Anda di halaman 1dari 4

Mahkamah The Guardian Of The Constitution

Oleh: Furqan Jurdi


Ketua Komunitas Pemuda Madani & Aktivis Muda
Muhammadiyah

Sidang Perkara Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di


Mahkamah Konstitusi disaksikan oleh jutaan mata,
semua harapan tertuju pada Mahkamah untuk
menyelesaikan sengketa Pemilu 2019.
Pemohon menggugat Keputusan KPU Nomor 987/PL
01.8-Kpt/06/KPU/V/2019 tentang Penetapan Hasil
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Secara Nasional Dalam Pemilihan Umum Tahun 2019 juncto
Berita Acara KPU RI Nomor 135/PL.01.8-BA/06 KPU/V/2019 tentang Rekapitulasi Hasil
Penghitungan Perolehan Suara di Tingkat Nasional dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum
Tahun 2019; khususnya yang terkait dengan hasil pemilu presiden dan wakil presiden tahun
2019
Pemohon mendalilkan telah terjadi pelanggaran terstruktur, sistematis dan Massif dalam
pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019. Dengan dalil itu Pemohon dalam petitumnya
meminta kepada Mahkamah untuk mengabulkan 7 (tujuh) point atau 4 (empat) point, atau 4
(empat) point lainnya dari keseluruhan 15 point petitum yang dimohonkan, sepanjang itu
mengenai PHPU Pilpres 2019.
Setidaknya ada 4 point penting permohonan dalam petitum, Yaitu: Pertama, membatalkan
keputusan KPU Nomor 987/PL 01.8-Kpt/06/KPU/V/2019 tentang penetapan hasil pemilu
2019; Kedua menyatakan perolehan suara Capres dan Cawapres 01. Ir. H. Joko Widodo – Prof.
Dr. (H.C) KH. Ma’ruf Amin H. 63.573.169 (48%) dan perolehan suara 02 Prabowo Subianto
– H. Sandiaga Salahuddin Uno 68.650.239 (52%) dengan total Jumlah suara secara nasional
132.223.408 (100,00%); Ketiga; Meminta Kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan
secara sah dan meyakinkan telah melakukan Pelanggaran Terstruktur, sistematis dan Massif,
sehingga Capres dan Cawapres 01 Jokowi Ma'ruf bisa didiskualifikasi; Keempat, Meminta
Mahkamah untuk menetapkan Pasangan Capres dan Cawapres Prabowo-sandi sebagai
Presiden dan Wakil Presiden.
Petitum tersebut dapat disebut sebagai kesimpulan dari adanya dugaan pelanggaran terstruktur,
sistematis dan massif yang terjadi sejak tahap awal pemilu hingga sampai pada rekapitulasi
suara. Karena itu Tim Kuasa Hukum BPN tidak menghadirkan saksi atau ahli hukum, tetapi
menghadirkan saksi dan ahli yang mampu menjelaskan kecurangan TSM itu dari mulai
Persoalan DPT hingga sistem Perhitungan Suara KPU.
Sidang kali ini memang agak unik dan rumit. Karena Kuasa Hukum BPN tidak menghadirkan
ahli dibidang hukum, tetapi menghadirkan ahli dari bidang yang berkaitan dengan Dugaan
pelanggaran yang di dalilkan dalam permohonan. Ini bagi saya merupakan satu cara yang sulit
untuk diprediksi oleh para pihak. Karena biasanya perkara di Mahkamah pasti menghadirkan
ahli hukum, tetapi Tim Kuasa Hukum BPN ingin membuktikan bahwa telah terjadi
pelanggaran TSM itu karena ada skenario besar yang melibatkan pihak-pihak yang berkaitan
dengan pemilu.
Sebaliknya Pihak Termohon, dalam hal ini KPU, juga menghadirkan ahli untuk membantah
keterangan yang disampaikan oleh saksi dan ahli yang diajukan oleh BPN. Sementara pihak
terkait, TKN menghadirkan ahli hukum untuk mementahkan gugatan yang diajukan oleh Tim
Kuasa Hukum BPN.
Namun ada yang menarik, Apa yang diungkapkan oleh Saksi dan Ahli IT yang dihadirkan oleh
BPN sejauh ini belum dibantah oleh saksi dan Ahli yang dihadirkan oleh Pemohon maupun
Pihak terkait.
Sementara pihak Termohon menghadirkan saksi dan ahli yang menjelaskan dari sisi lain, untuk
mematahkan argumentasi dalam permohonan BPN. Sementara pihak Terkait (TKN)
menghadirkan saksi dan ahli yang lebih berat kepada argumentasi hukum.
Apapun yang terjadi dalam sidang itu, Mahkamah berhak menilai mana yang menurut
Mahkamah lebih rasional dan mampu meyakinkan hakim mahkamah untuk mengambil
keputusan sesuai dengan keadilan dan kebenaran yang sejati.

Menyikapi Pelanggaran TSM

Melihat permohonan pemohon dan keterangan saksi pemohon maupun ahli yang diajukan,
pembuktian pelanggaran TSM itu dapat diterima apabila Bukti dan keterangan Saksi maupun
ahli dapat menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan TSM ini, meskipun itu bukan dari
perspektif hukum.
Disebut sebagai pelanggaran Terstruktur adalah pelanggaran yang melibatkan struktur
organisasi pemerintahan untuk memenangkan Paslon berdasarkan "garis perintah komandan",
yang membuktikan secara tekstual sangat sulit, sebab melibatkan struktur kekuasaan. Disebut
sebagai pelanggaran sistematis karena terdapat modus operandi yang yang direncanakan secara
matang. Sedangkan Massif adalah dampak dari kejahatan itu sangat besar dan luas.
Untuk menjelaskan itu tidak cukup mengandalkan argumentasi hukum semata, tetapi harus
menghadirkan saksi, maupun ahli yang benar-benar tahu dan mengerti dimana kecurangan itu
terjadi. Ini akan keluar dari perdebatan teori hukum, melainkan perdebatannya ditarik pada
arena dititik mana kecurangan itu terjadi.
Apabila hal itu dapat dijelaskan oleh pemohon kepada Mahkamah, maka mahkamah harus
meninggalkan sengketa yang mempersoalkan angka semata. Yang menjadi bidikan Mahkamah
adalah melihat ada atau tidaknya pelanggaran. Apabila pelanggaran itu terbukti secara sah
meyakinkan dari bukti dan keterangan yang sampaikan di pengadilan, tugas Mahkamah adalah
memastikan asas Pemilu sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 22E ayat 1 tidak dinodai
oleh kecurangan.
Sikap Mahkamah yang dituangkan dalam Putusannya nanti adalah Memastikan tidak adanya
kecurangan dalam pemilu. Memastikan tidak adanya kecurangan dalam proses demokrasi
merupakan syarat utama untuk menjaga konstitusi dan kaidah demokrasi. Ďalam hal ini
Mahkamah berdiri untuk konstitusi, khususnya menjaga Pasal 1 ayat 2, bahwa Kedaulatan
berada ditangan Rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
UUD menyebutkan kedaulatan berada di tangan rakyat dan salah satu pelaksanaan kedaulatan
rakyat itu menyelenggarakan pemilu. Sedangkan asas Pemilu adalah Langsung, bebas umum,
rahasia, jujur dan adil (Pasal 22E). Jadi kalau pemilu itu tidak luber dan jurdil, sekecil apapun
itu, Mahkamah harus mengambil sikap tegas demi tegaknya konstitusi.
Artinya Tidak ada toleransi bagi pengkhianat konstitusi. apabila kecurangan ditoleransi karena
alasan tidak mampu menutupi angka selisih suara, sama dengan mentoleransi adanya
pelanggaran dan pengkianatan konstitusi.
Maka, sangat penting Mahkamah tidak sekedar melihat PHPU ini sebatas perkara angka-angka,
atau hanya sebatas argumentasi hukum yang tekstual. Lebih jauh, Mahkamah
harus memastikan asas dan norma konstitusi tidak dikhianati oleh siapapun. Maka besar
haralan Mahkamah melihat sengketa ini dalam kerangka konstitusionalitas pelaksaan pemilu
yang Luber dan Jurdil.

The Guardian Of The Constitution

Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) bermakna
pula sebagai penegak dan pembuka pintu keadilan benar-benar diharapkan dapat
mengejawantahkan dirinya, sehingga memberikan harapan masa depan akan negara dan
bangsa ini bagi para pencari keadilan (justice seekers).
Mahkamah harus membuka mata pada berbagai dinamika yang berkembang dalam masyarakat
khusunya dalam konteks sosial dan politik berbangsa dan bernegara. Adanya Kebuntuan
nasional, terbelahnya warga masyarakat dan terkoyaknya rasa persatuan bangsa adalah
merupakan bagian yang dipertimbangkan oleh Mahkamah untuk menggali kebenaran demi
tegaknya keadilan dan kebenaran yang hakiki.
Mahkamah dalam melihat PHPU ini, wajib memandang kondisi sosial, politik, budaya dan
agama yang tengah bergolak ditengah masyarakat. Bukan semata-semata memeriksa perkara
Hasil Pemilu tokh, tetapi harus melihat juga dampak sosial dan politiknya.
Karena itu, mahkamah kini benar-benar menjadi tumpuan harapan akan tegaknya keadilan
substantif, bukan sekedar keadilan yang bersifat numerik. hakim konstitusi adalah orang-orang
yang mulia akan dikenang oleh sejarah sebagai insan-insan terhormat yang kukuh
mengedepankan panji-panji kejujuran dan keadilan dalam naungan nilai ke-Tuhanan
sebagaimana didambakan hati nurani rakyat Indonesia.
Sebagaimana telah ditegaskan di atas bahwa prinsip keadilan normatif harus dikongkritkan
menjadi keadilan substantif. Untuk tercapainya keadilan subtantif sudah tentu perlu digali
secara progresif suatu persoalan sampai ke akar, jiwa dan ruhnya.
Oleh karena itu Mahkamah sebagai Penjaga moral berbangsa dan bernegara sebagai penjaga
Konstitusi disebut sebagai negarawan yang kedudukannya sangat mulia, harus memandang
kondisi bangsa dan negara ini secara menyeluruh sampai pada akar masalahnya.
Hal tersebut juga berkaitan dengan sengketa Pilpres 2019 yang di uji ini. Mahkamah harus
menggali sedalam-dalamnya kondisi dan dinamika yang terjadi sepanjang pemilu ini. Mulai
dari perencanaan hingga sampai pencoblosan dan rekapitulasi suara. Adapun angka yang
tertera itu adalah bagian dari bukti, bukan menjadi alasan utama Mahkamah menjatuhkan
putusan.
Penulis berharap Mahkamah, benar-benar menjadi Penjaga Konstitusi dan menjadi benteng
tegaknya keadilan yang sesungguhnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga
tidak ada beban masa lalu yang ditinggalkan kepada generasi yang akan datang.

Wallahualam bis shawab.

Anda mungkin juga menyukai