Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) YANG MENJALANI
HEMODIALISA

OLEH:
NI PUTU SANDRA WIDIARSANI
1502105052

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi/ Pengertian
Chronic Kidney Disease (CKD) atau gagal ginjal kronik adalah kelainan
struktur atau fungsi ginjal yang terjadi dalam waktu tiga bulan atau lebih yang
dimanifestasikan melalui kerusakan ginjal dengan atau tanpa penurunan
Glomerulous Filtration Rate (GFR), baik karena kelainan patologis atau
adanya tanda kerusakan ginjal, seperti abnormalitas pada hasil pencitraan dan
komposisi darah atau urine, serta nilai GFR yang kurang dari 60 ml/menit/1,73
m2 dengan atau tanpa kerusakan ginjal (Bargman & Skorecki, 2013).

2. Epidemiologi / Insiden Kasus


Penyakit ginjal kronis diderita sekitar 10% populasi dunia. Tingginya jumlah
penderita diabetes di Asia membuat gagal ginjal lebih umum terjadi pada
penduduk Asia. Selain diabetes, tekanan darah tinggi juga menjadi salah satu
penyebab terkuat terjadinya penyakit ginjal kronis di Asia. Indonesia termasuk
ke dalam 10 besar negara di Asia dengan kasus penyakit gagal ginjal tertinggi.
PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) dan Kementerian Kesehatan
menemukan bahwa penderita gagal ginjal kronis di Indonesia mencapai 25
sampai 30 juta orang (PERNEFRI, 2011).

3. Etiologi / Faktor Predisposisi


Ada beberapa faktor risiko penyakit ginjal kronik, antara lain pasien dengan
diabetes melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50
tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan
penyakit ginjal dalam keluarga (PERNEFRI, 2011). Dari data yang sampai
saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun
2007-2008 didapatkan urutan etiologi CKD terbanyak yaitu glomerulonefritis
(25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%), dan ginjal polikistik (10%)
(Muttaqin & Sari, 2011). Penyebab penyakit ginjal kronik yang sering
ditemukan dapat dibagi menjadi delapan kelas, sebagai berikut (Bargman &
Skorecki, 2013) :
Tabel 1. Klasifikasi Penyebab Gagal Ginjal Kronik
Klasifikasi Penyebab Gagal Ginjal Kronik
Klasifikasi Penyakit Penyakit
Penyakit infeksi tubulointerstisial Pielonefritis kronik atau refluks
nefropati
Penyakit peradangan Glumeronefritis
Penyakit vascular hipertensif Nefrosklerosis benigna
Nefrosklerosis maligna
Stenosis arteria renalis
Gangguan jaringan ikat Lupus erimatematosus sistemik
Poliarteritis nodosa
Sklerosis sistemik progresif
Gangguan kongenital dan herediter Penyakit ginjal polikistik
Asidosis tubulus ginjal
Penyakit metabolic Diabetes mellitus
Gout
Hiperparatiroidisme
Amiloidosis
Nefropati toksik Penyalahgunaan analgesic
Nefropati timah
Nefropati obstruktif Traktus urinarius bagaian atas : batu,
neoplasma, fibrosis retroperitoneal
Traktus urinarius bagian bawah :
hipertrofi prostat, striktur uretra,
anomaly kongetnital leher vesika
urinaria dan uretra

4. Patofisiologi
Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik melibatkan dua mekanisme kerusakan yang
merupakan mekanisme pencetus yang spesifik sebagai penyakit yang mendasari
kerusakan selanjutnya seperti kompleks imun dan mediator inflamasi pada
glomerulonephritis, atau pajanan zat toksin pada penyakit tubulus ginjal dan
interstitium. Mekanisme selanjutnya berupa kerusakan progresif, ditandai adanya
hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang tersisa yang diikuti dengan penurunan
massa ginjal terlepas dari penyebab yang mendasarinya. Respon dari pengurangan
jumlah nefron diikuti dengan vasoaktif hormon, sitokin dan faktor pertumbuhan.
Akhirnya, adaptasi jangka pendek dari hipertropi dan hiperfiltrasi menjadi
maladaptasi berupa peningkatan tekanan dan aliran pada nefron sehingga sebagai
predisposis munculnya sklerosis dan pengurangan jumlah nefron yang tersisa.
Peningkatan aktivitas dasar renin-angiotensin-aldosteron di intrarenal ikut
memberikan konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan
progesifitas tersebut. Selanjutnya aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian
menstimulasi perubahan growth factor ß. Proses ini menjelaskan tentang
penurunan massa ginjal dari penyakit di tempat yang kecil di dalam tubuh yang
dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal secara progresif selama bertahun-
tahun (Bargman & Skorecki, 2013)
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal, sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh, sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-
nefron yang utuh akan mengalami hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi
yang meningkat disertai dengan reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan
GFR/daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi
sampai ¾ dari nefron-nefron yang rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi
lebih besar daripada yang biasa direabsorpsi, yang berakibat diuresis osmotik
disertai dengan poliuri dan haus. Selanjutnya, karena jumlah nefron yang rusak
bertambah banyak, oliguri timbul disertai dengan retensi produk sisa. Titik
dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul
gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80-
90%. Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah maka akan terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah,
maka gejala akan semakin berat (Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut Tonagho dan McAninch (2018) dalam perjalanan klinis CKD, dapat
terjadi:
a. Penurunan GFR
Penurunan GFR dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24 jam untuk
pemeriksaan klirens kreatinin. Akibat dari penurunan GFR, maka klirens
kretinin akan menurun, kreatinin akan meningkat, dan nitrogen urea darah
(BUN) juga akan meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator yang
paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara
konsisten oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal tetapi
juga oleh masukan protein dalam diet dan medikasi seperti steroid.
b. Gangguan klirens renal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan
jumlah glumeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens
(substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal). Produk akhir
metabolisme protein yang normalnya dieksresikan ke dalam urine tertimbun
dalam darah, sehingga terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh.
c. Retensi cairan dan natrium
Ginjal kehilangan kemampuan untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan
urin secara normal. Terjadi penahanan cairan dan natrium; meningkatkan
risiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi. Hipertensi
juga dapat terjadi akibat aktifitas renin angiotensin aldosteron.
d. Anemia
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoietin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan
untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari
saluran gastrointestinal. Eritropoietin, suatu substansi normal yang diproduksi
ginjal, menstimulasi sumsum tulang yang menghasilkan sel darah merah. Pada
gagal ginjal, produksi eritropoietin menurun dan anemia berat terjadi, disertai
keletihan, angina dan sesak napas.
e. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat
Abnormalitas lain yang utama pada gagal ginjal kronis adalah gangguan
metabolism kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh
memiliki hubungan saling timbal balik; jika salah satunya meningkat maka
yang lain akan turun. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal,
terdapat peningkatan kadar fosfat serum sebaliknya penurunan kadar serum
kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon
dari kalenjar paratiroid. Namun demikkian, pada gagal ginjal, tubuh tidak
berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon dan
akibatnya kalsium tulang menurun menyebabkan perubahan pada tulang dan
penyakit tulang.
Selain itu, metabolit aktif vitamin D (1,25 – dihidroksikalsiferol) yang secara
normal dibuat di ginjal menurun seiring dengan berkembangnya gagal ginjal.
f. Penyakit tulang uremik (osteodistrofi)
Sering disebut osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks kalsium,
fosfat dan keseimbangan parathormon. Laju penurunan fungsi ginjal dan
perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari,
ekskresi protein dalam urine, dan adanya hipertensi. Pasien yang
mengekskresikan secara signifikan sejumlah protein atau mengalami
peningkatan tekanan darah cenderung akan cepat memburuk daripada mereka
yang tidak mengalami kondisi ini.
Pathway (Terlampir)

5. Klasifikasi
Klasifikasi CKD menurut NKF (National Kidney Foundation) adalah sebagai
berikut:
1. Stadium I: Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat (≥90
mL/menit/1,73 m2)
2. Stadium II: Kerusakan ginjal dengan GFR menurun ringan (60-89
mL/menit/1,73 m2)
3. Stadium III: GFR menurun sedang (30-59 mL/menit/1,73 m2)
4. Stadium IV: GFR menurun berat (15-29 mL/menit/1,73 m2)
5. Stadium V: Gagal ginjal (GFR ≤ 15 mL/menit/1,73 m2 atau dialisis)
Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin
Test) dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatini serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85.

6. Manifestasi Klinis
Menurut Alam dan Hadibroto (2017), pada keadaan stadium satu, GFR masih
normal atau bahkan meningkat. Kemudian secara perlahan akan terjadi penurunan
fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada GFR sebesar 60%, pasien masih belum merasakan
keluhan (asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Saat GFR sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia,
badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan.
Pada GFR di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang
nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor
dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah
terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun
infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo
atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan
kalium (Alam & Hadibroto, 2017).
Pada GFR dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan
pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy)
antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan
sampai pada stadium gagal ginjal (Sukandar, 2016).
Manifestasi klinik CKD menurut Sukandar (2016) antara lain:
a. Hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sistem renin -
angiotensin - aldosteron)
b. Gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan)
c. Perikarditis (akibat iritasi pada lapisan perikardial oleh toksik, anoreksia,
mual, muntah, cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran,
tidak mampu berkonsentrasi).

Gambaran klinik penyakit ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat
kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti (Sukandar, 2016):
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien
penyakit ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah
lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal
ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah
masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh
flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan
iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Gejala
gastrointestinal lain yang timbul diantaranya: perdarahan saluran GI, ulserasi
dan perdarahan mulut, serta nafas berbau amonia. Keluhan-keluhan saluran
cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan
antibiotika.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien
penyakit ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan penyakit ginjal kronik yang adekuat, misalnya
hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis, dan
pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi
maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik.
Penimbunan atau deposit garam kalsium pada konjungtiva menyebabkan
gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati
mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien penyakit ginjal kronik akibat
penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini
akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering
dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost, warna kulit abu-abu mengkilat, ekimosis, kuku tipis dan
rapuh, rambut tipis dan kasar.
e. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada
penyakit ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput
serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.
f. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan
depresi sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik. Kelainan mental
berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga
sering dijumpai pada pasien CKD. Kelainan mental ringan atau berat ini
sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung
dari dasar kepribadiannya (personalitas).
g. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis Gagal Jantung Kongestif (GJK) pada penyakit ginjal kronik
sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis,
kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik
terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal
jantung. Pada sistem kardiovaskuler sering ditemukan hipertensi, pitting
edema, edema periorbital, pembesaran vena jugularis, dan friction rub
pericardial.
h. Kelainan sistem pulmoner: krekels, nafas dangkal, kusmaull, sputum kental
dan liat.
i. Kelainan sistem muskuloskeletal: kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur
tulang.
j. Kelainan sistem reproduksi: amenore, atrofi testis.

7. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang pada Pasien dengan Chronic Kidney


Disease (CKD)
Menurut Rustamaji (2015), terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat
dilakukan pada pasien dengan CKD yaitu sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Laboratorium
a) Laboratorium darah :
 BUN/ kreatinin: meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap
akhir
 Hemoglobin : menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang dari
7-8 gr/dl
 SDM: menurun, defisiensi eritropoitin
 GDA: asidosis metabolik, pH kurang dari 7,2
 Natrium serum < 135 mEq/L
 Kalium: meningkat, > 4,5mEq/L
 Magnesium: meningkat, > 2,5 mg/dl
 Kalsium ; menurun , < 9 mg/dl
 Protein (albumin) : menurun, < 4 g/dl
b) Laboratorium urin :
 Volume: biasanya kurang dari 400ml/24 jam atau tak ada (anuria)
 Warna: secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, fosfat atau uratsedimen kotor, kecoklatan menunjukkan
adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin
 Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkn kerusakan ginjal berat
 Osmolalitas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal
tubular dan rasio urin/serum sering 1:1
 Klirens kreatinin: mungkin agak menurun, < 117 ml/menit
 Natrium: lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium
 Protein: Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkkan
kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada
 Osmolalitas serum: lebih dari 285 mOsm/kg
b. Radiologi
Pemeriksaan USG
 Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal,ginjal dan adanya
massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
 Endoskopi ginjal, nefroskopi: untuk menentukan pelvis ginjal, keluar
batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif
 Arteriogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular, masa
c. EKG
Ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa
d. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati
normal, yang diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Tujuannya
untuk mengetahui etiologi, terapi, prognosis dan mengevaluasi terapi yang
diberikan.

8. Kriteria Diagnosis Chronic Kidney Disease (CKD)


Menurut Sudoyo (2009) adapun penegakan diagnose medis penyakit CKD
adalah sebagai berikut :
a. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural atau fungsional, dengan atau tanpa manfaat penurunan GFR
dengan manifestasi seperti kelainan patologis, terdapat tanda kelainan
ginjal termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin atau kelainan
dalam tes pencitraan (imaging test).
b. Laju GFR kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal.
c. Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan GFR
sama atau lebih dari 60 ml/menit/ 1,73 m2 maka tidak termasuk kriteria
CKD.

9. Penatalaksanaan
a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya fisiologis
ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal, dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (SIGN, 2008).
1) Peranan diet
Diet rendah protein (20-40 g/hari) dan tinggi kalori menghilangkan gejala
anoreksia dan nausea dari uremia, menyebabkan penurunan uremia,
menyebabkan penurunan ureum dan perbaikan gejala. Hindari masukan
berlebih dari kalium dan garam.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk CKD harus adekuat
dengan tujuan utama yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi, dan memelihara status gizi.
3) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg%, kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. Pengawasan dilakukan melalui
berat badan, urine, dan pencatatan keseimbangan cairan.
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung
dari GFR dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi simptomatik
1) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
Selain itu, hindari masukan kalium yang besar (batasi hingga 60
mmol/hari), diuretik hemat kalium, obat-obat yang berhubungan dengan
ekskresi kalium (misalnya, penghambat ACE dan obat antiinflamasi
nonsteroid), asidosis berat, atau kekurangan garam yang menyebabkan
pelepasan kalium dari sel dan ikut dalam kaliuresis. Deteksi melalui kadar
kalium plasma dan EKG.
2) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksia, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada CKD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari CKD. Keluhan gastrointestinal yang lain
adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
4) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5) Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi. Hiperfosfatemia dikontrol dengan obat yang mengikat
fosfat seperti aluminium hidroksida (300-1800 mg) atau kalsium karbonat
(500-3.000 mg) pada setiap makan.
6) Kontrol hipertensi
Pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal, keseimbangan garam dan
cairan diatur tersendiri tanpa tergantung tekanan darah. Sering diperlukan
diuretik loop, selain obat antihipertensi.
7) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada GFR kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisa,
dialisis peritoneal, atau transplantasi ginjal (Syamsiah, 2011).

Hemodialisa
1. Pengertian Hemodialisa
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluaran cairan
dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan
proses tersebut (Price & Wilson, 2005). Hemodialisa (HD) merupakan suatu
cara untuk mengeluarkan produk sisa metabolisme berupa larutan (ureum,
creatinin) dan air yang berada dalam pembuluh darah melalui membran
semipermeabel atau yang disebut dengan dialyzer (Thomas, 2003).
Hemodialisa (HD) adalah proses dimana terjadi difusi partikel terlarut (solut)
dan air secara pasif melalui satu kompartemen cair yaitu darah menuju
kompartemen cair lainnya yaitu cairan dialisat melewati membran
semipermeabel dalam dialiser (Price & Wilson, 2005). Hemodialisa (HD)
merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit
akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga
beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal yang
membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen. Membran sintetik
yang bersifat semipermiable menggantikan fungsi glomerulus dan tubulus
renal untuk bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya. HD
yang dilakukan pada penderita gagal ginjal kronis akan mencegah kematian,
namun tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal (Smeltzer &
Bare, 2002).
2. Tujuan Hemodialisa
Tujuan hemodialisa adalah menghilangkan gejala, yaitu mengendalikan
uremia, kelebihan cairan dan ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada
pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir. Hemodialisa efektif mengeluarkan
cairan, elektrolit, dan sisa metabolisme tubuh, sehingga secara tidak langsung
bertujuan untuk memperpanjang umur pasien (Kallenbach et all, 2005).
Menurut Kammerer (2017), tujuan hemodialisa adalah untuk mengambil zat-
zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang
berlebihan. Pada hemodialisa, aliran darah yang penuh dengan toksin dan
limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah tersebut
dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Hemodialisa
dilakukan sebagai terapi pengganti ginjal yang memiliki beberapa tujuan,
antara lain:
a. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam
urat.
b. Membuang kelebihan air.
c. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer (asam basa) tubuh.
d. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
e. Memperbaiki status kesehatan penderita.
3. Indikasi tindakan Hemodialisa
Hemodialisa diindikasikan pada klien dalam keadaan akut yang memerlukan
terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau
klien dengan penyakit ginjal tahap akhir yang membutuhkan terapi jangka
panjang/permanen (NKF, 2011). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu:
a. Indikasi absolut
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut yaitu perikarditis,
ensefalopati, neuropati perifer, hiperkalemia dan asidosis metabolik,
hipertensi maligna, edema paru, oliguri berat atau anuria bendungan
paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik,
hipertensi refrakter, muntah persisten dan Blood Uremic Nitrogen
(BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.
b. Indikasi elektif
Indikasi elektif, yaitu Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) antara 5-8
mL/menit/1,73 m2, mual, anoreksia, muntah, sindrom uremia, penyakit
tulang, gangguan pertumbuhan, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
Laboratorium abnormal: asidosis metabolik, azotemia (kreatinin 8−12
mg%, BUN 100−120 mg%, CCT kurang dari 5−10 mL/menit).
c. Indikasi pada gagal ginjal stadium terminal
Indikasi dilakukannya hemodialisa pada penderita gagal ginjal stadium
terminal antara lain karena telah terjadi:
1) Kelainan fungsi otak karena keracunan ureum (ensefalopati uremik)
2) Gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit, misalnya:
asidosis metabolik, hiperkalemia dan hiperkalsemia
3) Edema paru sehingga menimbulkan sesak napas berat
4) Gejala-gejala keracunan ureum (uremic symptom)
d. Indikasi pada gagal ginjal kronik
Menurut Suwitra (2014) umumnya indikasi dialisa pada GGK adalah
bila laju filtrasi glomerulus (LFG sudah kurang dari 5 ml/menit)
sehingga dialisis baru dianggap perlu dimulai bila dijumpai salah satu
dari hal berikut ini:
1) Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata.
2) Kalium serum > 6 mEq/L
3) Ureum darah > 200 mg/L
4) pH darah < 7,1
5) Anuria berkepanjangan (lebih dari lima hari)
6) Fluid overloaded/kelebihan cairan.
e. Indikasi pada gagal ginjal akut
Terapi dialisis pada gagal ginjal akut memudahkan dalam pemberian
cairan dan nutrisi. Indikasi terapi dialisis ditetapkan berdasarkan
berbagai pertimbangan, bila diberikan pada saat yang tepat dan cara
yang benarakan memperbaiki morbiditas, dan mortalitas. Pada gagal
ginjal akut berat yang pada umumnya dirawat di unit perawatan intensif,
terapi dialisis diberikan lebih agresif. Menunda terapi dialisis pada gagal
ginjal akut berat hanya akan memperburuk gangguan fisiologis dengan
konsekuensi peningkatan mortalitas. Adapun indikasi dialisis pada
penderita gagal ginjal akut antara lain:
1) Severe fluid overload/kelebihan cairan berat
2) Refractory hypertention
3) Hiperkalemia yang tidak terkontrol
4) Mual, muntah, nafsu makan kurang, gastritis dengan perdarahan
5) Letargi, malaise, somnolen, stupor, koma, delirium, asterixis,
tremor, seizure, perikarditis (resiko perdarahan atau tamponade)
6) Perdarahan diatesis (epistaksis, perdarahan gastrointestinal dan lain-
lain)
7) Asidosis metabolik berat
8) Blood Urea Nitrogen (BUN) > 70-100 mg/dl
4. Kontraindikasi
Kontraindikasi absolut dari hemodialisa sangat sedikit. Kontra indikasi untuk
hemodialisa yang paling sering adalah tidak adanya akses vaskular, toleransi
terhadap prosedur hemodialisa yang buruk, dan juga terdapat ketidakstabilan
hemodinamik yang parah. Kontraindikasi relatif terapi dialisis antara lain:
a. Malignansi stadium akhir (kecuali multiple myeloma)
b. Penyakit alzheimer
c. Multi infarct dementia
d. Sindrom hepatorenal
e. Sirosis hati tingkat lanjut dengan ensefalopati
f. Hipotensi
g. Penyakit terminal
h. Organic brain syndrom
5. Peralatan Hemodialisa
Peralatan hemodialisa meliputi mesin hemodialisa, dialiser, dan dialisat.
a. Mesin hemodialisa
Mesin hemodialisa terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan
dialisat dan sistem monitoring. Pompa dalam mesin hemodialisa berfungsi
untuk mengalirkan darah dari tubuh ke dialiser dan mengembalikan kembali
ke dalam tubuuh (Thomas, 2013). Selain itu, mesin hemodialisa juga
dilengkapi dengan detektor udara untuk mendeteksi adanya udara dalam
vena (Thomas, 2013).
b. Dialiser
Dialiser (ginjal buatan) adalah tempat dimana proses hemodialisa
berlangsung, sehingga terjadi pertukaran zat-zat dan cairan dalam darah dan
dialisat. Dialiser merupakan kunci utama proses hemodialisa, karena yang
dilakukan oleh dialiser sebagian besar dikerjakan oleh ginjal yang normal.
Dialiser terdiri dari dua kompartemen yaitu dialisat dan darah, yang
dipisahkan oleh membran semipermeabel yang mencegah cairan dialisat dan
darah bercampur menjadi satu (Le Mone & Burke, 2018).
Luas permukaan membran dan daya saring membran mempengaruhi jumlah
zat dan air yang berpindah. Dialiser high efficiency adalah dialiser yang
mempunyai luas permukaan membran yang besar, sedangkan high flux
adalag dialiser yang mempunyai pori-pori besar dan dapat melewatkan
molekul yang besar, dan mempunya permeabilitas tinggi terhadap air.
c. Dialisat
Dialisat adalah cairan yang tediri dari air dan elektrolit utama dari serum
normal yang dipompakan melewati dialiser ke darah pasien. Komposisi
ciaran dialisat diatur sedemikian rupa sehingga mendekati komposisi ion
darah normal dan sedikit dimodifikasi agar dapat memperbaiki gangguan
cairan dan elektrolit pada penyakit gagal ginjal tahap akhir.
Dialisat dibuat dalam sistem air bersih dengan air kran dan bahan kimia yang
disaring dan diolah dengan water treatment secara bertahap. Larutan dialisat
harus diatur pada suhu antara 36,5 – 37,5oC sebelum dialirkan ke dialiser.
Suhu larutan dialisat yang terlalu rendah atau melebihi suhu tubuh dapat
menimbulkan komplikasi (Kallenbach et all, 2005).
Tabel 1. Konsentrasi substansi dalam darah dan dialisat
Darah Substansi Dialisat
133 – 144 Natrium (mmol/L) 132 – 155
3,3 – 5,3 Kalium (mmol/L) 0 – 3,0
2,5 – 6,5 Ureum (mmol/L) 0
60 – 120 Creatinin (mmol/L) 0
2,2 – 2,6 Kalsium (mmol/L) 1,25 – 2,0
0,85 Magnesium (mmol/L) 0,25 – 0,75
4,0 – 6,6 Glukosa (g/L) 0 –10
22 – 30 Bicarbonat (mmol/L) 30 –40

6. Prinsip Dasar Hemodialisa


Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu difusi, osmosis dan
ultrafiltrasi (Smeltzer & Bare, 2002). Saat proses difusi, sisa akhir
metabolisme di dalam darah dikeluarkan dengan cara berpindah dari darah
yang konsentrasinya tinggu ke dialisat yang mempunyai konsentrasi rendah
(Smeltzer & Bare, 2002). Ureum, kreatinin, asam urat, dan fosfat dapat
berdifusi dengan mudah dari darah ke cairan dialisat karena unsur-unsur ini
tidak terdapat dalam dialisat. Natrium asetat atau bicarbonat yang lebih
tinggi konsentrasinya dalam dialisat akan berdifusi ke dalam darah.
Kecepatan difusi solut tergantung kepada koefisien difusi, luas permukaan
membran dialiser, dan perbedaan konsentrasi serta perbedaan tekanan
hidrostatik diantara membran dialisis (Price & Wilson, 2005).
Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan,
dengan kata lain air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi
(tubuh klien) ke tekanan yang lebih rendah (dialisat). Gradien ini dapat
ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal dengan
ultrafiltrasi pada mesis hemodialisa. Tekanan negatif sebagai kekuatan
penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran ir, sehingga tercapai
keseimbangan cairan (Price & Wilson, 2005).
7. Proses Hemodialisa
Efektifitas hemodialisa tercapai bila dilakukan 2 – 3 kali dalam seminggu
selama 4 – 5 jam, atau paling sedikit 10 – 12 jam seminggu (Australia and
New Zeeland Dialysis and Transplant Registry, 2005; Black & Hawk, 2005).
Hemodialisa di Indonesia biasanya dilakukan dua kali seminggu dengan
lama hemodialisa lima jam, atau dilakukan tiga kali dalam seminggu dengan
lama hemodialisa empat jam (Raharjo, Susalit & Suharjono, 2006).
Sebelum hemodialisa dilakukan pengkajian pradialisis, dilanjutkan dengan
menghubungkan klien dengan mesin hemodialisa dengan memasang blood
line dan jarum ke akses vaskuler klien, yaitu akses untuk jalan keluar darah
ke dialiser dan akses untuk masuk darah ke dalam tubuh. Arterio Venous
(AV) Fistula adalah akses vaskuler yang direkomendasikan karena
cenderung lebih aman dan juga nyaman bagi pasien (Thomas, 2013).
Setelah blood line dan akses vaskuler terpasang, proses hemodialisa dapat
dimulai. Saat dialisis darah akan dialirkan ke luar tubuh dan disaring di
dalam dialiser. Darah mulai mengalir dibantu pompa darah. Cairan normal
salin diletakkan sebelum pompa darah untuk mengantisipasi adanya
hipotensi intradialisis. Infus heparin diletakkan sebelum atau sesudah pompa,
tergantung pada peralatan yang digunakan (Hudak & Gallo, 1999). Darah
mengalir dari tubuh melalui akses arterial menuju ke dialiser sehingga terjadi
pertukaran darah dan zat sisa. Darah harus dapat keluar dan masuk tubuh
pasien dengan kecepatan 200−400 ml/menit (Price & Wilson, 2005).
Sumber: Smeltzer & Bare (2002)
Proses selanjutnya darah akan meninggalkan dialiser. Darah yang
meninggalkan dialiser akan melewati detektor udara. Darah yang sudah
disaring kemudian dialirkan kembali ke dalam tubuh melalui akses venosa.
Dialisis diakhiri dengan menghentikan darah dari pasien, membuka selang
normal salin dan membilas selang untuk mengembalikan darah pasien. Pada
akhir dialisis, sisa akhir metabolisme dikeluarkan, keseimbangan elektrolit
tercapai dan buffer system telah diperbaharui.
8. Faktor yang Mempengaruhi Hemodialisa
a. Aliran darah
Secara teori seharusnya aliran darah secepat mungkin. Hal-hal yang
membatasi kemungkinan tersebut antara lain: tekanan darah dan jarum
yang digunakan. Terlalu besar aliran darah bisa menyebabkan syok pada
penderita.
b. Luas selaput/membran yang dipakai
Luas selaput yang biasa dipakai adalah 1−1,5 cm2 tergantung dari besar
badan/ berat badan pasien.
c. Aliran dialisat
Semakin cepat aliran dialisat semakin efisien proses hemodialisa,
sehingga dapat menimbulkan borosnya pemakaian cairan.
d. Temperatur suhu dialisat
Temperature dialisat tidak boleh kurang dari 360C karena bisa terjadi
spasme dari vena sehingga aliran darah melambat dan penderita
menggigil. Temperatur dialisat tidak boleh lebih dari 420C karena bisa
menyebabkan hemolisis.
9. Keuntungan dan Kelemahan
Keuntungan:
Dialisa membersihkan darah dengan efektif dalam waktu singkat, waktu
dialisis cepat dan resiko kesalahan teknik kecil, tidak perlu menyiapkan
peralatan hemodialisa sendiri, kondisi pasien lebih terpantau karena prosedur
hemodialisa dilakukan di rumah sakit oleh tenaga kesehatan terlatih, dan
jumlah protein yang hilang selama proses hemodialisa lebih sedikit.
Kelemahan atau kerugian
Antara lain: fungsi ginjal yang tersisa cepat menurun, ketergantungan pasien
dengan mesin hemodialisa, akses vaskular dapat menyebabkan infeksi dan
trombosis, sering terjadi hipotensi dan kram otot, pembatasan asupan cairan
dan diet lebih ketat, kadar hemoglobin lebih rendah sehingga kebutuhan akan
eritropoetin lebih tinggi (Mollaoglu, 2013).
10. Komplikasi
Komplikasi intradialisis yang berhubungan dengan prosedur dialisis menurut
Mollaoglu (2013) adalah:
a. Hipotensi
Hipotensi saat hemodialisa (intradialytic hypotension) merupakan
masalah yang sering terjadi. Hipotensi intradialisis terjadi pada klien
yang mengalami gangguan sistem kardiovaskuler, yang disebabkan oleh
kelainan struktural jantung dan pembuluh darah. Hipotensi tidak hanya
menyebabkan ketidaknyamanan, tetapi juga meningkatkan angka
kematian.Pencegahan hipotensi intradialisis dengan cara melakukan
pengkajian berat kering secara teratur, menghitung UFR secara tepat,
mengatur suhu dialisat, menggunakan dialisat bikarbonat, monitoring
tekanan darah selama proses hemodialisa.
b. Headache (sakit kepala)
Penyebab sakit kepala saat hemodialisa belum diketahui. Kecepatan
UFR yang tinggi, penarikan cairan dan elektrolit yang besar, lamanya
dialisis, tidak efektifnya dialisis, dan tingginya infiltrasi juga dapat
menyebabkan terjadinya headache intradialysis.
c. Mual dan muntah
Mual dan muntah saat hemodialisa dapat dipengaruhi oleh beberapa hal,
yaitu gangguan keseimbangan dialisis akibat ultrafiltrasi yang
berlebihan, lamanya waktu hemodialisa, perubahan homeostasis, dan
besarnya ultrafiltrasi.
d. Sindrom disequilibrium
Sindrom disequilibrium merupakan sekelompok gejala yang diduga
terjadi karena adanya disfungsi serebral. Kumpulan gejala disfungsi
serebral terdiri dari sakit kepala berat, mual, muntah, kejang, penurunan
kesadaran sampai dengan koma. Sindrom disequilibrium saat
hemodialisa terjadi akibat kondisi yang meningkatkan edema serebral,
adanya lesi pusat saraf (stroke/trauma), tingginya kadar ureum pra HD,
dan asidosis metabolik berat.
Proses penarikan ureum yang terlalu cepat pada saat hemodialisa
mengakibatkan plasma darah menjadi hipotonik. Akibatnya akan
menurunkan tekanan osmotik, mengakibatkan pergeseran air ke dalam
sel otak sehingga terjadi edema serebral.
e. Demam dan menggigil
Selama prosedur hemodialisa perubahan suhu dialisat juga dapat
meningkatkan atau menurunkan suhu tubuh. Suhu dialisat yang tinggi
lebih dari 37,5oC dapat menyebabkan demam, sedangkan suhu dialisat
yang terlalu dingin yaitu kurang dari 34 – 35,5OC dapat menyebabkan
gangguan kardiovaskuler, vasokontriksi dan menggigil.
f. Kram Otot
Intradialytic muscle cramping, biasa terjadi pada ekstremitas bawah.
Beberapa faktor risiko terjadinya kram diantaranya perubahan
osmolaritas, ultrafiltrasi yang terlalu tinggi dan ketidakseimbangan
kalium dan kalsium intra atau ekstra sel.
g. Emboli udara
Udara dapat memasuki sirkulasi melalui selang darah yang rusak,
kesalahan menyambung sirkuit, adanya lubang pada kontainer cairan
intravena, kantong darah atau cairan normal salin yang kosong, atau
perubahan letak jarum arteri. Gejala yang berhubungan dengan
terjadinya emboli udara adalah adanya sesak napas, napas pendek dan
kemungkinan adanya nyeri dada.
h. Hemolisis
Hemolisis adalah kerusakan atau pecahnya sel darah merah akibat
pelepasan kalium intraseluler. Hemolisis dapat terjadi akibat sumbatan
akses selang darah dan sumbatan pada pompa darah, peningkatan
tekanan negatif yang berlebihan karena pemakaian jarum yang kecil
pada kondisi aliran darah yang tinggi, atau posisi jarum yang tidak tepat.
Penyebab lain hemolisis adalah penggunaan dialisat hipotonik.
Hemolisis masif akan meningkatkan risiko hiperkalemi, aritmia dan
henti jantung.
i. Nyeri dada
Terjadi akibat penurunan hematokrit dan perubahan volume darah
karena penarikan cairan. Perubahan volume darah menyebabkan
terjadinya penurunan aliran darah ke miokard dan mengakibatkan
berkurangnya oksigen miokard. Nyeri dada juga bisa menyertai
komplikasi emboli udara dan hemolisis.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
1) Diagnosa yang mungkin muncul saat pre HD
a) DS : pasien mengeluh sulit mengeluarkan urin dan merasa
nyeri ketika berkemih.
DO : pasien memiliki riwayat penyakit DM, hipertensi yang
tidak terkontrol, mengalami penurunan laju GFR,
infeksi pada traktus urinary.
Dx Keperawatan : Hambatan Eliminasi Urin
b) DS : pasien menyatakan merasakan gatal pada tubuhnya.
DO : pada kulit pasien terlihat perubahan integritas kulit
seperti adanya bekas garukan pada kulit karena gatal,
pasien mengalami peningkatan BUN dan uremia.
Dx Keperawatan : Kerusakan Integritas Kulit
c) DS : pasien mengeluh mual dan penurunan nafsu makan
DO : bau nafas pasien berbau ammonia, serta terjadi
peningkatan uremia
Dx Keperawatan : Nausea
d) DS : pasien mengeluh lemas dan menyatakan mengalami
mengalami penurunan nafsu makan.
DO : pasien mengalami anoreksia.
Dx Keperawatan : Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan
Tubuh
e) DS : pasien mengeluh lemas, adanya bengkak pada tubuh
DO : adanya edema, penurunan hematokrit dan hemoglobin,
pasien terlihat lemas
DX Keperawatan : Kelebihan Volume Cairan Tubuh
2) Diagnosa yang mungkin muncul saat intra HD
a) DS : pasien mengeluh nyeri
DO : adanya laporan skala nyeri dari pasien, serta adanya
ekspresi yang menandakan nyeri seperti meringis
kesakitan.
Dx Keperawatan : Nyeri Akut
b) DS :-
DO : adanya penggunaan heparin
Dx Keperawatan : Risiko Perdarahan
3) Diagnosa yang mungkin muncul saat post HD
a) DS : pasien mengeluh mual
DO : pasien mengalami peningkatan asam lambung, dan
hipoglikemi
Dx Keperawatan : Nausea
b) DS : pasien mengeluh haus
DO : natrium dalam darah meningkat
Dx Keperawatan : Risiko Kekurangan Volume Cairan Tubuh
c) DS : pasien mengeluh nyeri.
DO : terdapat luka pada tubuh pasien akibat prosedur
invasive pemasangan akses vascular untuk proses
hemodialysis
Dx Keperawatan : Risiko Infeksi

2. Diagnosa Keperawatan
a) Hambatan eliminasi urin berhubungan dengan adanya riwayat penyakit DM,
hipertensi yang tidak terkontrol, mengalami penurunan laju GFR, serta adanya
infeksi pada traktus urinary yang ditandai dengan rasa sulit berkemih serta
nyeri ketika berkemih.
b) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan pada volume cairan
dan metabolisme tubuh yaitu terjadinya peningkatan BUN dan uremia yang
ditandai dengan adanya perubahan pada integritas kulit seperti munculnya
ruam dan gatal.
c) Nausea berhubungan dengan adanya proses biokimia akibat adanya
peningkatan BUN dan uremia yang ditandai dengan adanya perasaan mual dan
penurunan nafsu makan.
d) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
adanya faktor biologis yaitu adanya peningkatan BUN dan uremia sehingga
menyebabkan mual dan anoreksi yang ditandai dengan adanya penurunan
nafsu makan.
e) Kelebihan volume cairan tubuh berhubungan dengan adanya perubahan
mekanisme kompensasi regulator akibat adanya penumpukan ureu elektrolit
dan hasil metabolic dalam tubuh yang ditandai dengan terjadinya edema,
penurunan hematokrit dan hemoglobin, serta pasien terlihat lemas.
f) Nyeri akut berhubungan dengan adanya luka fisik akibat adanya prosedur
invasive pemasangan akses vascular untuk proses hemodialysis yang ditandai
dengan adanya laporan skala nyeri dari pasien serta ekspresi wajah yang
memperlihatkan perasaan nyeri seperti meringis.
g) Risiko perdarahan adanya sistem sirkulasi darah ekstrakorporeal sehingga
memerlukan aktivasi sistem koagulan dan memerlukan terapi heparin.
h) Risiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan adanya
perubahan mekanisme regulator tubuh akibat peningkatan kadar natrium
dalam darah.
i) Risiko infeksi berhubungan dengan adanya trauma fisik akibat prosedur
invasive pemasangan akses vascular untuk proses hemodialysis.
3. Rencana Tindakan Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional

1 Hambatan eliminasi urine Setelah diberikan asuhan Nic Label: Nic Label:
keperawatan selama 3 x 24 jam, Urinary Elimination Management Urinary Elimination
eleminasi urin klien normal dengan 1. Monitor eleminasi urin termasuk Management
criteria hasil: frequensi, konsistensi, bau, 1. Untuk mengetahui apakah
volume, dan warna jika diperlukan ada keabnormalan pada urin
NOC Label: Urinary Elemination 2. Identifikasi factor kontribusi yang 2. Mengetahui penyebab dari
1. Pola eliminasi klien teratur menyebabkan episode peningkatan peningkatan berkemih
2. Jumlah urin dalam rentang berkemih 3. Untuk mengetahui pola
normal : Jumlah urine ; 0.5 ml 3. Catat waktu kehilangan eleminasi berkemih pasien normal atau
/ kg BB/jam (30-50 ml/jam) urin jika diperlukan tidak
3. Tidak ada nyeri saat berkemih 4. Instruksikan klien dan keluarga 4. Untuk mengetahui seberapa
4. Nokturia berkurang mencatat urinary output jika banyak cairan yang keluar
diperlukan
NOC Label: Kidney Function NIC label :
1. Blood Urea Nitrogen dalam NIC label : Fluid Management
penyimpangan sedang : 6 – 24 Fluid Management 1. Untuk mengetahui
mg/dl 1. Pantau input dan output yang sesuai keseimbangan cairan klien
2. Serum Kreatinin dalam 2. Pantau status hidrasi klien 2. Untuk mencegah kelebihan
penyimpangan sedang 0.5 – 1.2 3. Pantau tanda-tanda vital cairan lebih lanjut
mg/dl. 4. Pantau makanan / cairan yang 3. Untuk mengetahui keadaan
masuk dan menghitung asupan umum klien
kalori harian yang sesuai. 4. Untuk menjaga keseimbangan
cairan
NIC label :
Fluid Monitoring NIC label :
1. Kaji history dari cairan yang Fluid Monitoring
dibutuhkan dan pola eliminasi 1. Untuk mengukur
2. Monitor serum dan urine elektrolit keseimbangan cairan klien
jika dibutuhkan 2. Untuk mengetahui adanya
3. Monitor serum dan level kelainan pada fungsi ginjal
osmolalitas urine 3. Untuk mengetahui apakah
4. Monitor warna, kualitas, dan ada kelainan pada fungsi
specific gravity uriny ginjal
4. Untuk mengetahui apakah
terdapat keabnormal dari
urine yang menandakan
adanya menurunnya fungsi
ginjal atau akibat infeksi

2 Kelebihan volume cairan Setelah diberikan asuhan NIC Label : NIC Label :
tubuh keperawatan selama …x24 jam Fluid Management Fluid Management
diharapkan volume cairan tubuh 1. Monitor dan timbang berat 1. Untuk mengetahui berat
klien normal dengan criteria hasil : badan pasien setiap hari selama badan pasien setiap hari
dirawat 2. Untuk dokumentasi dan
NOC Label: Fluid Balance 2. Pertahankan keakuratan sebagai perbandingan
1. Tekanan darah normal (sistolik catatan intake dan output 3. Untuk mempermudah
100-120 mmHg, diastolic 60-90 3. Pasang urinary kateter jika eleminas pasien serta
mmHg). diperlukanMonitor vital sign menghitung keseimbangan
2. Kecepatan nadi pasien normal 4. Periksa lokasi dan luas edema, cairan
dan kuat 60-100x/menit jika ada 4. Untuk mengetahui lokasi dan
3. Turgor kulit normal (CRT <2 5. Monitor status nutrisi pasien luas edema
dtk 6. Monitor respon pasien 5. Untuk mengetahui status
4. Intake dan output dalam 24 jam terhadap terapi elektrolit yang nutrisi pasien
seimbang diberikan 6. Untuk mengetahu respon
5. Berat badan stabil pasien terhadap terapi
NOC Label : Fluid Overload NIC Label : elektrolit yang diberikan
Severity Fluid Monitoring
1. Tidak tampak adanya edema 1. Kaji riwayat jumlah dan tipe NIC Label :
pada kaki cairan yang masuk dan Fluid Monitoring
2. Tidak tampak adanya edema kebiasaan eleminasi 1. Untuk mengetahui riwayat
sistemik 2. Kaji factor resiko yang jumlah dan tipe cairan yang
3. Tidak tampak adanya ascites menyebabkan masuk dan kebiasaan
(tampak kembung pada perut) ketidakseimbangan cairan eleminasi
4. Tidak ada peningkatan ukuran 3. Monitor cairan yang masuk 2. Untuk mengetahui factor
lingkar perut dan keluar resiko yang menyebabkan
4. Monitor membrane mukosa ketidak seimbangan cairan
dan turgor kulit 3. Untukmengetahui cairan yang
masuk dan keluar
NIC Label: 4. Untuk mengetahui keadaan
Hemodialisis Therapy: membrane mukosa dan turgor
1. Pasien harus melakukan cek kulit pasien.
darah untuk mengetahui kadar
urea nitrogen, serum NIC Label:
creatinine, serum Na, K dan Hemodialisis Therapy
PO4 1. nilai kadar urea nitrogen,
2. mencatat data dasar pasien serum kreatinin, Na, K, dan
meliputi berat badan, PO4 merupakan data
temperatur, denyut nadi, laboratorium yang digunakan
respirasi, dan tekanan darah untuk memastikan bahwa
sebelum hemodialisis pasien memang diindikasikan
3. menjelaskan kepada pasien untuk menjalani hemodialisis.
prosedur hemodialisis dan 2. Penilaian umum mengenai
tujuannya berat badan bersih adalah
4. pengecekan peralatan dan penting untuk mempermudah
fungsinya sesuai dengan perawat dan pasien dalam
petunjuk penggunaan alat mengurangi kelebihan cairan
5. Gunakan teknik steril untuk selama pelaksanaan dialysis
melakukan hemodialisis dan 3. Agar pasien lebih mengerti
gunakan jarum steril untuk dan kooperatif dalam
mengakses vena maupun melakukan hemodialisis.
teknik steril untuk 4. Memastikan bahwa alat siap
menyambungkan kateter. untuk digunakan
6. Gunakan APD untuk 5. Agar tidak terjadi saling
melindungi diri sendiri dari penularan kuman atau bakteri
kontak langsung dengan darah 6. Untuk mengurangi resiko
pasien. terinfeksi penyakit yang bisa
7. Hubungkan dializer dengan menular melalui darah.
kapiler dan amankan posisi 7. Memastikan bahwa
tabung. temperatur, denyut nadi,
8. Lakukan pengecekan sistem respirasi, dan tekanan darah
monitoring ( laju aliran darah, pasien berada dalam batas
tekanan, temperatur, HP, normal.
konduktifitas, bekuan darah, 8. Untuk memastikan bahwa
udara detektor, tekanan negatif hemodialisis berdampak
untuk ultrafiltrasi, dan sensor pada hasil laboratorium
darah) (kadar urea nitrogen, serum
9. Hindari mengambil darah atau creatinine, serum Na, K dan
melakukan tindakan di lengan PO4) yang normal.
pasien yang terdapat akses 9. Akses untuk hemodialisis
untuk hemodialisis dipakai seumur hidup, jadi
10. Sediakan kateter atau mengambil darah atau
perawatan fistula sesuai melakukan tensi pada lengan
dengan SOP pasien yang terdapat akses
11. Bekerjasama dengan pasien untuk hemodialisis dapat
untuk menentukan diet, merusak akses itu sendiri
pembatasan asupan cairan, dan sehingga jika kerusakan ini
pengobatan untuk mengatur terjadi perlu diambil tempat
cairan dan elektrolit selama akses yang lain
pengobatan 10. Agar fistula tetap steril dan
12. Ajarkan pasien untuk tidak terkontaminasi.
memonitoring diri sendiri dan 11. Mengatur pola makan yang
tanda – tanda efek samping benar dapat membantu
dari penyakit dan pasien dalam meningkatkan
pengobatannya kualitas hidupnya.
12. Untuk memandirikan pasien.

3 Nausea Setelah diberikan asuhan NIC Label : NIC Label :


keperawatan selama 3 x 24 jam Nausea Management Nausea Management
diharapkan mual klien dapat teratasi 1. Kaji frekuensi, durasi, dan 1. Mengetahui karakteristik
dengan kriteria hasil: faktor penyebab mual. mual yang dirasakan pasien.
2. Anjurkan pasien makan sedikit 2. Memastikan intake nutrisi
NOC Label: Nausea & Vomiting tapi sering serta menghindari pasien tetap adekuat.
Control bau makanan yang terlalu 3. Memandirikan pasien untuk
1. Pasien tidak merasakan mual menyengat. mampu mengurangi maupun
maupun muntah. 3. Ajarkan cara mengontrol atau mengontrol rasa mual yang
2. Pasien dapat mengontrol mengurangi rasa mual dengan dirasakan.
perasaan mual dengan teknik nonfarmakologi seperti 4. Mengatasi perasaan mual
mengurangi atau menghindari distraksi, terapi musik, pasien dengan tindakan
makanan dengan bau yang relaksasi. farmakologi.
menyengat, mengurangi mual 4. Kolaborasi pemberian 5. Meningkatkan pengetahuan
dengan aromaterapi, maupun antiemetic sesuai indikasi. pasien dan keluarga mengenai
distraksi. 5. Edukasi keluarga dan pasien pentingnya asupan nutrisi bagi
3. Pasien dapat mengkonsumsi agar tetap mempertahankan tubuh.
obat antiemetik dengan intake nutrisi tetap adekuat.
prosedur yang tepat waktu.
4. Kerusakan integritas kulit Setelah dilakukan asuhan NIC Label : NIC Label:
keperawatan selama 3 x 24 jam, Pruritus Management Pruritus Management
diharapkan keadaan pasien membaik 1. Kaji penyebab pruritus 1. Mengetahui secara spesifik
dengan criteria hasil : 2. Berikan medikasi krim atau lotion penyebab munculnya pruritus.
3. Kolaborasi pemberian antipruritus 2. Untuk mencegah iritasi akibat
NOC Label : atau antihistamin. pruritus.
Tissue Integrity : Skin & Mucous 4. Berikan terapi dingin pada bagian 3. Mengurangi terjadinya
Membranes yang gatal untuk mencegah pruritus dengan bantuan obat.
1. Suhu kulit normal (36,5-37,50C) iritasi. 4. Mencegah iritasi pada bagian
2. Integritas kulit kembali 5. Instruksikan pasien untuk tidak tubuh yang gatal
3. Lesi kulit berkurang berkeringan terlalu banyak atau 5. Mencegah perburukan
4. Eritema tidak ada menggunakan pakaian yang pruritus pada pasien.
terlalu tebal.

5. Kekurangan volume cairan Setelah dilakukan asuhan NIC Label: NIC Label:
keperawatan selama 3 x 24 jam Fluid management: Fluid management:
diharapkan pasien tidak mengalami 1. Pertahankan intake dan output 1. Membantu memperkirakan
kekurangan cairan dengan kriteria yang akurat kebutuhan penggatian cairan.
hasil sebagai berikut: 2. Monitor vital sign Pemasukan cairan harus
3. Kolaborasi pemberian cairan IV memperkirakan kehilangan
NOC Label: 4. Dorong masukan oral melalui urine, nasogastrik/
Fluid Balance, Hydration: 5. Tawarkan snack (jus buah atau drainase luka, dan kehilangan
1. Tekanan darah dalam rentang buah segar) tak kasatmata (contoh:
normal (Systole: 110-120 keringat dan metabolisme)
mmHg, Diastole: 80-90 mmHg) NIC Label: 2. Memampukan deteksi dini
2. Frekuensi nadi dalam rentang Fluid monitoring: atau intervensi hipovolemik
normal (80-100 kali/ menit) 1. Monitor intake dan output cairan sistemik
3. Turgor kulit normal (kembali 2. Monitor tekanan darah, HR, dan 3. Menggantikan kehilangan
dalam waktu < 2 detik) RR cairan dan natrium untuk
4. Mukosa membran lembab 3. Monitor membrane mukosa, mencegah atau memperbaiki
5. Intake cairan dalam rentang turgor kulit, dan rasa haus hipovolemia.
normal 1000-4500 cc/ hari 4. Monitor warna, jumlah, dan 4. Pasien dibatasi pemasukan
6. Output urine 600-3000 cc/ hari penampilan spesifik urin oral dalam upaya mengontrol
7. Perfusi jaringan normal (kembali gejala urinarius, homeostatik
dalam waktu < 2 detik) NIC Label: pengurangan cadangan dan
Hypovolemia management: peningkatan resiko dehidrasi
1. Monitor status cairan termasuk atau hipovolemia.
intake dan output cairan 5. Meningkatkan jumlah intake
2. Monitor tanda vital cairan melalui buah.
3. Monitor cairan yang hilang
4. Monitor respon pasien terhadap NIC Label:
penambahan cairan Fluid monitoring:
5. Dorong pasien untuk menambah 1. Membantu memperkirakan
intake oral kebutuhan penggatian cairan.
Pemasukan cairan harus
memperkirakan kehilangan
melalui urine, nasogastrik/
drainase luka, dan kehilangan
tak kasatmata (contoh:
keringat dan metabolisme)
2. Memberikan pedoman untuk
penggantian cairan dan
mengkaji respon
kardiovaskular.
3. Membantu memperkirakan
tingkat kekurangan cairan
dan memberikan pedoman
jumlah pemberian cairan
yang harus diberikan.
4. Mencegah terjadinya
kekurangan volume cairan
ekstraseluler yang
menyebabkan haus menetap,
tidak hilang dengan minum
air. Kehilangan cairan lanjut/
penggantian tidak adekuat
dapat menimbulkan status
hipovolemik.

NIC Label:
Hypovolemia management
1. Membantu memperkirakan
kebutuhan penggatian cairan.
Pemasukan cairan harus
memperkirakan kehilangan
melalui urine, nasogastrik/
drainase luka, dan kehilangan
tak kasatmata.
2. Menjadi indicator respon
tubuh terhadap terapi yang
diberikan
3. Menjadi indicator pemberian
cairan secara akurat.
4. Mencegah terjadinya
kelebihan volume cairan.
Mengkaji adanya ansietas
akibat terapi.
5. Mengurangi resiko dehidrasi
dan kekurangan volume
cairan berkelanjutan.
6. Ketidakseimbangan Selama 3x24 jam pasien diharapkan NIC Label : NIC Label :
Nutrisi Kurang dari dapat memiliki status nutrisi ideal Nutrition Therapy Nutrition Therapy
Kebutuhan Tubuh dengan kriteria hasil sebagai berikut: 1. Kaji nutrisi secara lengkap. 1. Mengkaji terkait alergi bahan
2. Pantau asupan nutrien yang makanan yang dimiliki
NOC Label : Nutritional Status
dikonsumsi pasien pasien yang nantinya
1. Peningkatan intake nutrisi
3. Pantau kandungan nutrisi yang berpotensi menghambat
2. Peningkatan intake energi
akan dikonsumsi pasien agar pemberian intervensi diet
3. Berat badan dalam kondisi
sesuai dengan anjuran diet yang TKTP
ideal (tidak terjadi penurunan
diperlukan pasien 2. Melakukan pengkajian
berat badan >20%).
4. Turgor kulit normal (CRT < 2 4. Lakukan kolaborasi dengan ahli nutrisi melalui food weighing
gizi untuk menentukan jenis atau food recall 24 hours
dtk)
makanan yang sesuai dengan terhadap bahan makanan
5. Indeks Massa Tubuh dalam
kondisi pasien. yang dikonsumsi pasien tiap
batas normal (>18,5-25,0)
6. Hasil pemeriksaan biokimia 5. Berikan makanan yang sedikit makan.
namun sering dan bertekstur cair 3. Melakukan pengkajian
pasien normal:
serta lembut. antropometri melalui indeks
a) Albumin (4-4,5 mg/100ml)
6. Fasilitasi opsional rute massa tubuh untuk
b) Transferin (170-250
adminitrasi nutrisi lain apabila mengetahui kondisi nutrisi
mg/100ml)
pasien mengalami gangguan pasien secara kontinyu.
c) Hemoglobin (12 – 15 g/dL)
menelan dan mengunyah 4. Menyesuaikan asupan
d) BUN (10-20 mg/100ml)
e) Eskresi kreatinin untuk 24 7. Jaga kebersihan mulut, anjurkan makanan yang disajikan ahli
untuk selalu melalukan oral gizi dengan anjuran diet yang
jam (laki-laki:0,6-13
hygiene atau fasilitasi bila pasien diterima pasien yaitu diet
mg/100ml, perempuan:0,5-
tidak mampu melakukan secara protein, natrium.
1,0 mg/100ml).
mandiri. 5. Menyarankan pasien untuk
8. Pantau hasil laboratorium yang mengkonsumsi bahan
relevan dengan status nutrisi pada makanan yang lembut seperti
pasien (albumin, BUN, kreatinin, bubur ayam, telur kukus dan
transferrin, hemoglobin). susu untuk memenuhi
9. Edukasi keluarga dan pasien standar diet TKTP yang
pentingnya asupan nutrisi sesuai dianjurkan.
kondisi demi kelancaran proses 6. Memfasilitasi pemberian
perawatan. nutrisi melalui NGT
(nasogastric tube) atau
enteral tube lainnya apabila
kondisi pasien tidak
memungkinkan untuk
melumat dan menelan
makanan.
7. Mulut yang bersih dapat
NIC Label: meningkatkan nafsu makan
Weight Management selain itu juga untuk
1. Diskusikan dengan keluarga dan mencegah adanya
pasien pentingnya intake nutrisi pertumbuhan jamur dalam
dan hal-hal yang menyebabkan mulut seperti candidiasis
penurunan berat badan. pada pasien.
2. Timbang berat badan pasien jika 8. Mengetahui status nutrisi
memungkinan dengan teratur. pasien secara spesifik.
9. Melibatkan peran aktif
keluarga dalam perawatan
pasien serta untuk
meningkatkan pengetahuan
keluarga dan pasien.

NIC Label :
Weight Management
1. Membantu memilih alternatif
pemenuhan nutrisi yang
adekuat.
2. Dengan menimbang berat
badan dapat memantau
peningkatan dan penurunan
status gizi.

7. Risiko Infeksi Setelah diberikan asuhan NIC Label : NIC Label :


keperawatan selama 3 x 24 jam, Infection Control Infection Control
diharapkan tidak terjadi infeksi pada 1. Pertahankan teknik steril dalam 1. Mencegah terjadinya infeksi
pasien dengan kriteria hasil : perawatan invasif pasien. silang yaitu infeksi
2. Lakukan penerapan five moments nosokomial pada pasien.
NOC Label : Infection Severity, hand washing salah satunya 2. Memaksimalkan proteksi
1. Tidak terdapat drainase sebelum melakukan tindakan pencegahan infeksi pada
purulen dan timbul bau busuk perawatan pada pasien. pasien.
dari luka.
2. Tidak terjadi peningkatan NIC Label :
maupun depresi jumlah Infection protection NIC Label :
leukosit akibat infeksi pada 1. Monitor tanda dan gejala infeksi Infection Protection
luka. sistemik maupun local. 1. Mengetahui adanya gejala dan
2. Monitor nilai WBC pada pasien. tanda infeksi sehingga
Tissue integrity : skin and mucous 3. Inspeksi kulit dan membran mempercepat proses
membranes mukosa terhadap adanya pencegahan perparahan
1. Suhu kulit normal (36,5- kemerahan, panas, drainase infeksi pada luka pasien.
37,50C). purulen serta kondisi luka insisi 2. Nilai WBC merupakan salah
2. Tidak timbul jaringan parut bedah. satu tanda terjadinya infeksi
pada luka 4. Dorong masukan cairan, nutrisi pada tubuh.
3. Tidak terjadi eritema dan dan istirahat yang adekuat. 3. Mengetahui adanya tanda dan
nekrosis jaringan kulit. 5. Ajarkan pasien dan keluarga gejala infeksi pada luka
pasien.
tanda dan gejala infeksi 4. Memaksimalkan proses
penyembuhan luka secara
internal dengan optimalisasi
cairan, nutrisi dan istirahat
pada pasien.
5. Memberdayakan pasien dan
keluarga untuk turut berperan
aktif dalam pengontrolan
infeksi pada pasien.
8. Nyeri Akut Setelah diberikan asuhan NIC Label : NIC Label:
keperawatan selama 3x24 jam Pain Management Pain Management
diharapkan nyeri yang dirasakan 1. Melakukan pengkajian yang 1. Mengetahui karakteristik
pasien berkurang dengan kriteria komprehensif yang meliputi nyeri secara spesifik.
hasil: lokasi, karakteristik, onset/durasi, 2. Mengurangi faktor-faktor
frekuensi, kualitas, intensitas atau yang dapat memperberat nyeri
NOC Label : Pain Control beratnya nyeri serta faktor yang dirasakan pasien.
1. Pasien dapat menggunakan pencetus. 3. Mengurangi nyeri dengan
analgesik yang 2. Kontrol lingkungan yang dapat bantuan farmakologi.
direkomendasikan untuk mempengaruhi respon 4. Membantu pasien mengurangi
mengurangi nyeri yang ketidaknyamanan klien( suhu dan mengontrol nyeri secara
dirasakan ruangan, cahaya dan suara) mandiri.
NOC Label : Pain Level 3. Berkolaborasi dengan tim
1. Nyeri yang dirasakan pasien kesehatan lain mengenai
berkurang pemberian analgesic untuk
2. Pasien tidak menunjukkan meurunkan nyeri yang dirasakan
ekspresi wajah nyeri pasien.
(meringis). 4. Mengajarkan penggunaan tekhnik
terapi pengalihan rasa nyeri non
farmakologi seperti terapi
relaksasi napas dalam, guided
imagery, distraksi.

9. Risiko Perdarahan Setelah diberikan asuhan NIC Label: NIC Label:


keperawatan selama 1 x 24 jam Bleeding Precautions Bleeding Precautions
diharapkan tidak terjadi perdarahan 1. Monitor adanya tanda- tanda 1. Mengetahui adanya tanda-
pada pasien dengan kriteria hasil: perdarahan tanda perdarahan
2. Monitor nilai hematokrit dan 2. Mengkaji adanya efek
NOC Label: Circulation Status hemoglobin. perburukan kondisi akibat
1. Tekanan darah stabil (sistolik 3. Berikan produk darah tambahan adanya perdarah persisten.
100-120mmHg, diastolic 60-90 bila diperlukan 3. Mempertahankan cairan darah
mmHg) dalam tubuh tetap optimal.
2. Nadi kuat dan berada dalam
rentang normal (60-100x/mnt)
3. Saturasi oksigen normal (95-
100%).
NOC Label: Blood Coagulation
1. Hemoglobin normal (12-15
g/dL).
2. Hematokrit normal (laki-laki
adalah 40%-54% dan
perempuan 37%-47%).
DAFTAR PUSTAKA

Alam, M & Hadibroto, I. (2017). Gagal Ginjal, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Bargman, J. M., Skorecki, K. (2013). Penyakit Ginjal Kronik. Edisi Terjemahan.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Bulechek, G. (2013). Nursing Intervention Classification (NIC) 6th Edition.
Missouri:Elseiver Mosby
George, Jr. A. L., Neilson, E. G. (2013). Biologi Dasar Ginjal. Edisi Terjemahan.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kallenbach, J. Z., Gutch, C.F., Stoner, M.H., & Corea, A.L. (2005). Review of
hemodialysis for nursing and dialysis personnel (7ed.). Elsevier Saunders: St
Louis missouri.
Kammerer, J. Garry, G, Hartigan, M, Carter, B, Erlich, L. (2007). Adherence in
patients on Dialysis: Strategies for Succes, Nephrology Nursing Journal.
Le Mone, P., & Burke, K.M. (2018). Medical surgical nursing: Critical thinking in
clience care, 6th edition. New Jersey: Prentice Hall Health.
Mollaoglu. (2013). Quality of Life in Patient Undergoing Hemodialysis. Turkey:
Cumhuriyet University.
Moorhead, S. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC): Measurement of
Health Outcomes 5th Edition. Missouri: Elsevier Saunder
Muttaqin, A., Sari, K. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika.
NKF (National Kidney Foundation). (2012). KDOQI Clinical Practice Guidelines for
Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification.
Retrieved from
http://www2.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/p4_class_g1.htm
PERNEFRI (Perkumpulan Nefrologi Indonesia). (2011). 4th Report Of Indonesian
Renal Registry. Jakarta : Program Indonesian Renal Registry
Price, S. A., Wilson L. M. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses – proses
Penyakit. Jakarta : EGC
Rustamaji, A.T. (2015). Chronic Kidney Disease (CKD). Diakses dari :
https://rsud.patikab.go.id/download/CKD.pdf
SIGN (Scottish Intercollegiate Guidelines Network). (2008). Diagnosis and
Management of Chronic Kidney Disease. Skotlandia : NHS
Smeltzer & Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner &
Suddarth. Jakarta : EGC
Sudoyo, A. W. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing.
Sukandar, E. (2016). Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: Fakultas Kedokteran
UNPAD
Suwitra. (2014). Penyakit Ginjal Kronik. Dalam Sudoyo, et al. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Syamsiah, N. (2011). Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Pasien
CKD yang Menjalani Hemodialisa di RSPAU Dr Esnawan Antariksa Halim
Perdana Kusuma Jakarta. Tesis.
Tanagho EA, McAninch JW. (2018). Smith’s General Urology 17th ed. New York :
McGraw Hill Lange
Thomas, N. (2013). Renal nursing 2nd edition. Philadelphia: Elsevier Science.

Anda mungkin juga menyukai