Anda di halaman 1dari 22

A.

Pendahuluan
Saat ini Indonesia tengah menghadapi transisi demografi dan epidemiologi. Transisi
demografi yang terjadi menjadikan penduduk Asia Tenggara termasuk Indonesia di
kelompok usia produktif akan mencapai 70 persen lebih besar dibandingkan penduduk usia
lanjut. Hal itu diperkirakan terjadi pada tahun 2020-2030 (Badan Litbangkes Kementerian
Kesehatan RI, 2019).
Hasil riset Analisis Beban Penyakit Nasional dan Sub Nasional Indonesia Tahun 2017
yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes)
bekerjasama dengan Institute For Health Metrics and Evaluation (IHME) mencatat telah
terjadi transisi epidemiologi PM ke PTM dari tahun 1990 menuju tahun 2017. Pada tahun
1990 penyakit terbesar adalah penyakit menular/kia/gizi sebesar 51.30%, diikuti penyakit
tidak menular (39.8%) dan cedera (8.9%). Namun di tahun 2017 penyakit terbesar adalah
penyakit tidak menular sebesar 69.9% diikuti penyakit menular/kia/gizi (23.6%) dan cedera
(6.5%). Yang perlu diwaspadai tentunya adanya DALY Lost (DALYs) atau disability
adjusted life year. DALYs merupakan jumlah tahun yang hilang untuk hidup sehat karena
kematian dini, penyakit atau disabilitas. Kewaspadaan ini diperlukan agar harapannya terjadi
peningkatan healthy life expectancy(HALE) bagi penduduk Indonesia yaitu harapan
seseorang untuk hidup dalam kondisi sehat sepenuhnya (Badan Litbangkes Kementerian
Kesehatan RI, 2019).
Hasil riset ini juga mencatat penyebab utama tahun yang hilang akibat beban penyakit
pada tahun 1990 adalah neonatal disorders, lower respiratory infection, diarrheal disease,
tuberculosis dan stroke. Pada tahun 2017, lima penyebab utama beban penyakit disebabkan
diabetes, stroke, ischemic hearth disease, neonatal disorders dan tuberkulosis. Perlu
diwaspadai tahun yang hilang akibat beban penyakit yang meningkat cukup tajam dari tahun
1990 ke tahun 2017 akibat diabetes (157,1%), ischemic heart disease/IHD (113,9%) dan lung
cancer(113,1%) (Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI, 2019).
Menurut WHO (2014), penyakit tidak menular (PTM) menyebabkan lebih banyak
kematian dibanding penyebab lain, dan diproyeksikan angkaini akan terus bertambah dari 38
juta kematian di tahun 2012 menjadi 52 juta kematian di tahun 2030. Empat PTM utama,
yakni Diabetes Melitus (DM), penyakit kardiovaskuler, kanker, dan penyakit pernapasan
kronis, menjadi penyebab pada 82% kematian akibat PTM secara umum (Gerstman, B. Burt,
2013).
Selain itu hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995-2001 dan Riskesdas
2013 menunjukkan bahwa PTM seperti DM, stroke, hipertensi, tumor, dan penyakit jantung
merupakan penyebab kematian utama di Indonesia. Proporsi kematian akibat PTM meningkat
dari 41,7% tahun 1995 menjadi 49,9% tahun 2001, kemudian meningkat menjadi 59,5% pada
tahun 2007. Data berdasarkan data SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) 1995, 2001 dan
Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar, 2007).

Salah satu PTM dengan proporsi yang cukup tinggi di Indonesia dan merupakan
penyebab kematian tertinggi ke enam di negara ini adalah DM. Kenaikan jumlah kasus DM
erat kaitannya dengan transisi demografi.Transisi demografi yang disebabkan oleh
peningkatan kualitas hidup berhubungan dengan peningkatan kasus DM. Hal ini dikarenakan
perubahan struktur pekerjaan penduduk, yang sebelumya didominasi sektor pertanian
menjadi sektor pabrik dan jasa menyebabkan berkurangnya aktivitas fisik sehingga energi
yang dikonsumsi lebih besar dari energi yang dikeluarkan.Hal tersebut ditengarai
menyebabkan obesitas yang merupakan salah satu faktor risiko DM ( Sarimawar, Djaja.
2012).
B. Transisi Demografi
Transisi demografi merupakan suatu kondisi yang menggambarkan perubahan
parameter demografi yaitu fertilitas, mortalitas dan migrasi. Zelinsky (1971), menyatakan
bahwa transisi fertilitas dan mortalitas sebagai transisi vital, sedangkan transisi demografi
terdiri dari transisi vital dan transisi mobilitas. Berbeda dengan Zelinski, Notenstein (1945)
menegaskan bahwa transisi demografi hanya memperhatikan perubahan fertilitas dan
mortalitas atau dengan kata lain disebut sebagai perubahan secara alamiah (Sonny Harry,
2011).
Transisi Demografi : Proses perubahan jumlah penduduk dari angka fertilitas dan
mortalitas yang tinggi ke jumlah penduduk dengan angka fertilitas dan mortalitas yang
rendah (Sarimawar, Djaja. 2012).
Transisi demografis, ditandai dengan meningkatnya proporsi usia lanjut, masih
tingginya kemiskinan, dan lain-lain (Jane Soepardi, 2012).
PBB (1989) membagi transisi demografi ke dalam 4 tahap, yaitu:
1. Pada tahap pertama angka fertilitas (kelahiran) masih sangat tinggi, ditandai dengan
indikator Total Fertility Rate (TFR) di atas 6, dan angka mortalitas (kematian) juga
tinggi. Sedangkan usia harapan hidup waktu lahir rendah yaitu kurang dari 45 tahun.
Pada tahap ini laju pertumbuhan penduduk sangat rendah. Jumlah kelahiran dan
kematian cenderung sangat tinggi dan tidak terkendali setiap tahunnya. Berbagai
faktor penyebab kematian ikut mempengaruhi di antaranya adanya peperangan, gagal
panen dan kelaparan sebagai akibat tingginya harga-harga pangan serta meluasnya
wabah penyakit menular.
2. Tahap kedua ditandai dengan mulai menurunnya angka mortalitas dengan cepat
karena penemuan obat-obatan antibiotik, revolusi industri dan kemajuan teknologi.
Angka kelahiran sudah menunjukkan penurunan tetapi sangat lambat. TFR pada tahap
ini berkisar antara 4,5-6, sedangkan usia harapan hidup waktu lahir berkisar antara 45-
55 tahun.
3. Tahap ketiga, ditandai dengan kematian yang terus menurun tetapi penurunannya
mulai melambat. Angka harapan hidup berkisar antara 55-65 tahun, sedangkan TFR
mengalami penurunan dengan cepat sebagai akibat adanya program keluarga
berencana dan tersedianya alat kontrasepsi secara luas. Pada tahap ini tingkat
pendidikan mulai meningkat.
4. Tahap keempat ditandai dengan angka kelahiran dan kematian yang sudah rendah
dan tingkat pertumbuhan penduduk yang juga rendah. Pada tahap ini usia atau angka
harapan hidup mencapai lebih dari 65 tahun dan TFR di bawah 3. Proses transisi
demografi dianggap berakhir ketika fertilitas mencapai NRR (net reproduction rate) =
1. Tahap ini biasanya dialami oleh negara yang sudah maju (Sonny Harry, 2011).
Proses transisi vital dimulai dengan adanya modernisasi dan industrialisasi serta
transformasi dalam berbagai segi kehidupan secara simultan. Jika pada awal transisi ditandai
dengan angka mortalitas yang tinggi, di mana disebabkan oleh: a) penyakit dan iklim, b)
teknik kedokteran belum maju, c) pangan kurang mencukupi; dan d) pendidikan dan standar
hidup rendah. Angka fertilitas pada masa ini juga tinggi yang disebabkan oleh: a) angka
kematian bayi tinggi sehingga menyebabkan orang ingin mempunyai anak lebih banyak, b)
nilai anak merupakan alat produksi dalam bidang pertanian, c) kepercayaan dan tradisi yang
bersifat pronatalis, d) anak menjadi investasi untuk mengurus orang tua di masa depan.
Ketika modernisasi dan industrialisasi berlangsung, terjadi penurunan angka mortalitas
karena ditemukannya vaksin dan obat-obatan antibiotika, serta penurunan angka fertilitas
karena pertumbuhan kesejahteraan dan ekonomi (Sonny Harry, 2011).
Transisi demografi pada dasarnya dimulai pada tahun 1929 sebagai perubahan
deskripsi demografis menggunakan klasifikasi populasi menjadi tiga kelompok sesuai dengan
kombinasi yang berbeda dari tingkat kematian dan kesuburan menghasilkan tiga kelompok
negara dengan tingkat pertumbuhan populasi yang berbeda. Landry menggambarkan
demografis revolusi yang ditandai oleh tiga rezim demografis yaitu rezim primitif yang
terkait dengan penghidupan ekonomi membatasi pengurangan angka kematian, rezim
perantara dengan penurunan kesuburan karena pernikahan terlambat, dan rezim modern di
mana kesuburan adalah objek sadar batasan. Formulasi klasik transisi demografis dianggap
berasal dari FrankW. Notestein sebuah konsep dasar dalam demografi modern. Transisi
demografi adalah deskripsi berbaur dengan penjelasan penurunan kematian dan kesuburan
dari tarif tinggi ke rendah seperti yang secara historis dialami oleh populasi di masyarakat
berpenghasilan tinggi di Eropa, Amerika Utara dan Australia, dan diperkirakan sebagai
prinsip universal diharapkan terjadi saat ini di populasi tengah dan negara berpenghasilan
rendah. Sebagai konsep deskriptif, transisi demografis adalah karakterisasi situasi jangka
panjang perubahan populasi dalam tiga transisi rezim: rezim pra-transisi dengan quasi-
equilibrium mortalitas tinggi dan berfluktuasi serta kesuburan tinggi, pertumbuhan atau
penurunan populasi yang sederhana.Ssebuah transisi rezim ditandai oleh disekuilibrium
sementara penurunan angka kematian diikuti oleh penurunan angka kelahiran yang memicu
pertumbuhan populasi; dan rezim pasca transisi dengan quasi-equilibrium kematian rendah,
rendah dan bisa dibayangkan fluktuasi kesuburan dan laju pertumbuhan populasi yang
menurun. Kenaikan diikuti oleh penurunan tingkat pertumbuhan populasi menghasilkan
transisi demografi berbentuk U terbalik. Dari perspektif penjelasan, perubahan teknologi dan
industrialisasi ketika kemajuan modernisasi berkembang dan membuka jalan menuju transisi
perkotaan atau perkembangan dari aliran ke tingkat urbanisasi yang tinggi, dilihat sebagai
wadah transisi demografis Definition (Barthe´ le´my Kuate Defo, 2014).

C. Transisi Demografi Di Indonesia


Ananta (1996) mengatakan bahwa revolusi mortalitas di Indonesia yang merupakan
revolusi demografi pertama di Indonesia terjadi sekitar tahun 1950-an. Dimulai dari adanya
penurunan angka kematian akibat berbagai penemuan obat-obatan antibiotika dan intervensi
kesehatan di negara maju. Indonesia tidak perlu lagi menciptakan obat-obatan modern, tetapi
langsung mengadopsi teknologi kedokteran modern seperti imunisasi dan antibiotika, tanpa
menunggu kemajuan perekonomian. Namun demikian, kondisi tersebut belum diikuti oleh
penurunan fertilitas, sehingga terjadi ledakan bayi di Indonesia pada sekitar tahun 1950-1970-
an. Transisi demografi di Indonesia ditandai dengan penurunan angka kematian bayi dari 140
per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1971 menjadi 35 pada tahun 2000. Sedangkan angka
fertilitas menurun dari 5,6 pada tahun 1961 menjadi hanya 2,6 pada tahun 2007. Artinya,
jumlah anak yang dimiliki oleh setiap perempuan Indonesia hingga akhir usia reproduksinya
turun dari sekitar 5 hingga 6 anak, menjadi hanya 2 hingga 3 anak. Sebagaimana telah
disebutkan di atas, transisi demografi di Indonesia terjadi karena adanya program nasional
keluarga berencana dengan penanaman paradigma dua anak cukup untuk mencapai keluarga
kecil bahagia dan sejahtera. Pada masa itu penyediaan kontrasepsi murah diperluas,
pelayanan kontrasepsi mencapai hingga ke pelosok perdesaan. Suriastini (1995) mengatakan
bahwa terdapat 72,8 persen bayi tercegah kelahirannya dalam periode 1981-1987 sebagai
dampak dari pengaturan kelahiran dan penundaan usia perkawinan. Untuk Daerah Jawa dan
Bali sumbangan pengaturan kelahiran meningkat dari 54,6 persen pada tahun 1972-1976
menjadi 75,25 persen pada tahun 1982-1987. Di sektor kesehatan, program kesehatan makin
ditingkatkan dengan pembangunan fasilitas Puskesmas untuk mendekatkan masyarakat pada
fasilitas kesehatan murah, program perbaikan gizi untuk ibu, bayi dan balita serta imunisasi
bagi bayi dan ibunya dalam upaya menurunkan angka kematian bayi(Prihastuti dan Djutaharta,
2004).
Berbeda dengan negara-negara maju, transisi demografi yang terjadi di Indonesia,
tidak diawali dengan pembangunan ekonomi, industrialisasi dan modernisasi. Indonesia
berhasil mengalami transisi lebih cepat karena intervensi di bidang kesehatan dan pengaturan
jumlah anggota keluarga melalui program keluarga berencana yang berjalan paralel dengan
pembangunan di bidang ekonomi. Suriastini (1995) memperkirakan bahwa akhir masa
transisi demografi akan terjadi pada tahun 2005. Pada tahun tersebut diperkirakan, angka
harapan hidup mencapai lebih dari 65 tahun, angka kelahiran (TFR) mendekati 2 dan NRR
(Net Reproduction Rate) sebesar 1. Periode 1990-1995, Indonesia berada pada tahap transisi
yang tergolong labil, tepatnya pada tahap perkembangan akhir (late expanding stage).
Dengan usia angka harapan hidup 62,7 tahun dan TFR 3,91, Indonesia telah berada di tahap
ketiga transisi demografi (Prihastuti dan Djutaharta, 2004).
D. Transisi Epidemiologi
Transisi epidemiologi adalah perubahan pola kesehatan dan pola penyakit yang
berinteraksi dengan demografi, ekonomi, dan sosial. Transisi epidemiologi berkaitan dengan
transisi demografi, begitu juga dengan transisi teknologi. Misalnya pergantian dari penyakit
infeksi ke penyatit man-made disease atau lifestyle disease (Johan, Harlan, 2008).
Transisi epidemiologi, yaitu perubahan pola penyakit yang sebelumnya didominasi
oleh penyakit menular (infeksi) menjadi penyakit tidak menular (Jane Soepardi, 2012).
Transisi epodemiologi yang dimaksud adalah perubahan distribusi dan faktor-faktor
penyebab terkait yang melahirkan masalah epodemiologi yang baru. Keadaan transisi
epidemiologi ini ditandai dengan perubahan pola frekuensi penyakit.Transisi epidemiologi
bermula dari suatu perubahan yang kompleks dalam pola kesehatan dan pola penyakit utama
penyebab kematian dimana terjadi penurunan prevalensi penyakit infeksi (penyakit menular),
sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin meningkat. Hal ini
terjadi seiring dengan berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi dan meningkatnya umur
harapan hidup yang berarti meningkatnya pola risiko timbulnya penyakit degeneratif seperti
penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi, dan lain sebagainya (Bustan, M.N,
2007).
Transisi epidemiologis mengacu pada perubahan jangka panjang dalam pola
kematian dan penyebab kematian yang melekat dalam penurunan angka kematian sekuler
dari tingkat tinggi ke rendah tertanam dalam serangkaian perubahan bersamaan dalam
kesehatan populasi.Konsep ini diciptakan pada pertengahan 1960-an dan diterbitkan pada
1971 dalam formulasi pertamanya oleh Abdel R. Omran. Itu menyediakan karakterisasi yang
akurat dari transisi kematian dari sekitar tahun 1750 hingga 1950-an dianggap berasal dari
penurunan penyakit menular, seperti yang dialami di Eropa dan Amerika Utara. Konsep
Omran pada awalnya dipengaruhi oleh teori evolusi sosial yang diterbitkan oleh Riesman et
al yang membagi tipe sosial menjadi tiga tahapan historis berdasarkan formulasi transisi
demografis Notestein. Dengan berfokus pada bagaimana perubahan mempengaruhi
kesehatan individu dalam suatu populasi, transisi menjadi perubahan dalam hubungan di
antara keduanya, yaitu orang dan penyakit yang terjadi dalam ruang dan waktu tertentu
(Barthe´ le´my Kuate Defo, 2014).
Pergeseran penyakit ini dapat dibuktikan dengan berubahnya pola penyakit penyebab
kematian tertinggi antara tahun 1960, dengan wabah penyakit pneumonia, tuberkulosis, dan
diare, dengan 1990 penyakit jantung, neoplasma, dan penyakit otak-pembuluh darah
(Gerstman, B. Burt, 2013).
Penyebab terjadinya transisi epidemiologi antara lain :
1. Teknologi kedokteran
2. Perubahan standar hidup
3. Angka kelahiran
4. Peningkatan gizi
5. Kontrol vektor dan sanitasi
6. Perubahan gaya hidup (Gerstman, B. Burt, 2013).
Berikut adalah tiga model transisi epidemiologi :
1. Model Klasik, contohnya di Eropa Barat
Jika jumlah kasus penyakit infeksi menurun, sedangkan jumlah kasus penyakit
degeneratif meningkat
2. Model Dipercepat, contohnya di Jepang
Jika jumlah kasus penyakit infeksi menurun, namun jumlah kasus penyakit
degeneratiftidak mengalami peningkatan yang berarti
3. Model Lambat atau kontemporer, contohnya di negara berkembang yaitu Indonesia
Jika jumlah kasus penyakit degeneratif meningkat namun jumlah kasus penyakit
infeksi belum mengalami penurunan.Oleh karena itu, Indonesia mengalami beban
ganda masalah kesehatan (double burden of disease) (Bustan, M.N, 2007).
Proposisi-proposisi dalam transisi epidemiologi
1. Mortalitas adalah faktor fundamental
2. Pergeseran pola kematian penyakit pandemi penyakit infeksi secara bertahap diganti
penyakit degeneratif
3. Perubahan pola penyakit pada anak-anak dan wanita muda, keselamatan anak-anak
dan wanita muda meningkat.
4. Pergeseran pola kesehatan dan penyakit pada masa transisi erat hubungannya dengan
transisi demografi dan sosioekonomi (Gerstman, B. Burt, 2013).
Pola kematian yang timbul tiga periode transisi epidemiologi :
1. Tahap 1
a. Tahap kesengsaraan dan paceklik
b. Mortalitas tinggi tidak ada pertambahan penduduk
c. Angka harapan hidup 20—40 tahun
2. Tahap 2
a. Penyakit infeksi menghilang
b. Penurunan mortalitas
c. Angka harapan hidup 30—50 tahun
d. Pertambahan jumlah penduduk secara eksponensial
3. Tahap 3
a. Penyakit degeneratif turun
b. Angka pertumbuhan penduduk tergantung angka fertilitas (Rohtman, KJ, 2008).
Transisi epidemiologi yang lambat dapat memicu ledakan penduduk. Faktor transisi negara
berkembang :
a. Faktor Ekobiologi
Terjadi keseimbangan antarkomponen dalam segitiga epidemiologi
b. Faktor Sosial, Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Pada faktor ini kelompok yang rentan menjadi korban adalah kelompok usia balita
c. Faktor Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran
Omran juga membuat revisi model transisi epidemiologis untuk negara berkembang
dengan mengganti fase ketiganya menjadi “The age of triple health burden” yang ditandai
dengan 3 hal yaitu: a) masalah kesehatan klasik yang belum terselesaikan (infeksi penyakit
menular), b)munculnya problem kesehatan baru dan c)pelayanan kesehatan yang tertinggal
(Lagging) (Bustan, M.N, 2007).
Perkembangan ekonomi pedesaan menuju ekonomi industri di kota yang orientasinya
pasar, pada umumya akan menimbulkan penurunan resiko penyakit menular oleh karena
sanitasi dan pengetahuan yang lebih baik. Namun dalam waktu yang sama pertumbuhan
ekonomi menyebabkan masalah kesehatan yang baru. Biasanya ada peningkatan angka
kecelakaan yang disebabkanoleh kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan industri, maupun
bahan kimia yang bersifat toksik (seperti pestisida). Kekurangan gizi dahulu, kini dapat
ditangani dengan adanya kemajuan pasar. Namun disamping itu masalah ini beralih pada
masalah kelebihan gizi seperti kegemukan (obesitas), hipertensi, penyakit jantung koroner,
penyempitan pembuluh darah dan diabetes melitus. Kemudian pendapatan yang meningkat
cendrung membawa perubahan pada gaya hidup masyarakat, misalnya peningkatan kebiasaan
merokok, minum alkohol, dan penggunaan obat terlarang yang mengakibatkan peningkatan
resiko penderita Penyakit Tidak Menular (menahun) (Bustan, M.N, 2007).
Menurut teori Omran, transisi epidemiologi sudah berjalan di Indonesia yang dimulai
sejak tahun 1970an mengikuti transisi demografi yang terjadi saat itu. Di negara maju,
problem penyakit menular yang sebelumnya merupakan masalah kesehatan sudah teratasi
setelah perang dunia pertama, tetapi di negara miskin dan berkembang sampai sekarang
masih merupakan masalah yang harus mendapat perhatian. Sedangkan prevalensi penyakit
tidak menular yang tinggi di negara maju sekarang ini sudah dapat diatasi lebih cepat
daripada di negara berkembang. Teori transisi epidemiologi yaitu triple health burden (J 1)
dapat dikatakan cocok dengan situasi di Indonesia. Yang pertama, belum terselesaikannya
masalah penyakit menular seperti TB, diare, malaria, immunizable diseases, penyakit
maternal/ perinatal. Kedua, sudah muneul masalah kesehatan yang bam yaitu New Emerging
Diseases seperti Avian Flu, HIV/AIDS, dan penyakit degeneratif diantaranya diabetes,
penyakit sistem sirkulasi,dan kanker. Dan yang ketiga, kondisi di mana sistem pemeliharaan
kesehatan untuk mecegah dan mengobati penyakit kronis belum terkelola dengan baik. Salah
satu situasi yang menakutkan penduduk dunia, terutama di negara miskin adalah penyakit
HIV/AIDS (emerging disease) yang diperkirakan akan menjadi penyebab kematian utama di
negara (Sarimawar Djaja., 2012).
Transisi epidemiologi merupakan suatu fenomena peningkatan jumlah kasus penyakit
degeneratif dan penurunan jumlah kasus infeksi secara nyata.
E. Transisi Epidemiologi secara Global
Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian secara global. Data
WHO menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi di dunia pada tahun 2008,
sebanyak 36 juta atau hampir dua pertiganya disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular. PTM
juga membunuh penduduk dengan usia yang lebih muda. Di negara-negara dengan tingkat
ekonomi rendah dan menengah, dari seluruh kematian yang terjadi pada orang-orang berusia
kurang dari 60 tahun, 29% disebabkan oleh PTM, sedangkan di negara-negara maju,
menyebabkan 13% kematian (Jane Soepardi, 2012).
Menurut Badan Kesehatan Dunia WHO, kematian akibat Penyakit Tidak Menular
(PTM) diperkirakan akan terus meningkat di seluruh dunia, peningkatan terbesar akan terjadi
di negara-negara menengah dan miskin. Lebih dari dua pertiga (70%) dari populasi global
akan meninggal akibat penyakit tidak menular seperti diabetes, kanker, penyakit jantung,
stroke.. Dalam jumlah total, pada tahun 2030 diprediksi akan ada 52 juta jiwa kematian per
tahun karena penyakit tidak menular, naik 9 juta jiwa dari 38 juta jiwa pada saat ini. Di sisi
lain, kematian akibat penyakit menular seperti malaria, TBC atau penyakit infeksi lainnya
akan menurun, dari 18 juta jiwa saat ini menjadi 16,5 juta jiwa pada tahun 2030.4 Pada
negara-negara menengah dan miskin PTM akan bertanggung jawab terhadap tiga kali dari
tahun hidup yang hilang dan disability (Disability adjusted life years=DALYs) dan hampir
lima kali dari kematian penyakit menular, maternal, perinatal dan masalah nutrisi (Jane
Soepardi, 2012).
Secara global, regional dan nasional pada tahun 2030 transisi epidemiologi dari
penyakit menular menjadi penyakit tidak menular semakin jelas. Diproyeksikan jumlah
kesakitan akibat penyakit tidak menular dan kecelakaan akan meningkat dan penyakit
menular akan menurun. PTM seperti DM, kanker, jantung, dan paru obstruktif kronik, serta
penyakit kronik lainnya akan mengalami peningkatan yang signifikan pada tahun 2030.
Sementara itu penyakit menular seperti TBC, HIV/AIDS, Malaria, Diare dan penyakit infeksi
lainnya diprediksi akan mengalami penurunan pada tahun 2030. Peningkatan kejadian PTM
berhubungan dengan peningkatan faktor risiko akibat perubahan gaya hidup seiring dengan
perkembangan dunia yang makin modern, pertumbuhan populasi dan peningkatan usia
harapan hidup (Jane Soepardi, 2012).
F. Transisi Epidemiologi Indonesia
Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir menghadapi masalah triple burden
diseases. Di satu sisi, penyakit menular masih menjadi masalah ditandai dengan masih sering
terjadi KLB beberapa penyakit menular tertentu, munculnya kembali beberapa penyakit
menular lama (re-emerging diseases), serta munculnya penyakit-penyakit menular baru (new-
emergyng diseases) seperti HIV/AIDS, Avian Influenza, Flu Babi dan Penyakit Nipah. Di sisi
lain, PTM menunjukkan adanya kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke
waktu (Sarimawar Djaja., 2012).
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 dan 2001, tampak bahwa selama 12 tahun (1995-2007)
telah terjadi transisi epidemiologi dimana kematian karena penyakit tidak menular semakin
meningkat, sedangkan kematian karena penyakit menular semakin menurun (lihat grafik
gambar 1). Fenomena ini diprediksi akan terus berlanjut.

Gambar 1 :Distribusi penyebab kematian menurut kelompok penyakit di Indonesia, SKRT


1995, SKRT 2001, Riskesdas 2007
Sumber : Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
Gambaran Penyakit Tidak Menular Berdasarkan Data Rumah Sakit
Saat ini di Indonesia, data morbiditas penyakit dari fasilitas kesehatan dikumpulkan
dari puskesmas dan rumah sakit. Karena penegakan diagnosis PTM di rumah sakit relatif
lebih valid, maka analisis PTM dilakukan terhadap data rumah sakit. Data analisis diperoleh
dari laporan rumah sakit melalui Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) edisi 2010 dan 2011
(data 2009 dan data 2010) yaitu RL2B (Rawat Jalan) dan RL2A (Rawat Inap), yang
merupakan laporan rumah sakit langsung ke Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan,
Kementerian Kesehatan. Data tahun 2009-2010 diperoleh dari publikasi data mentah SIRS
edisi 2010-2011 (Sistem Informasi Rumah Sakit Tahun 2011).
Data morbiditas dan mortalitas penyakit di rumah sakit di Indonesia dikelompokan
dalam penyakit menular, penyakit tidak menular, penyakit maternal/perinatal dan cedera dari
tahun 2009-2010. Proporsi penyakit rawat jalan (kasus baru) terhadap total kunjungan seluruh
penyakit (rawat jalan) dari tahun 2009-2010 mempunyai pola yang sama yaitu penyakit rawat
jalan yang terbanyak adalah penyakit tidak menular, kemudian penyakit menular, cedera dan
yang terakhir adalah penyakit maternal dan perinatal yang dapat dilihat pada gambar di
bawah ini.

Gambar 3: Proporsi Kasus Baru Rawat Jalan Penyakit Menular, Penyakit Tidak Menular,
Penyakit Maternal/Perinatal dan Cedera di Rumah Sakit di Indonesia Tahun 2009 - 2010
Terhadap Total Kunjungan Seluruh Penyakit (Rawat Jalan)
Sumber: Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) Tahun 2010-2011
Gambar 4: Persentase Rawat Jalan Kasus Baru Penyakit Tidak Menular Berdasarkan Jenis
Kelamin Tahun 2009 – 2010
Sumber: Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) Tahun 2010-2011

Gambar 5 : Persentase Rawat Jalan Kasus Baru Penyakit Tidak Menular Berdasarkan
Kelompok Umur Tahun 2009 – 2010
Sumber: Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) Tahun 2010-2011
Gambar 6: Persentase Rawat Jalan Kasus Baru Penyakit Tidak Menular Berdasarkan Provinsi
Tahun 2009 – 2010
Sumber: Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) Tahun 2010-2011
Untuk kasus rawat inap, proporsi penyakit terhadap total pasien keluar hidup dan mati
(rawat inap) dari tahun 2009-2010 mempunyai pola yang sama yaitu penyakit rawat inap
yang terbanyak adalah penyakit tidak menular, kemudian penyakit menular, cedera dan yang
terakhir adalah penyakit maternal dan perinatal yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 7 : Proporsi Kasus Rawat Inap Penyakit Menular, Penyakit Tidak Menular, Penyakit
Maternal/Perinatal dan Cedera di Rumah Sakit di Indonesia Tahun 2009 dan 2010 Terhadap
Jumlah Pasien Keluar Hidup dan Mati
Sumber: Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) Tahun 2010-2011
Gambar 8 : Proporsi Kasus Mati Rawat Inap Penyakit Menular, Penyakit Tidak Menular,
Penyakit Maternal/Perinatal dan Cedera di Rumah Sakit di Indonesia Tahun 2009 dan 2010
Terhadap Jumlah Pasien Keluar Mati
Sumber: Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) Tahun 2010-2011

Gambar 9 : Persentase Rawat Inap Penyakit Tidak Menular Berdasarkan Jenis Kelamin
Tahun 2009 – 2010
Sumber: Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) Tahun 2010-2011
Gambar 10 : Persentase Rawat Inap Kasus Baru Penyakit Tidak Menular Berdasarkan
Kelompok Umur Tahun 2009 – 2010
Sumber: Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) Tahun 2010-2011

Gambar 11 : Persentase Rawat Inap Penyakit Tidak Menular Berdasarkan Provinsi Tahun
2009 – 2010
Sumber: Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) Tahun 2010-2011

G. Hubungan Transisi Demografi dan Transisi Epidemiologi


Teori transisi demografis pertama kali dirumuskan oleh demografi Warren
Thomsen, pada 1929, yang menggambarkan bagaimana masyarakat awalnya dengan angka
kematian yang tinggi dan tingkat kelahiran yang tinggi, seiring waktu berubah menjadi
penurunan angka kematian, diikuti oleh penurunan kelahiran. Perkembangan ini dilihat
sebagai hasil dari pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi. Gagasan transisi epidemiologis
diperkenalkan oleh Omran pada tahun 1971, untuk menggambarkan perubahan dalam
kesehatan, yang terjadi selama transisi demografis, di mana beban terbesar penyakit secara
bertahap bergeser dari penyakit menular ke penyakit tidak menular kronis. Omran
merumuskan lima faktor kepentingan utama untuk transisi dalam Theory of the
Epidemiology Perubahan Penduduk:
1. Kematian dan waktu paruh baya adalah hal mendasar untuk dinamika pertumbuhan
populasi
2. Selama transisi, pergeseran terjadi dalam pola kematian dan penyakit dimana infeksi,
khususnya di kalangan anak-anak dan orang yang lebih muda, secara bertahap
digantikan oleh penyakit degeneratif dan buatan manusia pada orang dewasa, menuju
dominasi yang terakhir pada lansia.
3. Selama transisi epidemiologis, yang paling menonjol perubahan pola kesehatan dan
penyakit terjadi di kalangan anak-anak dan ibu-ibu, yang mengakibatkan penurunan
angka kematian diikuti oleh penurunan angka kelahiran.
4. Transisi epidemiologis dalam kesehatan dan penyakit. Oleh karena itu terkait erat
dengan demografi dan sosial ekonomi transisi, dan dengan perubahan gaya hidup dan
modernisasi.
5. Variasi dalam kecepatan terjadinya perubahan ini, bisa ditunjukkan dalam tiga model
dasar:
a. model Barat klasik,
b. model yang tertunda,
c. model yang dipercepat dari mis. Jepang setelah Perang Dunia II hingga 1970
(Christian Bygbjerg & W. Meyrowitsch, 2007).
Perubahan beban penyakit di negara berkembang selama 50 tahun terakhir didunia
telah mengalami perubahan demografis yang signifikan, dan khususnya yang menonjol
adalah yang diamati di negara-negara berkembang. Dimana telah mengalami penurunan
tingkat kesuburan dan kelahiran yang hampir universal, dan peningkatan besar dalam harapan
hidup dengan konsekuensinya peningkatan usia populasi yang terjadi di negara berkembang.
Harapan hidup yang lebih lama merupakan hasil kombinasi dari beberapa faktor, termasuk
kemajuan dalam bidang praktik medis dan teknologi khususnya terkait dengan komunikasi
dan penyakit perinatal, pengurangan gangguan kekurangan gizi, urbanisasi, inisiatif
pendidikan, peningkatan ekonomi, program pengembangan kesehatan masyarakat, dan
implementasi praktik sanitasi. Ditambah dengan transisi demografis sejalan dengan transisi
epidemiologis yang ditandai dengan peningkatan insiden dan prevalensi penyakit kronis yang
tidak dapat dikomunikasikan, dengan beban penyakit berubah dari individu yang lebih muda
menuju populasi orang dewasa, khususnya orang tua, dan menderita penyakit telah bergeser
menjadi proses singkat dan menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari (Ricardo Correa,
et al., 2004).
Fenomena kedua yang muncul adalah ledakan perpindahan migrasi individu dari
pedesaan menuju kota-kota, yang telah menentukan bahwa populasi yang tinggal di daerah
perkotaan telah meningkat pesat. Antara 1950 dan 2000, populasi perkotaan dari negara-
negara berkembang telah meningkat lebih dari lima waktu. Pertumbuhan kota besar-besaran
ini telah menambah keberadaan pemukiman tidak teratur yang kurang memiliki layanan
tersebut dan fasilitas yang diperlukan untuk perawatan kesehatan. Bertepatan dengan
pergeseran populasi dari daerah pedesaan ke perkotaan, merokok, diet tinggi lemak, dan
faktor gaya hidup yang buruk, yang sejajar dengan pembangunan dan industrialisasi yang
meningkat secara dramatis. Fenomena ini telah lebih jauh menyebabkan pendidikan rendah,
masyarakat banyak yang mengkonsumsi produk yang tidak sehat, seperti tembakau dan
makanan tinggi karbohidrat atau lemak. Faktor tambahan ini berdampak negatif pada tingkat
pertumbuhan kondisi patologis seperti diabetes mellitus, obesitas, penyakit ginjal kronis,
penyakit kardiovaskular, dan kanker, dan telah meningkat bahkan lebih dari yang
diperkirakan dalam kaitannya dengan populasi yang menua (Ricardo Correa, et al., 2004).
Transisi epidemiologis dan demografis ini tidak homogen dalam keragaman negara-
negara berkembang, dan sementara itu terjadi pada tingkat yang sangat besar di negara-
negara seperti Cina, India, dan sebagian besar Asia Tenggara, juga Amerika Latin.
Konsekuensi dari perubahan pola penyakit yaitu konsekuensi sosial, ekonomi, dan kesehatan
masyarakat dalam beban penyakit kronis tidak menular dapat menjadi konsekuensi yang
menghancurkan untuk negara-negara berkembang. Kecacatan dan kematian individu di
tahun-tahun produktif kehidupan, kurangnya fasilitas perawatan kesehatan diperlukan untuk
menyediakan manajemen yang memadai, mahal beban intervensi dan obat-obatan yang
diperlukan untuk merawat entitas seperti diabetes mellitus, penyakit ginjal stadium akhir,
penyakit jantung, atau lainnya, mungkin tidak tersedia atau terjangkau dalam banyak kasus.
Bangsa yang dituntut untuk menginvestasikan sumber daya mereka yang langka dalam
program pembangunan mungkin tidak dapat mengatasi biaya perawatan medis yang
membutuhkan perawatan teknologi intensif, seperti halnya dengan sebagian besar penyakit
kronis hal ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang dikaitkan dengan epidemiologi
ini. Transisi adalah mereka sebagai common denominator dengan adanya cedera vaskular dan
kardiovaskular yang menyebabkan kematian. Kelompok penyakit ini mencakup entitas
seperti diabetes mellitus dan komplikasi kronisnya, khususnya nefropati diabetik, hipertensi
esensial, koroner .penyakit jantung, dan penyakit ginjal kronis lainnya (Ricardo Correa, et al.,
2004).
H. Pertumbuhan diabetes tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 tidak tergantung insulin adalah salah satu masalah kesehatan
paling mengkhawatirkan yang akan kita alami dan harus berurusan selama paruh pertama
abad ke-21 ini, dan itu mungkin menjadi tantangan kesehatan masyarakat terbesar untuk
periode ini. Sedangkan prevalensi diabetes tipe 2 untuk tahun 2000 adalah sekitar 188 juta
pasien, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 akan ada lebih dari 400 juta orang menderita
penyakit ini (97% akan menderita diabetes mellitus tipe 2). Prevalensi meningkat diabetes
mellitus tipe 2 diperkirakan akan terjadi di di seluruh dunia namun demikian, negara-negara
maju (AS atau mereka dari Uni Eropa) mengharapkan peningkatan di antaranya 40% dan
70% dalam 30 tahun ke depan, sedangkan di tahun 2008 mengembangkan wilayah dunia
(Cina, India, Amerika Latin, Asia Tenggara, negara-negara Timur Tengah, dan Afrika
Sahara) akan sekitar 250% dalam periode yang sama. Selain itu, peningkatan harapan hidup
hadir di semua masyarakat akan mengantisipasi peningkatan insiden yang konstan dan
prevalensi komplikasi kronis seperti nefropati diabetik (Ricardo Correa, et al., 2004).
Diabetes mellitus dan komplikasinya terkait proporsi pandemi yang didapat. Ini
penting untuk diingat bahwa kematian pasien diabetes sebagian besar terkait untuk
komplikasi kardiovaskular yang memerlukan prosedur biaya medis yang mahal. Secara
historis, Epidemi penyakit biasanya dimulai pada masa strata sosial yang tinggi sehingga
berubah menjadi gaya hidup berisiko tinggi disertai dengan makanan tinggi karbohidrat dan
lemak, fisik tidak aktif, dan konsumsi tembakau. Di negara berkembang telah disarankan
bahwa pola yang biasa direplikasi, dengan penyakit kardiovaskular menjadi lebih umum pada
yang lebih kaya dan strata berpendidikan, dan beban penyakit berubah secara progresif ke
kelas sosial yang lebih rendah. Namun demikian, studi berasal dari negara-negara Karibia dan
Amerika Latin menunjukkan bahwa orang miskin lebih cenderung menjadi gemuk atau
memiliki komplikasi kronis diabetes mellitus. Dengan cara yang serupa, dilaporkan di India
milik ke strata sosial ekonomi yang lebih rendah dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko
untuk pengembangan penyakit diabetes. Masalah penting lainnya yang pantas didiskusikan
adalah usia di mana orang berkembang atau meninggal karena diabetes dan / atau penyakit
kardiovaskular; di negara berkembang, individu meninggal karena penyakit ini secara
signifikan pada usia lebih muda (Ricardo Correa, et al., 2004).
Penerapan diagnostik baru serta terapeutik pada pasien diabetes perlu untuk
meningkatkan kesadaran dan meningkatkan pengetahuan tentang faktor-faktor risiko, serta
langkah-langkah pencegahan di masyarakat umum, dokter perawatan primer, serta pejabat
pemerintah, dan pembuat kebijakan. Pengetahuan terkini tentang patofisiologi diabetes tipe 1
telah memungkinkan kita untuk menentukan bahwa penyakit ini berkembang melalui lima
tahap berbeda. Diabetes tipe 2 mengikuti pola yang sama. Pengetahuan ini juga
memungkinkan kita untuk membangun manuver pencegahan dan terapi untuk populasi pasien
sesuai dengan tahap perkembangan penyakit itu sendiri. Tahap I adalah terutama ditandai
oleh hiperglikemia, hiperfiltrasi, dan hipertrofi glomerulus. Tahap II disertai oleh munculnya
mikroalbuminuria, yang telah ditunjukkan sebagai penanda awal penyakit ginjal, dengan nilai
prediksi positif yang kuat untuk pengembangan selanjutnya dan perkembangan penyakit
ginjal. Tahap III ditandai oleh perkembangan hipertensi sistemik dan proteinuria terbuka,
yang biasanya bersifat progresif dan menandai penurunan laju filtrasi glomerulus dan
insufisiensi ginjal berikutnya. Tahap IV disertai oleh insufisiensi ginjal progresif dan
hipertensi berkelanjutan, sementara Stage V menunjukkan keberadaan end-stage penyakit
ginjal yang membutuhkan terapi penggantian ginjal (Ricardo Correa, et al., 2004).
Prevalensi diabetes meningkat di seluruh dunia. Menurut yang terbaru perkiraan
World Health Organizer (WHO), akan ada menjadi 300 juta orang dengan diabetes tahun
2025. Turki, dengan luasnya luas lahan, pertumbuhan ekonomi, dan banyak lagi dari 65 juta
penduduk, adalah sebuah negara di mana kesadaran diabetes masih buruk. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menentukan prevalensi diabetes di seluruh Turki, untuk
mengevaluasi variasi regional, dan untuk memeriksa mediator dan moderator dari hubungan
potensial diabetes dengan sosial, demografis, gaya hidup, dan faktor resiko (Ilhan Satman, et
al., 2002).
Artikel ini melaporkan salah satu yang berbasis populasi terbesar studi diabetes
yang pernah dilakukan di Indonesia. Prevalensi diabetes yang tinggi di Indonesia, Siprus
Turki tinggal di Utara Siprus (11% pada kedua jenis kelamin berusia 20 tahun tahun) dan
generasi kedua atau ketiga Turki tinggal di Jerman (10% pada wanita dan 8% pada pria
berusia 35-64 tahun) menggarisbawahi pengaruh perubahan gaya hidup populasi di Indonesia
(Ilhan Satman, et al., 2002)
Prevalensi diabetes meningkat dengan cepat semua di seluruh dunia dengan
kecepatan yang mengkhawatirkan. Selama masa 30 tahun lalu, status diabetes telah berubah
dianggap sebagai gangguan ringan lansia satu dari penyebab utama morbiditas dan mortalitas
mempengaruhi kaum muda dan orang paruh baya. Penting untuk dicatat bahwa peningkatan
prevalensi terlihat di semua enam benua. Meskipun ada peningkatan prevalensi diabetes tipe
1, pendorong utama epidemi adalah bentuk diabetes yang lebih umum, yaitu diabetes tipe 2,
yang menyumbang lebih dari 90 persen dari semua kasus diabetes (V. Mohan, et al., 2007).
The Federasi Diabetes Internasional (IDF) memperkirakan Jumlah total subyek
diabetes menjadi sekitar 40,9 juta di India dan ini selanjutnya akan meningkat menjadi 69,9
juta pada tahun 2025. Peningkatan dramatis dalam prevalensi diabetes tipe 2 dan gangguan
terkait seperti obesitas, hipertensi dan sindrom metabolik bisa jadi terkait dengan perubahan
cepat dalam gaya hidup yang dimilikinya terjadi selama 50 tahun terakhir. "Transisi
epidemiologis", yang termasuk nutrisi yang ditingkatkan, kebersihan yang lebih baik, kontrol
banyak penyakit menular dan peningkatan akses ke pelayanan kesehatan yang berkualitas
telah menghasilkan peningkatan umur panjang, itu juga menyebabkan peningkatan cepat dari
zaman sekarang penyakit seperti obesitas, diabetes dan penyakit jantung (V. Mohan, et al.,
2007).
Masuknya budaya barat ke dalam kehidupan masyarakat adat tradisional juga
pernah memilikinya hasil yang menghancurkan dalam hal kenaikan diabetes. Ledakan
diabetes tipe 2 di penduduk asli Amerika dan Pulau Pasifik komunitas adalah contoh klasik
dari ini fenomena. Di hampir semua populasi, diet tinggi lemak dan aktivitas fisik menurun
dan tidak bergerak, kebiasaan kerja telah menyertai proses modernisasi yang telah
mengakibatkan penggandaan dari prevalensi obesitas dan diabetes tipe 2 di Indonesia kurang
dari satu generasi. Peningkatan prevalensi diabetes tipe 2 mungkin juga hasil karena migrasi
(pindah dari satu lingkungan ke lingkungan lain, baik eksternal maupun internal), yang
membawa serta ditandai sosial dan budaya perubahan. Misra dan rekan melaporkan migrasi
dari daerah pedesaan ke daerah kumuh perkotaan di a kota metropolitan di India
menyebabkan obesitas, glukosa intoleransi, dan dislipidemia. Banyak studi epidemiologi
pada diabetes pada populasi migran, sebagian besar pada orang yang berasal dari negara
berkembang, telah melaporkan yang lebih tinggi prevalensi diabetes dibandingkan populasi
inang negara-negara itu (V. Mohan, et al., 2007).
I. Transisi kesehatan
Transisi kesehatan mengacu pada berbagai komponen dalam kombinasi dan
serangkaian perubahan bersamaan dalam populasi kesehatan selama pengembangan, dan
implikasinya untuk kebijakan dan program kesehatan dan sosial. Untuk Misalnya, komponen
fungsional mewakili perubahan status kesehatan fungsional (mis. kemampuan dan kecacatan)
dari populasi dan komponen gerontologis menunjukkan meningkatnya proporsi orang pada
usia tua dan sangat usia tua dengan masalah kesehatan mereka yang terhubung. Transisi
kesehatan adalah upaya konseptual terbaru yang dilakukan oleh sosial dan ilmuwan
kesehatan masyarakat untuk menggambarkan dan menjelaskan transisi sekuler dalam
dinamika populasi dan definisi kesehatan (Barthe´ le´my Kuate Defo, 2014).
Transisi Kesehatan merupakan Perubahan / pergeseran masalah kesehatan. Perubahan
terebut menimbulkan konsekuensi terhadap perubahan “Heath Services” / pelayanan
kesehatan. Terjadinya perubahan kebijakan / regulasi berkaitan dengan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI 15 April 2019. Diakses tanggal 3 September
2019.https://www.litbang.kemkes.go.id/beban-ganda-penyakit-mengancam-indonesia/

Barthe´ le´my Kuate Defo.2014. Demographic, epidemiological, and health transitions:


are they relevant to population health patterns in Africa?. Special issue
epidemiological transitions-Beyond Omran’s Theory. Global Health Action 7: 22443.

Bustan, M.N.2007.Epidemiologi Penyakit Tidak Menular.Jakarta:Rineka Cipta


Christian Bygbjerg & W. Meyrowitsch. 2007. Global transition in health. Dan Med Bull .
Vol. 54 NO. 1. 54:44-5.
Gerstman, B. Burt. 2013. Epidemiology Kept Simple: An Introduction to Traditional and
Modern Epidemiology, 3rd Edition. Wiley –Liss. h.34 .

Ilhan Satman, Temel Yilmaz, Ahmet Seng’ul, Serpil Salman, Fatih Salman, Sevil Uygur,
Irfan Bastar, Yildiz, Mehmet, Nevin, Kubilay, Sibel, and Cihangiro. 2002.
Population-Based Study of Diabetes and Risk Characteristics in Turkey. E p i d e m i
o l o g y / H e a l t h S e r v i c e s / P s y c h o s o c i a l R e s e a r c h . Diabetes Care
25:1551–1556.

Jane Soepardi. 2012. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan Penyakit Tidak
Menular. ISSN 2088-270X. Kementerian Kesehatan RI.

Johan, Harlan. 2008. Epidemiologi Kebidanan Edisi 2. Jakarta: Gunadarma.

Prihastuti dan Djutaharta. 2004. Kecenderungan Preferensi fertilitas, Unmetneed, dan


Kehamilan Yang Tidak Diharapkan: Analisis Lanjut SDKI 2002-2003. Jakarta. Pusat
Penelitian dan Pengembangan KB & KR BKKBN.

Ricardo Correa-Rotter, Sarala Naicker, Ivor J.Katz, Sanjay K, Agarwal, Raul Herrera Valdes,
Kaseje, Bernardo Rodriguez-Iturbe, Fissal Shaheen, and Chitr Sitthi-Amorn. 2004.
Demographic and epidemiologic transition in the developing world: Role of
albuminuria in the early diagnosis and prevention of renal and cardiovascular
disease. International Society of Nephrology .Vol. 66, Supplement 92. , pp. S32–S37.

Rohtman, KJ. 2008. Modern Epidemiology 3rd Edition. Lippincott Williams & Wilkins.h.10

Sarimawar, Djaja. 2012. Transisi Epidemiologi Di Indonesia Dalam Dua Dekade Terakhir
dan Implikasi Pemeliharaan Kesehatan Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga,
SURKESNAS, RISKESDAS (1986-2007). Vo!. 40, No.3 : 142 – 15.
Sonny Harry. 2011. Analisis Data Demografi. Modul Pengantar Demografi. ESPA4535.

V. Mohan, S. Sandeep, R. Deepa, B. Shah, and C. Varghese. 2007. Epidemiology of type 2


diabetes: Indian scenario. Indian J Med Res 125 , pp 217-230.

Anda mungkin juga menyukai