaka kerajaan sekaligus
tertentu memiliki (sebagian) ciri-ciri kelamin pemimpin berbagai upacara adat (Latif, 2004).
biologis lelaki dan/atau perempuan dalam
berbagai kombinasi, yang acapkali disebut juga PEMBAHASAN
dengan istilah-istilah tadi. Memang, ketika kita mencoba
Waria atau wanita membahasnya, Waria, yang merupakan salah satu
pria/khunza/banci/bencong/becak dan banyak fenomena yang sedemikian tidak ada habisnya,
lagi sebutan yang lain, saya ingin membahasnya mulai dari agama yang menuai controversial
terkait dengan antropologi tubuh. Dari dua sisi, dengan adanya kisah dari umat Nabi Luth As. Dari
yaitu sisi yang berkembang di masyarakat, sisi sejarah, yang ternyata sedemikian panjang
95
Agung Suharyanto. Waria dalam Kajian Antropologi Tubuh

perjalanan meraka untuk mendapatkan perlakuan yaitu diri dan masyarakat.; kadang-kadang menyatu
dan hak yang sama, sehingga terbentuk karena begitu dekat, terkadang juga jauh berpisah;
perkumpulan waria/gay/homo. Beberapa Negara tegangan inilah yang memunculkan elaborasi
juga mendesak agar PBB memasukkan orientasi makna, menurut Douglas (1973: 112) dalam Synott
seksual sebagai HAM. Tentu saja ini akibat dari (2003: 411),. Setiap symbol alamiah yang berasal
perlakuan yang mendeskriminasinya sampai dari tubuh, memuat pemaknaan sosial dan setiap
sampai melahirkan perjuangan multikulturalisme, budaya membuat seleksinya sendiri dari wilayah
homophobia, pengakuan terhadap perkawinan simbolisme tubuh. Douglas adalah orang pertama
sejenis. Di sisi lain, mereka dianggap sebagai yang mempelajari tubuh sebagai sebuah system
sebuah penyimpangan seksual yang tidak sesuai symbol, maka sangat terkait tubuh secara sosial,
dengan norma agama, norma hukum, atau bukan secara fisik.
norma susila. Antropologi tubuh, pada awalnya lebih kepada
Menarik kiranya apabila dikaitkan dengan sisi fisikal saja, semua diukur dalam ukuran inchi.
fenomena yang terjadi di masyarakat, Bahwa sesuatu yang punya volume besar, akan lebih
pertentangan pendapat yang sedemikian berbeda baik daripada yang kecil. Dahulu, ukuran intelektual
yang selalu saya temui dalam beberapa seseorang atau bangsa, bahkan diukur dari besar
pengalaman saya. Banyak pertanyaan yang selalu volume tengkorak yang mewadahi otak manusia. Dr.
saya ajukan kepada kawan-kawan bahkanpun juga Samuel Morton, sebelum meninggal di tahun 1851,
mahasiswa, dan beragam komentar saya dapatkan meninggalkan lebih dari seribu tengkorak manusia
mengenai eksistensi waria. Ada yang berkomentar: dan membaginya dalam ukuran sesuai dengan isi
“Astagh firullah...saya benar-benar tidak mengerti. volumenya. Urutan pertama adalah kaukasia 87,
Mengapa mereka bisa memilih hal seperti itu, padahal Mongolia 83, Amerika 82, Malaya 81, Ethiopia 78,
agama telah melarang dan bahkan melaknatnya”; yang memunculkan rasial di dunia dan menyebutkan
“Wahduhhh…. Gak taulah, tapi kalau saya ada di bahwa ras kaukasia sedemikian pintar dari pada ras
samping mereka, saya merasa risih…. Karena tidak yang lain. Tahun 1900 an, Frans Boaz mengubah
sama dengan saya..”; “Ihhh… risih lah….. terasa semua anggapan tersebut, penelitian tidak lagi secara
sesuatu yang mengganjal, karena mereka kan fisikal lagi akan tetapi sudah bergeser dari tubuh ke
berbeda dengan kita.” Ini salah satu komentar di jiwa, dari inci ke IQ.
perkuliahan Multikulturalisme, di dalam jalannya Margareth Mead dalam penelitiannya di Pulau
perkuliahan, saya juga sering melontarkan kepada Samoa yang mementingkan ritual tubuh dalam
mahasiswa, untuk cross check bagi pemahaman produksi sosial berdasarkan peranan kelamin, yang
multikulturalisme, sebagaian berkomentar, Ini menyatakan, bahwa: “Setiap perintah orang tua yang
menjadi salah satu bukti, bahwa multikulturalisme mengatur kepribadian seorang anak perempuan
tidak bisa sepenuhnya diaplikasikan di Medan; dan bagaimana caranya duduk, caranya merespon
“Saya merasa kasihan kepada mereka. Mereka teguran atau ancaman, caranya bermain atau
diusir keluarga, dibenci masyarakat, dan menggambar, bernyanyi, menari atau melukis untuk
hidupnya tidak menentu karena tidak memiliki menjadi feminine, sama saja artinya dengan
bekal pendidikan yang baik”. membentuk kepribadian setiap saudara laki-laki”.
Berbagai komentar yang sedemikian beragam Kesimpulan Mead, menyebutkan bahwa kepribadian
ini, tak urung menimbulkan berbagai kajian dalam kedua jenis kelamin ini diproduksi secara sosial
dalam membahasnya, salah satunya akan mencoba (1956: 209) dalam Synnott (2003: 437). Kemudian
dikaji dalam antropologi tubuh. Menurut Douglas dilanjutkan dengan menyebutkan, bahwa: cara yang
(1966) dalam Synnott (2003: 430), tubuh di dalamnya tubuh-tubuh kita belajar, di sepanjang
menyediakan sebuah tema yang mendasar bagi hidup mereka, untuk bagaimana menjadi pria dan
semua simbolisme. Tubuh atas adalah tubuh yang bagaimana menjadi laki-laki.
berfikir dan tubuh bagian bawah adalah tubuh yang Dari pernyataan tersebut di atas, Mead
membuang limbah yang dihasilkan. Pemikiran berpendapat, kepribadian kedua kelamin, laki-laki
tentang tubuh, kemudian berkembang menjadi dua, maupun perempuan, sangat diproduksi oleh sosial.
96
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya 1 (1) (2015): 94-101

Lanjutnya, “cara yang di dalamnya tubuh-tubuh kita sejauhmana pula perilaku itu kemudian dapat
belajar, di sepanjang hidup mereka, untuk bagaimana diterima oleh masyarakat sebagaimana
menjadi pria dan bagaimana menjadi wanita” masyarakat menerima perilaku laki-laki atau
(1949:5) dalam Synnott (2003: 437). Pernyataan perempuan. Hal ini penting karena sebenarnya
Mead ini, wajar saja, ketika dikaitkan dengan budaya identitas bukan sekadar berbicara tentang
dan gender yang mempelajari tentang variasi dari dorongan dan hasrat seksual, tetapi identitas lebih
siklus hidup manusia seperti mengasuh dan merupakan sebuah sejarah dan kebudayaan.
melahirkan anak adalah sebuah kebencian dan di Dalam konteks budaya, dimensi konflik dan
masyarakat lain adalah kesenangan. Atau ketika perilaku yang dihadirkan waria tidak hanya
sebuah hubungan seksual itu sedemikian memalukan, dipandang sebagai sebuah tatanan yang
sedangkan di masyarakat lain menjadi sebuah menyimpang, namun bahwa perilaku mereka
kesenangan. Bahkan ketika satu kelompok belum mendapat tempat di dalam peran-peran
masyarakat tidak bahagia menjadi wanita, akan tetapi sosial yang menyatu dengan masyarakat.
di kelompok lain, sedemikian bahagia, sampai-sampai Di dalam struktur masyarakat yang lebih
kaum pria cemburu dan berusaha untuk meniru luas, waria masih dianggap sebagai kelompok
peranan mereka. sosial yang menimbulkan masalah masalah
Nah, demikianlah antropologi tubuh yang ketertiban umum, sejajar dengan pelacur,
akhirnya tidak hanya sekedar akademik saja, gelandangan dan pengemis, sehingga perlu
melainkan juga berbicara tentang bagaimana cara kita penertiban di mata pemerintah. Ini terbukti
hidup di dalam tubuh kita sendiri. Demikian dengan beberapa operasi garukan yang sering
kesimpulan dari Margaret mead, yang kemudian saya dilakukan aparat keamanan dan ketertiban untuk
kaitkan dengan kaum waria yang katanya jiwa memberangus nafas kehidupan waria. Tulisan ini
perempuannya terpenjara di dalam tubuh laki-laki. berusaha menjelaskan bagaimana hidup sebagai
Bagaimana cara hidup kaum waria sebagai individu waria dalam suatu ruang sosial. Ruang sosial
yang berjuang dalam kewariaannya dan sekaligus mengandung batasan yang lebih tegas dan konkrit
sebagai bagian dari tubuh sosial dan identitas. dibanding lingkungan sosial yang memiliki
Bagaimana waria melihat diri mereka sendiri jauh dimensi luas, karena di dalam ruang sosial
lebih penting dibanding mereka melihat dunia terdapat sekat-sekat yang membatasinya, sehingga
mereka sebagai dunia yang terisolir dan terpojok bentuk hubungan antarindividu bersifat kuat
atau perjuangan kelas dan rasial. namun berbeda beda antarruang yang satu dengan
Hal ini mengingatkan bahwa identitas itu lainnya. Akan tetapi pada masyarakat modern, di
sendiri bukan semata-mata dibentuk secara dalam ruang terjadi berbagai interaksi yang sangat
individual, tetapi juga secara sosial, yakni ketika menonjol, kuat dan menyebar. Ruang sosial dalam
perilaku seseorang dipresentasikan secara sosial. hal ini dibatasi menjadi tiga bagian penting, yakni
Ketika seorang laki laki berperilaku seperti keluarga, masyarakat dan kehidupan artarwaria.
perempuan, umumnya orang akan mengatakan Problem ini sangat penting, karena hanya
bahwa dia banci, meski dunia banci sebenarnya dengan cara-cara itulah seorang waria akan benar
tidak sesederhana itu. Sebaliknya, seseorang yang benar eksis dalam ruang sosial di mana mereka
sudah benar-benar mapan dengan kebanciannya, berada. Proses dialektik antara manusia dengan
dan kemudian menjadi pelacur, maka bukan banci lingkungan, manusia senantiasa membentuk
yang dimaknai sebagai identitas melainkan dunianya sendiri, dan dunia itu adalah kebudayaan
pelacur. Dengan demikian antara perilaku individu (Berger, 1994: 710). Itu sebabnya konteks
dengan realitas di dalam masyarakat terjadi satu kebudayaan sangat mempengaruhi proses perilaku
proses dialektika (Berger dan Luckmann, 1990). manusia dalam membangun dunianya, karena
Antara perilaku individu dengan lingkungan hanya dalam satu dunia yang dihasilkan oleh
sosial memiliki hubungan yang saling dirinya sendiri, manusia dapat menempatkan diri
mempengaruhi, being wand, bukanlah semata mata serta merealisasikan kehidupannya.
ia harus berperilaku sebagai perempuan, tetapi
97
Agung Suharyanto. Waria dalam Kajian Antropologi Tubuh

Hidup sebagai waria mengandung satu mengkonstruksi makna tersebut pada kebudayaan
pengertian bahwa seorang waria harus mampu masyarakat di mana mereka tinggal dan hidup.
bertahan dari berbagai macam tekanan yang Satu hal yang belum pernah dilakukan
menghimpit dirinya, karena kultur mereka belum dalam penelitian tentang waria adalah dimensi
sepenuhnya diterima di dalam ruang sosial ruang kultural. Di Indonesia dikenal dengan baik
sosial tersebut. Oleh karena itu, tekanan-tekanan fenomena warok yang senantiasa memelihara
sosial tidak harus mereka hindari, namun gemblak, yakni pemuda usia belasan tahun sebagai
sebaliknya harus mereka hadapi dengan penuh piaraan Sang Warok, yang berfungsi sebagai
siasat. Dengan demikian terdapat strategi strategi pe¬lepas hasrat seksualnya. Kemudian di dalam
tertentu untuk mempertahankan perilaku waria, kesenian tradisional Jawa Timur, ludruk, di mana
yang akhirnya menjadi sebuah kultur waria. setiap tokoh perempuan senantiasa diperankan
Strategi strategi itu dengan sendirinya merupakan oleh laki laki. Perkembangan terakhir juga
satu proses sosial budaya yang pada gilirannya menunjukkan bahwa dunia waria menjadi
harus dapat mengejawantahkan perilaku waria ekspoitasi media massa besar-besaran, karena
untuk dapat bertahan dalam ruang sosial tertentu. karena kelucuan perilaku yang ditampilkan,
Melalui pengalaman-pengalaman hidup itulah misalnya, Group Lenong Rumpi, Dorce, Tata Dado,
kemudian akan ditemukan makna hidup sebagai dan sebagainya.
waria. Secara kultural berbagai fenomena seperti
Berdasarkan uraian tersebut, maka Gemblak, Ludruk maupun Lenong Rumpi,
bagaimana hidup sebagai waria dalam sebuah menunjukkan babwa ada pengakuan atas
konteks kebudayaan mengandung 3 unsur pokok, keberadaan dan kehadiran kaum waria, sehingga
yakni proses sosialisasi, realitas objektif dunia mereka mendapat tempat di berbagai ruang sosial.
waria dan makna serta pemahaman mereka hidup Akan tetapi di dalam praktik kehidupan sehari hari
sebagai waria. Tiga unsur itulah yang selanjutnya tidak semua ruang sosial memberikan tempat bagi
akan menjadi satu permasalahan sentral dari kehidupan seorang waria. Salah satu bukti adalah
berbagai kajian tentang waria. bahwa bagian terbesar waria yang ada di Jakarta
Menjawab permasalahan tersebut ada tiga merupakan kaum pendatang dengan alasan untuk
pertanyaan yang relevan diajukan. Pertama, menjauhi orang tua karena keadaan dirinya tidak
bagaimana pengaruh ruang sosial terhadap dapat diterima oleh keluarga (Atmojo, 1987: 24).
keberadaan waria? Kedua, bagaimana waria Itu sebabnya mereka merasa sedih dan tertekan
sebagai kelompok merespons kesulitan-kesulitan (Atmojo, 1987: 56). Akibatnya, muncul suatu kesan
yang dihadapi dalam ruang sosial mereka? Ketiga, bahwa masyarakat menerima dan memanfaatkan
bagaimana makna dan pemahaman hidup sebagai kaum waria hanya dalam batas batas tertentu.
waria serta bagaimana waria mengkonstruksikan Krisis identitas yang dialami waria tidak
makna tersebut dalam konteks kultural? hanya berdampak psikologis, tetapi juga
Usaha menjawab pertanyaan pertama berpengaruh dalam perilaku sosial mereka.
mengacu kepada realitas objektif dunia waria yang Akibatnya, muncul hambatan hambatan dalam
selalu berada dalam tekanan-tekanan sosial melakukan hubungan sosial sehingga umumnya
tertentu dalam satu nuansa kebudayaan yang khas, dalam melakukan hubungan sosial secara lebih
baik pada tingkat keluarga, masyarakat maupun luas, mereka sulit mengintegrasikan dirinya ke
komunitas waria itu sendiri. Berikutnya, dalam struktur sosial yang ada dalam masyarakat.
pertanyaan kedua merupakan usaha memahami Bagaimana sebenarnya waria harus dipandang
bagaimana proses sosialisai kelompok waria di dalam konstruksi sosial yang lebih jelas dan
dalam satu kehidupan sosial yang lebih luas. memiliki arti dalam kehidupan sosial umumnya,
Kemudian, pertanyaan ketiga merupakan rumusan adalah satu upaya yang selalu dilakukan oleh kaum
model representasi kebudaya¬an dunia waria, waria untuk dapat eksis dalam kehidupannya. Hal
sekaligus bagaimana proses pemaknaan dan ini senantiasa dilakukan karena pembentukan diri
pemahaman waria serta usaha mereka di dalam harus dimengerti dalam kaitan dengan
98
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya 1 (1) (2015): 94-101

perkembangan organisme yang berlangsung terus- berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain
menerus dan dengan proses sosial di mana diri itu (Berger dan Luckmann, 1990: 34).
berhubungan dengan lingkungan manusia (Berger, Di dalam prakteknya, proses interaksi dan
1990: 71). komunikasi itu tidak selalu tanpa hambatan,
Hidup “sebagai waria” dalam berbagai karena satu perilaku tertentu bisa saja tidak dapat
dimensinya terdapat tiga proses sosial yang diterima dengan mudah oleh lingkungan sosial dan
mungkin terjadi, yakni pertama sosialisasi budaya di mana seseorang itu berada. Sosialisasi
perilaku, waria di dalam konteks lingkungan sosial mengandung dua pengertian dasar, yakni
budaya. Sosialisasi ini sangat penting karena sosialisasi primer dan sekunder. Sosialisasi primer
menyangkut satu tahapan agar seseorang dapat merupakan sosialisasi yang pertama yang dialami
diterima dalam lingkungan sosial, karena waria oleh individu dalam masa kanak kanak sebagai
tidak lepas dari konteks sosial. Kedua, pandangan bagian dari anggota masyarakat, sedang sosialisasi
tentang realitas objektif yang dibentuk oleh sekunder merupakan proses berikutnya yang
perilaku mereka. Melihat realitas objektif mengimbas individu yang telah disosialisasikan ke
merupakan pemahaman untuk menjadikan dalam sektor sektor baru dunia objektif
perilaku individu sebagai satu. nilai yang masyarakatnya (Berger dan Luckmann, 1990:
diharapkan atau tidak diharapkan dalam 187).
lingkungan sosial. Ketiga, proses pemaknaan dan Dengan demikian, sosialisasi primer menjadi
pemahaman sebagai waria. Proses ini menyangkut bagian penting dari kehidupan manusia di mana
pertahanan identitas, di mana mereka berusaha mereka mulai mengenal lingkungan dengan
mengkonstruksikan makna hidup “sebagai waria” berbagai ragam permasalahannya. Hal ini
atas pengalaman pengalaman sebelum¬nya, yang menjelaskan bahwa kesan pertama dalam
tercipta dari proses sosial dan realitas objektif kehidupan manusia akan berpengaruh dalam
dunia waria. proses kehidupan berikutnya, sebagai sosialisasi
Di dalam pandangan semiotik, kategori seks sekunder. Karena itu seseorang yang pertama kali
dibedakan menjadi dua, yakni kategori seks secara dikenalkan dengan “kehidupan seks” di mana ia
biologis dan kategori seks secara kultural. Dalam ditempatkan di masa kanak kanak dengan
kategori pertama menjelaskan bahwa seks sangat sendirinya akan menjadi pedoman perilaku
ditentukan oleh alam dengan karakteristik selanjutnva ketika ia menjadi dewasa. Berger dan
fisiologis dan anatomis. Kategori ini sepenuhnya Luckmann (1990: 190) kemudian menjelaskan
berada di luar pengendalian kultural. Artinya, ia bahwa sosialisasi primer pada gilirannya akan
sama sekali tidak berhubungan dengan menciptakan kesadaran anak suatu abstraksi yang
kebudayaan di mana pun mereka hidup. semakin tinggi dari peranan peranan dan sikap
Kebudayaan tidak mungkin bisa mengubah orang orang lain tertentu ke peranan peranan dan
variabel diskrit, bahwa seseorang dilahirkan sikap sikap pada umumnya. Sosialisasi primer
dengan jenis kelamin tertetu dengan konsekuensi menyangkut tiga hal, yakni eksternalisasi
biologis dan anatomis tertentu pula. Namun objektivasi dan internalisasi (Berger dan Luckman,
demikian, kebudayaan dengan jelas membagi 1990: 185-187, Berger, 1994: 47). Eksternalisasi
berbagai peranan antara laki laki dan perempuan, merupakan proses penyesuaian diri dengan dunia
dimana dalam kategori kedua lebih banyak sosio-kultural sebagai produk manusia. Objektivasi
dipengaruhi oleh mitologi yang berlaku didalam adalah interaksi sosial di dalam dunia
masyarakat tersebut. Hingga di sini sebenarnya intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami
satu sosialisasi perilaku, karenanya lazim atau proses institusionalisasi, kemudian internalisasi
tidak lazim sangat dipengaruhi oleh kebudayaan adalah bagaimana individu mengidentifikasikan
itu sendiri. Oleh karena itu, dalam proses diri dengan lembaga lembaga sosial tempat
sosialisasi diperlukan satu interaksi, karena individu menjadi anggotanya. Faktor lain yang
manusia tidak dapat bereksistensi dalam tidak kalah penting dalam hubungannya dengan
kehidupan sehari hari tanpa secara terus-menerus
99
Agung Suharyanto. Waria dalam Kajian Antropologi Tubuh

perilaku adalah realitas objektif individu atau senantiasa dibangun melalui makna makna
kelompok. masyarakat yang menjadi partisipan, yang disebut
Manusia yang senantiasa mengalami Berger dengan batasan batasan realitas (Berger et
perkembangan tidak hanya berhubungan secara al., 1992: 21).
timbal balik dengan suatu lingkungan alam Batasan batasan realitas yang berbeda
tertentu, tetapi dengan suatu tatanan budaya dan tentang hidup sehari-hari, menurut Berger,
sosial yang spesifik atau ruang sosial yang memerlukan tatanan yang menyeluruh sehingga
dihubungkannya melalui perantaraan orang orang seseorang individu memerlukan batasan-batasan
berpengaruh (significant others) yang merawatnya realitas yang berlingkup luas untuk memberikan
(Berger dan Luckmann, 1990: 68). Seseorang makna kepada hidup sebagai satu keseluruhan.
dibentuk tidak hanya atas dasar aturan aturan Hidup sebagai waria dalam konteks kebudayaan
sosial, tetapi bahwa perkembangan organismenya mengandung satu pengertian bahwa kebudayaan
juga ditentukan secara sosial. Aturan aturan sosial itia menjadi satu pedoman dalam berperilaku
seringkali dirasakan oleh individu sebagai satu mereka sehingga identitas mereka menjadi tegas.
proses dan bentuk tekanan tekanan yang Akibatnya kebudayaan merupakan tingkah
mengharuskan seseorang untuk berbuat sesuatu. laku yang mempelajari dan merupakan fenomena
Proses menghadapi tekanan-tekanan itu umumnya mental Hidup sebagai Waria dalam konteks
dihadapi dengan strategi strategi tertentu agar kebudayaan dengan sendirinya akan dilihat Di sisi
manusia dapat hidup di dalamnya. Itu sebabnya yang lain, kehidupan waria yang mengelompok,
manusia yang membentuk masyarakat dipandang baik melalui arena kehidupan malam di berbagai
sebagai suatu dialektika antara data objektif dan tempat maupun organisasi sosial kaum waria, pada
makna¬makna subjektif, yaitu yang terbentuk dari akhirnya telah melahirkan satu sub kultur
interaksi timbal balik antara apa yang dialami tersendiri. Dibanding kaum homoseksual, perilaku
sebagai realitas luar dan apa dan apa yang dialami waria memiliki banyak problem. Kaum homoseks
sebagai apa yang di dalam kesadaran individu. sama sekali tidak mengalami hambatan hambatan
Dengan kata lain, semua realitas sosial memiliki sosial dalam pergaulan dan perilaku mereka,
komponen esensial kesadaran. Kesadaran akan karena mereka tidak mengalami krisis identitas.
hidup sehari hari merupakan jaringan makna Berbeda dengan kaum waria, di samping
makna yang membuat individu mampu menempuh masih menghadapi berbagai tekanan tekanan
jalannya, melintasi peristiwa peristiwa biasa dan sosial, posisi mereka dalam struktur masyarakat
komunikasi dengan orang lain. Keseluruhan makna juga kurang mendapat tempat dalam tiga aspek,
makna itulah yang akhirnya membentuk dunia yakni ekstermalisasi, objektivasi dan internalisasi.
hidup sosial (Berger et al., 1992: 18-19). Aspek eksternalisasi sangat penting karena
Dengan kata lain, realitas objektif sebagai meliputi bagaimana waria melakukan penyesuaian
proses dialektik mengandung pengertian bahwa dengan lingkungan ketika mendapatkan berbagai
kesadaran individu terhadap lingkungan sosial dan tekanan-tekanan. Hal ini juga sekaligus untuk
kebudayaan akan membentuk masyarakat. melihat bagaimana sebuah kultur menduduki
Kemudian, pada proses berikutnya dunia yang posisi penting dalam pembagian peran secara
dibentuk oleh individu yang disebut dengan seksual. Kemudian objektivitas dapat dilihat dalam
masyarakat pada gilirannya akan mempengaruhi interaksi sosial yang dilakukan waria untuk
pula ke dalam keesadaran individu. Itu sebabnya merespon tekanan tekanan itu, sehingga mereka
tingkah laku harus diperhatikan dengan kepastian mampu bertahan hidup sebagai waria.
tertentu, karena hanya dengan melalui rentetan Internalisasi adalah ketika seorang waria
tingkah laku, atau lebih tepat lagi melalui tindakan melakukan identifikasi diri dengan lingkungan
sosial, bentuk bentuk kultural dapat terungkap. sosial sehingga memperoleh makna dan
Bentuk bentuk kultural itu sendiri tentu saja pemahaman hidup sebagai warid dalam suatu
terartikulasi dalam berbagai artefact dan berbagai ruang sosial. Makna dan pemahaman hidup
status kesadaran. Dunia hidup sosial itu sendiri sebagai waria di dalamnya terdapat juga
100
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya 1 (1) (2015): 94-101

kecenderungan ke arah fenomena simbolik, yang dengan ruang sosial di mana ia hidup dan
tercermin dalam ekspresi perilaku mereka, dan dibesarkan. Proses tersebut dijalani waria melalui
aktivitas mereka melalui kelompok dan berbagai berbagai tekanan sosial untuk kemudian
kegiatan kebudayaan (Abdullah, 1995: 54). Oleh direspons, sehingga membentuk satu makna
karena itu, masalah bahasa juga menjadi satu kehidupan sebagai waria. Tekanan-tekanan sosial
proses sosialisasi cukup penting (Berger, 1990: 32, muncul sangat multidimensional, yang dimulai
85). dari dalam keluarga, masyarakat, dan di antara
waria itu sendiri.
SIMPULAN
Secara ekstrim, masyarakat seringkali hanya DAFTAR PUSTAKA
mengakui segala hal pada dua wilayah yang saling Abdullah, I. 1995. ”Tubuh, Kesehatan dan Reproduksi
bertentangan, seperti hitam-putih, kaya-miskin, Hubungan Gender”. Populasi No. 6 Vol.2, 43-54.
atau pandai-bodoh. Pada wilayah jenis kelamin Yogyakarta: PPK UGM.
Atmojo, K, 1987. Kami Bukan Lelaki: Sebuah Sketsa
dan orientasi seks pun,masyarakat juga secara
Kehidupan Kaum Waria. Jakarta: LP3ES.
diskrit hanya mengakui jenis kelamin laki-laki dan
Berger, Peter L., dkk. 1988. “Pluraritas Dunia Kehidupan
perempuan secara tegas, dan kedua posisi Sosial” dalam Teori Masyarakat: Proses
berpasangan. Tidak ada tempat bagi laki-laki Peradaban dalam Sistem Dunia Modern. Jakarta:
dengan laki-laki atau perempuan dengan Yayasan Obor Indonesia.
perempuan. Laki-laki dengan kemaskulinannya Berger, P L. dan Thomas Luckmann, 1990. Tafsir Sosial
dan perempuan dengan kefemininannya. Atas Kenyataan. Jakarta: LP3ES.
Keduanya dikonstruksikan pada posisinya masing- Berger, Peter L., 1994. Langit Suci: Agama sebagai
masing dan tidak boleh saling bertukar. Realitas Sosial. Jakarta: Grafik
Hartoyo., Titiana A. 2009. Biarkan aku memilih:
Menjadikan dua identitas pada satu tubuh divonis
Pengakuan Jujur Seorang Gay yang Coming Out.
sebagai sebagai sebuah penyimpangan, baik dalam
Jakarta: Elekmedia Komputindo.
tafsir sosial maupun teologi. Kartono, K, 1989. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas
Keberadaan waria belum sepenuhnya Sexual. Bandung: CV Mandar Maju.
diterima masyarakat, meski sebenarnya menjadi Koeswinarno, Hidup Sebagai Waria, Yogyakarta,
waria adalah satu proses historis yang dimulai dari Kanisius, 2005
masa kanak-kanak, remaja hingga seseorang Kusuma, B. W. 2013. Aku Seorang Gay. Jakarta:JP
benar-benar dapat mempresentasikan secara total Books.
perilakunya sebagai waria. Perilaku waria, dengan Lathief, H, 2004, Bissu: Pergulatan dan Peranannya di
Masyarakat Bugis. Jakarta: Desantara
identitas laki-laki dengan dandanan perempuan,
Nadia, Z, 2005, Waria, Laknat atau Kodrat? Yogyakarta,
dipandang masyarakat sebagai perilaku
Pustaka Marwah
menyimpang secara cultural maupun dalam Synnott, A., 2003, Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri dan
praktik-praktik relasi seksualnya. Sejalan dengan Masyarakat. Yogyakarta: Jalasutra.
pemikiran Berger, dkk tentang pluralitas dunia Yash, 2003, Transeksual: Sebuah Studi Kasus
kehidupan sosial, khususnya tentang identitas Perkembangan Transeksual Perempuan ke Laki-
modern, maka sebenarnya menjadi waria adalah Laki, Semarang: CV Aini.
suatu proses dialektika antara waria

101

Anda mungkin juga menyukai