BAB 1
PENDAHULUAN
Salah satu sejarah yang paling besar di bidang kedokteran, terutama di bidang
anestesia adalah ketika seorang dokter mampu menghilangkan rasa nyeri dan hal tersebut
selanjutnya membawa dampak yang besar dalam perkembangan sejarah kedokteran.
Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1846 dimana rasa nyeri operasi telah berhasil diatasi.
Orang yang berperan besar dan bisa dikatakan sebagai pendiri anestesia modern adalah
William TG Morton (1819 -1868). Beliau merupakan seorang dokter gigi yang berusaha
mencari agen anestesi yang lebih baik dari agen yang selama waktu tersebut banyak
digunakan oleh dokter gigi, yaitu dinitrogen oksida (N2O).
Beliau turut bekerjasama dengan ahli bedah ternama di Rumah Sakit Massachusetts
yaitu John Collins Warren (1778-1856), dimana untuk pertama kalinya pada tanggal 16
Oktober 1846, mereka berhasil melakukan prosedur bedah yang dilakukan dengan anestesi
eter. Dr Morton pun berhasil membuktikan kepada dunia bahwa eter adalah gas yang bila
digunakan dalam ketika dosis yang tepat, mampu memberikan efek anestesia yang aman dan
efektif. Selama beberapa dekade sesudahnya, peristiwa tersebut turut menginspirasi banyak
ilmuwan untuk terus mengembangkan penelitian di bidang anestesia, terutama dalam
pencarian agen-agen anestesia baru yang lebih efektif.1
Agen anestesia lainnya yaitu halotan baru ditemukan pada tahun 1951 dan digunakan
secara klinis pada tahun 1956. Namun, obat ini memiliki kecenderungan untuk menimbulkan
efek disritmia dari epinefrin sehingga pencarian anestesi inhalasi baru terus dilakukan,
terutama yang berasal dari golongan eter. Isoflurane, isomer dari enfluran, diperkenalkan
pada tahun 1981. Obat ini memiliki angka toksisitas organ yang lebih rendah.2
Desflurane, salah satu turunan metil etil eter, diperkenalkan pada tahun 1992, dan
diikuti pada tahun 1994 oleh sevofluran yang merupakan golongan metil isopropil eter.
Kedua obat ini memiliki kelarutan yang rendah dalam darah, sesuai dengan karakteristik yang
diinginkan dalam anestesia modern, karena akan mempermudah dan mempercepat proses
induksi, mempermudah pengendalian konsentrasi selama pemeliharaan, dan memiliki
pemulihan yang cepat pada akhir anestesi. Namun demikian obat ini tetap memiliki risiko
seperti iritasi, stimulasi sistem simpatis, produksi karbon monoksida, serta hasil metabolisme
yang tidak diinginkan. Selain itu sebagian agen anestesia inhalasi tersebut memiliki harga
yang mahal.2
Sebagian besar zat anestesi inhalasi seperti golongan eter, kloroform dan lainnya
sudah tidak digunakan karena risiko terbakar yang tinggi. Sehingga, hanya tersisa N2O,
Universitas Indonesia
2
halotan, isofluran, sevofluran dan desfluran yang masih terus digunakan sampai saat ini.
Setiap obat memiliki keunikannya tersendiri yang berbeda satu dengan lainnya. Oleh karena
itu pengetahuan tentang anestesia inhalasi menjadi sesuatu yang penting untuk dipahami oleh
seorang anestesiologis.
BAB 2
ANESTESI INHALASI
Universitas Indonesia
3
sistemik zat anestesi inhalasi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang akan
meningkatkan ataupun mengurangi proses tersebut. 2-4
Pada dasarnya, proses pemberian zat anestesi inhalasi kepada pasien mirip
dengan proses pemberian obat anestesi intravena, dengan dua perbedaan utama: (1)
masuknya obat ke dalam tubuh adalah melalui pertukaran transalveolar dari gas
menuju ke darah dan (2) proses pengeluarannya sebagian besar melalui rute yang
sama. Dengan demikian, distribusi, absorbsi dan pembersihan anestesi inhalasi
tergantung pada ventilasi dan perfusi paru.3,4
Meskipun mekanisme kerja anestesi inhalasi cukup kompleks, melibatkan
banyak protein membran dan saluran ion, namun semua memproduksi efek utamanya
tergantung dari konsentrasi terapeutik pada sistem saraf pusat (SSP). Terdapat banyak
langkah yang harus ditempuh dimulai dari mesin anestesi sampai obat anestesi dapat
bekerja di otak.4
Gas murni keluar dari mesin anestesi bercampur dengan gas yang ada di
sirkuit pernafasan sebelum dihirup oleh pasien. Oleh karena itu, pasien tidak
mendapatkan seluruh konsentrasi yang diatur pada vaporizer. Komposisi campuran
gas yang dihirup oleh pasien bergantung pada kecepatan aliran gas, volume sistem
pernapasan, dan penyerapan oleh mesin atau sirkuit anestesia. Semakin tinggi aliran
gas murni, semakin kecil volume sistem pernapasan, dan semakin rendah penyerapan
sirkuit, maka konsentrasi gas yang dihirup akan semakin mendekati konsentrasi gas
yang diatur pada mesin anestesia. Secara klinis, proses induksi dan pemulihan
menjadi lebih cepat.4
Gambar 1. Perjalanan Gas Anestesia Mulai dari Mesin Anestesia Hingga Mencapai Otak. 4
Setelah melewati sirkuit anestesia, zat inhalasi akan berada di alveolus untuk
diabsorpsi ke dalam tubuh. Konsentrasi zat anestesi inhalasi pada alveolus secara teori
Universitas Indonesia
4
seharusnya sama dengan konsentrasi yang dihirup dari mesin anestesia. Namun pada
kenyataannya konsentrasi gas anestesia di alveolar akan lebih sedikit bila
dibandingkan dengan konsentrasi gas yang dihirup. Terdapat beberapa faktor yang
membuat terdapat perbedaan konsentrasi alveolus dan konsentrasi zat anestesi
inhalasi yang diinspirasi. Zat anestesi secara berkala akan diambil oleh sirkulasi paru,
sehingga konsentrasi alveolus pada awalnya akan berkurang secara perlahan. Semakin
banyak yang diambil oleh sirkulasi paru, maka semakin besar perbedaan konsentrasi
alveolus dan konsentrasi inspirasi, dan kecepatan induksi akan semakin lambat. Cara
yang umum untuk menilai penyerapan anestesi adalah dengan membandingkan rasio
konsentrasi gas anestesi di alveolar (FA) dengan konsentrasi terinspirasi gas anestesi
(FI) dari waktu ke waktu (FA / FI).4
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi penyerapan gas anestesi oleh
sirkulasi paru, yaitu kelarutan dalam darah yang pada gas anestesi disebut dengan
koefisien partisi yang menunjukkan rasio konsentrasi gas anestesi pada dua fase saat
terjadi kesetimbangan, aliran darah alveolar, dan perbedaan tekanan parsial antara gas
alveolar dan darah. Gas anestesia dengan kelarutan yang lebih rendah dalam darah
seperti N2O, desfluran akan lebih sedikit diambil oleh sirkulasi sistemik, sehingga
konsentrasinya di alveolus paru akan lebih cepat meningkat dan induksi akan menjadi
lebih cepat. Aliran darah alveolus sendiri sangat dipengaruhi oleh curah jantung.
Semakin curah jantung meningkat berarti semakin banyak darah yang akan mengalir
ke alveolus dan semakin banyak gas anestesi yang akan diambil oleh sirkulasi paru
sehingga induksi pun juga akan menjadi lebih lambat. Efek curah jantung ini akan
lebih terlihat pada zat anestesi inhalasi yang mudah larut, karena pada keadaan curah
jantung rendah, konsentrasinya di dalam alveolus menjadi cepat meningkat bila
dibandingkan dengan gas anestesi yang kurang larut. Faktor terakhir yang
mempengaruhi ambilan gas anestesi oleh sirkulasi paru adalah perbedaan tekanan
parsial antara alveolar dan darah vena. Perbedaan ini dipengaruhi oleh ambilan oleh
berbagai organ dalam tubuh secara berkala, sehingga tekanan parsial pada pembuluh
darah vena cenderung lebih rendah dan gas anestesi akan diambil oleh aliran darah
alveolar.3,4
Tabel 1. Perbandingan Koefisien Partisi Zat Anestesi Inhalasi. 4
Gas Anestesi Darah / Udara Otak / Darah Otot / Darah Lemak / Darah
N2O 0.47 1.1 1.2 2.3
Halotan 2.4 2.9 3.5 60
Isofluran 1.4 2.6 4.0 45
Universitas Indonesia
5
Universitas Indonesia
6
arteri dengan vena, ruang rugi alveolus, serta distribusi gas di alveolus yang tidak
merata yang akan mengakibatkan ketidak-seimbangan ventilasi/perfusi, dimana
tekanan parsial pada alveolar akan lebih tinggi terutama pada gas dengan kelarutan
tinggi.4
Pada akhirnya, faktor-faktor yang mempercepat induksi juga akan
mempercepat eliminasi obat dari dalam tubuh, misalnya aliran gas yang lebih tinggi,
volume sirkuit anestesia yang lebih kecil, absorbsi yang lebih rendah pada sirkuit
anestesia, kelarutan yang lebih rendah, aliran darah otak yang lebih tinggi, serta
peningkatan ventilasi. Selain itu lama tindakan anestesia juga ikut berpengaruh,
karena semakin lama anestesia berlangsung, semakin banyak pula yang tersimpan
pada jaringan lemak. 4
2.2 Farmakodinamik Anestesi Inhalasi
2.2.1 Mekanisme kerja anestesi inhalasi secara umum
Bagaimana gas anestesi dapat menghasilkan efek anestesi umum tidak
diketahui sampai saat ini. Teori yang paling banyak diterima mengatakan bahwa zat
anestesi inhalasi mengikat protein dalam membran saraf dan memodifikasi aliran ion
serta transmisi sinaps.6
Dahulu orang menganggap seluruh zat anestesia bekerja pada satu tempat
yang sama yang menghasilkan efek anestesia. Misalnya untuk semua anestesia
inhalasi dikatakan memiliki mekanisme kerja yang sama pada tingkat molekuler. Hal
ini didukung oleh penelitian yang ada saat itu, dimana potensi dari suatu zat anestesi
inhalasi sangat ditentukan oleh kelarutannya dalam lemak, sehingga semakin suatu zat
larut dalam lemak, semakin banyak pula yang mampu bekerja pada bagian lipofilik
dari sel dan akan semakin poten.4
Pada kenyataannya, berbagai agen anestesi menghasilkan efek anestesi dengan
cara yang berbeda satu dengan lainnya. Ada kemungkinan bahwa anestesi inhalasi
bekerja pada beberapa reseptor protein yang menghambat terjadinya impuls dan
meningkatkan aktivitas penghambatan yang mempengaruhi aktivitas neuron. Anestesi
umum bisa disebabkan perubahan dari salah satu ataupun kombinasi dari beberapa
sistem seluler, termasuk kanal ion, caraka kedua ataupun reseptor neurotransmitter.
Salah satu yang cukup dikenal dan merupakan tempat beberapa zat anestesia bekerja
adalah GABA, yang merupakan suatu neurotransmitter yang bersifat inhibitori.
Modulasi dari neurotransmitter ini dipercaya merupakan mekanisme kerja utama dari
banyak agen anestesia.3,4
Sampai saat ini juga belum ditemukan satu bagian khusus tempat zat anestesia
inhalasi bekerja, namun telah diketahui bahwa zat anestesia secara umum bekerja
Universitas Indonesia
7
pada bagian formatio retikularis, korteks serebri, nukleus kuneata, kortek olfaktori
dan hipokampus. Sehingga dapat disimpulkan bahwa agen-agen anestesia umum
termasuk anestesia inhalasi bekerja pada sistem saraf pusat, termasuk pada bagian
medula spinalis terutama pada kornu dorsalis, tempat dimana terjadinya proses
transmisi nyeri.3
Penelitian tentang bagaimana suatu zat anestesia inhalasi bekerja masih akan
terus berlangsung karena banyaknya mekanisme yang belum diketahui dan lokasi
yang dapat dipengaruhi oleh agen anestesi yang belum teridentifikasi sampai dengan
saat ini.4
2.2.2 Konsep MAC
Dosis gas anestesi inhalasi dapat dinyatakan sebagai volume persen. Sebagai
upaya untuk membandingkan potensi satu gas anestesi dengan gas anestesi lainnya,
digunakan suatu ukuran yang dikenal sebagai MAC, atau konsentrasi alveolar
minimum. Angka ini merupakan persentase atau konsentrasi gas pada tekanan 1
atmosfer yang dapat membuat 50% dari pasien menjadi tidak responsif ketika
diberikan stimulus pembedahan. Dalam hal ini, MAC dapat dianalogikan dengan ED-
50 (dosis efektif untuk 50% dari pasien) yang dinyatakan dalam miligram untuk obat
anestesi intravena. Uniknya, penelitian menunjukkan bahwa penggunaan zat anestesi
inhalasi apapun sebanyak 1.3x dari MAC gas tersebut akan mencegah terjadinya
gerakan pada 95% pasien yang menjalani proses pembedahan. MAC sendiri bersifat
aditif, sehingga penggabungan 0.5 MAC satu zat anestesia inhalasi dengan 0.5 MAC
zat anestesia inhalasi lainnya akan menghasilkan efek yang sama dengan 1 MAC dari
zat anestesia tersebut. Walaupun demikian, efek yang dihasilkan pada organ lainnya
seperti jantung, akan berbeda-beda satu dengan lainnya tergantung dari jenis gas
anestesia yang bersangkutan. 3,4
Tabel 2. Perbandingan MAC Zat Anestesi Inhalasi. 4
Meningkatkan Menurunkan
↑ Neurotransmitter Usia lanjut Hipotermia Opioid
sentral
Hipertermia Asidosis metabolik Hiponatremia Diazepam
Alkoholik kronik Hipoksia Kehamilan Anemia
Hipernatremia Hipotensi Alkoholik akut Diazepam
Universitas Indonesia
8
MAC dipengaruhi oleh beberapa faktor fisiologis dan farmakologis. Satu dari
yang paling penting adalah berkurangnya MAC sebanyak 6% per dekade usia,
terlepas dari jenisnya. MAC tidak dipengaruhi oleh spesies, jenis kelamin, atau durasi
anestesi. Faktor lain yang mempengaruhi MAC misalnya adalah temperatur, konsumsi
alkohol, anemia, suhu tubuh, kondisi hipoksia, elektrolit, kehamilan, serta
penggunaan obat-obatan lain.3,4
Universitas Indonesia
9
Zat anestesi inhalasi ini merupakan yang paling sering digunakan oleh dokter
gigi dan sering digunakan di bagian bedah rawat jalan. Ketika digunakan sendiri, N2O
tidak menghasilkan efek anestesi umum, namun agen ini dapat dikombinasikan
dengan agen inhalasi lainnya ataupun zat anestesi intravena. Walaupun demikian,
ketika digunakan sebagai agen tunggal, N2O memiliki keamanan yang cukup baik
untuk menghasilkan efek sedasi ringan-sedang. 6
N2O cenderung merangsang sistem saraf simpatis, sehingga walaupun zat
anestesi ini menghambat kontraktilitas otot jantung secara in vitro, tekanan darah,
curah jantung, dan denyut jantung pada dasarnya tidak berubah atau sedikit meningkat
karena adanya stimulasi katekolamin.4,6 N2O meningkatkan laju pernapasan dan
menurunkan volume tidal sebagai akibat dari stimulasi SSP, sehingga tidak terjadi
perubahan ventilasi semenit dan kadar CO2 yang bermakna. N2O dapat menekan
respons terhadap hipoksia, sehingga hal ini harus diperhatikan terutama pada pasien di
ruang pemulihan pasca penggunaan zat anestesi tersebut. Zat anestesi ini juga
meningkatkan aliran darah otak, serta volume darah otak, sehingga mengakibatkan
N2O jarang digunakan pada operasi bedah saraf. Penggunaan N2O dengan konsentasi
kecil cukup untuk menghasilkan efek analgesia pada tindakan bedah minor, operasi
gigi, dan pada proses persalinan.4,7 Efek lainnya adalah berkurangnya aliran darah
pada hati dan ginjal, serta pada konsentrasi tinggi dapat menimbulkan rigiditas otot.
Namun, N2O bukan merupakan pemicu dari hipertermia maligna.4
Selama proses pemulihan, N2O dieliminasi melalui paru dan hanya 0.01% saja
yang dimetabolisme dalam tubuh. Penggunaan N2O berkepanjangan dapat
mengakibatkan depresi sumsum tulang karena adanya penghambatan terhadap enzim-
enzim yang membentuk DNA dan selubung myelin. Selain itu, N2O memiliki
kecenderungan untuk berdifusi kedalam kavitas di dalam tubuh, seperti
pneumothoraks, distensi usus, pneumoensefal, dan lainnya. Eliminasi N2O
berlangsung cepat, sehingga kadar oksigen dan CO2 pada alveolus terkesan menjadi
berkurang dan dapat menghasilkan hipoksia difusi yang dapat dicegah dengan
pemberian 100% oksigen selama 5-10 menit sebelum menghentikan penggunaan
N2O.4,6
Gas ini juga memiliki MAC yang relatif tinggi sehingga jarang sekali
digunakan sebagai agen anestesi umum secara penuh, namun sering digunakan dalam
kombinasi dengan gas anestesi yang lebih poten. Penggunaan N2O bersama dengan
gas lain akan mengurangi konsentrasi dari gas tersebut, misalnya 65% N2O yang
Universitas Indonesia
10
digunakan bersama dengan gas lain akan menurunkan MAC dari gas anestesi tersebut
sekitar 50%. Hal ini disebabkan adanya efek gas kedua yang akan mempercepat
peningkatan konsentrasi gas anestesi di alveolar. Ambilan N2O dari alveoli ke darah
menghasilkan perpindahan yang signifikan dari volume gas di alveolar. Konsentrasi
N2O tetap pada alveolar (disebut efek konsentrasi), namun konsentrasi relatif gas
lainnya akan meningkat karena berkurangnya N2O tersebut.
2.3.2 Halotan
Zat anestesi ini merupakan hidrokarbon terfluorinasi yang digunakan dalam
anestesia yang berasal dari eter. Walaupun memiliki banyak kelebihan, terdapat
beberapa efek samping dari halotan ini, yang mulai diperkenalkan pada tahun 1950-
an. Namun demikian, hanya diperlukan waktu beberapa tahun untuk mengtahui efek
samping pertama yang disebut dengan halotan-induced hepatitis. Kejadian ini
menjadi pemicu utama untuk produksi gas anestesi kurang berbahaya, sehingga
penggunaan gas ini sudah sangat jarang.8
Halotan memiliki efek depresi otot jantung secara langsung, sehingga akan
terjadi penurunan tekanan darah sebanding dengan dosisnya. Pada pernafasan, halotan
mengakibatkan peningkatan frekuensi nafas, namun volume tidal yang berkurang.
Walaupun demikian, tetap terjadi peningkatan PaCO2 karena peningkatan frekuensi
nafas biasanya tidak dapat mengkompensasi penurunan volume tidal. Halotan
merupakan bronkodilator yang baik, sehingga dapat mengatasi bronkospasme pada
asma. Halotan dapat menumpulkan refleks jalan nafas dan mengurangi kontraksi otot
polos bronkus melalui penghambatan influks kalsium intraseluler. Halotan juga
memiliki efek vasodilatasi pembuluh darah otak, menurunkan resistensi pembuluh
darah otak dan meningkatkan aliran darah, serta menumpulkan kemampuan
autoregulasi pembuluh darah otak.4
Halotan dioksidasi dalam hati oleh enzim CYP (2EI) dan menghasilkan
metabolit utama asam trifluoroasetat. Pada keadaan tanpa oksigen, metabolisme
reduktif dari halotan dapat menghasilkan sejumlah kecil produk hepatotoksik yang
terikat secara kovalen pada jaringan. Kejadian disfungsi hati pasca operasi dapat
disebabkan oleh gangguan perfusi hati, penyakit hati yang sudah ada sebelumnya,
hipoksia hepatosit, dan drug-induced hepatitis. Sehingga penggunaan halotan pada
pasien yang sudah memiliki gangguan hati haruslah sangat berhati-hati.4
2.3.3 Isofluran
Isofluran adalah salah satu zat anestesi inhalasi turunan eter terhalogenasi
golongan pertama yang dahulu digunakan sebagai pengganti eter yang mudah
Universitas Indonesia
11
Universitas Indonesia
12
Universitas Indonesia
13
Universitas Indonesia
14
BAB 3
KESIMPULAN
Setiap zat anestesi inhalasi memiliki karakteristik yang unik, dan perbandingan efek
fisiologis yang muncul harus disesuaikan degan potensi dari setiap zat dan kebutuhan pasien.
Efek farmakodinamik dari zat anestesi inhalasi biasanya tergantung dengan dosis yang
digunakan. Untuk mengukur potensi tersebut telah ditetapkan suatu ukuran yang disebut
konsentrasi minimum alveolar (MAC) yang didefinisikan sebagai konsentrasi di alveolar dari
zat anestesi inhalasi pada tekanan 1 atmosfer yang mencegah terjadinya gerakan ketika
mendapatkan stimulus bedah pada 50% pasien.
Agen anestesi inhalasi yang sering digunakan untuk prosedur bedah pada orang
dewasa adalah isoflurane, sevofluran, dan desflurane. Isofluran merupakan golongan yang
paling pertama digunakan, sehingga saat ini penggunaannya sudah berkurang. Sevofluran
merupakan obat yang paling sering digunakan sebagai induksi karena sifatnya yang tidak
berbau terlalu tajam dan tidak berwarna. Desfluran memiliki kelarutan dalam darah yang
rendah, sehingga induksi dan pemulihan pun menjadi lebih cepat, namun dikarenakan
sifatnya yang berbau dan iritatif, gas ini jarang digunakan sebagai agen induksi. N2O masih
digunakan saat ini karena gas ini merupakan satu-satunya zat anestesi inhalasi yang memiliki
sifat analgesia, namun gas ini tidak bisa digunakan sebagai agen induksi dikarenakan MAC
nya yang sangat tinggi. Selain sifat-sifat khusus tersebut, setiap zat anestesi inhalasi juga
memiliki efek samping, baik yang umum untuk semua jenis obat dan yang spesifik untuk
obat tertentu yang tentunya harus diketahui oleh seorang anestesiologis.
Universitas Indonesia
15
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Indonesia
16
Universitas Indonesia