Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu faktor pendukung adanya kemajuan dalam peradaban

manusia adalah pendidikan, termasuk di dalamnya adalah pendidikan anak

usia dini. Pendidikan anak usia dini adalah upaya pembinaan yang ditujukan

bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun, yang dilakukan melalui

pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan

perkembangan jasmani dan rohani anak agar anak memiliki kesiapan dalam

memasuki pendidikan lebih lanjut.

Guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini

jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan

menengah. Guru-guru seperti ini harus mempunyai semacam kualifikasi

formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu

hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru (KBBI, 2007).

Keberhasilan pendidikan pada setiap anak diawali dengan hasil

pendidikan yang diperolehnya pada usia dini. Pendidikan anak usia dini dapat

bermacam-macam antara lain Taman Kanak-kanak (TK), Taman Penitipan

Anak (TPA), dan Kelompok Bermain (KB). Pelaksanaan pendidikan tersebut

perlu mempehatikan seluruh aspek-aspek perkembangan, yaitu bidang

pembiasaan dan bidang pengembangan aspek-aspek perkembangan anak

dipadukan dalam dua bidang perkembangan, yaitu bidang pembiasaan dan

bidang pengembangan kemampuan dasar bidang pengembangan kebiasaan


meliputi nilai-nilai agama dan moral, sosial emosional dan kemandirian.

Sedangkan bidang kemapuan dasar meliputi fisik motorik, kognitif, bahasa,

dan seni.

Aspek perkembangan yang diperlukan oleh anak usia dini salah

satunya adalah perkembangan kognitif. Kognitif adalah suatu proses berpikir,

yaitu kemampuan individu untuk menghubungkan, menilai,

mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa. Kemampuan kognitif

dikembangkan agar anak dapat melakukan eksplorasi terhadap dunia sekitar

melalui panca inderanya. Lingkup perkembangan dari kemampuan kognitif

anak usia dini berdasarkan Permendiknas No 58 Tahun 2009 tentang Standar

PAUD adalah pengetahuan umum dan sains, konsep bentuk, warna, ukuran,

dan pola, konsep bilangan, lambang bilangan, dan huruf. Konsep atau

kemampuan mengenai bentuk, warna, ukuran, pola, dan bilangan termasuk

dalam matematika (Sujiono, 2009).

Proses pembelajaran pada PAUD umumnya dilandasi oleh dua teori

belajar, yaitu behaviorisme dan konstruktivisme. Kedua aliran teori tersebut

memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lainnya, aliran behaviorisme

menekankan pada hasil dari proses belajar yang dimana manusia belajar

dipengaruhi oleh lingkungan yang merupakan perubahan perilaku yang

terjadi melalui proses stimulus. Sedangkan aliran konstruktivisme

menekankan pada proses belajar, bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam

diri seorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan

lingkungan (Isjoni, 2011).


Setiap pendidik menginginkan anak didiknya memperoleh hasil yang

baik dalam proses pembelajaran. Namun untuk mencapai hal itu bukanlah

suatu hal yang mudah, karena keberhasilan belajar sangat dipengaruhi oleh

banyak faktor antara lain, faktor internal (faktor dari dalam siswa), yakni

keadaan atau kondisi jasmani dan rohani seperti kesehatan, mental, tingkat

kecerdasan, minat, motivasi dan sebagainya. Faktor eksternal, ialah faktor

yang datang dari luar diri anak, seperti kebersihan rumah, udara, lingkungan,

keluarga, masyarakat, teman, guru, media, sarana dan prasarana belajar.

Kedua faktor tersebut saling berinteraksi baik secara langsung maupun tidak

langsung dalam mempengaruhi motivasi dan prestasi belajar siswa (Muhibbin

Syah, 1995).

Selain hal-hal tersebut diatas, keberhasilan siswa dalam belajar juga

tidak lepas dari usaha guru dalam menyampaikan materi pembelajaran atau

teknik mengajar baik dalam memberikan arahan ataupun mengajarkan secara

langsung kepada siswa, oleh karena itu guru harus mampu memahami

keseluruhan teknik pembelajaran dan karakter masing-masing siswa agar

mampu menyampaikan materi yang sesuai dengan karakter siswa sehingga

siswa mampu berkembang , selain itu juga guru harus lebih kreatif dalam

memberikan materi pembelajaran sehingga dapat memberikan daya tarik

terhadap anak didik , hal tersebut dikarenakan anak di bawah umur lebih

tertarik dengan hal hal yang berbeda dari biasanya sehingga anak tidak jenuh

dan lebih memperhatikan materi yang di sampaikan.


Menurut suyanto (2005) matematika atau berhitung sangat penting

dalam kehidupan kita. Setiap hari, bahkan setap menit kita menggunakan

matematika. Pada saat belanja, menghitung benda, waktu, tempat, jarak dan

kecepatan merupakan fungsi matematika, dengan kata lain matematika sangat

penting bagi kehidupan kita, termasuk anak usia dini.

Secara umum konsep matematika untuk masa usia dini, (Slamet

Suyanto, 2005: 158) meliputi hal – hal berikut ini: (1) Memilih,

membandingka dan mengurutkan, (2) Klasifikasi, (3) Menghitung, (4) Angka,

(5) Pengukuran, (6) Geometri, (7) Membuat grafik, (8) Pola, dan (9)

Memecahkan masalah. Memecahkan masalah, yaitu kemampuan

memecahkan persoalan sederhana yang melibatkan bilangan dan operasi

bilangan. Hal ini akan sangat menantang anak dalam pembelajaran

matematika. Selain itu juga, pendidik tidak hanya mengajarkan matematika

secara abstrak tetapi pendidik mengajarkan matematika melalui pemecahan

masalah sederhana mengenai keseharian anak. Misalnya ketika anak memiliki

5 kelereng, dan diberi lagi oleh temannya 7 kelereng, berapa kelereng yang

dimiliki anak tersebut.

Menurut Hamruni (2012: 114), pembelajaran dengan problem

solving memiliki beberapa kelebihan. Pertama dapat menantang kemampuan

anak dan memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi

siswa, meningkatkan aktivitas pembelajaran, dan mengembangkan

kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan menyesuaikan pengetahuan baru.


Pembelajaran matematika yang membutuhkan pemecahan masalah

secara sederhana akan menantang anak. Banyak persoalan keseharian, bahkan

yang sangat sederhana membutuhkan matematika untuk memecahkan

persoalan tersebut (Slamet Suyanto, 2005: 58). Guru sebaiknya mendesain

persoalan yang sesuai tahap perkembangan anak dan menggunakan media

yang tepat untuk anak.

Sesuai dengan Piaget (Santrock, 2007: 49-50), tahap perkembangan

kognitif anak usia dini yaitu sensori motor (usia 0-2 tahun), pra operasional

(usia 2-7 tahun), operasional konkret (usia 7-12 tahun), dan operasional

formal(usia 12 tahun ke atas). Berdasarkan tahapan tersebut berarti anak usia

TK berada pada tahap pra operasional. Pada usia ini, untuk operasional

konkret anak mampu berpikir logis mengenai kejadian dengan benda konkret.

Berhubungan dengan hal tersebut, maka anak usia dini akan lebih baik jika

pembelajarannya menggunakan benda konkret.

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara awal peneliti tanggal

01 April 2019 terkait dengan pengenalan angka di DI POS PAUD Srikandi

Glagahwaru Undaan Kudus, di dapat keterangan bahwa dari pengenalan

angka (hafalan setiap harinya) 27 siswa diperoleh hasil 5 siswa (19%) yang

berkembang sangat baik, 5 siswa (19%) berkembang sesuai harapan,

sedangkan 7 siswa (26%) siswa mulai berkembang dan 10 siswa (37%)

belum berkembang.

Secara umum, penyebab rendahnya kemampuan penjumlahan pada

anak dikarenakan penyampaian kegiatan pembelajaran yang kurang


menantang, sehingga pembelajaran tersebut terkesan kurang menarik bagi

anak. Kurang optimalnya guru dalam menggunakan media pada kegiatan

pembelajaran penjumlahan pada anak juga menjadi salah satu alasan

kemampuan penjumlahan pada anak yang rendah. Media yang digunakan saat

pembelajaran terlihat monoton, misalnya dengan penggunaan soal-soal yang

ditulis pada papan tulis. Hal tersebut menyebabkan anak cepat merasa bosan

karena bukan merupakan hal baru bagi mereka. Selain itu, belum banyaknya

aktivitas yang melibatkan anak dalam kegiatan pembelajaran, karena anak

menyelesaikan penjumlahan dengan membuat turus-turus untuk menghitung.

Penggunaan benda konkret adalah salah satu contoh media yang

dapat digunakan dalam mengoptimalkan pengenalan bilangan serta

penjumlahan bilangan pada anak usia 3-4 tahun, sehingga memudahkan anak

dalam belajar matematika karena anak dapat menggabung atau menjumlah

benda secara langsung. Melalui penggunaan benda konkret ini diharapkan

dapat mengatasi masalah kesulitan anak dalam memahami penjumlahan serta

dapat memberikan konstribusi pada guru untuk mengoptimalkan penggunaan

benda konkret. Hal ini sejalan dengan pendapat Conny Semiawan (1992: 20),

bahwa anak usia dini dapat dilatih dengan menghitung kelereng, batu kerikil,

kancing, dan lain sebagainya.

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pengamatan penulis di POS PAUD SRIKANDI

Glagahwaru Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus tahun ajaran 2018 /

2019, pada kegiatan anak didik dalam proses belajar mengajar belum
mencerminkan keberhasilan dan teridentifikasi beberapa masalah antara

lain:

a. Anak Sulit mengenal lambang angka

b. Penyampaian materi dan kegiatan pembelajaran di Pos PAUD Srikandi

kurang menarik dan menantang, media yang digunakan monoton

c. Proses Pembelajaran belum mengaitkan dengan kehidupan sehari –

hari anak melalui problem solving dan masih menggunakan soal

abstrak

2. Analisa Masalah

Dari identifikasi masalah yang peneliti paparkan di atas, maka peneliti

melakukan analisis masalah berdasarkan temuan-temuan yang di

diskusikan dengan supervisor 2, adapun analisis masalahnya sebagai

berikut:

a. Guru tidak memberikan contoh yang memadai sehingga anak kurang

memahami materi yang disampaikan

Karena kurangnya contoh dan latihan anak belum bisa memahami

materi, semakin banyak latihan dan contoh yang diberikan maka akan

semakin meningkatkan keterampilan anak, hal ini selaras dengan

pendapat Hurlock (1996) “ Bahwa anak-anak menyenangi sesuatu

yang dilakukan secara berulang-ulang.”

b. Anak kurang tertarik dengan media pembelajaran / Alat Permainan

Edukatif (APE) yang digunakan.


Dengan penggunaan benda kongkrit adalah salah satu contoh media

yang dapat digunakan dalam mengoptimalkan pengenalan bilangan

serta penjumlahan bilangan pada anak usia 3-4 tahun, sehingga

memudahkan anak dalam belajar matematika karena anak dapat

menggabung atau menjumlah benda secara langsung.

c. Guru kurang menggunakan variasi model pembelajaran.

Penyebab rendahnya kemampuan penjumlahan pada anak dikarenakan

penyampaian kegiatan pembelajaran yang kurang menantang, sehingga

pembelajaran tersebut terkesan kurang menarik bagi anak. Kurang

optimalnya guru dalam menggunakan media pada kegiatan

pembelajaran penjumlahan pada anak juga menjadi salah satu alasan

kemampuan penjumlahan pada anak yang rendah. Media yang

digunakan saat pembelajaran terlihat monoton, misalnya dengan

penggunaan soal-soal yang ditulis pada papan tulis. Hal tersebut

menyebabkan anak cepat merasa bosan karena bukan merupakan hal

baru bagi mereka. Selain itu, belum banyaknya aktivitas yang

melibatkan anak dalam kegiatan pembelajaran, karena anak

menyelesaikan penjumlahan dengan membuat turus-turus untuk

menghitung.

Guru kurang sistematis dalam menjelaskan materi,anak didik sulit

menerima penjelasan yang diberikan dan berdampak pada kegiatan lain

seperti anak tidak mengerjakan tugas karena anak tidak memahami

perintah yang disampaikan.


3. Alternatif dan Prioritas Pemecahan Masalah

Berdasarkan beberapa permasalahan di atas perlu dicarikan solusi

dalam pemecahan masalah kemampuan penjumlahan. Perbaikan

pembelajaran penjumlahan melalui problem solving dengan

mengoptimalkan penggunaan benda konkret dalam menyampaikan materi

pembelajaran pada anak menjadi salah satu solusi untuk pemecahan

masalah tersebut. Pembelajaran yang dilakukan sebaiknya sesuai dengan

tahap perkembangan anak, materi pembelajarannya dibuat variatif dan

kontekstual melalui problem solving serta mengandung esensi bermain

agar tanpa disadari anak sedang belajar.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, maka dalam

penelitian ini dapat diajukan rumusan masalah secara umum yaitu: “Bagaimana

Upaya Peningkatan Kemampuan Mengenal Lambang Angka Melalui Metode

Problem Solving Berbantuan Media Benda Kongkrit Pada Anak Usia Dini di POS

PAUD SRIKANDI Tahun Ajaran 2018 / 2019.

C. TUJUAN PENELITIAN PERBAIKAN KEGIATAN PENGEMBANGAN

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka tujuan penelitian yang

akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk meningkatan kemampuan

mengenal lambang angka melalui metode problem solving berbantuan media

benda kongkrit pada anak usia dini di POS PAUD SRIKANDI Tahun Ajaran 2018

/ 2019.
D. MANFAAT PENELITIAN PERBAIKAN KEGIATAN PENGEMBANGAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak

antara lain:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan serta dapat

dijadikan bahan kajian bagi pembaca, khususnya untuk meningkatkan

kemampuan kognitif dalam penjumlahan bilangan melalui problem solving

dengan benda konkret.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi anak-anak

1) Melatih anak untuk dapat memecahkan masalah sederhana

2) Melatih anak untuk dapat melakukan penjumlahan bilangan

3) Dapat meningkatkan kemampuan kognitif terutama dalam

penjumlahan

Bilangan

b. Bagi Guru

1) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai inovasi dan

penyempurnaan dalam proses belajar

2) Dapat membantu guru untuk mengambil tindakan dalam pengenalan

penjumlahan bilangan pada anak usia dini

3) Sebagai masukan dalam proses pembelajaran anak agar menentukan

media pembelajaran yang tepat


c. Orang Tua

Menambah informasi dan pengetahuan baru tentang upaya

meningkatkan kemampuan motorik halus, sehingga orangtua dapat

mendorong dan menerapkannya di rumah.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Hakikat Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget (Slamet Suyanto, 2005: 53) setiap anak memiliki pola

perkembangan kognitif yang sama melalui empat tahapan , yaitu:

a. Sensorimotor (0-2 tahun), pada tahap ini anak lebih banyak menggunakan

gerak refleks dan inderanya untuk berinteraksi dengan lingkungan

disekitarnya. Anak pada tahap ini peka dan suka terhadap sentuhan yang

diberikan dari lingkungannya. Pada akhir tahap sensorimotor anak sudah

dapat menunjukan tingkah laku intelegensinya dalam aktivitas motorik

sebagai reaksi dari stimulus sensoris.

b. Praoperasional (2-7 tahun), pada tahap ini anak mulai menunjukan proses

berpikir yang lebih jelas di bandingkan tahap sebelumnya, anak mulai

mengenali simbol termasuk bahasa dan gambar

c. Konkret operasional (7-11 tahun), pada tahapan ini anak sudah mampu

memecahkan persoalan sederhana yang bersifat konkret, anak sudah

mampu berpikir berkebalikan atau berpikir dua arah, misal 3+4 = 7 anak

telah mampu berfikir jika 7–4 = 3 atau 7–3 = 4, hal ini menunjukan

bahwa anak sudah mampu berpikir berkebalikan.

d. Formal operasional (11 tahun ke atas), pada tahap ini anak sudah mampu

berpikir secara abstrak, mampu membuat analogi, dan mampu

mengevaluasi cara berpikirnya.


Berdasarkan hal tersebut tampak bahwa perkembangan anak secara

bertahap dan tidak terputus. Tetapi setiap anak berbeda-beda dalam mencapai

suatu tahapan, terkadang batas antara tahap satu dengan tahap lainnya tidak

begitu terlihat.

Anak usia PAUD berada pada tahap praoperasional (2-7 tahun). Istilah

praoperasional menunjukan pada pengertian belum matangnya cara kerja

pikiran. Pemikiran pada tahap ini masih kacau dan belum terorganisasi dengan

baik (Santrock, 2002: 251).

Dalam menggambarkan dinamika perkembangan kognitif Piaget, (Rita

Eka Izzaty, 2008: 34) menggunakan lima istilah, yaitu:

a. Skema (pemahaman)

Hal ini menunjukan struktur mental, pola berpikir yang digunakan

seseorang untuk berpikir mengatasi suatu situasi tertentu di

lingkungannya.

b. Adaptasi

Proses penyesuaian pemikiran dengan memasukan informasi baru

ke dalam pemikiran individu. Piaget mengatakan anak-anak

menyesuaikan diri dengan dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi.

c. Asimilasi

Keadaan dimana seorang anak menyatukan informasi baru ke

struktur kognitif yang sudah ada dalam benak anak. Sebagai contoh anak

PAUD yang sudah mengetahui konsep bilangan, ketika diajarkan konsep


penjumlahan anak akan melakukan integrasi antara konsep bilangan yang

sudah dipahaminya dengan penjumlahan.

d. Akomodasi

Meliputi penyesuaian struktur kognitif untuk menyusun skema

baru karena skema yang dimilikinya tidak dapat lagi menggolongkan

pengalaman baru yang dimilikinya. Seorang anak melihat kucing dan

menghitung jumlah kakinya kemudian anak melihat ayam yang kakinya

dua, melihat cacing tidak berkaki,

terjadi kebingungan, lalu anak berfikir yang menghasilkan skema baru

bahwa binatang ada yang berkaki dan ada yang tidak.

e. Equlibrium

Proses belajar melewati tahap disequlibrium menuju tahap

equlibrium. Equilibrium adalah kemampuan seseorang untuk

menyeimbangkan antara asimilasi dan akomodasi. Disequilibrium (misal:

kok ada binatang tidak berkaki?), kemudian menuju tahap equilibrasi

(mencari jawaban) dan akhirnya menjadi equilibrium (ditemukan solusi).

(Amir Syamsudin, 2008: 50).

Jadi anak usia dini berada pada tahap praoperasional yang masih

sangat membutuhkan bimbingan dan rencana pembelajaran yang tepat

agar anak dapat terstimulasi dengan baik. Hal ini karena pada tahap

praoperasional anak masih memiliki cara berpikir yang belum matang.

Perlu juga adanya benda-benda konkret untuk membantu pemahaman

anak.
2. Kajian tentang Lambang Bilangan

a. Pengertian Lambang Bilangan

Pengenalan lambang bilangan pada anak perlu diberikan

sedini mungkin dengan menggunakan cara yang tepat dan sesuai

dengan tahapan perkembangan anak. Dengan mengenalkan lambang

bilangan diharapkan anak akan lebih mudah dalam memahami konsep

matematika yang lainnya pada pembelajaran di tingkat yang lebih tinggi.

Pengenalan lambang bilangan pada anak akan merangsang perkembangan

kognitifnya, sehingga anak dapat mengolah dan menggunakan lambang

bilangan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Sebelum membahas

mengenai lambang bilangan, maka perlu diketahui terlebih dahulu

mengenai pengertian bilangan.

Bilangan adalah suatu konsep matematika yang digunakan untuk

pencacahandan pengukuran. Merserve (Dali, 1980: 42) menyatakan

bahwa bilangan adalah suatu abstraksi. Sebagai abstraksi bilangan tidak

memiliki keberadaan secara fisik. Sementara itu, menurut

Sudaryanti (2006: 1) bilangan adalah suatu obyek matematika yang

sifatnya abstrak dan termasuk kedalam unsur yang tidak didefinisikan

(underfined term). Soedadiatmodjo, dkk (1983: 67) bilangan adalah

suatu idea yang digunakan untuk menggambarkan atau

mengabstraksikanbanyaknya anggota suatu himpunan. Bilangan itu

sendiri tidak dapat dilihat, ditulis, dibaca dan dikatakan karena

merupakan suatu idea yang hanya dapat dihayati atau dipikirkan saja.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

bilangan adalah suatu konsep matematikayang digunakan untuk

pencacahandan pengukuran, serta bersifat abstrak sebagai gambaran

banyaknya anggota suatu himpunan.

Menurut definisi di atas maka diperlukan adanya simbol ataupun

lambang yang digunakan untuk mewakili suatu bilangan yang disebut

sebagai angkaatau lambang bilangan.Menurut Sudaryanti (2006: 1)

untuk menyatakan suatu bilangan dinotasikan dengan lambang

bilangan yang disebut angka. Bilangan dengan angka menyatakandua

konsep yang berbeda, bilangan berkenaan dengan nilai sedangkan angka

bukan nilai. Angka hanya merupakan suatu notasi tertulis dari sebuah

bilangan. perlu adanya pembeda antara tanda bilangan dengan operasi

pada bilangan, karena tanda bilangan menyangkut nilai bilangan itu.

Menurut Soedadiatmodjo, dkk (1983: 67), untuk menyatakan bilangan

suatu lambang atau simbol yang disebut dengan angka. Menurut

pengertiannya, antara bilangan dengan lambang bilangan sangat berbeda.

Bilangan menyatakan suatu kuantitas, sedangkan angka adalah notasi

dari bilangan tersebut.Sedangkan menurut Merserve (Dali, 1980:

42)manusia menuliskan bilangan hanya sekedar sebagai bilangan saja,

tetapi manusia menuliskan bilangan menurut lambang yang disajikan

oleh bilangan itu. Dan sebagai batasan manusia menentukan pula

bahwa setiap dua lambang yang menunjukkan bilangan yang

samaadalah satu sama dengan yang lainnya. Hal tersebut berarti bahwa
bilangan muncul karena ada sesuatu yang ingin diungkapkan atau

dilambangkan dan lambang itulah yang mewakili bilangan. dan untuk

dapat menuliskannya manusia menciptakan lambang bilangan dalam

berbagai bentuk.

Dari beberapa pengertian yang telah diuraikan di atas maka dapat

disimpulkan bahwa untuk menyatakan suatu bilangan diperlukan

lambang bilangan. Bilangan merupakan gambaran banyaknya

anggota suatu himpunan. Bilangan menyatakan suatu kuantitas,

sedangkan lambang bilangan (angka) adalah notasi dari bilangan tersebut.

b. Kemampuan Mengenal Lambang Bilangan

Kemampuan mengenal lambang bilangan pada anak sangat

penting dikembangkan guna memperoleh kesiapan dalam mengikuti

pembelajaran di tingkat yang lebih tinggi khususnya dalam

penguasaan konsep matematika. Menurut Munandar (Ahmad, 2011: 97)

bahwa kemampuan adalah merupakan daya untuk melakukan suatu

tindakan sebagai hasil dari pembawaan dan latihan. Seseorang dapat

melakukan sesuatu karena adanya kemampuan yang dimilikinya. Dalam

pandangan Munandar, kemampuan ini ialah potensi seseorang yang

merupakan bawaan sejak lahir serta dikembangkan dengan adanya

pembiasaan dan latihan, sehingga ia mampu melakukan sesuatu.

Dengan demikian kemampuan mengenal lambang bilangantelah ada

pada anak dan untuk mengembangkannya maka guru memberikan


stimulus dan rangsangan pada anak agar kemampuan mengenal

lambang bilangandapat berkembang dengan baik dan optimal.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas, maka

program pengembangan kemampuan mengenal lambang bilangan pada

anak usia dini memiliki tujuan untuk memperkenalkan anak dalam

menggunakan lambang bilangan. Materi yang diberikan diantaranya:

membilang banyak benda 1 sampai 10, membilang atau menyebut

urutan bilangan 1 sampai 10, membilang dengan menunjuk benda

(mengenal konsep bilangan pada benda-benda) sampai 10, membuat

urutan bilangan 1 samapi 10 dengan benda, menunjuk lambang

bilangan, meniru lambang bilangan, menghubungkan atau memasangkan

lambang bilangan dengan benda-benda sampai 10 (anak tidak disuruh

menulis).

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan

anak dalam mengenal lambang bilangan berada pada tahap menyebut

urutan bilangan dari 1-10, membilang (mengenal konsep bilangan

dengan benda-benda) sampai 10, menghubungkan/memasangkan

lambang bilangan dengan benda-benda hingga 10 (anak tidak

disuruh menulis). Oleh karena itu pemberian stimulus dan

rangsangan perlu diberikan kepada anak diantaranya dengan

menggunakan metode, strategi, serta media yang tepat sehingga dapat

mendorong anak untuk dapat mengenallambang bilangandengan baik

dan optimal.
3. Problem Solving

a. Pengertian Problem Solving

Masalah merupakan suatu hal yang selalu ada dalam kehidupan

setiap manusia, mulai dari anak sampai orang lanjut usia. Masalah tidak

mungkin ditinggalkan begitu saja, namun harus dihadapi walaupun dengan

menggunakan berbagai cara. Menurut standar-standar NCTM (Carol

seefeldt and Barbara A. Wasik 2008: 403), pemecahan masalah adalah ciri

khas kegiatan matematika dan sebuah alat penting untuk mengembangkan

pengetahuan matematika. Bagi anak usia dini, memecahkan masalah

merupakan kegiatan biasa sekali karena begitu banyak yang baru di dunia

mereka dan mereka terus menerus memperlihatkan rasa ingin tahu,

kecerdasan, dan kelenturan dalam berpikir waktu menghadapi situasi-

situasi baru.

Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sehingga

seringkali ia bertanya dan mencoba hal-hal baru yang dirasa menarik bagi

mereka. Anak-anak dapat menjadi ahli dalam hal pemecahan masalah

apabila anak-anak tersebut banyak bertanya dan menjawab pertanyaan

(Dorothy Rich, 2008: 35). Pertanyaan yang diajukan pada anak-anak

hendaknya bukan pertanyaan yang hanya membutuhkan jawaban “ya” atau

“tidak”. Pertanyaan yang ideal untuk anak-anak adalah pertanyaan

terbuka. Pertanyaan terbuka dapat mendorong anak untuk berpikir kritis.


Menurut Gagne (Lisnawaty Simanjuntak, Poltak Manurung, &

Domi C. Matutina, 1993: 83) pemecahan masalah mempunyai beberapa

langkah yaitu:

1) Mengubah situasi pendidik mengajar pada situasi peserta didik

2) Dari pengalaman pendidik kepada pengalaman peserta didik

3) Dari dunia pendidik ke dunia peserta didik

4) Pendidik menempatkan peserta didik pada pusat kegiatan belajar.

Pendidik dapat membantu anak untuk belajar. Anak dapat dibantu

dengan mendorong agar anak mengetahui bagaimana cara menyusun

pertanyaan, bagaimana membicarakan persoalan dan bagaimana cara

menemukan jawaban jawaban persoalan dari problem solving. Peran

pendidik sangat penting untuk memperkuat rasa ingin tahu anak terhadap

persoalan-persoalan yang sering dihadapi anak. Sehingga anak akan selalu

ingin memecahkan masalah sederhana yang dihadapinya.

Menurut Jones (1997: 377) meningkatkan kemampuan murid

dalam memecahkan masalah dapat dengan cara sebagai berikut:

1) Beri murid kesempatan luas untuk memecahkan masalah dunia nyata.

Jadikan ini sebagian dari pengajaran. Susun masalah yang relevan

dengan kehidupan anak. Masalah dunia nyata/keseharian sering disebut

sebagai problem “ autentik”, yang berbeda dengan masalah buku ajar

yang sering kali tidak ada maknanya bagi kehidupan anak.

2) Pantau apakah strategi pemecahan masalah efektif atau tidak


3) Meminimalisir rintangan dalam pemecahan masalah seperti fiksasi,

bias,

4) tidak termotivasi, dan tidak gigih

5) Libatkan orangtua dalam pemecahan masalah anak

6) Gunakan teknologi secara efektif

Dari uraian di atas, maka perlu adanya pemberian kesempatan yang

luas untuk anak agar mampu memecahkan masalah dengan baik. Terkait

dengan pemecahan masalah sederhana yang dikaitkan dengan keseharian

anak ini juga dapat melibatkan orang tua dalam pembelajaran. Guru dapat

mengkomunikasikan kepada orang tua bahwa orang tua juga dapat

mengajari anak persoalan penjumlahan terkait dengan keseharian yang

sering dialami anak. Hal ini akan mempermudah guru di sekolah dalam

merecalling atau mengulas kembali persoalan tersebut.

Dalam pemecahan masalah juga ada beberapa rintangan dalam

memecahkan masalah yang harus di atasi oleh pendidik (Jones, 1997:

373), yaitu adalah:

1) Fiksasi

Fiksasi adalah menggunakan strategi sebelumnya dan gagal untuk

melihat problem dari sudut pandang baru yang segar. Orang mudah

terpaku pada satu strategi tertentu untuk memecahkan masalah.

Contohnya adalah murid yang menggunakan sepatu untuk memalu

paku adalah anak yang sudah bisa mengatasi keterpakuan fungsional

guna memecahkan masalah.


2) Mental set

Adalah tipe fiksasi dimana individu berusaha memecahkan masalah

dengan cara khusus yang berhasil di masa lalu.

3) Kekurangan motivasi

Jika murid sangat terampil dalam memecahkan masalah, mereka akan

sulit melakukannya jika tidak punya motivasi untuk menggunakan

kemampuan tersebut.

4) Kontrol emosi yang tidak memadai

Emosi dapat membantu atau merintangi pemecahan masalah. Pada saat

orang sangat termotivasi, pemecahan masalah yang baik sering kali

dapat mengontrol emosinya dan berkonsentrasi pada solusi

permasalahan.

Sedangkan menurut Myren (1996: 102) guru adalah bagian

terpenting dari proses pemecahan masalah. Para guru bisa merangsang

rasa ingin tahu anak-anak dan memberi kemungkinan kepada mereka

untuk memecahkan masalah-masalah secara aktif. Para guru harus rela

membiarkan pertanyaan-pertanyaan anak yang akan menuntun mereka ke

dalam kegiatan-kegiatan atau proyek-proyek yang tidak selalu

direncanakan. Guru memberi cara atau membimbing anak menghadapi

masalah yang berarti bagi mereka dan mendorong serta membantu mereka

untu menemukan solusinya. Anak akan lebih termotivasi memecahkan

problem yang berhubungan dengan kehidupan pribadi mereka.


Kesimpulan berdasarkan teori di atas, problem solving merupakan

ciri khas kegiatan matematika dan alat penting guna mengembangkan

pengetahuan matematika pada anak usia dini. Problem solving terkait

pemecahan masalah sehari-hari akan membantu anak untuk memahami

bahwa matematika bukanlah pelajaran yang ada di sekolah, akan tetapi

setiap anak juga membutuhkan pemecahan masalah tersebut terkait dengan

kehidupan sehari-hari yang dialami anak. Misalnya ketika Rina diberi

permen oleh ibu sebanyak 5 permen, kemudian diberi lagi oleh adiknya

sebanyak 7 permen, maka berapa permen Rina?.

b. Kelebihan Problem Solving

Hamruni (2012: 114), kelebihan problem solving adalah:

1) Teknik yang cukup untuk lebih memahami isi pelajaran

2) Menantang kemampuan anak dan memberikan kepuasan untuk

menemukan pengetahuan baru bagi siswa.

3) Meningkatkan aktivitas pembelajaran

4) Membantu siswa menstransfer pengetahuan mereka untuk memahami

masalah dalam kehidupan nyata.

5) Membantu siswa mengembangkan pengetahuan barunya dan

bertanggungjawab terhadap pembelajaran yang mereka lakukan

6) Mendorong siswa untuk melakukan evaluasi diri, baik terhadap hasil

maupun proses

7) Lebih menyenangkan bagi anak


8) Mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan

menyesuaikan pengetahuan baru

9) Memberi kesempatan pada anak untuk mengaplikasikan pengetahuan

yang mereka miliki dalam dunia nyata

10) Mengembangkan minat anak untuk belajar

Sedangkan menurut Haryati (2010: 25-26), kelebihan pembelajaran

problem solving sebagai berikut:

1) Mendidik siswa untuk berpikir sistematis.

Melalui metode problem solving anak dilatih untuk berpikir sistematis,

mulai dari mengidentifikasi masalah sampai merancang solusi

2) Mampu mencari jalan keluar terhadap situasi yang dihadapi.

Hal tersebut sebagai modal kelak di kemudian hari, apabila

menghadapi sebuah masalah

3) Belajar menganalisis suatu masalah dari berbagai aspek. Anak dapat

melihat sebuah masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda

4) Mendidik siswa percaya diri sendiri

5) Berpikir dan bertindak kreatif.

6) Melalui problem solving dapat meningkatkan rasa ingin tahu siswa

untuk memecahkan persoalan tersebut sehingga mendorong anak

untuk berpikir dan bertidak kreatif

7) Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis

8) Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan

khususnya dunia kerja


9) Merangsang perkembangan kemajuan berpikir siswa untuk

menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat.

Dari beberapa kelebihan di atas maka problem solving akan baik

digunakan untuk meningkatkan kemampuan penjumlahan karena akan

menantang kemampuan anak. Dengan anak merasa tertantang maka anak

akan termotivasi untuk menemukan pengetahuan baru bagi anak. Selain itu

juga mampu mengembangkan kemampuan anak untuk berpikir kritis dan

menyesuaikan dengan pengetahuan baru. Dengan desain problem solving

yang sesuai dengan keseharian anak maka akan memberi kesempatan anak

untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.

c. Kelemahan Problem Solving

Menurut Haryati (2010: 26), kelemahan pembelajaran problem solving

adalah memerlukan waktu yang cukup banyak. Hal tersebut dikarenakan

kemampuan siswa dalam memecahkan masalah berbeda-beda, sehingga harus

berdiskusi untuk persepsi tentang permasalahan tersebut.

Selain itu, Hamruni (2012: 115), menambahkan kelemahan

pembelajaran problem solving yaitu:

1) Ketika siswa tidak memiliki minat terhadap masalah tersebut dan

percaya bahwa masalah tersebut sulit untuk dipecahkan, mereka akan

merasa enggan untuk mencoba

2) Tanpa mengetahui mengapa mereka harus memecahkan masalah

tersebut, mereka tidak akan mempelajarinya.


Untuk mengatasi kelemahan tersebut maka perlu adanya peran guru

dalam pembelajaran penjumlahan dengan problem solving. Guru memberi

pendampingan ketika anak merasa enggan memecahkan persoalan

penjumlahan tersebut karena dirasa persoalan tersebut susah dipecahkan, guru

membantu anak ketika anak merasa kesulitan dalam persoalan tersebut. Agar

anak mau memecahkan persoalan penjumlahan, maka problem solving

didesain terkait keseharian anak, agar anak hanya merasa sedang bermain saja,

berbeda dengan soal penjumlahan yang sering diberikan oleh guru kelas.

4. Media Pembelajaran

a. Pengertian Media

Kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak

dari kata "medium" yang berarti "tengah". Dalam bahasa Arab media

adalah perantara atau pengantar, yaitu perantara sumber pesan (a source)

dengan penerima pesan (a receiver) (Azhar Arsyad, 1997: 3). Senada

dengan Azhar Arsyad, menurut Heinich, Molenda, dan Russell (Cucu

Eliyawati, 2005: 104) media merupakan alat saluran komunikasi, sebagai

perantara sumber pesan dengan penerima pesan.

b. Manfaat Media Pembelajaran

Sudjana & Rivai (Azhar Arsyad, 1997: 25) mengemukakan

manfaat media pembelajaran dalam proses belajar, yaitu: (1) pembelajaran

dengan menggunakan media akan lebih menarik perhatian anak sehingga

anak menjadi termotivasi untuk belajar; (2) bahan pembelajaran yang akan

disampaikan lebih jelas maksud dan maknanya sehingga anak lebih mudah
untuk memahami materi yang disampaikan; (3) metode mengajar akan

lebih bervariasi, tidak hanya komunikasi secara verbal dengan penuturan

yang disampaikan guru sehingga anak tidak cepat bosan dan guru juga

tidak terlalu menghabiskan tenaga; dan (4) anak diberi banyak kesempatan

untuk melakukan kegiatan belajar dan tidak hanya mendengarkan

penjelasan dari guru. Anak terlibat aktif dalam mengamati, melakukan,

mendemonstrasikan, memamerkan, dan lain-lain. Media pembelajaran

memiliki manfaat dalam mendukung berjalannya proses pembelajaran

dengan lancar. Karena media pembelajaran mempunyai peranan terhadap

perkembangan anak.

c. Media Benda Konkret

Menurut Sungkono (2007: 28) benda konkret atau benda asli pada

dasarnya yaitu, benda yang digunakan supaya kegiatan berlangsung dalam

lingkungan yang sangat mirip dengan kondisi yang sebenarnya, sehingga

proses pembelajarannya dapat lebih efektif. Sedangkan menurut Amir

Hamzah Sulaiman (1985: 135) bahwa yang disebut benda asli adalah

benda dalam keadaan sebenarnya dan seutuhnya. Pembelajaran akan

mudah dimengerti dan lebih baik tinggal dalam ingatan jika dipelajari

melalui hubungannya dengan benda konkret.

Ada pendapat lain tentang media benda konkret, menurut

Martiningsih (2008) bahwa media benda konkret atau benda asli adalah

benda yang sebenarnya dapat diamati secara langsung oleh panca indra

dengan cara melihat, mengamati, dan memegangnya secara langsung tanpa


melalui alat bantu. Misalnya ingin mengenalkan penjumlahan maka ada

benda yang dapat digabung anak secara langsung.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka yang dimaksud

benda konkret adalah benda yang dapat dipandang dari segala arah secara

jelas dan nyata, dimana benda tersebut dapat mewujudkan konsep-konsep

yang bersifat abstrak menjadi konkret. Anak akan memperoleh

pengalaman langsung, lebih berkesan dan mudah memahami apa yang

dipelajarinya. Oleh sebab itu untuk meningkatkan penjumlahan yang

bersifat abstrak perlu menggunakan benda konkret. Benda konkret yang

ada dalam problem solving adalah yang dapat diamati secara langsung

oleh panca indera anak dengan cara melihat, memegang dan memindahkan

secara langsung tanpa menggunakan perantara.

d. Macam-macam Benda Konkret

Ada beberapa macam media yang dapat digunakan dalam

pembelajaran. Namun pada dasarnya jenis-jenis media dapat

dikelompokkan menjadi dua, yaitu media dua dimensi dan media tiga

dimensi. Hal ini sesuai dengan pendapat Martiningsih (2008)

mengelompokkan media menjadi dua, yaitu:

(1)Media Dua Dimensi, merupakan media yang hanya dapat dipandang


baik dengan bantuan proyektor atau tanpa bantuan proyektor. Misalnya ;
gambar, sketsa, diagram, bagan, grafik, chart, lembaran balik, poster peta,
dll, (2) Media Benda Nyata, merupakan media yang dapat dipandang dari
segala arah dan diraba bentuknya, dimana media tiga dimensi mewujudkan
konsep-konsep yang bersifat abstrak. Misalnya ; benda asli, model, alat
tiruan sederhana (mock-up), barang contoh(specimen), diaroma.
Benda konkret atau benda asli memiliki banyak macam, menurut

Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (2002: 196) bahwa benda-benda nyata itu

banyak macamnya, mulai dari benda atau makhluk hidup seperti binatang

dan tumbuh tumbuhan, juga termasuk benda-benda mati misalnya batu,

air, tanah, dan lainlain. sedangkan menurut Degeng yang dikutip oleh

Sungkono (2007: 28) benda asli dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu:

Objek dan benda /barang contoh (specimen). Objek adalah semua benda
yang masih dalam keadaan asli, alami seperti ia hidup dan berada.
Sedangkan benda/barang contoh(specimen)adalah benda-benda asli atau
sebagian benda asli yang dipergunakan sebagai sample. Jadi specimen
merupakan sebagian kecil benda asli yang mewakili benda asli yang
berada di tempat aslinya yang berjumlah sangat banyak, berujud sangat
besar/luas dan amat utuh.

Sama halnya dengan pendapat Amir Hamzah Sulaiman (1985: 141)

bahwa specimen ialah sebagian dari sejenis atau sebagian dari sekelompok

benda yang sama untuk dijadikan contoh.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa ada

beberapa macam benda konkret. Pada dasarnya benda konkret dapat

diklasifikasikan menjadi benda dua dimensi dan media nyata. Benda

konkret dalam peningkatan penjumlahan menggunakan benda nyata/asli.

e. Kelebihan dan Kekurangan Benda Konkret

Media yang paling efektif untuk pembelajaran yaitu menggunakan

benda konkret atau benda asli. Menurut Amir Hamzah Sulaiman (1985:

134) sebelum menggunakan macam-macam alat audio-visual, maka benda

asli merupakan alat paling efektif untuk mengikut sertakan berbagai indera

dalam belajar. Sedangkan menurut Basuki Wibawa dan Farida Mukti


(1993: 55) bahwa dengan memanfaatkan benda konkret dalam proses

belajar anak akan lebih aktif dan dapat mengamati, menangani(handle),

memanipulasi, mendiskusikan dan akhirnya dapat menjadi alat untuk

meningkatkan kemauan anak untuk menggunaka sumber-sumber belajar

serupa.

Pemanfaatan benda konkret dalam kegiatan pembelajaran

sangatlah penting. Menurut Sungkono (2007: 35) pemanfaatan benda

konkret atau asli akan mampu merangsang dan memotivasi anak dalam

mengikuti pembelajaran. Sedangkan menurut Martiningsih (2008)

penggunaan benda konkret dalam pembelajaran memegang peranan

penting sebagai alat bantu untuk menciptakan kegiatan pembelajaranyang

efektif, karena dapat mendorong motivasi dan meningkan hasil prestasi

anak. Setiap proses pembelajaran dilandasi dengan adanya beberapa unsur

antara lain tujuan, bahan, metode, media, alat, serta evaluasi.

Disamping memiliki kelebihan benda konkret juga memiliki

kelemahan. Sebab setiap benda ataupun hal lain di alam ini suatu saat

memiliki dampak buruk. Hal tersebut selalu dihubungkan dengan faktor

kesesuaian hubungannya dengan manusia. Manusia adalah objek penentu

apakah suatu benda atau hal lain merugikan atau menguntungkan. Menurut

Ibrahim & Nana Sudjana (Susilo Fitri Yatmoko, 2011) kelemahan atau

kekurangan benda konkret antara lain yaitu:

1) Membawa siswa ke berbagai tempat di luar sekolah, kadang-kadang

mengandung resiko dalam bentuk kecelakaan dan sejenisnya.


2) Biaya yang diperlukan untuk mengadakan berbagai obyek nyata

kadangkadang tidak sedikit apalagi kemungkinan kerusakan dalam

menggunakannya.

3) Tidak selalu memberikan gambaran dari obyek yang seharusnya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

melalui penggunaan benda konkret akan lebih memotivasi dan mendorong

anak untuk memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang sedang

dipelajarinya. Karena benda tersebut benar-benar nyata sehingga anak dapat

menggunakan seluruh inderanya dalam kegiatan belajar. Anak juga akan lebih

cepat dan tepat dalam memahami materi pembelajaran yang disampaikan

guru. Akan tetapi benda konkret juga memiliki kekurangan atau kelemahan.

Kelemahan dari benda konkret yang diuraikan di atas dapat diatasi dengan

cara menggunakan media benda asli yang ada di sekitar lokasi sekolah yang

dapat dijadikan penunjang dalam proses pembelajaran

f. Langkah-langkah pembelajaran mengenal bilangan melalui problem

solving dengan benda konkret

Secara garis besar langkah-langkah pembelajaran penjumlahan

melalui problem solving dengan benda konkret adalah sebagai berikut:

1) Untuk membuka pembelajaran penjumlahan bilangan guru mengajak

anak untuk mengenal benda yang disediakan guru secara bersama-

sama.

2) Guru memberikan benda konkret dan meminta anak menghitung

jumlah benda konkret yang ditunjukan.


3) Dengan bercerita guru masuk pada konsep menghitung benda kongkrit

melalui problem solving.

Contoh: pada saat guru menunjukan permen yang berjumlah tiga guru

meminta anak menghitung jumlah permen yang ada kemudian guru

bercerita pendek dan menunjukkan .

4) Guru meminta anak menghitung jumlah bilangan melalui problem

solving tersebut dengan menggunakan benda konkret.

B. Kajian Penelitian yang Relevan

Ali, dkk (2010) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa “There exists

a significant difference in the achievement of mathematics studenta taugh

through problem solving method and traditional methods”.Dalam jurnalnya,

Ali, dkkmenunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antar prestasi belajar

siswa melalui metode tradisional dan metode pemecahan masalah. Pemecahan

masalah adalah metode yang lebih efektif pada pembelajaran matematika

dibandingkan dengan metode tradisional (ceramah). Oleh karena itu guru

matematika harus menggunakan metode pemecahan masalah dalam

mengajarkan konsep-konsep matematika untuk memberikan pengetahuan,

pemahaman tentang pembelajaran berbasis masalah, dan meningkatkan

prestasi akademik siswa.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Puji Astuti (2014), mengenai

Penggunaan Media Benda Konkret Untuk Meningkatkan Hasil Belajar

Matematika Bangun Ruang Pada Siswa Kelas IV MI Muhammadiyah Selo


Kokap Kulon Progo Tahun Pelajaran 2013/2014 memberikan hasil bahwa

media benda konkret dapat meningkatkan hasil belajar matematika pada

siswa kelas IV MI Muhammadiyah Selo Kokap Kulon Progo mengenai

Bangun Ruang.

Penelitian berkaitan dengan media benda konkret juga telah

dilakukan oleh Siti Zulaichah (2012). Namun, penelitian ini lebih mengarah

pada penelitian pengembangan, yaitu Pengembangan Media Benda Konkret

Untuk Pembelajaran Penjumlahan Bilangan Cacah di Kelas 1 SD yang

memberikan hasil bahwamedia benda kongkret dapat meningkatkan motivasi

siswa dalam belajar dan meningkatkan keterlibatan siswa pada pembelajaran

penjumlahan bilangan cacah di kelas 1 Sekolah Dasar (SD). Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Siti Zulaichah (2012),menunjukkan bahwa

media benda konkret layak dan efektif digunakan sebagai media

pembelajaran. Hal ini dikarenakan media benda konkret dapat meningkatkan

kemampuan anak dalam menguasai materi pembelajaran.

Berdasarkan hasil Penelitian tersebut, peneliti berpendapat bahwa metode

problem solving dan media pembelajaran dengan menggunakan benda kongkrit

dapat meningkatkan kemampuan mengenal lambang angka pada anak Usia Dini

C. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan teori yang telah diungkapkan, hipotesis dari penelitian ini

adalah melalui problem solving dengan berbantuan benda konkret dapat


meningkatkan kemampuan mengenal lambang angka pada anak Usia Dini di POS

PAUD SRIKANDI Tahun Ajaran 2018 / 2019.


BAB III

PELAKSANAAN PENELITIAN PERBAIKAN PEMBELAJARAN

A. Subjek, Tempat, dan Waktu Pelaksanaan

1. Subjek Penelitian

Subjek penelitiannya adalah anak didik PAUD Srikandi Desa Glagahwaru

Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus tahun ajaran 2018 / 2019 dengan

jumlah anak didik sebanyak 27 anak, terdiri dari 12 laki-laki dan 15

perempuan. Daftar anak didik PAUD Srikandi Glagahwaru dapat dilihat dari

tabel berikut:

2. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada peserta didik PAUD Srikandi Desa

Glagahwaru Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus tahun ajaran 2018 / 2019,

dengan alasan karena kurang optimalnya kemampuan siswa dalam mengenal

lambang bilangan, sekaligus kurang optimalnya pembelajaran yang diterapkan

guru dalam menunjangnya, sehingga perlu perbaikan dan penanganan untuk

meningkatkan kegiatan yang akan menunjangnya.

Adapun alamat dari PAUD Srikandi ini adalah sebagai berikut:

Jalan : Kudus – Purwodadi

Desa : Glagahwaru Rt 03 Rw 02

Kecamatan : Undaan

Kabupaten : Kudus
Propinsi : Jawa Tengah

Kode Pos : 59372

3. Waktu Pelaksanaan

Penelitian ini dilakukan pada hari-hari efektif kegiatan belajar mengajar

dengan waktu sebagai berikut:

a. Tahap persiapan selama dua minggu dilaksanakan setelah selesai mengajar

pukul 10.45 WIB. Sampai selesai

b. Pelaksanaan Siklus I selama satu minggu dilaksanakan pada pukul 07.30-

10.00 WIB

c. Tahap Siklus II selama satu minggu dilaksanakan pada pukul 07.30-10.00

WIB

d. Tahap pembuatan laporan selama enam minggu dilaksanakan setelah

selesai mengajar

B. Desain Prosedur Perbaikan Pembelajaran

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (action research

classroom) karena penelitiannya dilakukan untuk memecahkan permasalahan

yang ada dikelas. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dalam dua siklus,

setiap siklus terdiri dari dua pertemuan. Siklus I dan II dilaksanakan dengan

melalui tahap pencanaan (planning), pelaksanaan (action), pengamatan

(observation), dan refleksi.

Model penelitian tersebut merupakan model yang dikembangkan oleh Kurt

Lewin. Model penelitian ini menggunakan empat komponen tindakan yaitu

perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi dalam suatu sistem spiral yang
saling terkait (Ermalinda dkk, 2014). Sistem dalam model Kurt Lewin dapat

dilihat pada gambar berikut:

Gambar 3.1 Model penelitian Kurt Lewin

Penjelasan dari prosedur penelitian ini yaitu :

1. Rancangan Siklus I

a. Perencanaan (Planning)

Tahap ini peneliti dan guru merencanakan tindakan untuk

meningkatkan pengenalan angka pada anak POS PAUD SRIKANDI.

Adapun langkah yang dilakukan pada tahap ini adalah:

1) Membuat RPPH dengan tema rekreasi Sentra balok dan seni


2) Membuat bahan ajar dan skenario pembelajaran yang sesuai

dengan RPPH

3) Menyiapkan media benda kongkrit: permen, coklat, biskuit, dan

agar-agar

4) Menyiapkan lembar penilaian dan observasi metode problem

solving berbantuan media benda kongkrit dalam meningkatkan

kemampuan berhitung.

5) Mempersiapkan soal tes atau lembar kerja siswa (LKS)

6) Mempersiapkan kamera untuk mendokumentasi aktivitas guru dan

siswa pada saat proses pembelajaran.

b. Pelaksanaan (Acting)

Pada tahap ini, peneliti bersama guru kelas mendesain

pembelajaran dengan menggunakan metode problem solving berbantuan

benda kongkrit yang telah dirancang. Selama pembelajaran berlangsung

peneliti dalam mengajar menggunakan RPPH yang telah disusun

sedangkan teman sejawat mengamati proses belajar mengajar.

c. Observasi (observing)

Observasi dilakukan oleh peneliti sedangkan guru kelas sebagai

pelaksana pembelajaran. Observasi dilakukan selama kegiatan

pembelajaran berlangsung dengan menggunakan lembar observasi yang

sudah disiapkan oleh peneliti. Lembar observasi digunakan untuk

mengetahui jalannya pembelajaran dengan menggunakan metode problem

solving berbantuan benda kongkrit.


d. Refleksi (Reflecting)

Pada tahap ini, peneliti mengumpulkan dan mengidentifikasi data

yang telah diperoleh, yaitu meliputi lembar observasi dan wawancara atau

catatan dari guru kelas. Kemudian peneliti melakukan refleksi.

Pelaksanaan refleksi dilakukan antara peneliti dan guru kelas. Diskusi

dilakukan untuk mengevaluasi hasil yang telah dilakukan yaitu dengan

cara melakukan penilaian terhadap proses selama pembelajaran

berlangsung.

2. Rancangan Siklus II

Pada tahapan siklus dua ini mengikuti tahapan siklus pertama, Artinya

rencana tindakan siklus kedua disusun berdasarkan hasil refleksi pada siklus

pertama. Kegiatan pada siklus kedua dilakukan sebagai penyempurnaan atau

perbaikan pada siklus pertama terhadap pelaksanaan pembelajaran dengan

menggunakan metode problem solving berbantuan benda kongkrit.

Pada siklus kedua juga terdiri dari empat tahapan yaitu: perencanaan,

pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi hasil yang telah dilakukan

C. Teknik Analisa Data

Setelah semua data diperoleh, tahap berikutnya adalah analisis data, yaitu

proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori

dan satuan uraian dasar. Sehingga dapat ditemukan tema dan dirumuskan

hipotesis kerja.

Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini (Matthew Miles dan

Michael Huberman.1992) adalah sebagai berikut:


1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan langkah dimana merekam data-data

yang sesuai untuk tujuan penelitian.

Teknik yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. Observasi
Observasi merupakan suatu cara untuk mengumpulkan keterangan
atau informasi tentang sesuatu dengan cara melihat, mendengarkan, dan
mengamati suatu peristiwa, mencatatnya secara cermat dan teliti yang
dilakukan oleh pengamat (observers)terhadap objek/orang yang diamati
(observe viewer)(Sujiono, 2017:12.27). Observasi merupakan suatu proses
kegiatan yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mengumpulkan
data/bukti–bukti tentang perkembangan dan hasil belajar yang berkaitan
dengan perkembangan anak, yang dilaksanakan POS PAUD Srikandi
Glagahwaru Undaan Kudus. Observasi yang dilakukan dalam penelitian
ini yaitu mengamati ketepatan, ketelitian, dan kecepatan anak dalam
kegiatan penjumlahan yang berlangsung dengan media kotak pintar.
b. Dokumentasi
Dokumentasi dilakukan dengan cara mengumpulkan rencana
pelaksanaan pembelajaran harian (RPPH), foto kegiatan anak, dan foto-
foto anak ketika kegiatan sedang berlangsung dalam pembelajaran.
c. Penugasan
Cara penilaian berupa pemberian tugas yang dikerjakan anak secara
peorangan maupun kelompok.

2. Reduksi Data

Reduksi data merupakan sebagai proses pemilihan, pemusatan

perhatian pada penyederhanaan dan transformasi data kasar yang muncul dari
catatan yang tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan bagian dari analisis

yang menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan

mengorganisasi data dengan cara demikian rupa sehingga kesimpulannya

dapat diverifikasi (Miles dan Hiberman, 1992).

3. Penyajian Data

Penyajian Data yaitu seukumpulan informasi tersusun yang

memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan

tindakan. Dengan melihat penyajian-penyajian tersebut, maka akan dapat

memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan berdasarkan

atas pemahaman yang didapat dalam penyajian tersebut. Dalam penelitian ini

penulis menyajikan data tentang gambaran umum POS PAUD SRIKANDI

dan upaya meningkatkan kemampuan mengenal mengenal lambang angka

melalui metode problem solving berbantuan media benda kongkrit.

4. Penarikan kesimpulan

Penarikan kesimpulan adalah suatu kesimpulan dalam penelitian

bukanlah suatu karangan atau diambil dari pembicaraan-pembicaraan lain,

akan tetapi hasil suatu proses tertentu dalam arti memindahkan sesuatu dari

suatu tempat ke tempat lain (Suharsimi Arikunto,1998). Penarikan kesimpulan

penelitian harus mendasar pada semua data yang diperoleh dalam kegiatan

penelitian. Dengan kata lain, penarikan kesimpulan harus didasarkan atas data

bukan keinginan atau angan-angan.

Dengan demikian, maka akan diperoleh beberapa kesimpulan

penelitian sesuai dengan data-data yang ada (Miles dan Hiberman 1992).
Gambar 3.2 Proses penarikan kesimpulan

5. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan untuk

mengumpulkan data dalam sebuah penelitian. Instrumen dalam penelitian ini

dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan kognitif anak pada Pos Paud

Srikandi. Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah lembar

observasi anak.

Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang terdiri dari 2

siklus dan setiap siklus terdiri dari 2 kali pertemuan. Guru dan peneliti

kolaborasi dalam melaksanakan proses pembelajaran.


Gambar 3.3 Format Penilaian

Aspek
No yang Keterangan Skor
diamati
1 Lisan Jika anak sudah mampu mengenal
bilangan dari angka 1 sampai 10 4
Jika anak mampu mengenal bilangan
dari bilangan 10 hanya mengenal 8
angka 3
Jika anak mampu mengenal bilangan
hanya bisa angka sampai angka 6 2
Jika anak mampu mengenal bilangan
kurang dari angka 4 1
Keterangan:

BB artinya Belum Berkembang, Skor 1

MB artinya Mulai Berkembang, Skor 2

BSH artinya Berkembang Sesuai Harapan, Skor 3

BSB artinya Berkembang Sangat Baik, Skor 4

6. Teknik Analisis Data

Proses analisis data dimulai dengan menelaah data tentang kemampuan

kognitif anak, baik dari ketepatan, kecepatan dan ketelitian anak dalam

melakukan kegiatan penjumlahan. Data yang dipergunakan dalam penelitin ini

adalah data kuantitatif, yang diperoeh saat berlangsungnya proses

pembelajaran.

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan rumus statistik

sederhana, yaitu persentase dengan rumus:

∑ SS
NA = x 100%
∑SM
Dimana;
NA = Nilai akhir
SS = skor yang diperoleh siswa
SM = skor maksimum

7. Indikator Keberhasilan

Sesuai dengan karakteristik penelitian tindakan kelas, dalam penelitian

ini dinyatakan berhasil apabila ada perubahan atau peningkatan terhadap hasil

belajar yang diperoleh anak setelah diberikan tindakan. Penelitian ini

dikatakan berhasil apabila 80% anak berada pada tingkat perkembangan

berkembang sangat baik, sesuai dengan aspek penilaian yang sudah ditentukan

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Hasil Penelitian Perbaikan Pembelajaran

Penelitian tindakan kelas ini diterapkan untuk meningkatkan kemampuan

peserta didik dalam mengenal lambang bilangan dengan metode problem solving

dengan berbantuan media benda kongkrit. Biasanya, dalam pelaksanaan rangkaian

siklus pertama ditemukan kendala-kendala sehingga tujuan penelitian belum dapat

terlaksana. Oleh sebab itu, diadakan rangkaian siklus kedua dengan harapan siklus

kedua dapat mewujudkan tujuan penelitian dengan belajar menganalisis kendala-

kendala yang ditemui pada siklus pertama. Namun, apabila pada siklus kedua

hasil yang didapat belum juga memenuhi tujuan penelitian, maka diadakan siklus

selanjutnya sampai tujuan tercapai. Namun sebaliknya, apabila pada siklus kedua

tujuan hasil penelitian sudah dapat terwujud maka penelitian dapat berhenti.

1. Deskripsi Pra Siklus ( Kondisi Awal)

Kondisi Pra Siklus merupakan kondisi dimana siswa belum memperoleh

perlakuan penelitian tindakan, rangkaian pembelajaran yang digunakan di

dalam kelas belum menggunakan metode pembelajaran problem solving

dengan berbantuan media benda kongkrit.

Sebelum melaksanakan tindakan, peneliti melakukan observasi atau

pengamatan awal terhadap pelaksanaan pembelajaran di kelas, khususya

pembelajaran mengenal bilangan. Selain itu peneliti juga melakukan

wawancara awal pada guru kelas, yaitu ibu Susanti dengan tujuan mengetahui

keadaan nyata serta pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dilapangan.


Berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa anak didik mengalami

kesulitan dalam kegiatan mengenal bilangan. Hal ini dikarenakan guru belum

mengupayakan metode pembelajaran yang tepat dan menarik untuk

meningkatkan kemampuan mengenal lambang bilangan. Hal ini terbukti dari

hasil kondisi awal sebelum dilaksanakan tindakan untuk mengetahui

pengenalan angka pada anak, dari total 27 siswa, diperoleh hasil 5 siswa

(18.5%) yang berkembang sangat baik, 5 siswa (18.5%) berkembang sesuai

harapan, sedangkan 7 siswa (26%) siswa mulai berkembang dan 10 siswa

(37%) belum berkembang.

Gambaran kegiatan pembelajaran sehari-hari yang dilaksanakan oleh guru

yaitu dengan menggunakan metode ceramah, tanya jawab dan pemberian

tugas. Pada kegiatan awal pembelajaran dilakukan tanya jawab untuk

menggali pengetahuan yang sudah diketahui oleh anak sesuai dengan materi

yang dipelajari. Hasil dari pelaksanaan tanya jawab yaitu hanya ada beberapa

anak yang mau berpartisipasi atau terlibat menjawab pertanyaan dari guru.

Pada kegiatan inti, guru menyampaikan materi dengan metode ceramah. Guru

memberikan lembar kerja untuk dikerjakan oleh anak. selama proses kegiatan

belajar mengajar berlangsung, anak kurang tertarik dengan materi kegiatan

yang diberikan karena anak hanya berkutat dengan kertas dan pensil saja.

Ketika sedang mengerjakan tugas, anak cenderung sering bertanya kepada

guru bagaiamana cara menyelesaikan tugas pada lembar kerja dan anak

dibantu orang tua untuk mengerjakannya. Pada kegiatan akhir, guru


mengevaluasi kegiatan apa yang dilakukan oleh anak. Dapat disimpulkan

bahwa kemampuan kegiatan pembelajaran berhitung anak pun masih rendah.

Oleh karena itu, peneliti perlu melakukan tindakan untuk meningkatkan

kemampuan mengenal bilangan pada anak. adapun hasil observasi yang

peneliti dapatkan dilapangan, pengolahan data yang peneliti lakukan dan

penyajian datanya dapat peniliti laporkan sebagai berikut.

Rekapitulasi hasil dari tahap Pra Tindakan tersebut dapat dilihat pada tabel

berikut ini.

Tabel 4.1

Rekapitulasi Data Kemampuan Berhitung pada Tahap Pra Tindakan

FREKUE PRESENTA
NO
KATEGORI NSI SE
1 Belum Berkembang (BB) 10 37%
2 Mulai Berkembang (MB) 7 26%
Berkembang Sesuai
3 5 18.5%
Harapan (BSH)
Berkembang Sangat Baik
4 5 18.5%
(BSB)
JUML
27 100%
AH

Tabel 4.1 di atas menunjukkan rekapitulasi hasil observasi Pengenalan

Angka Pra Tindakan pada anak POS PAUD SRIKANDI . Untuk lebih jelasnya

akan ditampilkan dalam grafik 1 berikut ini:


Grafik 4.1

Grafik Rekapitulasi Data Pengenalan Angka pada Tahap Pra Tindakan

KEMAMPUAN MENGENAL BILANGAN PRA SIKLUS


12 10
10
8 7
6 5 5
4
2
0

Keterangan

Jumlah siswa yang sesuai indikator : 10

Jumlah siswa yang tidak sesuai dengan indikator : 17

Prosentase siswa yang sesuai dengan indikator : 37%

Prosentase siswa yang belum mencapai indikator : 63%

Berdasarkan tabel 4.1 dan grafik 4.1 di atas dapat dijelaskan bahwa

pengenalan angka pada kelompok A didapatkan hasil pengenalan angka dalam

kategori belum berkembang 10 atau 37%. Sedangkan pada kategori mulai

berkembang 7 atau 26%, sedangkan dalam kategori berkembang sesuai


harapan sebanyak 5 atau 18.5 % dan yang dalam kategori berkembang sagat

bagus sebanyak 5 atau 18.5 %. Berdasarkan hasil belajar tersebut peneliti

ingin meningkatkan penegenalan angka pada anak usia dini di POS PAUD

SRIKANDI dengan menggunakan metode pembelajaran problem solving

dengan berbantuan media benda kongkrit. diharapkan dengan metode tersebut

dapat meningkatkan pengenalan angka pada anak usia dini di POS PAUD

SRIKANDI Glagahwaru.

2. Deskripsi Siklus I

Pelaksanaan tindakan merupakan realisasi dari rencana pelaksanaan yang

telah disusun sebelumnya oleh peneliti dan guru. Dalam penelitian tindakan

kelas ini dilaksanakan dalam dua Siklus.

a. Perencanaan

Dari hasil observasi pada tahap Pra Tindakan, guru dan peneliti

telah menyusun rencana pelaksanaan tindakan pada Siklus I dengan

memberikan tindakan meningkatkan pengenalan angka melalui kegiatan

problem solving berbantuan media benda kogkrit. Pelaksanaan tindakan

Siklus I akan dilaksanakan selama dua kali Pertemuan yaitu Pertemuan

Pertama pada hari senin tanggal 4 April 2019, dan Pertemuan Kedua pada

hari Selasa tanggal 5 April 2019. Pada tahap perencanaan, peneliti dan

guru menentukan tema dan sub tema pembelajaran. Peneliti dan guru

merencanakan pembelajaran yang tertuang pada RPPH, menentukan

indikator keberhasilan, menyusun panduan pelaksanaan pembelajaran dan

monitoring penelitian tindakan kelas bagi guru kelas/kolaborator, serta


mempersiapkan fasilitas dan sarana prasarana untuk kegiatan

pembelajaran mengenal lambang bilangan. Peneliti mempersiapkan media

pembelajaran berupa benda kongkrit, mempersiapkan kamera untuk

mengambil foto/gambar anak maupun guru sebagai dokumentasi, dan

menyiapkan instrumen penilaian berupa lembar observasi (check list)

untuk mencatat serta mengetahui kemampuan mengenal lambang

bilangan anak pada saat proses kegiatan pembelajaran.

b. Pelaksanaan Tindakan

1) Siklus I Pertemuan Pertama

a) Siklus I Pertemuan Pertama dilaksanakan pada hari kamis, 4 April

2019. Tema Pembelajaran yaitu tema Rekreasi dengan sub tema

makanan bekal anak (Biskuit).

b) Tindakan yang dilakukan adalah :

(1). Kegiatan Awal

Pada kegiatan ini, guru bersama-sama dengan anak

didik melaksanakan SOP pembukaan, menjelaskan tema yang

akan dibahas yaitu tema Rekreasi dengan sub tema makanan

bekal anak (Biskuit). Kegiatan sebelum masuk proses

pembelajaran diawali dengan bernyanyi lagu disini senang.

Dengan menyanyi seorang anak dapat mengungkapkan

perasaannya, rasa senang, lucu, kagum, haru, ceria. Saat

anak anak bernyanyi bersama, mereka cenderung tidak tahu

malu, sehingga anak-anak akan bernyanyi sekeras kerasnya


bila guru tidak melarangnya. Secara tidak langsung, dengan

bernyanyi anak anak akan diajak untuk menjadi diri mereka

sendiri. Anak yang tadinya pemalu kalau diajak bicara pun

akan terlihat lebih percaya diri dalam mengucapkan kata kata.

Kemudian anak berbaris masuk kelas. Anak dan guru berdo’a

bersama sebelum kegiatan pembelajaran dimulai dan

mengucapkan salam.

(2). Kegiatan Inti

Guru menjelaskan terlebih dahulu kepada anak

tentang kegiatan yang akan dilakukan dan kemudian guru

membentuk anak menjadi kelompok kelompok. Anak

mengamati balok yang ada di masing-masing kelompok,

bekal biskuit yang dibawa yang di taruh di depan masing-

masing serta kertas dan bahan lainya. Anak bertanya tentang

bagaimana membangun balok sesuai angka dan mencari

persamaan bentuk biskuit dengan balok yang ada di depan

mereka. Guru memberi informasi tentang menyusun balok

sesuai dengan angka dan menginformasikan tentang problem

solving terkait macam-macam balok yang sudah ada lambang

angkanya. Guru memberi dukungan agar anak mampu

memecahkan persoalan terkait dengan gambar balok

berdasarkan problem solving yang diberikan oleh guru. Guru

memberi informasi untuk menggunting gambar-gambar balok


dan menempelnya di kertas sesuai urutan. Guru memberi

informasi tentang bentuk lingkaran sama degan bentuk

biskuit serta memberikan dukungan agar anak dapat

menghitung jumlah biskuit yang dibawa serta

menunjukkannya dengan lambang angka. Kegiatan itu

dilakukan untuk menarik perhatian anak dengan

menggunakan media benda kongkrit serta agar anak teliti

dalam menyebut urutan angka 1-10. Pada saat melakukan

pembelajaran mengenal lambang bilangan melalui kegiatan

problem solving dengan berbantuan media benda kongkrit,

guru dan peneliti mengamati serta mencatat perkembangan

anak khusunya dalam kemampuan menempel sesuai dengan

urutan lambang lambang balok. Guru memotivasi dan

membimbing anak yang masih kesulitan.

(3). Kegiatan Akhir

Guru melakukan review bersama anak tentang

kegiatan yang telah dilakukan. Guru menanyakan tentang

perasaan anak apakah senang atau tidak dalam mengikuti

kegiatan pada hari itu. Diharapkan agar anak keesokan

harinya lebih bersemangat dan antusias dalam mengikuti

kegiatan pembelajaran.Guru dan anak kemudian bernyanyi,

dilanjutkan berdo’a sebelum pulang bersama-sama,

mengucapkan salam, dan penutup.


2) Siklus I Pertemuan Kedua

a) Penelitian tindakan Siklus I Pertemuan Kedua dilaksanakan pada

hari Jumat, 5 April 2019. Tema pembelajaran yaitu Rekreasi

dengan sub tema makanan bekal anak (Buah pisang ).

b) Tindakan yang dilakukan adalah :

(1). Kegiatan Awal

Sebelum masuk proses pembelajaran diawali dengan

bernyanyi lagu disini senang. Kemudian anak berbaris masuk

kelas. Anak dan guru berdo’a bersama sebelum kegiatan

pembelajaran dimulai dan mengucapkan salam.

(2). Kegiatan Inti

Guru menjelaskan terlebih dahulu kepada anak

tentang kegiatan yang akan dilakukan dan kemudian guru

meminta anak untuk duduk melingkar. Anak diminta untuk

mengamati gambar pisang dan bekal pisang yang di bawa

oleh anak. Guru memberi dukungan dengan menjelaskan apa

itu problem solving terkait dengan pewarnaan pisang dan

anak diminta untuk memilih sendiri warna yang ada dalam

problem solving yang diceritakan guru. Anak diberikan

penjelasan agar oleh guru agar dapat memasangkan angka

sesuai jumlah gambar buah pisang. Guru memberi arahan


untuk memasang angka sesuai dengan gambar yang

menyerupai angka tersebut: angka 1 seperti lidi, 2 seperti

bebek, 3 burung terbang, 4 kursi terbalik, 5 seperti badut, 6

ular melingkar, 7 tongkatnya kakek, 8 telur bertumpuk, 9

balon terbang, 10 lidi dan bola. Dalam kegiatan ini,

diharapkan anak dapat menentukan warna buah pisang pada

gambar dan disesuaikan dengan aslinya, disamping itu

diharapkan anak dapat mengenal lambang angka yang di

pasangkan pada gambar buah pisang dan menalar lambang

angka dengan pasangan gambar yang menyerupai angka

tersebut.

(3). Kegiatan Akhir

Guru melakukan review bersama anak tentang

kegiatan yang telah dilakukan. Guru menanyakan tentang

perasaan anak apakah senang atau tidak dalam mengikuti

kegiatan pada hari itu. Diharapkan agar anak keesokan

harinya lebih bersemangat dan antusias dalam mengikuti

kegiatan pembelajaran.Guru dan anak kemudian bernyanyi,

dilanjutkan berdo’a sebelum pulang bersama-sama,

mengucapkan salam, dan penutup.

c) Skenario Perbaikan

Anak-anak dikondisikan untuk duduk di kelompok masing-

masing. Guru melakukan Tanya jawab tentang tema hari ini.


Kemudian guru menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan oleh

anak yaitu kegiatan mengenal lambang angka melalui metode

problem solving berbantuan media benda kongkrit (Biskuit).

Guru menjelaskan langkah-langkah dalam kegiatan

pengenalan angka dengan metode problem solving berbantuan

media benda kongkrit (Biskuit). Peserta didik diminta untuk

menghitung berapa bikuit yang mereka punya, dan kemudian

mencocokakan dengan lambangcbilangan yangcada.

c. Observasi

Selama pembelajaran pengenalan angka melalui kegiatan bermain

dengan metode problem solving berbantuan media benda kongkrit

berlangsung, peneliti dan guru mengamati proses kegiatan tersebut.

Pengamatan proses pembelajaran terdiri dari keterlibatan serta

ketertarikan anak dalam kegiatan yang telah dirancang dan mengamati

perkembangan kemampuan pengenalan angka pada anak selama proses

pembelajaran.

Siklus I yang dilakukan sebanyak dua kali pertemuan berjalan baik

dan lancar. Berdasarkan hasil pengamatan, aktivitas anak dalam

mengikuti pembelajaran pengenalan bilangan dengan metode problem

solving berbantuan benda konkret pada siklus I anak mulai tertarik

mengikuti proses pembelajaran tersebut. Anak antusias melakukan

pembelajaran tersebut walaupun masih ada beberapa anak yang harus

dibimbing dan diberi motivasi oleh guru dalam kegiatan tersebut. Pada
saat kegiatan menunjuk lambang bilangan 1-10 dengan bilangannya dan

menghubungkan lambang bilangan dengan benda kongkrit yang dibawa

(Biskuit atau Pisang) anak masih bersemangat. Tetapi, ada anak yang

berbicara sendiri dengan temannya, mengganggu teman, dan makan saat

kegiatan pembelajaran berlangsung. Anak menjadi kurang fokus pada saat

kegiatan tersebut. Berikut data kemampuan pengenalan angka dengan

metode problem solving berbantuan benda kongkrit pada anak usia dini di

POS PAUD SRIKANDI pada Siklus I dapat disajikan dalam bentuk tabel

4.3 sebagai berikut:

1) Siklus I Pertemuan Pertama

Tabel 4.3

Data Pengenalan Angka dengan menggunakan metode problem solving

berbantuan benda kongkrit pada Tindakan I Siklus I

FREKUEN PRESENTAS
NO
KATEGORI SI E
1 Belum Berkembang (BB) 5 19%
2 Mulai Berkembang (MB) 7 26%
Berkembang Sesuai Harapan
3 10 37%
(BSH)
Berkembang Sangat Baik
4 5 19%
(BSB)
JUMLA
27 100.0%
H

Berdasarkan tabel diatas dapat terlihat bahwa nilai pengenalan

angka menggunakan metode problem solving berbantuan benda kongkrit

mengalami perubahan yaitu, yang belum berkembang 19% atau 5 siswa,

sedangkan yang mulai berkembang sebesar 26% atau 7 siswa, sedangkan


yang berkembang sesuai harapan sebesar 37% atau 10 siswa dan yang

berkembang sangat baik sebesar 19% atau 5 siswa. Setelah dilaksanakan

tindakan pada pertemuan I siklus I yaitu pengenalan angka menggunakan

metode problem solving berbantuan benda kongkrit, siswa yang sesuai

indikator adalah 56% atau 15 siswa sedangkan 44% atau 12 siswa belum

sesuai dengan indicator.

Pada pertemuan I siklus I ini mengalami peningkatan sebanyak

19% dari 37% menjadi 56% atau dari 10 siswa menjadi 15 siswa, tetapi

peningkatan pengenalan angka menggunakan metode problem solving

belum memenuhi target, karena peneliti menargetkan pengenalan angka

mencapai sebesar 80%. Oleh sebab itu peneliti melakukan penelitian lagi

pada tindakan II Siklus I.

2) Siklus I Pertemuan Kedua

Berdasarkan hasil pertemuan kedua tindakan siklus I, maka

diperoleh gambaran tentang Meningkatkan Pengenalan Angka Anak Usia

Dini dengan menggunakan metode problem solving berbantuan benda

kongkrit. Dengan kriteria berapa anak yang sudah mencapai indikator

pengenalan angka.

Tabel 4.3

Data Pengenalan Angka dengan menggunakan metode problem solving

berbantuan benda kongkrit pada Tindakan I Siklus II

FREKUEN PRESENTAS
NO
KATEGORI SI E
1 Belum Berkembang (BB) 4 15%
2 Mulai Berkembang (MB) 6 22%
Berkembang Sesuai Harapan
3 9 33%
(BSH)
Berkembang Sangat Baik
4 8 30%
(BSB)
JUMLA
27 100.0%
H
Keterangan :

BB Kategori kemampuan anak Belum Berkembang sebesar 15%

MB Kategori kemampuan anak Mulai berkembang sebesar 22%

BSH Kategori kemampuan anak Berkembang sesuai harapan 33%

BSB Kategori kemapuan anak Berkembang sangat baik 30%

Grafik 4.2

Grafik Pengenalan Angka dengan metode problem solving berbantuan benda


kongkrit pada Tindakan II Siklus I

Pra Siklus VS Siklus I


12 10
10 9 8
8 7 6
6 4 5 5
4
2
0
B) B) SH
) B)
g (B (M (B ( BS
an ng n i k
m
b ba a pa t Ba
ke em ar ng
a
Be
r rk iH
iB
e
u a Sa
lu
m a es ng
Be ul g S ba
M em
b an r k
ke
m Be
r
Be

Keterangan

Jumlah siswa yang sesuai indikator : 17

Jumlah siswa yang tidak sesuai dengan indicator : 10

Prosentase siswa yang sesuai dengan indikator : 63%


Prosentase siswa yang belum mencapai indikator : 37%

Berdasarkan tabel diatas dapat terlihat bahwa nilai pengenalan

angka menggunakan metode problem solving berbantuan benda kongkrit

mengalami perubahan yaitu, yang belum berkembang 15% atau 4 siswa,

sedangkan yang mulai berkembang sebesar 22% atau 6 siswa, sedangkan

yang berkembang sesuai harapan sebesar 33% atau 9 siswa dan yang

berkembang sangat baik sebesar 30% atau 8 siswa. Setelah dilaksanakan

tindakan pada pertemuan II siklus I yaitu pengenalan angka menggunakan

metode problem solving berbantuan benda kongkrit, siswa yang sesuai

indikator adalah 63% atau 17 siswa sedangkan 37% atau 10 siswa belum

sesuai dengan indicator.

Pada pertemuan II siklus I ini mengalami peningkatan sebanyak

7% dari 56% menjadi 63% atau dari 15 siswa menjadi 18 siswa, tetapi

peningkatan pengenalan angka menggunakan metode problem solving

belum memenuhi target, karena peneliti menargetkan pengenalan angka

mencapai sebesar 80%.

d. Refleksi Siklus I

Refleksi dalam penelitian ini adalah evaluasi terhadap proses tindakan

dalam satu siklus. Kegiatan refleksi dilakukan oleh peneliti bersama

kolabolator, yang selanjutnya dapat dipergunakan sebagai pijakan untuk

melakukan kegiatan pada siklus II. Peneliti dan kolabolator membahas

hal-hal apa saja yang menjadi masalah atau kendala pada pelaksanaan

siklus I. Berdasarkan hasil pengamatan serta diskusi peneliti dan


kolabolator di peroleh hal-hal yang menjadi hamabatan atau kendala pada

siklus I, yaitu :

1) Masih ada anak yang asik bermain sendiri

2) Masih banyak anak yang tidak mendengarkan perintah guru

3) Masih terdapat anak yang menggangu anak lain

4) Masih banyak anak yang belum mencapai indikator pengenalan

angka

Sedangkan hasil pengamatan selama proses pembelajaran berlangsung

pada pertemuan II siklus I implementasi metode problem solving berbantuan

benda kongkrit dalam pengenalan angka pada anak usia dini di POS PAUD

SRIKANDI glagahwaru, kecamatan Undaan tahun ajaran 2018 / 2019 mengalami

peningkatan dari pertemuan I sebesar 19 % setelah dilakukan penelitian pada

pertemuan II menjadi 7% pada petemuan II siklus I tingkat keberhasilan belum

mencapai 80% sehingga peneliti akan melanjutkan ke tahap siklus II. Dengan

membuat rancangan tema yang lebih menarik agar anak tertarik untuk mengikuti

kegiatan.

Anda mungkin juga menyukai