PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tulang yang menyusun tubuh manusia memiliki fungsi penting yang lebih dari
sekedar jaringan pembentuk tubuh manusia. Secara garis besar tulang memiliki tiga
fungsi utama, yaitu fungsi mekanik, fungsi sintetik, dan fungsi metabolik1. Fungsi
mekanik yaitu fungsi tulang sebagai protektor bagi organ di dalam tubuh, membentuk
struktur tubuh manusia, sebagai anggota gerak—bersama dengan ligamen, tendon, dan
otot yang memungkinkan tubuh untuk dapat bergerak, dan juga berfungsi sebagai
konduksi getaran suara sehingga memungkinkan manusia untuk dapat mendengarkan
suara. Fungsi sintetik yaitu fungsi tulang sebagai pusat produksi sel darah—dalam hal ini
adalah sumsum tulang yang berada di cavitas sentral di dalam tulang panjang, berfungsi
penting menghasilkan sel darah merah dan sel darah putih. Fungsi terakhir, adalah fungsi
metabolik, di mana tulang menjadi tempat penyimpanan mineral—kalsium dan fosfor
serta lemak (asam lemak) yang tersimpan di sumsum tulang (yellow bone marrow)
menjadi cadangan mineral dan energi ketika dibutuhkan, selain itu tulang berperan
penting dalam keseimbangan asam basa dengan kemampuannya melepaskan dan
mengasorbsi garam alkalin yang turut membantu menyeimbangkan keseimbangan pH
dalam tubuh1. Fungsi-fungsi tulang tersebut dapat terganggu dengan adanya kejadian
trauma yang menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan tulang.
Trauma jaringan tulang dan otot terkadang tampak dramatis dan seringkali
ditemukan pada 85% penderita trauma tumpul2. Trauma pada jaringan tulang yang berat
menunjukkan adanya gaya besar yang mengenai tubuh. Trauma jaringan tulang dan otot
harus diperiksa dan ditangani secara tepat dan memadai agar tidak membahayakan nyawa
dan anggota gerak.
Pada referat ini terutama akan dibahas lebih lanjut mengenai trauma yang
mengenai tulang panjang, khususnya tulang femur. Tulang femur adalah tulang yang
terpanjang, terkuat, dan tulang terberat di tubuh yang sangat esensial untuk
memungkinkan manusia dapat berjalan di atas kedua kakinya. Adanya cidera pada tulang
femur dapat mengakibatkan seseorang kehilangan kemampuan untuk bisa berjalan, selain
itu karena adanya pembuluh darah besar (A. femoralis) pada femur, cidera yang berat dan
menyebabkan perdarahan dapat mengancam nyawa seseorang.
Berdasarkan insidensinya, di AS insidensi kasus fraktur pada tulang femur
dilaporkan 1-1.33 fraktur per 10.000 populasi per tahun (1 kasus per 10.000 populasi)2.
Pada individu yang berusia kurang dari 25 tahun dan yang berusia lebih dari 65 tahun
meningkat menjadi 3 fraktur per 10.000 populasi. Cidera ini lebih banyak pada laki-laki
berusia kurang dari 30 tahun yang cenderung disebabkan karena adanya kecelakaan
bermotor, atau karena adanya luka tembak2.
Seorang dokter harus belajar mengenal adanya trauma ini, menjelaskan anatomi
trauma dan melindungi penderita dari kecacatan selanjutnya dan dapat melakukan
tindakan untuk mencegah komplikasi, terutama yang berkaitan dengan cidera atau fraktur
pada tulang femur.
B. Tujuan Penulisan
Referat ini disusun untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai
etiologi, klasifikasi dari fraktur femur, serta bagaimana tindakan penatalaksaaan fraktur
femur dan mencegah terjadinya komplikasi.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Tulang
Secara umum, tulang dibagi menjadi 4 bagian yaitu epifisis, lempeng
pertumbuhan, metafisis, dan diafisis. Masing-masing bagian tersebut memiliki
karakteristik yang menentukan kelainan apa yang sering pada daerah tersebut. Epifisis
adalah bagian tulang yang terletak di dalam artikulasi. Lempeng pertumbuhan berfungsi
sebagai pusat pertumbuhan tulang yang hilang pada usia + 15 tahun, cidera pada bagian
ini pada masa kanak-kanak dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tulang.
Metafisis adalah daerah yang kaya akan pembuluh darah (end artery) sehingga rawan
terjadi infeksi. Diafisis adalah bagian tengah dari sebuah tulang panjang yang tersusun
dari tulang kortikal yang biasanya berisi sumsum tulang dan jaringan adiposa3.
B. Definisi Fraktur
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya yang biasanya disebabkan oleh rudapaksa
atau tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang4.
Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami fraktur, kondisi
fisik tulang dan keadaan trauma yang dapat menyebabkan tulang patah harus diketahui
terlebih dahulu. Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat menahan kompresi dan
tekanan memuntir (shearing)4.
Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan
membengkok, memutar dan tarikan akibat trauma yang bersifat langsung maupun tidak
langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi
fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat komunitif dan jaringan
lunak ikut mengalami kerusakan sedangkan trauma tidak langsung apabila trauma
dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan
extensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini biasanya jaringan
lunak tetap utuh4.
2
Tekanan pada tulang dapat berupa: (1) tekanan berputar yang dapat menyebabkan
fraktur bersifat spiral atau oblik, (2) tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur
transversal, (3) tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi,
dislokasi, atau fraktur dislokasi, (4) kompresi vertikal dapat menyebabkan fraktur
komunitif atau memecah misalnya pada vertebra, (5) trauma langsung disertai dengan
resistensi pada satu jarak tertentu akan menyebabkan fraktur oblik atau fraktur Z, (6)
trauma karena tarikan pada ligamen atau tendo akan menarik sebagian tulang5.
Tulang femur adalah tulang terkuat, terpanjang, dan terberat yang dimiliki tubuh
yang berfungsi penting untuk mobilisasi atau berjalan. Tulang femur terdiri dari tiga
bagian, yaitu corpus femoris atau diafisis, metafisis proksimal, dan distal metafisis.
Corpus femoris berbentuk tubular dengan sedikit lengkungan ke arah anterior, yang
membentang dari trochanter minor melebar ke arah condylus. Selama menahan berat
tubuh, lengkung anterior menghasilkan gaya kompresi pada sisi medial dan gaya tarik
pada sisi lateral. Struktur femur adalah struktur tulang untuk berdiri dan berjalan, dan
femur menumpu berbagai gaya selama berjalan, termasuk beban aksial, membungkuk,
dan gaya torsial. Selama kontraksi, otot-otot besar mengelilingi femur dan menyerap
sebagian besar gaya5.
Beberapa otot-otot besar melekat pada femur. Di bagian proksimal, m. gluteus
medius dan minimus melekat pada trochanter mayor, mengakibatkan abduksi pada
fraktur femur. M. iliopsoas melekat pada trochanter minor, mengakibatkan adanya rotasi
internal dan eksternal pada fraktur femur. Linea aspera (garis kasar pada bagian posterior
dari corpus femoris) memperkuat kekuatan dan tempat menempelnya m. gluteus
maksimus, adductor magnus, adductor brevis, vastus lateralis, vastus medialis, dan caput
brevis m. biceps femoris. Di bagian distal, m. adductor magnus melekat pada sisi medial,
menyebabkan deformitas apeks lateral pada fraktur femur. Caput medial dan lateral m.
gastrocnemius melekat di femoral condylus femoral posterior, menyebabkan deformitas
fleksi pada fraktur sepertiga distal femur5.
3
a. High energy trauma atau trauma karena energi yang cukup besar, jenis
kecelakaan yang menyebabkan terjadinya fraktur jenis ini antara lain adalah
trauma kecelakaan bermotor (kecelakaan sepeda motor, kecelakaan mobil,
pesawat jatuh, dsb); olahraga—terutama yang olahraga yang berkaitan dengan
kecepatan seperti misalnya: ski, sepeda balap, naik gunung; jatuh, jatuh dari
tempat tinggi; serta luka tembak6.
b. Low energy trauma atau trauma karena energi yang lemah, karena struktur femur
adalah sturktur yang cukup kuat, ada kecenderungan trauma karena energi yang
lemah lebih disebabkan karena tulang kehilangan kekuatannya terutama pada
orang-orang yang mengalami penurunan densitas tulang karena osteoporosis;
penderita kanker metastasis tulang dan orang yang mengkonsumsi kortikosteroid
jangka panjang juga beresiko tinggi mengalami fraktur femur karena kekuatan
tulang akan berkurang6.
c. Stress fracture atau fraktur karena tekanan, penyebab ketiga dari fraktur femur
adalah tekanan atau trauma yang berulang. Trauma jenis ini mengakibatkan jenis
fraktur yang berbeda karena biasanya terjadi secara bertahap. Trauma tekanan
berulang mengakibatkan kerusakan internal dari struktur arsitektur tulang. Fraktur
jenis ini seringkali terjadi pada atlet atau pada militer yang menjalani pelatihan
yang berat. Fraktur jenis ini biasanya mempengaruhi area corpus femoris6.
4
Gambar 1. Fraktur capital, (b) fraktur subcapital, (c) fraktur transervical, (d)
fraktur intertrochanteric, (e) fraktur subtrochanteric
5
juga membuat klasifikasi berdasarkan atas sudut inklinasi collum femoris sebagai
berikut: (a) tipe I, yaitu fraktur dengan garis fraktur 30; (b) tipe II, yaitu fraktur
dengan garis fraktur 50; dan (c) tipe III, yaitu fraktur dengan garis fraktur 70.
6
avaskuler caput femoris. Komplikasi ini biasanya terjadi pada 30% pasien fraktur
collum femoris dengan pergeseran dan 10% pada fraktur tanpa pergeseran.
Apabila lokasilisasi fraktur lebih ke proksimal maka kemungkinan untuk terjadi
nekrosis avaskuler menjadi lebih besar; (c) nonunion—lebih dari 1/3 pasien fraktur
collum femoris tidak dapat mengalami union terutama pada fraktur yang bergeser.
Komplikasi lebih sering pada fraktur dengan lokasi yang lebih ke proksimal. Ini
disebabkan karena vaskularisasi yang jelek, reduksi yang tidak akurat, fiksasi
yang tidak adekuat, dan lokasi fraktur adalah intraartikuler. Metode pengobatan
tergantung pada penyebab terjadinya nonunion dan umur penderita; (d)
Osteoartritis sekunder dapat terjadi karena kolaps caput femoris atau nekrosis
avaskuler; (e) anggota gerak memendek; (f) malunion; (g) malrotasi berupa rotasi
eksterna.
Gambar 4. Fraktur 1/3 tengah corpus femoris; (b) Fraktur corpus femoris
paska fiksasi internal
7
Berdasarkan klasifikasi Winguist-Hansen yang didasarkan pada pola dasar
fraktur dan derajat kestabilannya—meskipun sekarang lebih digunakan untuk
menentukan derajat kominutif dari fraktur, fraktur corpus femoris dapat
diklasifikasikan sebagai berikut11: (1) tipe 0—non kominutif—termasuk
didalamnya fraktur transfersal, oblik, dan spiral, (2) tipe I—kominutif non
signifikan atau fragmen kecil, (3) tipe II—fragmen besar dengan aposisi kortikal
sampai dengan 50%, (4) tipe III—fragmen besar dengan aposisi kortikal kurang
dari 50%, (5) tipe IV—fraktur segmental, tidak ada kontak antara fragmen distal
dan fragmen proksimal.
Gambar 5. dari kiri ke kanan.(a) tipe 0, (b) tipe I, (c) tipe II, (d) tipe III, (e) tipe IV
8
Fraktur suprakondiler femur
Daerah suprakondiler adalah daerah antara batas proksimal kondilus femur
dan batas metafisis dengan diafisis femur. Fraktur terjadi karena tekanan varus
atau valgus disertai kekuatan aksial dan putaran. Klasifikasi fraktur suprakondiler
femur terbagi atas: tidak bergeser, impaksi, bergeser, dan komunitif5.
9
1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya tanda-tanda syok,
anemia atau pendarahan, kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum
tulang belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen.
Apabila kondisi jiwa pasien terancam, lakukan resusitasi untuk menstabilkan kondisi
pasien.
Setelah kondisi pasien stabil, perlu diperhatikan faktor predisposisi lain, misalnya
pada fraktur patologis5 sebagai salah satu penyebab terjadinya fraktur.
Pemeriksaan status lokalis dilakukan setelah pemeriksaan skrining awal
dilakukan. Berikut adalah langkah pemeriksaan status lokalis:
a. Inspeksi (Look)
- Bandingkan dengan bagian yang sehat
- Perhatikan posisi anggota gerak
- Keadaan umum penderita secara keseluruhan
- Ekspresi wajah karena nyeri
- Lidah kering atau basah
- Adanya tanda-tanda anemia karena pendarahan, Lakukan survei pada
seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ lain
- Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan
fraktur tertutup atau terbuka
- Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari
- Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan
- Perhatikan kondisi mental penderita
- Keadaan vaskularisasi5
b. Palpasi/Raba (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya
mengeluh sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan
palpasi adalah sebagai berikut:
- Temperatur setempat yang meningkat
10
- Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan
oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
- Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara
hati-hati
- Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri
femoralis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan
anggota gerak yang terkena Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna
kulit pada bagian distal daerah trauma, temperatur kulit.
- Pengukuran panjang tungkai untuk mengetahui adanya perbedaan panjang
tungkai5
c. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif
dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada
penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat
sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu
juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh
darah dan saraf5.
2. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan motoris
serta gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia, aksonotmesis atau neurotmesis.
Kelainan saraf yang didapatkan harus dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan
masalah asuransi dan tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan untuk
pengobatan selanjutnya5.
3. Pemeriksaan radiologi
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat kecurigaan akan adanya fraktur
sudah dapat ditegakkan. Walaupun demikian pemeriksaan radiologis diperlukan
sebagai konfirmasi adanya fraktur, menentukan keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur,
untuk melihat adakah kecurigaan keadaan patologis pada tulang, untuk melihat benda
11
asing—misalnya peluru, dan tentunya untuk menentukan teknik pengobatan atau
terapi yang tepat5.
Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip rule of two, yaitu:
dua posisi proyeksi, dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada antero-posterior dan
lateral; dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, di atas dan di bawah
sendi yang mengalami fraktur; dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya
dilakukan foto pada ke dua anggota gerak terutama pada fraktur epifisis; dua kali
dilakukan foto, sebelum dan sesudah reposisi5.
D. Penatalaksanaan
Tujuan terapi penderita fraktur adalah mencapai union tanpa deformitas dan
pengembalian (restoration) fungsi sehingga penderita dapat kembali pada pekerjaan atau
kegiatan seperti semula. Tujuan ini tidak selalu tercapai secara utuh yang diharapkan dan
setiap tindakan untuk mencapai hal tersebut mempunyai resiko komplikasi. Sebagai
contoh operasi pemasangan fiksasi dalam maka resiko terjadi infeksi dan lain sebagainya
dapat terjadi. Oleh karena itu banyak variasi terjadi pada pengobatan fraktur akibat
perbedaan interpretasi terhadap kondisi penderita.
Energi yang menimbulkan fraktur selalu menyebabkan kerusakan jaringan
lunak di sekitar fraktur. Tujuan utama dalam pengobatan kerusakan jaringan Iunak
tersebut berhubungan erat dengan pengobatan fraktur itu sendiri yang dimulai dengan
realignment pada fraktur yang mengalami pergeseran dan imobilisasi. Mengurangi edema
seperti fastiotomi pada sindrom kompartemen guna meningkatkan perfusi ke jaringan
yang mengalami kerusakan sehingga metabolisme sel tersebut aktif kembali. Perlu
diketahui bahwa edema tersebut akan berdampak pengurangan bahkan tidak ada sama
sekali distribusi oksigen dan material-material nutrisi ke jaringan bagian distal lesi
tersebut Oleh karena itu pengobatan kerusakan jaringan Iunak merupakan tindakan awal
dan proses penyambungan tulang.
Opsi terapi untuk fraktur femur sangat bergantung terhadap keparahan dari
cidera yang terjadi. Namun. secara garis besar terdapat dua jenis kategori terapi yaitu
terapi konservatif/non operatif dan terapi operatif.
12
Baik terapi konservatif dan operatif, keduanya mengikuti prinsip dasar
pengobatan penyakit lain yang berpedoman kepada hukum penyembuhan (law of nature),
sifat penyembuhan, serta sifat manusia pada umumnya. Disamping pemahaman tentang
prinsip dasar pengobatan yang rasional, metode pengobatan disesuaikan pula secara
individu terhadap setiap penderita. Pengobatan yang diberikan juga harus berdasarkan
alasan mengapa tindakan ini dilakukan serta kemungkinan prognosisnya5. Secara umum
prinsip tata laksana fraktur adalah sebagai berikut: (1) Jangan membuat keadaan lebih
buruk bagi penderita (Iatrogenik); (2) Pengobatan berdasarkan pada diagnosis dan
prognosis yang tepat; (3) Pilih jenis pengobatan yang sesuai dengan keadaan penyakit
penderita; (4) Ciptakan kerja sama yang baik tanpa melupakan hukum penyembuhan
alami; (5) Pengobatan yang praktis dan logis; (6) Pilih pengobatan secara individu; (7)
Jangan melakukan pengobatan yang tidak perlu5.
Life saving dan life limb adalah tindakan prioritas utama pada penderita trauma
multipel, mungkin keadaan pasien tidak menguntungkan untuk dilakukan pembiusan tapi
demi kehidupan penderita tindakan operasi tetapi dijalankan demi life saving seperti
perdarahan intra abdominal massive karena ruptur lien dan sebagainya. Tindakan
pembebasan jalan nafas seperti yang diterangkan sebelumnya perlu dilakukan terhadap
gangguan jalan nafas. Demikian juga penanganan sok karena perdarahan dengan
mengontrol perdarahan secara balut menekan dan resusitasi cairan kristalloid maupun
tranfusi.
Setelah tindakan life saving dan life limb diatasi, tindakan awal untuk
menangani fraktur dapat dilakukan. Tindakan awal yang dapat dilakukan adalah dengan
memberikan pembidaian sementara untuk imobilisasi fraktur, selain itu dapat mengurangi
rasa nyeri dan mengurangi perdarahan. Adanya deformitas yang hebat perlu dikoreksi
secara perlahan-lahan dengan menarik bagian distal secara lembut. Pada fraktur femur
terbuka, perlu dilakukan debridement dan irigasi cairan fisiologis kemudian luka ditutup
dengan kasa steril untuk kemudian dilakukan pemeriksaan foto rongent.
1. Terapi konservatif
Terapi konservatif fraktur femur antara lain meliputi tindakan imobilisasi
dengan bidai eksterna tanpa reduksi dan reduksi tertutup dan imobilisasi dengan
13
fiksasi kutaneus. Tindakan ini biasanya dilakukan jika fraktur terjadi pada daerah
proksimal, suprakondilar, dan corpus femoris dengan menggunakan, Buck Extension,
Weber Extensionsapparat, Well-leg traction, atau traksi 90/90 femoral.
2. Terapi Operatif
Terapi operatif dilakukan bila terapi konservatif gagal, maupun karena kondisi
tertentu, misalnya pada fraktur terbuka, fraktur multipel, adanya interposisi jaringan
di antara fragmen, fraktur pada collum femoris yang membutuhkan fiksasi yang rigit
dan beresiko terjadinya nekrosis avaskuler, dan adanya kontraindikasi pada
imobilisasi eksterna sedangkan diperlukan mobilisasi yang cepat, misalnya fraktur
femur pada lansia.
Untuk kasus-kasus tertentu, misalnya pada fraktur collum femoris pada orang
tua karena terjadi nekrosis avaskuler dari fragmen, maupun non union, dilakukan
pemasangan protesis, yaitu alat dengan komposisi metal tertentu untuk menggantikan
jaringan tulang yang nekrosis.
E. Komplikasi
Komplikasi dari fraktur femur cukup beragam tergantung lokasi dan tingkat
keparahan fraktur. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi antara lain9:
1. Infeksi
Pada kasus fraktur terbuka, dimana tulang merobek jaringan kulit, ada
kemungkinan resiko infeksi. Resiko infeksi ini dapat berkurang dengan pemberian
antibiotik.
2. Permasalahan dalam penyembuhan tulang
Jika pada proses penyembuhan angulasi tulang tidak baik serta timbul iritasi pada
bagian tulang yang patah akibat terjadinya infeksi, proses penyembuhan tulang dapat
terhambat bahkan membutuhkan terapi operatif lebih lanjut.
3. Kerusakan saraf
Kerusakan saraf paska fraktur femur terbilang jarang, namun kerusakan saraf
pada fraktur femur dapat menyebabkan mati rasa serta kelemahan yang persisten.
4. Sindrom kompartemen
14
Sindrom kompartemen jarang terjadi pada fraktur femur, namun ini dapat terjadi
sehingga resiko terjadinya sindrom kompartemen harus selalu diantisipasi. Sindrom
kompartemen teradi akibat kompresi nervus, pembuluh darah, dan otot di dalam
spatium tertutup atau kompartemen di dalam tubuh. Sindrom kompartemen terjadi
pada tungkai yang mengalami inflamasi dan perdarahan selama trauma yang sering
diasosiasikan dengan fraktur. Jika sindrom kompartemen terjadi, maka dibutuhkan
tindakan bedah segera9.
Berikut adalah hal yang perlu diperhatikan untuk identifikasi dini terjadinya
sindrom kompartemen:
a. Sindroma kompartemen dapat timbul perlahan dan berakibat berat
b. Dapat timbul pada ekstremitas karena kompresi atau remuk dan tanpa cedera
luar atau fraktur yang jelas
c. Reevaluasi yang sering sangat penting
d. Penderita dengan hipotensi atau tidak sadar meningkatkan resiko terjadinya
kejadian sindrom kompartemen
e. Nyeri merupakan tanda awal dimulainya iskemia kompartemen, terutama
nyeri pada tarikan otot pasif
f. Hilangnya pulsasi dan tanda iskemia lain merupakan gejala lanjut, setelah
kerusakan yang menetap terjadi
5. Komplikasi operatif
Komplikasi operatif biasanya terjadi karena kegagalan plate atau piranti keras
untuk menstabilisasi tulang, atau bagian piranti keras yang menonjol mengakibatkan
iritasi dan nyeri9.
15
2. Fraktur corpus femoris
Jenis fraktur ini juga dapat mempengaruhi lutut, tetapi dengan cara yang berbeda.
Karena pergerakan femur ketika terjadi fraktur, seringkali merusak ligament pada
lutut yang membutuhkan tindakan operatif untuk memperbaiki kerusakan yang
terjadi. Fraktur corpus femoris yang terjadi pada anak-anak dan remaja yang masih
dalam masa pertumbuhan beresiko mengalami perbedaan panjang tulang di satu
tungkai dibandingkan yang lainnya. Hal ini disebabkan karena patah tulang tumbuh
terlalu banyak, atau justru kurang tumbuh setelah fraktur.
F. Prognosis
Penyembuhan fraktur merupakan suatu proses biologis yang menakjubkan. Tidak
seperti jaringan lainnya, tulang yang mengalami fraktur dapat sembuh tanpa jaringan
parut. Pengertian tentang reaksi tulang yang hidup dan periosteum pada penyembuhan
fraktur mulai terjadi segera setelah tulang mengalami kerusakan apabila lingkungan
untuk penyembuhan memadai smapai terjadi konsolidasi. Faktor mekanis yang penting
seperti imobilisasi fragmen tulang secara fisik sangat penting dalam penyembuhan, selain
faktor biologis yang juga merupakan suatu faktor yang sangat esensial dalam
penyembuhan fraktur5.
16
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan besarnya energy trauma, terdapat tiga penyebab utama terjadinya fraktur
femur, yaitu (1) High energy trauma atau trauma karena energi yang cukup besar, (2) Low
energy trauma atau trauma karena energi yang lemah, dan (3) Stress fracture atau fraktur karena
tekanan yang berulang.
Berdasarkan letak frakturnya, fraktur femur dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok
besar, yaitu (1) fraktur Fraktur femur proksimal yang meliputi fraktur intracapsular termasuk
caput femoris dan collum femoris, fraktur entracapsular termasuk trochanters; (2) fraktur corpus
femoris; dan (3) Fraktur femur distal yang meliputi fraktur pada daerah supracondylar, condylar,
dan intercondylar..
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi akibat fraktur femur antara lain adalah
timbulnya infeksi, terutama pada fraktur terbuka, adanya permasalahan dalam penyembuhan
tulang, kerusakan saraf, sindrom kompartemen, dan komplikasi operatif berupa iritasi maupun
nyeri pasca operatif akibat plat yang menonjol.
17
REFERENSI
18