Anda di halaman 1dari 42

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. STR
Umur : 58 tahun
Tanggal Lahir : 06 Agustuus 1956
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Jawa
Agama : Islam
Gol. Darah :A
Status : Menikah
Alamat : Jl. Batu III No.01 RT 9/1 Gambir Jakarta Pusat
NRM : 399752
Tanggal Masuk : 02 Juni 2015

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama : Penurunan kesadaran
b. Keluhan Tambahan : keringat dingin, badan gemetar
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Menurut keterangan yang didapat dari keluarga pasien,
pasien kesadarannya menurun sejak pukul 05.30 tanggal
02/6/2015, pada awalnya badannya bergemetar terutama pada
tangannya, dan keluar keringat dingin terutama pada telapak
tangan dan kaki, setelah itu pasien tampak seperti orang gelisah.
Hal tersebut terjadi secara mendadak, sebelumnya tidak seperti ini.
Awalnya nafsu makan pasien sangat meningkat beberapa bulan ini,
serta pasien sering sekali merasa haus setiap harinya. Pasien sering
terbangun di malam hari hanya untuk buang air kecil, padahal
sebelum tidur pasien tidak terlalu banyak minum. Berat badan
pasien saat ini sedikit menurun bila dibandingkan dengan beberapa

1
bulan yang lalu, hal tersebut dirasakannya terutama saat memakai
pakaian menjadi sedikit longgar. BAB dan BAK pasien lancar.
Mual (-), muntah (-)

d. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat hipertensi (-)
b. Riwayat Diabetes Melitus (+), gula darah terakhir periksa
diatas 200
c. Riwayat asma (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Status Generalis
Keadaaan Umum : baik, tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tinggi Badan : 160 cm
Berat Badan : 70 kg IMT : 22,06 kg/m2
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 144 x/menit
Suhu Tubuh : 37 0C
Pernapasan : 38 x/menit
Kepala : normocephal
Mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -/-,
mata cekung (-), reflek cahaya +/+ lambat, pupil isokor d= 2 mm
THT : dalam batas normal, mukosa bibir tidak
kering
Leher : tidak ada pembesaran KGB, tiroid tidak
teraba
Dada : mammae simetris saat statis dan dinamis,
retraksi (-)
Paru : suara nafas dasar vesikuler +/+, rhonki -/-
wheezing -/-

2
Jantung : bunyi jantung I-II murni regular, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen : teraba ada pembesaran di perut bagian bawah,
bising usus (+)
Ekstremitas : akral hangat, turgor kulit baik, capillary refill
<2detik, edema (-/-) , reflex (+)
(-/-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium (02 Juni 2015)

HASIL PEMERIKSAAN HASIL SAAT INI NILAI RUJUKAN


HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 13.1 12-16 g/dL
Hematokrit 37 37-47 %
Eritrosit 5.0 4.3-6.0 juta/µL
Leukosit 20140* 4800-10.800/µL
Trombosit 202000 150000-400000/µL
MCV 75* 80-96 fL
MCH 26* 27-32 pg
MCHC 35 32-36 g/dL
KIMIA KLINIK
SGPT (AST) 25 <35U/L
SGOT (ALT) 22 <40 U/L
Ureum 42 20-50 mg/dL
Kreatinin 1.4 0.5-1.5 mg/dL
Kalsium 8.1* 8,6 – 10,3 mg/dL
Glukosa Darah (Puasa) 379* 70-100 mg/dL
Natrium 135 135-147 mmol/L
Kalium 2.7* 3.5-5.0 mmol/L
Klorida 98 95-105 mmol/L
Aseton +/Positif* -/Negatif
FAAL HEMOSTASIS
Waktu perdarahan 3’00” 1-3 menit
Waktu pembekuan 5’30” 1 – 6 menit
KIMIA KLINIK
Analisis Gas Darah

3
pH 7.412 7.37 – 7.45
pCO2 21.6* 33 – 44 mmHg
pO2 78.7 71 – 104 mmHg
HCO3 13.9* 22 – 29 mmol/L
BE -7.8 (-2) – 3 mmol/L
Saturasi O2 96.1 94 – 98%
URINALISIS
Urine Lengkap
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Agak keruh* Jernih
pH 6.0 4.6– 8.0
Berat Jenis 1.025 1.010 – 1.030
Protein -/negatif Negatif
Glukosa +/positif 1* Negatif
Bilirubin -/negatif Negatif
Nitrit -/negatif Negatif
Keton +/positif 1* Negatif
Urobilinogen -/negatif Negatif – Positif 1
Eritrosit 5-6-5* < 2/LBP
Leukosit 8-10-8* < 5/LBP
Silinder -/negatif Negatif /LPK
Kristal -/negatif Negatif
Epitel +/positif 1 Positif
Lain – lain -/negatif Negatif

4
b. Rontgen Thoraks

 Jantung kesan tidak membesar


 Aorta elongasi, Mediastinum superior tidak melebar
 Trakea ditengan. Kedua hilus tidak melebar
 Corakan bronkovaskular kedua paru baik
 Tak tampak infiltrat/ nodul dikedua lapang paru
 Hemidafragma kanan dan kiri normal
 Sinus kostofrenkus kanan dan kiri normal
 Tulang – tulang intak
Kesan :
Aorta elongasi
Cor dan pulmo dalam batas normal

5
c. EKG

Interpretasi
Irama : sinus rythm
HR : 157x/menit
Aksis : normoaksis
Regularitas : reguler
Gel. P : normal
Interval PR : 0,08 detik
Kompleks QRS : Normal
Segmen ST : Normal
Gel. T : Normal
Kesan : sinus rythm, HR 70x/min, normoaksis

V. PENATALAKSANAAN
a. Diagnosis
Penurunan kesadaran e.c Ketoasidosis diabetik, diabetes melitus
tipe II dengan hiperglikemia
b. Terapi
a. Pasang monitor, NGT, kateter urin
b. IVFD NaCl 0,9% (loading 500 cc dalam 1 jam)

6
c. Intubasi ETT No. 6,5
d. Rawat ICU
e. Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr IV (skin test)
f. Inj. Omeprazole 2 x 40 mg IV
g. Rehidrasi dengan NaCl 0,9% 2000 cc
h. Insulin vorapid 2 unit/jam
i. Cek GDS perjam
j. KCL 25 mEq dalam NaCl 0,9% 500 ml per 8 jam
VI. CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN
Perkembangan pasien pada saat pasien masuk ICU tanggal 3 Juni 2015

Waktu S O A P
03-6-15 Pasien dari gadar, KU : sakit berat Penurunan 1. Head up 45o
00.00 terpasang ETT CNS : Kesadaran Kesadaran 2. Monitoring TTV dan
No. 6,5. Indikasi E4M6VE KAD pada DM tipe kedsadaran
masuk : perlu CVS : TD 140/70 II 3. Regulasi gula darah
ventilator mmHg HR : 96x/m 4. Atasi infeksi
Kesadaran Res : On ventilatoi, 5. Pasang CVC
mrnurun, demam SIMV, PSIS, VT 400, 6. Th : Diabetasol 6x100
(-) RR = 12x/m, O2 60% ml, IVFD NaCl 0,9% +
Vesikuler ka/ki Wh -/- KCl 20 mEq/60 ml/jam,
Rh -/- IVFD Novorapid
Abd : Supel BU + NT + (20/20), Inj. Ceftriaxone
Eks : Akral hangat, 1 x 2 gr IV, Inj. OMZ 2
oedem - x 40 mg IV, Inj. Vit C 1
x 400 mg IV, NB5000 1
x 1 amp IV, Inj. Tramal
3 x 100 mg IV, Inj
Framadol jk demam 1 gr
IV, lovenox 2 x 0,6 ml

03-6-15 On Ventilator KU : tampak sakit berat KAD 1. Pasang CVC


08.30 CNS : Kesadaran Sepsis 2. Obs TTV
E2M4VE 3. Head up 45o
CVS : TD 130/80 4. Th : Diabetasol 6x100
mmHg HR : 110x/m ml, IVFD NaCl 0,9% +

7
Res : On ventilator RR KCl 20 mEq/60 ml/jam,
10/20, SIMV, PSIS, VT IVFD Novorapid (20/20)
400, RR = 12x/m, O2 GDS, Miloz (ar/ar) 2
100% Vesikuler ka/ki mg, Totilac 20 mg, Inj.
Wh -/- Rh -/- Ceftriaxone 1 x 2 gr IV,
Abd : BU + Inj. OMZ 1 x 4 g IV, Inj.
Eks : Akral hangat, Vit C 1 x 400 mg IV,
oedem - NB5000 1 x 1 amp IV,
Inj. Tramal 1x 1 amp IV,
Inj Framadol 3 x 1 gr
IV, lovenox 2 x 0,6 ml
IV, Inj. Ca Glukonas 3 x
1 gr, MgSO4 3 x 1 gr
05-6-15 Demam +, post KU : tampak sakit DM tipe II 1. Cek AGD post
08.00 ekstubasi sedang Riw KAD ekstubasi
CNS : Kesadaran Urosepsis 2. Atasi demam
E4M6V5 HT gr II 3. Th : Diabetasol 3x200
CVS : TD 140/90 ml 3x100 ml, IVFD
mmHg HR : 112x/m Asering + KCl 20
Res : spontan, BM 8 mEq/60 ml/jam, IVFD
lpm RR = 13x/m, Novorapid (500/500)
Vesikuler Wh -/- Rh -/- 06.00-22.00 10 mg
Abd : BU + 22.00-06.00 8,5 mg,
Eks : Akral hangat, Inj. Ceftriaxone 1 x 2
oedem – gr IV, Inj. OMZ 1 x 40
Diuresis 2450 cc/24jam mg IV, NB5000 1 x 1
BC 11500cc/24jam amp IV, Inj Framadol
3 x 1 gr IV, lovenox 2
x 0,6 ml IV, Inj. Ca
Glukonas 3 x 1 gr,
MgSO4 3 x 1 gr
PO Lovofloxacim
1x1 gr, PO
Metronidazole
3x50mg, PO
Amlodipin 1x1 gr,
PO captropil
3x25gr, PO Lip

8
Alh 3x20,

06-6-15 Kontak +, demam KU : tampak sakit berat DM tipe II + riw Target :


09.30 -, T = 38,3oC CNS : Kesadaran KAD 1. Obs TTV,
E4M5V5 Urossepsis kesadaran
CVS : TD 140/70 HT gr II 2. Tapp off perdhpin
mmHg HR : 108x/m BJ s/d stop
I-II Reg M -, G - 3. Target MAP <130
Res : spontan, O2 6 4. Atasi infeksi
lt/mnt, Vesikuler Wh -/- 5. Cegah dehidrasi
Rh -/- Sat O2 100% 6. Th : Diabetasol
Abd : supel BU +, NGT 3x200 ml 3x100
+ ml, IVFD Asering
Eks : Akral hangat, + KCl 15 mEq/60
oedem +/+/+/+ ml/jam, IVFD
Diuresis 2700 cc/24jam Novorapid
BC 642cc/24jam (50ml/50ml) 06.00-
CVP + 9 cmH2O 22.00 1 mg 22.00-
06.00 0,5 mg,
IVFD perdipin
(10/50) TDS, Inj.
Ceftriaxone 1 x 2
gr IV, Inj. OMZ 1
x 40 mg IV, ,
NB5000 1 x 1 amp
IV, Inj Framadol
(>38oC) 3 x 1 gr
IV, lovenox 2 x 0,6
ml IV, Inj. Ca
Glukonas (Ca<9) 3
x 1 gr, PO
Lovofloxacin 1x1
gr, PO
Metronidazole
3x500mg, PO
Amlodipin 1x10
gr, PO captropil
3x25gr, PO Hip

9
Alb 3x2 gr, Aspar
K 3x 1 tab
Premeal corectio dose sblm
makan besar

07-6-15 S : demam + KU : tampak sakit berat DM tipe II + riw 1. Head up 45o


09.00 38,3oC, slem CNS : Kesadaran KAD 2. Obs TTV,
E4M5V5 Urossepsis kesadaran,balance cairan
CVS : TD 140/70 HT gr II 3. Suction berkala
mmHg HR : 97x/m BJ 4. Th : Diabetasol
I-II Reg M -, G – CVP - 3x200 ml 3x100 ml,
+ 8 cm H2O IVFD Asering + KCl 15
Res : spontan, NC 3 mEq/60 ml/jam, IVFD
lt/mnt, Vesikuler Wh -/- Novorapid (50ml/50ml)
Rh -/- Sat O2 95% 06.00-22.00 1 mg 22.00-
Abd : supel BU +, NGT 06.00 0,5 mg, IVFD
+ perdipin (10/50) TDS,
Eks : Akral hangat, Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr
oedem +/+/+/+ IV, Inj. OMZ 1 x 40 mg
Diuresis 2350 cc/24jam IV, Inj. Vit C 1 x 400
BC 642cc/24jam mg IV , NB5000 1 x 1
amp IV, Inj Framadol 3
x 1 gr IV, lovenox 2 x
0,6 ml IV, Inj. Ca
Glukonas 3 x 2 gr,
MgSO4 2 x1 gr, PO
Lovofloxacin 1x1 gr, PO
Metronidazole
3x500mg, PO
Amlodipin 1x10 gr, PO
captropil 3x50gr, PO
Vip Alb 3x2 caps, Aspar
K 3x 1 tab

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Intensive Care Unit (ICU)

I. Definisi

Intensive Care Unit (ICU) atau Unit Perawatan Intensif (UPI) adalah tempat
atau unit tersendiri di dalam rumah sakit yang menangani pasien-pasien gawat
karena penyakit, trauma atau komplikasi penyakit lain. Intensive Care Unit (ICU)
merupakan cabang ilmu kedokteran yang memfokuskan diri dalam bidang life
support atau organ support pada pasien-pasien sakit kritis yang kerap
membutuhkan monitoring intensif. Pasien yang membutuhkan perawatan intensif
sering memerlukan support terhadap instabilitas hemodinamik (hipotensi), airway
atau respiratory compromise dan atau gagal ginjal, kadang ketiga-tiganya.
Perawatan intensif biasanya hanya disediakan untuk pasien-pasien dengan kondisi
yang potensial reversibel atau mereka yang memiliki peluang baik untuk bertahan
hidup

II. Klasifikasi Pelayanan ICU

 Pelayanan ICU primer (standar minimal): Mampu melakukan resusitasi


dan memberikan ventilasi bantu kurang dari 24 jam serta mampu
melakukan pemantauan jantung

 Pelayanan ICU sekunder (menengah): Mampu memberikan ventilasi


Bantu lebih lama, melakukan bantuan hidup lain tetapi tidak terlalu
kompleks

 Pelayanan ICU tersier (tertinggi): Mampu melaksanakan semua aspek


perawatan/terapi intensif

II.1. Pelayanan ICU Primer (standar minimal)

11
Kekhususan yang harus dimiliki;

Ruangan tersendiri; letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang darurat dan
ruangan perawatan lain, Memiliki kebijaksanaan/kriteria penderita yang masuk
keluar serta rujukan, Memiliki seorang dokter spesialis anestesiologi sebagai
kepala, Ada dokter jaga 24 jam dengan kemampuan resusitasi jantung paru
(A,B,C,D,E,F), Konsulen yang membantu harus selalu siap dipanggil, Memiliki
jumlah perawat yang cukup dan sebagian besar telah terlatih, Mampu melayani
pemeriksaan laboratorium, roentgen, kemudahan diagnostik dan fisioterapi

II.2. Pelayanan ICU Sekunder (menengah)

Kekhususan yang harus dimiliki:

Mampu memberikan ventilasi bantu lebih lama, melakukan bantuan hidup lain
tetapi tidak terlalu kompleks, kekhususan yang harus dimiliki. Memiliki ruangan
tersendiri; berdekatan dengan kamar bedah, ruang darurat dan ruang perawatan
lain. Memiliki kriteria pasien masuk, keluar dan rujukan . Memiliki dokter
spesialis yang dapat menanggulangi setiap saat bila diperlukan

Memiliki seorang kepala ICU yang bertanggung jawab secara keseluruhan


(intensivis), dokter jaga minimal mampu RJP (A,B,C,D,E,F). Mampu
mengadakan tenaga perawat dengan perbandingan pasien : perawat 1:1 pada
setiap saat jika diperlukan . Memiliki perawat yang bersertifikat terlatih
perawatan/terapi intensif. Mampu meberikan bantuan ventilasi mekanis beberapa
lama dan dalam batas tertentu melakukan pemantauan invasive dan usaha bantuan
hidup

Mampu melayani pemeriksaan laboratorium, roentgen, kemudahan diagnostik


dan fisioterapi selama 24 jam. Memiliki ruang isolasi dan mampu melakukan
prosedur isolasi

II.3. Pelayanan ICU Tersier (tertinggi)

Kekhususan yang harus dimiliki:

12
Memiliki tempat khusus tersendiri di dalam rumah sakit . Memiliki kriteria
pasien masuk, keluar dan rujukan . Memiliki dokter spesialis yang dapat
menanggulangi setiap saat bila diperlukan. Memiliki seorang kepala ICU yang
bertanggung jawab secara keseluruhan (intensivis), dokter jaga minimal mampu
RJP (A,B,C,D,E,F)

Memiliki lebih dari satu staf intensives. Mampu menyediakan tenaga perawat
dengan perbandingan pasien:perawat 1:1 pada setiap shif untuk kasus berat dan
tidak stabil. Memiliki lebih banyak staf perawat bersertifikat terlatih
perawatan/terapi intensif. Mampu melakukan semua bentuk pemantauan dan
perawatan/terapi intensif

Mampu melayani pemeriksaaan laboratorium, roentgen, kemudahan


diagnostik dan fisioterapi selama 24 jam. Memiliki paling sedikit seorang ahli
dalam mendidik staf perawat dan dokter muda agar dapat bekerja sama dalam
pelayanan pasien. Memiliki prosedur untuk pelaporan resmi dan pengkajian.
Didukung oleh semua yang ahli dalam diagnostik dan terapi; seperti ahli penyakit
dalam, ahli bedah saraf, ahli kebidanan dan lain-lain

Memiliki staf tambahan yang lain misalnya tenaga administrasi, tenaga rekam
medis, tenaga untuk ilmiah dan penelitian. Memiliki alat-alat untuk pemantauan
khusus, prosedur diagnostik dan terapi khusus.

Prosedur Pelayanan Perawatan/Terapi (ICU)

Ruang lingkup pelayanan yang diberikan di ICU :

 Diagnosis dan penantalaksanaan spesifik penyakit-penyakit akut yang


mengancam nyawa dan dapat menimbulkan kematian dalam beberapa
menit sampai beberapa hari

 Memberikan bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh sekaligus


melakukan penatalaksanaaan spesifik problema dasar

 Pemantauan fungsi vital tubuh terhadap komplikasi :

 Penyakit

13
 Penatalaksanaan spesifik

 Sistem bantuan tubuh

 Pemantauan itu sendiri

 Penatalaksanaan untuk mencegah komplikasi akibat koma yang dalam,


immobilitas berkepanjangan, stimulasi berlebihan dan kehilangan sensori

 Memberikan bantuan emosional terhadap pasien yang nyawanya pada saat


itu bergantung pada fungsi alat/mesin dan orang lain

Indikasi Masuk dan Keluar ICU

Indikasi Masuk ICU


Yang memerlukan perawatan di ICU adalah pasien dengan krisis atau
kegagalan pada:
 Sistem pernapasan
 Sistem hemodinamik
 Sistem syaraf pusat
 Sistem endokrin dan metabolik
 Overdosis obat, reaksi obat dan keracunan
 Sistem pembekuan darah
 Infeksi berat (sepsis)

Indikasi pasien masuk ICU dapat dibagi menjadi 3 prioritas, yaitu :


1. Prioritas I
Pasien kritis, pasien tidak stabil yang memerlukan tindakan terapi
intensif dan agresif untuk mengatasinya, seperti bantuan ventilasi, infus obat-obat
vasoaktif dan lain-lain. Pada pasien seperti ini terapi tidak dibatasi ( do
everything),Contoh : edema paru, status convulsivus,septic
shock.

2. Prioritas II

14
Pasien golongan ini pada saat masuk tidak dalam keadaan kritis tetapi kondisi
klinisnya membutuhkan pemantauan intensif baik secara invansif maupun non
invasif atau keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan ancaman gangguan pada
sistem organ vital. Pada pasien seperti ini terapi juga tidak dibatasi. Misalnya :
 Pasca bedah ekstensif
 Pasca henti jantung dalam keadaan stabil.
 Pasca bedah jantung dan pasca bedah dengan penyakit jantung.

3. Prioritas III
Pasien dalam keadaan kritis dengan harapan kecil untuk penyembuhannya.
Pasien kelompok ini memerlukan terapi intensif terbatas untuk mengatasi krisis
penyakit, tetapi tidak dilakukan terapi invasif seperti intubasi dan resusitasi (do
something).Misalnya : pasien dengan metastase keganasan, penyakit jantung dan
paru terminal dengan komplikasi akut.

Pasien-pasien tesebut dibawah ini tidak memerlukan perawatan di ICU :


 Pasien mati batang otak (MBO), kecuali donor organ.
 Pasien koma dengan keadaan vegetatif yang permanen.
 Pasien dalam stadium akhir (end-stage) dari suatu penyakit.
 Pasien yang menolak pemberian terapi bantuan hidup..

Indikasi keluar ICU


Pasien prioritas I dipindahkan keluar ICU jika tidak membutuhkan lagi
terapi yang intensif atau terapi mengalami kegagalan sehingga prognosis buruk
dan terdapat sedikit kemungkinan untuk pulih kembali. Pasien prioritas II
dipindahkan keluar ICU jika hasil pemantauan intensif menunjukkan bahwa terapi
intensif dan monitoring khusus tidak diperlukan lagi atau apabila terdapat pasien
prioritas I yang memerlukan perawatan. Pasien prioritas III dipindahkan jika
terapi intensif tidak dibutuhkan lagi, dan dapat dipindahkan lebih awal jika
diketahui kemungkinan untuk pulih kembali sangat kecil atau keuntungan terapi
sangat sedikit.

15
Pasien-pasien yang tidak banyak memperoleh keuntungan terapi intensif,
antara lain :
 Pasien tua dengan kegagalan 3 sistem organ yang tidak memberi respon
dalam 72 jam setelah terapi intensif.
 Pasien mati batang otak atau koma non traumatik yang menyebabkan
keadaan vegetatif menetap.
 Pasien penyakit paru menahun stadium lanjut, penyakit jantung
terminal, atau metastase luas dari keganasan yang tidak respon terhadap terapi
intensif dan tidak terdapat terapi lain.

PERLENGKAPAN RUANGAN ICU

Perlengkapan Medik

 Sumber oksigen berupa tabung/silinder atau titik oksigen sentral yang


dilengkapi dengan katup penurunan tekanan ( regulator ) dan flow meter.
 Alat pelembab humidifikasi oksigen, pipa karet/plastik yang dilengkapi
dengan kanula nasal dan sungkup muka.
 Suction
 Alat resusitasi terdiri dari kantong sungkup muka ( misalnya Ambu Bag/
Air Viva, Laerdal dll), laryngoskop dengan blade berbagai ukuran, pipa
jalan napas oro atau nasopharinx dan pipa Endotracheal berbagai ukuran ,
Cunam Magill, pembuka mulut (Ferguson mouth gag), penghubung pipa
(tube connector) dan stilet.
 Stetoskop,tensimeter dan termometer.
 Alat-alat monitoring, hendaknya dapat memperlihatkan wave form dan
angka dari Elektrokardiogram (ECG), tekanan darah, nadi dan saturasi.
Pada keadaan tertentu juga diperlukan pemantauan tekanan arteri, tekanan
jantung dan tekanan intra kranial cara invasif, tekanan CO2 ekspirasi dll.
 Alat infus terdiri dari set infus, kateter vena, jarum suntik berbagai
ukuran, kapas antiseptik, plester, pembalut, gunting.
 Defibrilator

16
 Ventilator
 Syringe pump, infus pump
 Kereta dorong (trolley / crash cart) yang dapat memuat alat-alat diatas
 Tempat tidur pasien.

Perlengkapan Non Medis

Saklar kontrol dan monitoring (tekanan oksigen, udara terkompresi,


vakum ,listrik ) harus terletak di dekat unit sehingga dapat dioperasikan oleh staf
pada kasus-kasus darurat. Alat ini harus ditandai/ dengan warna berbeda sehingga
dapat diketahui tipe kegunaannya.. Vakum ,oksigen, dan tekanan udara
terkompresi seluruhnya harus dimonitor dari pusat dengan sistem alarm visual dan
audibel. Sambungan di dinding sebaiknya tidak setinggi kepala untuk
menghindari cedera pada wajah atau kepala bila tak tersambung dengan benar
dan dibuat lewat jalur terpisah.

Cadangan listrik (generator) dibuat sirkuit terpisah untuk pencahayaan


darurat, komputer, ventilator dan alat-alat lainnya. Perlu disediakan pompa
kompresor (cadangan) yang sewaktu-waktu dapat dipakai sebagai pengganti
suplai.

Kebutuhan air dua bak cuci tangan yang cukup dalam dan lebar untuk
mencegah cipratan air dan dilengkapi dengan kran yang dapat dijalankan dengan
siku atau kaki sebaiknya tersedia di tiap area perawatan pasien (dekat pintu) untuk
meminimalkan penularan infeksi. Tersedia fasilitas pengering tangan
berupa handuk kertas sekali pakai atau pengering elektrik (hindari pemakaian
handuk standart) dan fasilitas disinfeksi tangan .

a. Komunikasi
Dibuat sedemikian rupa sehingga komunikasi berlangsung dengan mudah
dan cepat dalam unit dan sistem rumah sakit. Sebaiknya ada satu telepon
darurat yang dapat dipakai keluar dengan bebas. Untuk kamar isolasi
sebaiknya tersedia tersendiri.

17
b. Alarm pemanggil/darurat
Untuk tiap tempat tidur tersedia satu tombol alarm. Bila diaktifkan alarm
akan berbunyi di ruang pusat perawat, ruang santai staf dan kamar jaga
dokter.
c. Sterilisasi
Harus dirumuskan metode sterilisasi alat-alat yang dapat dipakai
ulang..Sterilisasi dilakukan di unit sterilisasi sentral setelah melalui proses
dekontaminasi,kecuali alat-alat tertentu yang dilakukan di ICU misalnya
alat endoskopi, set bedah minor.
d. Pengaman kebakaran
Jarang terjadi kebakaran di ICU. Kendati demikian kita tetap harus
merencanakan untuk melakukan pencegahan dan cara untuk
menanganinya bila terjadi kebakaran. Tiap anggota staf harus
terbiasa dengan rencana ini dan perlu dilakukan latihan tiap tahun.
Penderita yang dalam kondisi kritis tak hanya rentan sekali terhadap api
tetapi juga gangguan terhadap terapi penyokong kehidupannya.

ASIDOSIS

Asidosis adalah suatu keadaan dimana adanya peningkatan asam didalam


darah yang disebabkan oleh berbagai keadaan dan penyakit tertentu yang mana
tubuh tidak bisa mengeluarkan asam dalam mengatur keseimbangan asam basa.
Hal ini penting untuk menjaga keseimbangan fungsi sistem organ tubuh
manusia.Gangguan keseimbangan ini dapat dikelompokkan dalam dua kelompok
besar yaitu metabolik dan respiratorik.Ginjal dan paru merupakan dua organ yang
berperan penting dalam pengaturan keseimbangan ini.( Siregar P et. al, 2001 )

PATOGENESIS

Pada keadaan Asidosis yang berperan adalah sistem buffer (penyangga) pada
referensi ini akan dibahas tentang sistem buffer bikarbonat. Sistem penyangga
bikarbonat terdiri dari larutan air yang mengandung bikarbonat yang terdiri dari
larutan air yang mengandung dua zat yaitu asam lemak (H2CO3) dan garam
bikarbonat seperti NaHCO3.

18
H2CO3 dibentuk dalam tubuh oleh reaksi CO2 dengan H2O.

CO2 + H2O <—-> H2CO3

Reaksi ini lambat dan sangat sedikit jumlah H2CO3 yang dibentuk kecuali bila ada
enzim karbonik anhidrase. Enzim ini terutama banyak sekali di dinding alveol
paru dimana CO2 dilepaskan, karbonik anhidrase juga ditemukan di sel-sel epitel
tubulus ginjal dimana CO2 bereaksi dengan H2O untuk membentuk H2CO3

H2CO3 berionisasi secara lemah untuk membentuk sejumlah kecil H+ dan HCO3-

H2CO3 <—-> H+ + HCO3-

Komponen kedua dari sistem yaitu garam bikarbonat terbentuk secara


dominan sebagai Natrium Bicarbonat (NaHO3) dalam cairan ekstraseluler.
NaHCO3 berionisasi hampir secara lengkap untuk membentuk ion-ion
bicarbonat (HCO3-) dan ion-ion natrium (Na+) sebagai berikut :

NaHCO3 <—-> Na+ + HCO3-

Sekarang dengan semua sistem bersama-sama, kita akan mendapatkan sebagai


berikut :

CO2 + H2O <—-> H2CO3 <—-> H+ + HCO3- + Na+

Akibat disosiasi H2CO3 yang lemah, konsentrasi H+ menjadi sangat kuat bila asam
kuat seperti HCl ditambahkan ke dalam larutan penyangga bicarbonat,
peningkatan ion hidrogen yang dilepaskan oleh asam disangga oleh HCO3 :

H + + HCO3- H2CO3 CO2 + H2O

Sebagai hasilnya, lebih banyak H2CO3 yang dibentuk.Meningkatkan produksi


CO2 dan H2O.Dari reaksi ini kita dapat melihat bahwa ion hidrogen dari asam kuat
HCl, bereaksi dengan HCO3- untuk membentuk asam yang sangat lemah yaitu
H2CO3 yang kemudian membentuk CO2 dan H2O.CO2 yang berlebihan sangat
merangsang pernapasan yang mengeluarkan CO2 dari cairan ekstraseluler.Ini
berpengaruh terjadinya asidosis pada tubuh.

19
ETIOLOGI

Asidosis Metabolik

Asidosis metabolik dapat disebabkan oleh beberapa penyebab umum seperti :

1. Kegagalan ginjal untuk mengekresikan asam metabolik yang normalnya


dibentuk di tubuh.

2. Pembentukan asam metabolik yang berlebihan dalam tubuh.

3. Penambahan asam metabolik kedalam tubuh melalui makanan

4. Kehilangan basa dari cairan tubuh (faal)

Disini penulis akan sedikit membahas beberapa penyebab yang sering terjadi pada
keadaan asidosis metabolik :

- Asidosis di Tubulus Ginjal

Akibat dari gangguan ekresi ion Hidrogen atau reabsorbsi bikarbonat oleh ginjal
atau kedua-duanya.Gangguan reabsorbsi bikarbonat tubulus ginjal menyebabkan
hilangnya bicarbonat dalam urine atau ketidakmampuan mekanisme sekresi
Hidrogen di tubulus ginjal untuk mencapai keasaman urin yang normal
menyebabkan ekresi urin yang alkalis.

- Diare

Diare berat mungkin merupakan penyebab asidosis yang paling


sering.Penyebabnya adalah hilangnya sejumlah besar natrium bicarbonat ke dalam
feses, sekresi gastrointestinal secara normal mengandung sejumlah besar
bicarbonat dan diare ini menyebabkan hilangnya ion bicarbonat dari tubuh.Bentuk
asidosis metabolik ini berlangsung berat dan dapat menyebabkan kematian
terutama pada anak-anak.

- Diabetes Melitus

Diabetes melitus disebabkan oleh tidak adanya sekresi insulin oleh pankreas yang
menghambat penggunaan glukosa dalam metabolisme.Ini terjadi karena adanya

20
pemecahan lemak menjadi asam asetoasetat dan asam ini di metabolisme oleh
jaringan untuk menghasilkan energi, menggantikan glukosa. Pada DM yang berat
kadar Asetoasetat dalam darah meningkat sangat tinggi sehingga menyebabkan
asidosis metabolik yang berat.

- Penyerapan Asam

Jarang sekali sejumlah besar asam diserap dari makanan normal akan tetapi
asidosis metabolik yang berat kadang-kadang dapat disebabkan oleh keracuan
asam tertentu antara lain aspirin dan metil alkohol.

- Gagal Ginjal Kronis

Saat fungsi ginjal sangat menurun terdapat pembentukan anion dari asam lemak
dalam cairan tubuh yang tidak eksresikan oleh ginjal. Selain itu penurunan laju
filtrasi glomerulus mengurangi eksresi fosfat dan NH4+ yang mengurangi
jumlah bikarbonat.

( Guyton& Hall, 1997 )

Faktor Resiko Asidosis Metabolik ( Defisit HCO3- )

1. Kondisi dimana banyak plasma dengan asam metabolik (Gangguan ginjal,


DM)

2. Kondisi tejadi penurunan bikarbonat (diare)

3. Cairan infus yang berlebihan. (NaCl)

4. Napas berbau

5. Napas Kussmaul (dalam dan cepat)

6. Letargi

7. Sakit kepala

8. Kelemahan

9. Disorientasi

21
Asidosis Respiratorik

Keadaan ini timbul akibat ketidakmampuan paru untuk mengeluarkan CO2 hasil
metabolisme (keadaan hipoventilasi). Hal ini menyebabkan peningkatan
H2CO3dan konsentrasi ion hidrogen sehingga menghasilkan asidosis.

Beberapa masalah respiratorik dibagi berdasarkan sebabnya :

1. Penurunan pernapasan

Penurunan pernapasan melibatkan perubahan fungsi neuron dalam menstimulus


inhalasi dan ekhalasi.Neuron mengurangi pada tingkat sel tubuh melalui zat/agen
kimia dan kerusakan fisik. Penurunan kimia pada neuron dapat terjadi sebagai
hasil agen anastesi, obat-obatan (narkotik) dan racun dimana merintangi darah
menuju ke otak dan langsung menghalangi depolarisasi.Disamping itu
ketidakseimbangan elektrolit (hiponatrium, hiperkalsemia dan hiperkalami) juga
secara lambat menghalangi depolarisasi neural.
Akibat neuron respiratorik juga akan mengurangi keadaan fisik. Trauma
sebagai hasil langsung kerusakan fisik untuk neuron respirasi atau menimbulkan
hypoksia sampai iskemik yang dapat mengganggu atau menghancurkan
kemampuan neuron untuk membangkitkan dan mengirimkan impuls ke otot
skeletal yang membantu dalam respirasi.Neuron respirasi dapat rusak atau hancur
secara tidak langsung apabila terdapat masalah di area otak karena meningkatnya
tekanan intrakranial.Meningkatnya tekanan intrakranial ini karena adanya edema
jaringan, dimana menekan pusat pernapasan (batang otak).

Trauma spinal cord, penyakit tertentu seperti polio adalah sebab yang aktual bagi
kerusakan diaxon dan penyakit lain seperti mistenia gravis, dan syndrom Guillain-
Barre yang mengganggu tranmisi impuls nervous ke otot skeletal)

2. Inadequatnya ekspansi dada

Karena ekspansi ini penting untuk mengurangi tekanan di dalam rongga dada
sehingga terjadi pernapasan.Beberapa kondisi membatasi ekspansi dada sehingga
menghasilkan inadequatnya pertukaran gas walaupun jaringan paru sehat dan
pusat pesan sudah dimulai dan transmisi yang tepat. Beberapa orang mengalami

22
masalah dalam ekspansi dada dapat mencukupi pertukaran gas selama periode
istirahat sehingga retensi CO2 tidak terjadi pada waktu itu. Bagaimanapun
meningkatnya aktivitas atau kerusakan pada jaringan paru menghasilkan
permintaan untuk pertukaran gas dimana seseorang tidak dapat memenuhinya,
hasilnya acidemia.Tidak adekuatnya ekspansi dada dapat dihasilkan dari trauma
skeletal atau deformitas, kelemahan otot respirasi.Masalah skeletal yang
membatasi perpindahan pernapasan dalam dinding dada jika terdapat kerusakan
tulang atau malformasi tulang yang menyebabkan distorsi dalam fungsi
dada.Struktur tulang dada yang tidak berbentuk serasi dapat
membentuk deformasi pada rongga dada dan mencegah penuhnya ekspansi pada
satu atau kedua paru. Deformitas skeletalmungkin congenital: hasil dari kesalahan
pertumbuhan tulang ( seperti skoliosis, osteodistropii renal, osteogenesis
imperfecta dan syndrom Hurler’s) atau hasil yang tidak seimbang dari degenerasi
jaringan tulang (osteoporosis, metastase sel kanker).

Kondisi kelemahan otot respirasi berhubungan dengan ketidakseimbangan


elektrolit dan kelelahan.

3. Obstruksi jalan napas

Pencegahan perpindahan masuk dan keluarnya udara pada paru melalui bagian
atas dan bawah pada obstruksi jalan napas dapat menimbulkan pertukaran gas
yang tidak efektif, retensi CO2 dan acidemia.Jalan napas bagian atas dan bawah
dapat terobstruksi secara internal dan eksternal.Kondisi eksterna yang
menyebabkan obstruksi jalan napas atas termasuk tekanan yang kuat pada daerah
leher, pembesaran nodus lympa regional.Sedangkan kondisi internal yang
menyebabkan obstruksi jalan napas atas termasuk masuknya benda asing pada
saat bernapas, konstriksi otot halus bronkial dan pembentukan edema pada
jaringan luminal.

Obstruksi jalan napas bagian bawah terjadi melalui kontriksi otot halus,
pembentukan jaringan luminal, pembentukan lendir yang berlebihan. Kondisi
umum yang berhubungan dengan obstruksi jalan napas bagian bawah yaitu karena
terlalu lama menderita penyakit inflamasi (bronchitis, emphysema dan asma) dan

23
dan masuknya bahan-bahan iritan seperti asap rokok, debu batu bara, serat asbes,
serat kapas, debu silikon dan beberapa partikel yang mencapai jalan napas bagian
bawah.

4. Gangguan difusi alveolar-kapiler

Pertukaran gas pulmonal terjadi oleh difusi di persimpangan alveolar dan


membran kapiler. Beberapa kondisi dimana mencegah atau mengurangi proses
difusi karena dapat meretensi CO2 dan terjadi asidemia. Masalah difusi dapat
terjadi pada membran alveolar, membran kapiler atau area diantara keduanya.

Asidosis respiratorik sering terjadi akibat kondisi patologis yang merusak pusat
pernapasan atau yang menurunkan kemampuan paru untuk mengeliminasikan
CO2. Ada beberapa hal yang menyebabkan keadaan asidosis respiratorik yaitu :

- gangguan sentral pada pusat pernapasan.

- penyakit otot-otot bantu pernapasan misal mistenia gravis, sindrom

Guillain- Barre dan akibat obat yang merelaksasi otot.

- gangguan eksfisitas saluran napas seperti fibrosis pulmonal, penyakit

intestinal paru.

- obstruksi (empisema, asma, bronkitis, bronkhiolitis).

Faktor Resiko Asdidosis Respiratorik yang lain :

1. Kondisi paru yang akut dimana merubah O2 atau CO2 pada saat terjadi
pertukaran gas di alveolar (seperti pnemonia, edema pulmonar akut,
aspirasi pada tubuh luar, tenggelam)

2. Penyakit paru kronik (asma, kista fibrosis atau empisema)

3. Overdosis pada narkotik atau sedatif sehingga menekan tingkat dan


kedalaman pernapasan

4. Cidera kepala sehingga mempengaruhi pusat pernapasan.

24
Tanda Klinik ( Akut )

1. Meningkatnya nadi dan tingkat pernapasan

2. Pernapasan dangkal.

3. Dyspnea

4. Pusing

5. Convulsi

6. Letargi

Tanda Klinik ( Kronik )

1. Kelemahan

2. Sakit kepala

PENATALAKSANAAN ASIDOSIS

Pengobatan yang paling baik untuk asidosis adalah mengoreksi keadaan yang
telah menyebabkan kelainan, seringkali pengobatan ini menjadi sulit terutama
pada penyakit kronis yang menyebabkan gangguan fungsi paru atau gagal ginjal.

Untuk menetralkan kelebihan asam sejumlah besar natrium bicarbonat dapat


diserap melalui mulut.Natrium bicarbonat diabsorbsi dari traktus gastroinstestinal
ke dalam darah dan meningkatkan bagian bicarbonat pada sistem penyangga
bicarbonat sehingga meningkatkan pH menuju normal.Natrium bicarbonat dapat
juga diberikan secara intravena.Untuk pengobatan asidosis respiratorik dapat
diberikan O2 dan juga obat-obatan yang bersifat broncodilator.

Intervensi keperawatan yang bisa dilakukan pada Asidosis Metabolik :

1. Monitor nilai Arterial Gas Darah

2. Jika diperintah berikan IV sodium bicarbonat

3. Koreksi masalah pokok yang terjadi.

25
Intervensi keperawatan yang bisa dilakukan pada Asidosis Respiratorik :

1. Perbaiki ventilasi pernapasan ( melakukan dilator bronkial, antibiotik,


O2 sesuai perintah.

2. Jaga keadequatan hidrasi (2 – 3 L cairan perhari)

3. hati-hati dalam mengatur ventilator mekanik jika digunakan.

4. Monitor intake dan output cairan, TTV, arteri gas darah dan pH.

PENGUKURAN KLINIS DAN ANALISIS ASIDOSIS

Seseorang dapat membuat diagnosa dari analisis terhadap tiga pengukuran dari
suatu contoh darah arterial : pH, konsentrasi bikarbonat plasma dan PCO2.

- Dengan memeriksa pH seseorang dapat menentukan apakah ini bersifat

asidosis jika nilai pH kurang dari 7,4.

- Langkah kedua adalah memeriksa PCO2 plasma dan konsentrasi bicarbonat.


Nilai normal untuk PCO2 adalah 40 mmHg dan untuk bicarbonat 24 mEq/L Bila
gangguan sudah ditandai sebagai asidisis dan PCO2 plasma meningkat. Oleh
karena itu nilai yang diharapkan untuk asidosis respiratorik sederhana adalah
penurunan pH plasma, peningkatan PCO2 dan peningkatan konsentrasi bicarbonat
plasma setelah kompensasi ginjal sebagian.

Untuk asidosis metabolik akan terdapat juga penurunan pH plasma. Gangguan


utama adalah penurunan konsentrasi bicarbonat plasma.Oleh karena itu pada
asidosis metabolik, seseorang dapat mengharapkan nilai pH yang
rendah.Konsentrasi bicarbonat plasma rendah dan penurunan PCO2 setelah
kompensasi respiratorik sebagian.

26
KETOASIDOSIS DIABETIKUM

I. Definisi
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan
metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis,
terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif.
II. Kriteria diagnostik KAD
Gambaran Klinis klasik : poliuria, polidipsia dan polifagia, penurunan
berat badan , muntah, sakit perut, sakitperut, dehidrasi,lemah, clouding
ofsensoria,dan akhirnya koma. Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit
yang menurun, respirasi Kussmaul, takikardia, hipotensi, perubahan
status mental, syok dan koma.

III. Prinsip dasar pengelolaan pasien DKA


Keberhasilan penatalaksanaan KAD membutuhkan koreksi dehidrasi,
hiperglikemia, asidosis dan kelainan elektrolit, identifikasi faktor
presipitasi komorbid, dan yang terpenting adalah pemantauan pasien
terus menerus.

27
1. Terapi cairan
Prioritas utama pada penatalaksanaan KAD adalah terapi
cairan. Terapi insulin hanya efektif jika cairan diberikan
pada tahap awal terapi dan hanya dengan terapi cairan saja
akan membuat kadar gula darah menjadi lebih rendah.
Beratnya kekurangan cairan yang terjadi dipengaruhi oleh
durasi hiperglikemia yang terjadi, fungsi ginjal,dan intake
cairan penderita. Hal ini bisa diperkirakan dengan
pemeriksaan klinis atau dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:

Fluid deficit =(0,6 X beratbadandalam kg) X


(correctedNa/140) Corrected Na=Na+ (kadarguladarah-
5)/3,5

Rumus lain yang dapat dipakai untuk menentukan derajat


dehidrasi adalah dengan menghitung osmolalitas serum
total dan corrected serum sodium concentration.Serum
sodium concentration dapat dikoreksi dengan
menambahkan 1,6 mEq/l tiap kenaikan100 mg/dl kadar
gula darah diatas kadar gula100mg/ dl. Nilai corrected
serum sodium concentration > 140 dan osmolalitas serum
total>330mOsm/kg air menunjukkan defisit cairan yang
berat. Penentuan derajat dehidrasi dengan gejala klinis
seringkali sukar dikerjakan, namun demikian beberapa
gejala klinis yang dapat menolong untuk menentukan
derajat dehidrasi adalah.13 : - 5% : penurunan turgor kulit,
membran mukosa kering, takikardia - 10% : capillary refill
time ≥ 3 detik,mata cowong - >10% : pulsasi arteri perifer
lemah, hipotensi, syok,oliguria. Resusitasi cairan
hendaknya dilakukan secara agresif.Targetnya adalah
penggantian cairan sebesar 50% dari kekurangan cairan

28
dalam 8 – 12 jam pertama dan sisanya dalam 12 – 16 jam
berikutnya.5,9 Menurut perkiraan banyak ahli,total
kekurangan cairan pada pasien KAD sebesar 100ml/kgBB,
atau sebesar5 – 8 liter. Pada pasien dewasa,terapi cairan
awal langsung diberikan untuk ekspansi volume cairan
intravaskular dan ekstravaskular dan menjaga perfusiginjal.
Terdapat beberapa kontroversi tentang jenis cairan yang
dipergunakan. Tidak ada uji klinik yang membuktikan
kelebihan pemakaian salah satu jenis cairan. Kebanyakan
ahli menyarankan pemakaian cairan Þsiologis (NaCl 0,9%)
sebagai terapi awal untuk resusitasi cairan. Cairan Þsiologis
(NaCl 0,9%) diberikan dengan kecepatan15 –
20ml/kgBB/jam atau lebih selama jam pertama (±1 – 1,5
liter). Sebuah sumber memberikan petunjuk praktis
pemberian cairan sebagai berikut:1 liter pada jam pertama,1
liter dalam 2 jam berikutnya, kemudian 1 liter setiap 4 jam
sampai pasien terehidrasi. Sumber lain menyarankan 1 –
1,5 lt pada jam pertama, selanjutnya 250– 500 ml/jam pada
jam berikutnya. Petunjuk ini haruslah disesuaikan dengan
status hidrasi pasien. Pilihan cairan selanjutnya tergantung
dari status hidrasi, kadar elektrolit serum, dan pengeluaran
urine. Pada umumnya, cairan NaCl0,45% diberikan jika
kadar natrium serum tinggi (>150mEq/l), dan diberikan
untuk mengkoreksi peningkatan kadar Na+ serum
(correctedserum sodium) dengan kecepatan 4 – 14
ml/kgBB/jam serta agar perpindahan cairan antara intra dan
ekstra selular terjadi secara gradual. Pemakaian cairan
Ringer Laktat (RL) disarankan untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya hiperkloremia yang umumnya
terjadi pada pemakaian normal saline14 dan berdasarkan
strong ion theory untuk asidosis (Stewarthypothesis).
Sampai saat ini tidak didapatkan alasan yang meyakinkan

29
tentang keuntungan pemakaian RL dibandingkan dengan
NaCl0,9%. Jika kadar Na serum rendah tetaplah
mempergunakan cairan NaCl 0,9%. Setelah fungsi ginjal
dinilai, infus cairan harus mengandung 20– 30mEq/lKalium
(2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai pasien stabil dan dapat
makan. Keberhasilan terapi cairan ditentukan dengan
monitoring hemodinamik (perbaikan tekanan darah),
pengukuran cairan masuk dan keluar,dan pemeriksaan
klinis. Pemberian cairan harus dapat mengganti perkiraan
kekurangan cairan dalam jangka waktu 24 jam
pertama.Perubahan osmolalitas serum tidak melebihi 3
mOsm/kgH2O/jam. Pada pasien dengan kelainan ginjal,
jantung atau hati terutama orangtua, harus dilakukan
pemantauan osmolalitas serum dan penilaian fungsi
jantung, ginjal, dan status mental yang berkesinambungan
selama resusitasi cairan untuk menghindari overload cairan
iatrogenik. Untuk itu pemasangan Central Venous Pressure
(CVP) monitor dapat sangat menolong. Ketika kadargula
darah mencapai 250mg/dl, cairan diganti atau ditambahkan
dengan cairan yang mengandung dextrose seperti
(dextrose5%,dextrose5% pada NaCl0,9%,ataudextrose5%
padaNaCl0,45%) untuk menghindari hipoglikemia dan
mengurangi kemunginan edema serebral akibat penurunan
gula darah yang terlalu cepat.

30
2. Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis
KAD dan rehidrasi yang memadai. Sumber lain
menyebutkan pemberian insulin dimulai setelah diagnosis
KAD ditegakkan dan pemberian cairan telah dimulai.
Pemakaian insulin akan menurunkan kadar hormon
glukagon, sehingga menekan produksi benda keton dihati,
pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan
asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi
glukosa oleh jaringan.1,6 Sampai tahun 1970-an
penggunaan insulin umumnya secara bolus intravena,
intramuskular, ataupun subkutan. Sejak pertengahan tahun
1970-an protokol pengelolaan KAD dengan drip insulin
intravena dosis rendah mulai digunakan dan menjadi
popular. Cara ini dianjurkan karena lebih mudah
mengontrol dosis insulin, menurunkan kadar glukosa darah
lebih lambat, efek insulin cepat menghilang, masuknya
kalium ke intrasel lebih lambat, komplikasi hipoglikemia
dan hipokalemia lebih sedikit. Pemberian insulin dengan
infusintravena dosis rendah adalah terapi pilihan pada KAD
yang disebutkan oleh beberapa literatur, sedangkan ada
menganjurkan insulin intravena tidak diberikan pada KAD
derajat ringan. Jika tidak terdapat hipokalemia (K < 3,3

31
mEq/l), dapat diberikan insulin regular 0,15 u/kg BB,
diikuti dengan infus kontinu0,1 u/kgBB/jam (5 – 7 u/jam).
Jika kadar kalium kreatinin, osmolalitas, dan derajat
keasaman vena setiap 2 – 4 jam, sumber lain menyebutkan
bahwa kadar glukosa kapiler diperiksa tiap 1 – 2 jam. Pada
KAD ringan, insulin regular dapat diberikan secara
subkutan atau intramuskular setiap jam dengan efektifitas
yang sama dengan pemberian intravena pada kadar gula
darah yang rendah dan keton bodies yang rendah.
Efektifitas pemberian insulin dengan intramuskular dan
subkutan adalah sama, namun injeksi subkutan lebih mudah
dan kurang menyakitkan pasien. Pasien dengan KAD
ringan harus mendapatkan “priming dose” insulin
regular0,4 – 0,6 u/kgBB, setengah dosis sebagai bolus dan
setengah dosis dengan subkutan atau injeksi intramuskular.
Selanjutnya diberikan insulin subkutan atau intramuskular
0,1 u/kgBB/jam. Kriteria resolusi KAD diantaranya adalah
kadar gula darah 7,3 dan anion gap≤ 12 mEq/l. Saat ini, jika
pasien NPO, lanjutkan insulin intravena dan pemberian
cairan dan ditambah dengan insulin regular subkutan sesuai
keperluan setiap 4 jam. Pada pasien dewasa dapat diberikan
5 iu insulin tambahan setiap kenaikan gula darah 50mg/dl
pada gula darah diatas 150mg/dl dan dapat ditingkatkan 20
iu untuk gula darah ≥ 300mg/dl. Ketika pasien dapat
makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan
memakai kombinasi dosis short atau rapid acting insulin
dan intermediate atau long acting insulin sesuai kebutuhan
untuk mengontrol glukosa darah. Lebih mudah untuk
melakukan transisi ini dengan pemberian insulin saat pagi
sebelum makan atau saat makan malam. Teruskan insulin
intravena selama 1 – 2 jam setelah pergantian regimen
dimulai untuk memastikan kadar insulin plasma yang

32
adekuat. Penghentian insulin tiba-tiba disertai dengan
pemberian insulin subkutan yang terlambat dapat
mengakibatkan kontrol yang buruk, sehingga diperlukan
sedikit overlapping pemberian insulin intravena dan
subkutan. Pasien yang diketahui diabetes sebelumnya dapat
diberikan insulin dengan dosis yang diberikan sebelum
timbulnya KAD dan selanjutnya disesuaikan seperlunya.
Pada pasien DM yang baru,insulin awal hendaknya 0,5 –
1,0u/ kgBB/hari, diberikan terbagi menjadi sekurangnya 2
dosis dalam regimen yang termasuk short dan long acting
insulin sampai dosis optimal tercapai, dua pertiga dosis
harian ini diberikan pagi haridan sepertiganya diberikan
sore hari sebagai split-mixed dose. Akhirnya pasien DM
tipe2 dapat keluar rumah sakit dengan antidiabetik oral dan
terapi diet.
3. Natrium
Penderita dengan KAD kadang-kadang mempunyai kadar
natrium serum yang rendah, oleh karena level gula darah
yang tinggi. Untuk tiap peningkatan gula darah 100mg/dl
diatas 100mg/dl maka kadar natrium diasumsikan lebih
tinggi 1,6 mEq/l dari pada kadar yang diukur.
Hiponatremia memerlukan koreksi jika level natrium masih
rendah setelah penyesuaian efek ini. Contoh, pada orang
dengan kadar gula darah 600 mg/dl dan level natrium yang
diukur130, maka level natrium yang sebenarnya sebesar130
+ (1,6 x 5)= 138, sehingga tidak memerlukan koreksi dan
hanya memerlukan pemberian cairan normal saline (NaCl
0,9%). Sebaliknya kadar natrium dapat meningkat setelah
dilakukan resusitasi cairan dengan normal saline oleh
karena normal saline memiliki kadar natrium lebih tinggi
dari kadar natrium ekstraselular saat itu disamping oleh
karena air tanpa natrium akan berpindah ke intraselular

33
sehingga akan meningkatkan kadar natrium. Serum natrium
yang lebih tinggi dari pada 150mEq/l memerlukan koreksi
dengan NaCl0,45%.
4. Kalium
Meskipun terdapat kekurangan kalium secara total dalam
tubuh (sampai3 – 5 mEq/kgBB), hiperkalemia ringan
sampai sedang seringkali terjadi. Hal ini terjadi karena shift
kalium dari intra sel ke ekstrasel oleh karena asidosis,
kekurangan insulin, dan hipertonisitas, sehingga terapi
insulin, koreksi asidosis,dan penambahan volume cairan
akan menurunkan konsentrasi kalium serum.Untuk
mencegah hipokalemia, penggantian kalium dimulai setelah
kadar kalium serum kurang dari 5,0, sumber lain
menyebutkan nilai5,5mEq/l. Umumnya, 20– 30 mEq
kalium (2/3 KCl dan1/3 KPO4) pada tiap liter cairan infus
cukup untuk memelihara kadar kalium serum dalam range
normal 4 – 5 mEq/l. Kadang kadang pasien KAD
mengalami hipokalemia yang signifikan. Pada kasus
tersebut, penggantian kalium harus dimulai dengan terapi
KCl40 mEq/l, dan terapi insulin harus ditunda hingga kadar
kalium >3,3 mEq/l untuk menghindari aritmia atau gagal
jantung dan kelemahan otot pernapasan.6,7 Terapi kalium
dimulai saat terapi cairan sudah dimulai, dan tidak
dilakukan jika tidak ada produksi urine, terdapat kelainan
ginjal, atau kadar kalium > 6 mEq/l.1
5. Bikarbonat
Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversial.
Pada pH > 7,0, pengembalian aktifitas insulin memblok
lipolisis dan memperbaiki ketoasidosis tanpa pemberian
bikarbonat. Natrium bikarbonat tidak diperlukan jika pH
>7,0. Sebagaimana natrium bikarbonat, insulin menurunkan
kadar kalium serum, oleh karena itu pemberian kalium

34
harus terus diberikan secara intravena dan dimonitor secara
berkala. Setelah itu pH darah vena diperiksa setiap 2 jam
sampai pH menjadi 7,0, dan terapi harus diulangi setiap2
jam jika perlu.
6. Fosfat
Meskipun kadar fosfat tubuh secara keseluruhan mengalami
penurunan hingga 1,0 mmol/kgBB, kadar fosfat serum
sering kali normal atau meningkat. Kadar fosfat menurun
dengan terapi insulin. Untuk menghindari lemahnya otot
rangka dan jantung serta depresi pernapasan yang
disebabkan hipofosfatemia, pemberian fosfat secara hati-
hati mungkin kadang kadang diindikasikan pada pasien
dengan kelainan jantung, anemia, atau depresi pernapasan
dan pada mereka dengan kadar serum posfat< 1,0 mg/dl.
Ketika diperlukan, 20– 30mEq/l kalium fosfat dapat
ditambahkan pada terapi cairan yang telah diberikan. Untuk
itu diperlukan pemantauan secara kontinu. Pemberian fosfat
juga mencetuskan hipokalsemia simtomatispada
beberapapasien.
7. Magnesium
Biasanya terdapat defisit magnesium sebesar 1 – 2 mEq/l
pada pasien KAD. Kadar magnesium ini juga dipengaruhi
oleh pemakaian obat seperti diuretik yang dapat
menurunkan kadar magnesium darah.Gejala kekurangan
magnesium sangat sulit dinilai dan sering tumpang tindih
dengan gejala akibat kekurangan kalsium, kalium atau
natrium. Gejala yang sering dilaporkan adalah parestesia,
tremor, spame karpopedal, agitasi, kejang, dan aritmia
jantung. Pasien biasanya menunjukkan gejala pada kadar≤
1,2 mg/dl. Jika kadarnya di bawah normal disertai gejala,
maka pemberian magnesium dapat dipertimbangkan.
8. Hiperkloremik asidosis

35
Oleh karena pertimbangan pengeluaran keto acid dalam
urine selama fase awal terapi, substrat atau bahan turunan
bikarbonat akan menurun. Sebagian defisit bikarbonat akan
diganti dengan infus ion klorida pada sejumlah besar salin
untuk mengkoreksi dehidrasi. Pada kebanyakan pasien akan
mengalami sebuah keadaan hiperkloremik dengan
bikarbonat yang rendah dengan anion gap yang normal.
Keadaan ini merupakan kelainan yang ringan dan tidak
akan berbahaya dalam waktu 12 – 24 jam jika pemberian
cairan intravena tidak diberikan terlalu lama.
9. Infeksi yang menyertai
Antibiotika diberikan sesuai dengan indikasi, terutama
terhadap faktor pencetus terjadinya KAD. Jika faktor
pencetus infeksi belum dapat ditemukan, maka antibiotika
yang dipilih adalah antibiotika spektrum luas.
10. Terapi pencegahan terhadap Deep Vein Thrombosis (DVT)
Terapi pencegahan DVT diberikan terhadap penderita
dengan risiko tinggi, terutama terhadap penderita yang
tidak sadar, immobilisasi, orangtua, dan hiperosmolar berat.
Dosis yang dianjurkan 5000 iu tiap8 jam secara subkutan.

36
IV. Monitoring
Semua pasien KAD harus mendapatkan evaluasi laboratorium
yang komprehensif termasuk pemeriksaan darah lengkap dengan profil
kimia termasuk pemeriksaan elektrolit dan analisis gas darah. Pemberian
cairan dan pengeluaran urine harus dimonitor secara hati-hati dan dicatat
tiap jam. Pemeriksaan EKG harus dikerjakan kepada setiap pasien,
khususnya mereka dengan risiko kardiovaskular. Terdapat bermacam
pendapat tentang frekuensi pemeriksaan pada beberapa parameter yang
ada. Ada merekomendasikan pemeriksaan glukosa, elektrolit, BUN,
kreatinin, osmolalitas dan derajat keasaman vena tiap 2 – 4 jam sampai

37
keadaan stabil tercapai. Sumber lain menyebutkan pemeriksaan gula
darah tiap1 – 2 jam. Pemeriksaan kadar gula darah yang sering adalah
penting untuk menilai efikasi pemberian insulin dan mengubah dosisi
nsulin ketika hasilnya tidak memuaskan. Ketika kadar gula darah 250mg/
dl, monitor kadar gula darah dapat lebih jarang (tiap 4 jam). Kadar
elektrolit serum diperiksa dalam interval 2 jam sampai 6 – 8 jam terapi.
Jumlah pemberian kalium sesuai kadar kalium, terapi fosfat sesuai
indikasi. Titik terendah kadar kalium dan fosfat pada saat terapi terjadi 4-
6 jam setelah mulainya terapi.

V. Komplikasi Terapi
Komplikasi yang paling sering dari KAD adalah hipoglikemia oleh
karena penanganan yang berlebihan dengan insulin, hipokalemia yang
disebabkan oleh pemberian insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat,
dan hiperglikemia sekunder akibat pemberian insulin yang tidak kontinu
setelah perbaikan tanpa diberikan insulin subkutan.Umumnya pasien
KAD yang telah membaik mengalami hiperkloremia yang disebabkan
oleh penggunaan cairan saline yang berlebihan untuk penggantian cairan
dan elektrolit dan non-anion gap metabolic acidosis seperti klor dari
cairan intravena mengganti hilangnya ketoanion seperti garam natrium
dan kalium selama diuresis osmotik. Kelainan biokemikal ini terjadi
sementara dan tidak ada efek klinik signifikan kecuali pada kasus gagal
ginjal akut atau oliguria ekstrem. Edema serebri umumnya terjadi pada
anak-anak, jarang pada dewasa.Tidak didapatkan data yang pasti
morbiditas pasien KAD oleh karena edema serebri pada orang dewasa.
Gejala yang tampak berupa penurunan kesadaran, letargi, penurunan
arousal, dan sakit kepala.Kelainan neurologis dapat terjadi cepat, dengan
kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradikardia, dan kegagalan
respirasi. Meskipun mekanisme edema serebri belum diketahui,
tampaknya hal ini merupakan akibat dari masuknya cairan kesusunan
saraf pusat lewat mekanisme osmosis, ketika osmolaritas plasma
menurun secara cepat saat terapi KAD. Oleh karena terbatasnya

38
informasi tentang edema serebri pada orang dewasa, beberapa
rekomendasi diberikan pada penanganannya, antara lain penilaian klinis
yang tepat dibandingkan dengan buktiklinis. Pencegahan yang tepat
dapat menurunkan risiko edema serebri pada pasien risiko tinggi,
diantaranya penggantian cairan dan natrium secara bertahap pada pasien
yang hiperosmolar (penurunan maksimal pada osmolalitas 2
mOsm/kgH2O/jam), dan penambahan dextrose untuk hidrasi ketika
kadar gula darah mencapai 250mg/dl. Hipoksemia dan kelainan yang
jarang seperti edema paru nonkardiak dapat sebagai komplikasi KAD.
Hipoksemia terjadi mengikuti penurunan tekanan koloid osmotik yang
merupakan akibat peningkatan kadar cairan pada paru dan penurunan
compliance paru. Pasien dengan KAD yang mempunyai gradien toksigen
alveolo-arteriolar yang lebar yang diukur pada awal peneriksaan analisa
gas darah atau dengan ronki pada paru pada pemeriksaan fisik tampaknya
mempunyai risiko tinggi untuk menjadi edema paru.

39
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien STR, Wanita 58 tahun dirawat dengan diagnosis Penurunan


kesadaran e.c Ketoasidosis diabetik dan diabetes melitus tipe II dengan
hiperglikemia. Pada kasus ini diperlukan pengelolaan yang intensive dengan
monitoring di ICU karena terjadinya penurunan kesadaran, ventilasi paru yang
tidak adekuat, dan hiperglikemi karena di dapatkan GDS 379

Pengelolaan pasien di ICU meliputi tindakan resusitasi yang meliputi


dukungan hidup untuk fungsi-fungsi vital seperti : Airway (fungsi jalan napas),
Breathing (fungsi pernapasan), Circulation (fungsi sirkulasi), Brain (fungsi otak)
dan fungsi organ lain, dilanjutkan dengan diagnosis dan terapi definitif. Pada
kasus ini airway patent , breathing spontan, dan sirkulasi terdapat peningkatan
tekanan darah, fungsi ini dimonitor memakai alat. Dan juga pada brain pasien ini
mengalami gangguan dilihat dari kesadaran pasien yang menurun

Pasien diberi cairan NaCl intravena untuk mengatasi dehidrasi dan KCl 20
mEq diberikan dalam syringe pump 60 ml/jam. Diberikan insulin Novorapid
(20/20) sambil dicek GDS pasien. Pada hari pertama di ICU balance cairan pasien
(+) 1150 ml/hari .

40
DAFTAR PUSTAKA

1. SoewondoP.KetoasidosisDiabetik.In:Sudoyo AW, SetiyohadiB, AlwiI,


SimadibrataM, Setiati S,editors. Bukuajar Ilmu Penyakit Dalam. 4 th ed.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2006.
p.1896-9.
2. VanZylDG. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis. SAFam Prac
2008; 50:39-49.
3. Masharani U. Diabetic ketoacidosis. In:McPhee SJ, Papadakis MA, editors.
Lange current medical diagnosis and treatment. 49 th ed.New York: Lange;
2010. p.1111-5.
4. ChiassonJL. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis and the
hyperglycemic hyperosmolar state.Canadian Medical Association Journal
2003;168(7):859-66.
5. YehiaBR, EppsKC, GoldenSH. Diagnosis and management of diabetic
ketoacidosis in adults. Hospital Physician 2008;15:21-35.
6. Umpierrez GE, Murphy MB, KitabachiAE. Diabetic ketoacidosis and
hyperglycemic hyperosmolar syndrome. Diabetes Spectrum 2002;15(1):28-
35.
7. American Diabetes Association. Hyperglycemic crisis in diabetes. Diabetes
Care 2004; 27(1):94- 102.
8. AlbertiKG. Diabetic acidosis, hyperosmolar coma, and lactic Acidosis. In:
Becker KL, editor. Principles and practice of endocrinology and metabolism.
3 rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams& Wilkins;2004.p.1438-49.
9. EnnisED, KreisbergRA. Diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic
hyperosmolar syndrome. In:LeRoithD, TaylorSI, OlefskyJM, editors.
Diabetes mellitus a fundamental and clinical text.2 nded. Philadelphia:
Lippincott Williams& Wilkins;2000.p.336-46.
10. WallaceTM, Matthews DR.Recent advances in the monitoring and
management of diabetic ketoacidosis.Q JMed2004;97(12):773-80.
11. Trachtenbarg DE. Diabetic ketoacidosis. American Family Physician
2005;71(9): 1705-14.

41
12. Kitabachi AE, WallBM. Management of diabetic ketoacidosis. American
Family Physician 1999;60:455-64.

42

Anda mungkin juga menyukai