Kisah seperti ini bukanlah suatu karangan fiktif, melainkan menggambarkan situasi
setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17.8.1945, di mana sebelum terbentuknya
Tentara Nasional Indonesia (TNI), kelompok-kelompok masyarakat/pemuda
membentuk sendiri berbagai laskar dan pasukan bersenjata serta menentukan
sendiri pangkat yang mereka sandang.
Ada yang “lahir” sebagai kapten, ada yang langsung mendapat pangkat kapten dan
10 menit kemudian naik menjadi mayor. Bahkan ada yang tidak tanggung2
mengangkat dirinya menjadi Mayor Jenderal dan Laksamana.
Bulan Desember 1947 Perdana Menteri Mr. Amir Syarifuddin Harahap menyusun
konsep untuk Re-Ra. Namun dia meletakkan jabatannya setelah persetujuan
Renville, dan diganti oleh Drs. M. Hatta. Pelaksanaan Re-Ra dilakukan oleh Kabinet
Hatta.
Waktu itu TNI masih mengikuti sistim kepangkatan Belanda, yang tidak mengenal
pangkat Brigadir Jenderal. Setelah tahun 50-an, TNI mengkuti sistim kepangkatan
Inggris, baru diberlakukan pangkat Brigadir Jenderal di TNI.
Yang tidak mau diturunlan pangkatnya, mengundurkan diri dari dinas ketentaraan,
dan pensiun dengan pangkat terakhirnya.
Setelah Jenderal Sudirman meninggal Januari 1950, TNI tidak memiliki seorang pun
dengan pangkat Jenderal. Pangkat tertinggi di TNI adalah kolonel. Kepala Staf
Angkatan Perang (KSAP), Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), para Panglima
Divisi, semua berpangkat kolonel.
Sampai tahun 1950, pangkat tidak penting. Yang penting adalah jabatan seseorang.
Komandan Sub-Wehrkreis ada yang mayor, dan ada yang letnan. Ketika serah-
terima perlengkapan KNIL ke TNI bulan Januari 1950, kepala delegasi adalah letnan
kolonel, yang menjabat sebagai Kepala Staf ‘Q” (logistik) sedangkan wakilnya
berpangkat kolonel.
Kelompok pemuda revolusioner menginginkan bahwa Peta, Heiho dan Gyugun yang
dibentuk oleh Jepang, menjadi basis dari Angkatan Perang Republik Indonesia.
Namun para pemimpin lain kuatir, pembentukan Angkatan Perang Republik
Indonesia akan menimbulkan konflik dengan tentara Sekutu, yang diperkirakan akan
segera tiba di Jakarta.
Walau pun tentara Jepang telah melucuti persenjataan yang telah mereka berikan
kepada satuan-satuan Peta dan Heiho, namun sejak diumumkan pembentukan KNI-
D dan BKR, tokoh-tokoh pemuda/masyarakat di berbagai kota dan daerah di
Indonesia mulai mengambil alih kepemimpinan, baik pemerintahan sipil maupun
militer.
Berbeda dengan Angkatan darat Jepang, banyak perwira tinggi Angkatan Laut
Jepang, seperti L:aksamana Maeda, sangat bersimpati dengan Indonesia, dan
bahkan membantu pimpinan Indonesia.
Kebanyakan laskar-laskar itu tidak memiliki senjata, atau kalaupun ada, rasio jumlah
senjata dengan jumlah pasukan satu berbanding lebih dari sepuluh. Artinya satu
senjata peninggalan atau yang dirampas dari tentara Jepang, untuk sepuluh orang
atau lebih.
Oleh karena itu, pada tahun 1948 dilaksanakan yang dinamakan Reorganisasi dan
Rasionalisasi (Re-Ra) di tubuh TNI, di mana semua laskar-laskar dilebur ke dalam
tubuh TNI dengan sistim kepangkatan yang jelas. Rasio senjata dengan jumlah
serdadu ditetapkan menjadi satu banding empat. Boleh dikatakan, semua perwira
dan bintara mengalami penurunan pangkat.
Setelah Re-Ra, yang menyandang pangkat perwira tinggi hanya tinggal dua orang,
yaitu Letnan Jenderal Sudirman, yang adalah Panglima Besar/Kepala Staf Angkatan
Perang, dan Mayor Jenderal Oerip Soemohardjo, Kepala Staf Umum. Pada waktu
itu, TNI masih mengikuti sistim kepangkatan tentara Belanda, yang tidak mengenal
pangkat Brigadir Jenderal. Setelah Oerip Soemohardjo (akhir 1949) dan Sudirman
(Januari 1950) meninggal, TNI tidak memiliki seorang perwira tinggi dengan pangkat
Jenderal. Pangkat tertinggi waktu itu adalah kolonel.
Akhirnya, sebelum pulang diadakan satu pembicaraan dan satu persetujuan, bahwa
sekarang ada truce agreement dan bahwa di dalam truce agreement itu akan
diadakan satu joint committee dan di dalam joint committee dari Inggris adalah
Brigadir Jenderal Mallaby, Kolonel Pugh, Mayor Hudson, Kapten Shaw, Wing
Commander Groom. Dari pihak Indonesia adalah Residen Sudirman, Dul Arnowo,
Atmaji, Muhamad, Sungkono, Suyono, Kusnandar, Ruslan Abdulgani, Kundan.
Saya sekretaris, sana Kapten Shaw. Kapten, sekretaris juga. Des Alwi sama lain lain
itu masuk:
“Eh, Cak, kamu itu berunding dengan siapa?”,
“Itu Kapten Shaw”,
“Lha pangkat mu opo?”, (pangkatmu apa?)
“Ndak duwé opo-opo”, (Nggak punya apa-apa)
“Ayo jadi Kapten”,
because Shaw is a Captain, I should also be a Captain, terus lapor nanggoné
Mustopo. (karena Shaw adalah Kapten, saya harus jadi Kapten juga. Terus melapor
ke tempat Mustopo)
“Mus!”,
“Opo!”, (apa)
“Ruslan dadékno kapten!”, (Ruslan kamu jadikan kapten!)
“Kenopo!”, (mengapa)
“Ngadepi Kapten!”, (menghadapi kapten!)
“Dadékno kono!” (jadikan sana!)
Terus pergi ke Sungkono saya dapat pakaian dengan bintang tiga. Baru saya ngerti
kalau kapten itu bintang tiga.
Terus dibisiki: “Cak, engko né ono letnan, kon ojo ngéné (maksudnya hormat-red),
letnané kudu ngéné”, [Cak, nanti kalau ada letnan, kamu jangan gini (beri hormat-
pen.), letnannya yang harus begini]
“Oh, ya”
“Itu nék kolonel kon sing ngéné”, (itu kalau kolonel, kamu yang harus gini)
“Nék podo kapten?”, (kalau sama-sama kapten?)
“Menengo waé!” (Ya diam saja!)
Maafkan saudara, a Captain is born. (seorang kapten telah lahir)
"Sudah waktunya you dapat pangkat, Kapten,” kata jenderal Didi tiba-tiba.
Lalu beliau mengetuk pintu kamar kerja Menteri Amir Syarifuddin dan membukanya.
“Minister,” kata Jenderal Didi memulai pembicaraan. Seperti biasa, percakapan
dilakukan dalam bahasa Belanda. “Vindt U goed dat ik hem Kapitein maak? Hij heeft
nog geen rang.” (Apakah Anda setuju saya jadikan dia Kapten? Ia belum
mempunyai pangkat.)
“O zeker, zeker,” (O, tentu saja, tentu saja) kata Menteri Amir. Beliau cuma
manggut-manggut saja. Tak sedikit pun mengangkatkan dagunya. Apalagi melihat
kepada sayapun, tidak.
“Wel gefeliciteerd!” (Selamat!) katanya. Lalu meneruskan dengan tugasnya:
membaca apa yang dipegangnya, sehelai kertas, entah apa isinya.
“Panggil Mokoginta dan Kusno Utomo,” kata Jenderal Didi kemudian, di luar kamar
kerja Menteri.
Saya pergi, menyeberangi jalan dan menyampaikan panggilan Jenderal Didi.
Mokoginta dan Kusno Utomo kelihatan kaget.
“Apakah Pak Didi masih marah?” tanya salah seorang di antara mereka.
“Tidak,” jawab saya. “Saya rasa, kalian akan diberi pangkat.”
Ternyata memang benar begitu. Pak Didi mengantarkan mereka ke kamar Menteri
dan masuk.
“Minister, vindt U goed dat ik hen beiden Kapitein maak?” (Bapak Menteri, apakah
Anda setuju saya jadikan mereka berdua Kapten?)
Menteri menjawab lagi, “Zeker-zeker, wel gefeliciteerd.” (Tentu, tentu, selamat).
Mereka lalu keluar dari kamar kerja Menteri. Lalu Jenderal Didi berkata, “Dulu, kalian
bertiga satu kelas di KMA atau di CORO?”
“Bukan,” jawab Mokoginta dan Kusno Utomo hampir berbarengan. “Kusno di CORO,
Mokoginta di KMA. Dan Kawilarang satu kelas lebih tinggi di KMA.”
“Kalau begitu, panggil lagi Kawilarang!” kata Jenderal Didi.
Saya, yang sudah tidak di gedung itu, dipanggilnya lagi.
Waktu sudah ada di depan Jenderal Didi, saya harus mendengarkan Jenderal itu
berkata, “Jij was een klas hoger. Je wordt majoor. Kom mee naar de Menteri!”
(Kamu dulu satu kelas lebih tinggi. Kamu jadi Mayor. Mari ikut saya ke Menteri).
Maka saya dibawa lagi ke kamar kerja Menteri Amir. Jenderal Didi mengetuk pintu
kamar kerja Menteri dan kami masuk.
“Minister, hij was een klas hoger. Vindt U goed dat ik hem majoor maak?” (Bapak
Menteri, dia ini dulu satu kelas lebih tinggi. Apakah Anda setuju saya jadikan dia
mayor?).
Menteri Amir menjawab:”Zeker, zeker. Wel gefeliciteerd!” (Tentu, tentu. Selamat!).
Sesudah sepuluh menit berpangkat kapten, saya “dipromosikan” atau diubah
pangkat saya menjadi mayor. Memang begitulah di zaman revolusi.
Catatan:
KMA = Koninklijke Militaire Academie (Akademi Militer Kerajaan Belanda).
CORO = Corps Opleiding Reserve Officieren (Korps Pendidikan Perwira Cadangan)
3. Kawilarang, Alex E., Untuk Sang Merah Putih, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
1988.