Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENGKAJIAN BUDAYA

SRIYANI

201701138

2C KEPERAWATAN

STIKES WIDYA NUSANTARA PALU

PROGRAM STUDY ILMU KEPERAWATAN

T.A 2018/2019
Daftar isi

Kata pengantar......................................................................................................................

Bab I pendahuluan

A. Latar belakang.........................................................................................................
B. Rumusan masalah...................................................................................................
C. Tujuan ...................................................................................................................

Bab II Pembahasan

A. Sejarah kajian budaya.............................................................................................


B. Pengertian kajian budaya........................................................................................
1. Kajian Budaya Menurut Para Ahli
2. Karakter Akademik Kajian Budaya
3. Obyek Kajian Budaya
4. Contoh yang beredar di media dan melindungi kekuatan
5. Wilayah bagi Kajian Budaya/Budaya Populer/Budaya Kota

Bab III Penutup

A. Kesimpulan.............................................................................................................
B. Saran ......................................................................................................................

Daftar pustaka
Kata pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat petunjuk dan
bimbingan-Nya, penulis berhasil menyelesaikan makalah dengan makalah pengkajian
budaya yang berisi pemahaman materi bagi mahasiswa/i sebagai saran belajar agar
mahasiswa lebih aktif dan kreatif.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak sekali mengalami bayak kesulitan
karena kurangnya ilmu pengetahuan. namun berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak akhirnya makalah ini dapat terselesaikan meskipun banyak kekurangan. penulis
menyadari sebagai seorang pelajar yang pengetahuannya belum seberapa dan masih perlu
banyak belajar dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
adanya kritik dan saran yang positif untuk ksempurnaan makalah ini.

Penulis berharap mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat dan digunakan


sebagai bahan pembelajaran di masa yang akan datang. Amiin.

Palu, 16.Nov 2018

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa saling berhubungan satu sama lain.
Untuk itulah peran komunikasi dibutuhkan. Dalam hidup bermasyarakat, orang yang tidak
pernah berkomunikasi dengan orang lain niscaya akan terisolasi dari masyarakatnya. Oleh
sebab itu, menurut dokter Everett Kleinjan dari East West Center Hawaii, komunikasi sudah
merupakan bagian kekal dari kehidupan manusia seperti halnya bernapas. Sepanjang manusia
ingin hidup, maka mereka memerlukan komunikasi.

Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah dikenal sangat heterogen dalam berbagai aspek,
seperti adanya keberagaman suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan sebagainya.
Tidaklah asing bagi kita sebagai warga Negara Indonesia dengan adanya perbedaan budaya di
kalangan masyarakat kita ,karena mengingat begitu luasnya wilayah indonesia.

Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-
perbedaannya, disitulah dibuktikan bahwa sebenarnya budaya itu juga dipelajari.
Pada kenyataanya seringkali kita tidak bisa menerima atau merasa kesulitan menyesuaikan
diri dengan perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat interaksi tersebut, dan kita biasanya
akan mengalami kesulitan berinteraksi dengan mereka tanpa komunikasi yang padu.

Budaya adalah sebuah kata yang banyak diperbincangkan oleh berbagai kalangan dari yang
demikian variatif ditinjau dari perspektif strata sosial, intelektual, dan finansial. Dengan
berbagai macam interpretasi untuk memaknai kebudayaan baik dari sejarah, perkembangan,
maupun eksistensinya, manusia secara sadar atau pun tidak sebenarnya telah bersinggungan
dengan budaya itu sendiri dalam sepanjang sejarah hidupnya. Manusia yang dalam hidupnya
senantiasa dihadapkan pada berbagai kompleksitas masalah dan upaya pemecahannya
pastilah secara langsung maupun tidak langsung akan berjibaku dengan budaya yang melekat
pada dirinya sejak lahir sebagai bawaan lingkungan tempat ia lahir, tumbuh, dan besar, tetai
juga adanya pengaruh budaya dari luar lingkungan asalnya yang mungkin didapatnya ketika
ia harus mengalami masa peralihan domisili atau lingkungan pergaulan selama fase
kehidupannya.

Ada banyak orang membicarakan kebudayaan dengan berbagai aspeknya, tetapi tak banyak
orang yang mampu mendefinisikan apa sesungguhnya kebudayaan itu dan mengapa
kebudayaan demikian kuat memberikan pengaruh pada kehidupan manusia selama perjalanan
hidupnya. Secara umum banyak orang yang menganggap budaya terkotak hanya sebatas
bersinggungan dengan hal-hal yang berbau seni saja, padahal lebih dalam dibandingkan
sebatas seni.

Tidak ada batasan antara budaya dan komunikasi, seperti yang dinyatakan Hall, “Budaya
adalah komunikasi,dan komunikasi adalah budaya”. Dengan kata lain ketika membahas
budaya dan komunikasi sulit untuk memutuskan mana yang menjadi suara dan mana yang
menjadi gemanya. Alasannya adalah karena anda “mempelajari” budaya anda melalui
komunikasi dan pada saat yang sama komunikasi merupakan refleksi budaya anda.
Fungsi dasar dari budaya adalah untuk melayani kebutuhan vital dan praktis manusia, untuk
membentuk masyarakat juga untuk memelihara spesies, menurunkan pengetahuan dan
pengalaman berharga ke generasi berikutnya, untuk menghemat biaya dan bahaya dari proses
pembelajaran semuanya mulai dari kesalahan kecil selama proses coba-coba sampai
kesalahan fatal.

Apabila kita berbicara tentang kebudayaan maka kita akan langsung berhadapan dengan
makna dan arti tentang budaya itu sendiri. Secara umum budaya sendiri budaya atau
kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak
dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal- hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia, dalam bahasa inggris kebudayaan disebut culture yang berasal dari kata
latin colere yaitu mengolah atau mengerjakan dapat diartikan juga sebagai mengolah tanah
atau bertani, kata culture juga kadang sering diterjemahkan sebagai “Kultur” dalam bahasa
Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian Kajian Budaya?


2. Apakah perspektif Kajian Budaya menurut para ahli?
3. Baagaimana pengaruh Kajian Budaya terhadap media?
4. Apakah contoh kasus Kajian Budaya?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu Kajian Budaya


2. Untuk mengetahui perspektif Kajian Budaya dari para ahli
3. Mengetahui pengaruh Kajian Budaya terhadap media
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Kajian Budaya

Sejarah lahirnya ilmu kajian budaya tidak akan pernah terlepas dari bagaimana
lingkungan/kehidupan pada masa tertentu mempengaruhi teori yang dilahirkan oleh para
pemikir-pemikirnya . Seorang pemikir takan pernah jauh dari apa yang ada dekat dengan
dirinya sebelum meninggalkan jauh dari apa yang mereka diami sehari-hari. Begitu pula
sama seorang sastrawan tidak akan menulis apa yang ia tak kuasai Sebut saja Madzhab
Frankurt, siapa yang tidak kenal medzhab ini dalam ilmu budaya kontemporer? Saya yakin
madzhab ini dikenal cukup baik dalam dunia akademik, karena yang dibawa mereka dalam
pemikirannya telah menambah suatu khazanah keilmuan yang luar biasa berdampak penting
bagi dunia akademik yang sampai sekarang masih relevan.

Madzhab Frankurt ini dikenal namanya karena pemikiran kritisnya terhadap budaya
kontemporer, kritik terhadap industri budaya yang dianggapnya telah dinodai/manipulasi oleh
campur tangan para penguasa. Pionir dari madzhab ini yang paling terkenal adalah Theodor
Adorno, Benjamin, Herbert Marcuse, Habermas, Horkheimer dan lain-lain. Madzhab frankurt
didirikan pada tahun 1923 untuk peneilitian sosial. Para pendirinya cenderun para intelektual
Yahudi, bangsa Jerman sayap kiri yang berasal dari kelas atas dan menengah masyarakat
Jerman.

Oleh karena rezim Hitler yang pada waktu itu tidak memihak posisi mereka yang
kebanyakan Yahudi, lantaslah mereka pindah ke Amerika, tapatnya di New York. Kritik
mereka tidak terlepas dari kondisi yang terjadi pada waktu itu. Perang dunia berkecamuk
dengan memakan korban tak sedikit, akibat dari ulah ciptaan manusia yang disalah gunakan
menjadi sebuah pencapaian kekuasaan maka mereka semena-mena dalam menggunakan
tekhnologi. Kenyataannya ketika kepindahan mereka dari Jerman ke Amerika tidak membuat
kepuasaan yang didamba.

Kontradiksi lain muncul sebagaimana yang kita ketahui dengan istilah kapitalisme.
Perkembangan Amerika yang masih ditahap seperti tidak sekarang ini dirasakan pula oleh
mereka, Madzhab Frankurt yang berada tidak jauh dari pusat kebudayaan baru yang sedang
berkembang dalam basis tekhnologi mengalami langsung bagaimana dinamika penting
budaya popular yang sedang berkembang di Amerika. Benar pulalah apa yang diungkapkan
Ian Craib dalam bukunya (1986:276) bahwa pemandangan yang suram itu telah berubah
kedalam suatu mimpi buruk: dunia sosial menjadi suatu raksasa elektronik yang meamakan
anggotanya sendiri, yang memanipulasi dan menyerap setiap perlawanan yang mungkin
diberikan.

B. Pengertian Kajian Budaya

Kajian Budaya ( Inggris:Cultural Studies ) adalah suatu cara pandang teoritis mengenai
suatu objek dengan perspektif bidang kritik sastra, sosiologi, sejarah, kajian media, dan
berbagai bidang lainnya. Kajian budaya merupakan bidang interdisipliner yang mengambil
berbagai cara pandang dari ilmu lain untuk meneliti hubungan antara kebudayaan
dengan politik atau kekuasaan. Objek kajian budaya tidak hanya dipahami secara sempit
mengenai seni atau kebudayaan, namun juga menyetuh kehidupan sehari-hari manusia yang
menyangkut budaya populer. Namun, kajian budaya tidak bisa direduksi menjadi kajian
budaya populer walaupun proyek utama kajian budaya adalah mengkaji budaya
populer. Teks, sebagai objek kajian, dalam kajian budaya tidak hanya dipandang secara
sempit, namun dipandang menyentuh unsur subjektivitas dan latar belakang sosial yang
membentuk sebuah teks. Asumsi dasar kajian budaya adalah Marxisme.
Kajian Budaya bukanlah bagian dari Marxisme, tetapi dasar-dasar kajian budaya banyak
berasal dari Marxisme. Kajian budaya dan Marxisme sama-sama memandang bahwa
kehidupan manusia dilingkari oleh struktur dan regulasi di luar dirinya. Dalam paradigma
yang sama ini baik sebagaimana Marxisme kajian mempunyai komitmen untuk merombak
struktur dan melakukan perubahan lewat kombinasi antara teori dan praktik. Dengan
pengaruh dari Marxisme kajian budaya menganalisa untuk memamahami makna dari suatu
teks dan praktik budaya dalam konteks sosial dan sejarahnya. Selain itu kajian budaya setuju
dengan pandangan Marxis bahwa masyarakat kapitalis telah dikelompokan secara tidak adil
menurut, garis keturunan, ras, kelas dan gender. Kajian budaya merombak pengelompokan
suatu karya, prkatik budaya, atau teks atas dasar dominasi politis suatu kelompok tertentu.

1. Kajian Budaya Menurut Para Ahli


a. Stanley Baran dan Dennis Davis ( 2003 )
Stanley Baran dan Dennis Davis menyimpulkan bahwa “media telah menjadi alat utama
dimana kita semua mengalami atau belajar mengenai banyak aspek mengenai dunia disekitar
kita. Tetapi, cara yang digunakan media dalam melaporkan suatu peristiwa dapat berbeda
secara signifikan. Kajian budaya adalah perspektif teoritis yang berfokus bagaimana budaya
dipengaruhi oleh budaya yang kuat dan dominan.

b. Stuart Hall ( 1981, 1989 )


Stuart Hall menyatakan bahwa media merupakan alat yang kuat bagi kaum elite. Media
berfungsi untuk mengkomunikasikan cara-cara berfikir yang dominan, tanpa mempedulikan
efektifitas pemikiran tersebut. Media merepresentasikan ideologi dari kelas yang dominan
didalam masyarakat.Karena media dikontrol oleh korporasi (kaum elite), informasi yang
ditampilkan kepada publik juga pada akhirnya dipengaruhi dan ditargetkan dengan tujuan
untuk mencapai keuntungan.Pengaruh media dan peranan kekuasaan harus dipetimbangkan
ketika menginterpretasikan suatu budaya.

c. Warisan Marxis: Kekuatan bagi Masyarakat


Filsuf Karl Marx (1963) dihargai sebagai orang yang mampu mengidentifikasi bagaimana
mereka yang memiliki kekuasaan (kaum elite) mengeksploitasi yang lemah (kelas pekerja).
Marx percaya bahwa keadaan lemah dapat menuntun pada terjadinya alienasi (kondisi
psikologis dimana orang mulai merasa bahwa mereka memiliki sedikit control terhdap masa
depan mereka). Salah satu keinginan Marx adalah memastikan bahwa tindakan revolusioner
dari kaum proletariat dapat dilakukan untuk memutus mata rantai perbudakan dan untuk
mmengurangi alienasi di dalam masyarakat yang kapitalistik

Penerapan prinsip-prisnsip Marxis apada kajian budaya cuma samapai pada batasan tertentu
saja (neo-marxis), yaitu: (1) mereka yang ada dalam kajian budaya telah menginterogasikan
berbagai macam perspektif kedalam pemikiran mereka, termasuk perspektif dari kesenian,
humaniora, dan ilmu sosial. (2) para teoritikus kajian budaya juga memasukkan kelompok
marginal yang tidak memiliki kekuasaan tambahan, tidak terbatas pada para pekerja saja.

2. Karakter Akademik Kajian Budaya


Kajian budaya sebagai suatu disiplin ilmu ( akademik ) yang mulai berkembang di
wilayah Barat ( 1960-an ), seperti Inggris, Amerika, Eropa ( kontinental ), dan Australia
mendasarkan suatu pengetahuan yang disesuaikan dengan konteks keadaan dan kondisi
etnografi serta kebudayaan mereka. Pada tahap kelanjutannya di era awal abad 21 kajian
budaya dipakai di wilayah Timur untuk meneliti dan menelaah konteks sosial di tempat-
tempat yang jarang disentuh para praktisi kajian budaya Barat, antara lain Afrika, Asia, atau
Amerika Latin. Secara institusional, kajian budaya menelurkan berbagai karya berupa buku-
buku, jurnal, diktat, matakuliah bahkan jurusan di universitas-universitas. Menurut Barker,
inti kajian budaya bisa dipahami sebagai kajian tentang budaya sebagai praktik-praktik
pemaknaan dari representasi ( Barker, 2000: 10 ).
Teori budaya marxis yang menggali kebudayaan sebagai wilayah ideologi yang lebih
banyak dijelaskan pada aliran wacana ( discourse ) dan praktik budaya seperti layaknya
media berupa teks – teks ( sosial, ekonomi, politik). Chris Barker ( 2000 ) mengakui bahwa
kajian budaya tidak memiliki titik acuan yang tunggal. Selain itu, kajian budaya memang
terlahir dari indung alam pemikiran strukturalis/pascastrukturalis yang multidisipliner dan
teori kritis multidisipliner, terutama di Inggris dan Eropa kontinental. Artinya kajian budaya
mengkomposisikan berbagai kajian teoritis disiplin ilmu lain yang dikembangkan secara lebih
longgar sehingga mencakup potongan-potongan model dari teori yang sudah ada dari para
pemikir strukturalis/pascastrukturalis. Sedangkan teori sosial kritis sebenarnya sudah
mendahului tradisi disiplin “kajian budaya” melalui kritik ideologinya yang dikembangkan
Madzhab Frankfurt. Sebuah kritik yang dimaknai dari pandangan Kantian, Hegelian,
Marxian, dan Freudian. Sehubungan dengan karakter akademis, pandangan lain dari Ben
Agger ( 2003 ) membedakan kajian budaya sebagai gerakan teoritis, dan kajian budaya
sebagai mode analisis dan kritik budaya ateoritis yang tidak berasal dari poyek teori sosial
kritis, yaitu kritik ideologi ( Agger, 2003 ). Komposisi teoritis yang diajukan sebagai karakter
akademis dalam kajian budaya mengekspresikan temuan-temuan baru dalam hal metodologi
terhadap cara pemaknaan sebuah praktik-praktik kebudayaan yang lebih koheren,
komprehensif, polivocality (banyak suara) dan menegasikan keobjektifan suatu klaim
pengetahuan maupun bahasa. Karakter akademis kajian budaya memang sangat terkait
dengan persoalan metodologi. Penteorisasian tidak hanya merujuk pada satu wacana disiplin
tunggal namun banyak disiplin, maka ini pun yang disebut sebagai ciri khas kajian budaya
dengan istilah polivocality.

Senada dengan yang disampaikan oleh Paula Sakko ( 2003 ), kajian budaya mengambil
bentuk kajian yang dicirikan dengan topik lived experience (pengalaman yang hidup),
discourse ( wacana ), text ( teks ) dan social context ( konteks sosial ). Jadi, metodologi dalam
kajian budaya ini tersusun atas wacana, pengalaman hidup, teks, dan konteks sosial dengan
menggunakan analisis yang luas mengenai interaksi antara ‘yang hidup’, yang dimediasi,
keberyakinan ( agama ), etnik, tergenderkan, serta adanya dimensi ekonomi dan politik dalam
dunia jaman sekarang ( modern/kapitalis ). Bagi Saukko, hal yang paling fundamental dalam
“kajian budaya”, pertama, ketertarikan dalam budaya yang secara radikal berbeda dari
budaya yang ada ( high culture to low culture/popular ), kedua, analisis dengan kritis budaya
yang menjadi bagian integral dari pertarungan dan budaya ( teks dan konteks sosial ).

Hal yang harus dipenuhi dalam memandang konteks sosial adalah sensitifitas pada
konteks sosial dan kepedulian pada kesejarahan. Sedangkan yang menjadi bagian terpenting
dari metodologi kajian budaya dan dianggap good/valid research adalah truthfulness, self-
reflexivity, polivocality. Dan, menerapkan sebuah validitas dekonstruktif yang biasa
digunakan oleh peneliti pascastrukturalis, yaitu postmodern excess ( Baudrillard ),
genealogical historicity ( Foucalt ), dan deconstructive critique ( Derrida ). Pada kerangka
bagan yang dibuat Saukko dalam bukunya itu, Truthfullness digambarkan dengan paradigma;
ontologi, epistemologi, metapora, tujuan penelitian dan politik yang disandingkan dengan
model triangulasi, prism, material semiotic dan dialogue. Self-reflexivity ditempatkan pada
jalur seperti yang digunakan teori sosial kritis yang dilandaskan pada kritik ideologi dan
peran atas basis kesadaran yang merepresentasikan ruang dialog dan wacana saling bertemu,
mempengaruhi, mengaitkan berbagai kepentingan, pola kekuasaan serta konteks sosial dan
sejarahnya. Polivocality menyematkan berbagai pandangan yang berbeda (atau suara) dengan
cakupan teori-teori yang saling mengisi dan dengan mudah dapat didukung satu sama lain,
meski ini membutuhkan ketelitian dalam mengkombinasikan pandangan-pandangan lain agar
memberikan kesesuaian bagi karekater akademis Kajian budaya. Paradigma yang digunakan
mengambil model triangulasi yang berupaya mengkombinasikan berbagai macam bahan atau
metode-metode untuk melihat apakah saling menguatkan satu sama lain. Maka, kajian
budaya sangat berpotensi memberikan peluang bagi suatu kajian yang baru dan menarik
minat mahasiswa. Validitas (keabsahan) penelitian dalam Cultural Studies yang menuju
‘kebenaran’ (truth) maka yang dipakai adalah triangulation

a.Teori Hegemoni
Dalam rangka untuk memahami situasi politik yang berubah dari kelas, politik dan budaya di
Inggris, sarjana di CCCS beralih ke pekerjaan Antonio Gramsci, seorang pemikir Italia tahun
1920-an dan 30-an. Gramsci telah prihatin dengan masalah yang sama: mengapa buruh Italia
dan petani memilih fasis? Dengan kata lain, mengapa orang-orang yang bekerja memilih
untuk memberikan kontrol yang lebih kepada perusahaan dan melihat hak-hak dan kebebasan
mereka sendiri diabaikan? Gramsci memodifikasi Marxisme klasik dalam melihat budaya
sebagai instrumen kunci kontrol politik dan sosial. Dalam pandangan ini, kapitalis digunakan
tidak hanya untuk kekerasan (polisi, penjara, represi, militer) untuk mempertahankan kontrol,
tetapi juga merambah budaya sehari-hari orang yang bekerja. Dengan demikian, rubrik utama
bagi Gramsci dan kajian budaya adalah bahwa tentang hegemoni budaya.

b. Hegemoni Massa: Pengaruh Terhadap Massa

Hegemoni dapat didefinisikan sebagai pengaruh, kekuasasan, atau dominasi dari sebuah
kelompok sosial terhadap yang lain. Antonio Gramsci mendasarkan Hegemoni pada
pemikiran Marx mengenai kesadaran palsu (orang tidak sadar akan adanya dominasi didalam
kehidupan mereka). Gramsci berpendapat bahwa khalayak dapat dieksploitasi oleh system
sosial yang juga mereka dukung (secara financial).Gramsci merasa bahwa kelompok-
kelompok yang dominan didalam masyarakat berhasil mengarahkan orang menjadi tidak
waspada.Persetujuan adalah komponen utama dari Hegemoni.Serta kita mengetahui, budaya
korporat sekarang ini menekankan pengambilan keputusan untuk persetujuan sering
didominasi oleh kelompok yang dominan.

c. Hegemoni Tandingan: Massa mulai Mempengaruhi Kekuatan Dominan

Khalayak tidak selalu tertipu untuk menerima dan mempercayai apapun yang diberikan oleh
kekuatan dominan. Khalayak terkadang juga akan menggunakan seumber daya dan strategi
yang sama seperti yang digunakan oleh kelompok sosial yang dominan. Hingga pada batas
tertentu, individu-individu akan menggunakan praktik-praktik dominasi Hegemonis yang
sama untuk menantang dominasi yang ada (hegemoni tandingan). Hegemoni tandingan
penting dalam kajian budaya sebab menunjukkan bahwa khalayak tidak selamanya diam dan
menurut.Maksudnya, didalam hegemoni tandingan, para peneliti berusaha untuk
memperbesar volume suara yang selama ini dibungkam.Pemikiran mengenai hegemoni
tandingan sebagai suatu titik dimana individu-individu menyadari mengenai ketaatan mereka
dan berusaha melakukan sesuatu mengenai hal tersebut.

3. Obyek Kajian Budaya


 Bahasa
 Gaya hidup, konsumerisme dan Budaya populer : musik, fashion, televisi,
majalah, iklan, film, media sosial, cyberspace, dll.
 Agama dan kepercayaan, ritual
 Makanan, festival, lukisan
 Local wisdom (berbagai bentuk kearifan lokal)
 Identitas, ras, etnisitas, bangsa
 Gender dan feminisme
 Sastra remaja urban
 Sastra poskolonial
 Politik kebudayaan (hegemoni)
 Ruang publik
 Kekuasaan

Pada model ‘Kajian Budaya’, “budaya” merupakan sebuah bidang perselisihan dan
persaingan kekuatan yang berasal dari ketidaksimetrisan bentuk kekuasaan, modal dan nilai.
Kajian Budaya sebagai ilmu akademis telah dituduh sebagai proses mendematerialisasikan
atau mengelompokkan isi media untuk membuat pesan politis dan ideologis menjadi objektif
demi kepentingan analisis. Pendekatan ini seringkali selanjutnya dijadikan ciri sebagai
sebuah ‘akibat’ model analisis yang berfokus pada mekanisme para penganut paham kapitalis
dan badan hukum terhadap penguasaan dan biasanya mengabaikan perantara dan aktivitas
individu, kelompok dan cabang budaya yang berperan sebagai penerima dan pengguna
media.

Pendekatan “Marxisme Budaya”-nya Stuart Hall membangun model yang lebih kompleks
berdasarkan perluasan teori hegemoni, ekonomi sosial memproses “persetujuan perusahaan”
diantara kelas-kelas yang lebih rendah (masyarakat “mampu-tidak mampu” atau “mampu-
kurang mampu” ) untuk menerima pandangan yang dikembangkan oleh kelas-kelas
berpemilikan (masyarakat mampu).

Menurut pandangan kajian budaya, media massa dan komunikasi khususnya membuat sandi
(secara implicit pada awalnya dianggap sebagai konteks untuk makna) atas sebuah ideologi
dominan yang dapat diterima masyarakat. Media akibatnya secara ideologis diberi kode
sehingga memaksimalkan persetujuan kehendak konsumen dan kaun yang “mampu-tidak
mampu” untuk “bertahan pada program ini” dan mengabadikan status quo dari distribusi
kemakmuran dan kekuasaan.
Hegemoni ideology yang melindungi kelas yang memimpin dan berkepemilikan bukanlah
masalah dari kekuatan, kekerasan atau manipulasi yang sengaja nampak. Hal ini berfungsi
sangat baik karena hegemoni ini berdasarkan pada persetujuan kehendak dari orang-orang
yang kurang memiliki kekuasaan dan kekayaan untuk menerima sebuah ideology yang
dominan, demi melihat dunia dan berperilaku berdasarkan pandangan di atas.

4. Contoh yang beredar di media dan melindungi kekuatan

hegemonis
 Kebebasan berbicara (sebagai sebuah keyakinan, saat beberapa orang memiliki
kekuasaan atas apa yang mereka suarakan)
 Individualitas (bagus untuk pemasaran, karena paham konsumeris membutuhkan
presentasi berkelanjutan atas pilihan maupun identitas serta kebutuhan personal

yang unik untuk melihat dan membeli seperti halnya orang lain dalam sebuah

kelompok identitas)

 Kebebasan memilih (bagian dari keyakinan perseorangan, juga gagasan utama


dalam pemasaran dan budaya konsumen: ideologi tempat belanja).

Menurut pandangan hegemoni dan budaya, perilaku sosial sangat ditentukan oleh faktor-
faktor identitas gandaseperti ras, kelas sosial, jenis kelamin dan kebangsaan, yang
dilambangkan dalam hirarkis kekuasaan, kepentingan dan nilai ekonomis. Namun Hall dan
pengamat lain seperti Dick Hebidge menunjukkan bahwa orang-orang memiliki banyak
strategi berhubungan dengan keinginan media: bekerja dalam kode dominan, menggunakan
sebuah kode yang dapat dirundingkan (meski menerima namun mengubah makna
berdasarkan posisi penonton maupun komunitas penonton tersebut), atau mengganti kode
yang berlawanan (dengan menggunakan kesadaran kritis, memusnahkan hal-hal yang
membingungkan, ironis, subversi, drama, parody, seperti sampling DJ). Dalam hal ini,
banyak cabang budaya dibentuk di sekitar kelompok yang menggunakan media, gambar dan
musik yang menciptakan identitas dan perbedaan dari pendapat umum atau budaya yang
dominan.

5. Wilayah bagi Kajian Budaya/Budaya Populer/Budaya Kota


Di dalam Kajian Budaya, terdapat wilayah yang mungkin bagi Kajian Budaya/Budaya
Populer/Budaya Kota

1. Subkultur (subculture)
2. Gaya (style)
3. Budaya mode (fashion)
4. Budaya Berbelanja (shopping culture)
5. Budaya Selebritis dan Penggemar (celebrity and fandom)
6. Budaya Cyber (dunia maya) dan Paham Cyborgis (cyber culture and cyborgism)
7. Budaya dan Teknologi
8. Budaya Remaja

Semakin susah sesuatu diproduksi ulang, maka sesuatu itu akan semakin dipuja dan
dipertahankan. Sebagaimana budaya yang digunakan oleh paham kapitalis untuk
mengendalikan kesadaran individu, oleh sebab itu budaya tersebut benar-benar
di’industrialisasi’kan dan dijadikan komoditas. Seni dulu juga pernah dijadikan sebagai
komoditas, menurut paham kapitalis seni secara keseluruhan dijadikan komoditas, dan
seringkali sukses dengan mengumpulkan dan memanipulasi hasrat
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kajian budaya hakikatnya lahir dari jawaban dari para antropolog atas argumen yang
dikeluarkan oleh para postmodernis yang beranggapan bahawa antropologi tidak bias objektif
dalam risetnya. Dalam perkembangannya, para antropolog mulai mempelajari dan menulis
mengenai dampak dan pengaruh kebudayaan. Dari sinilah terlihat jelas perbedaannya dengan
antropologi, pada akhirnya melahirkan disiplin ilmu baru yang bernama kajian budaya
(sebagian mengatakan bahwa kajian budaya merupakan tahapan paling baru dari
antropologi). Pada dasarnya, kajian budaya adalah bagian dari antropologi. Keduanya
memiliki objek yang sama yaitu manusia sebagai mahluk sosial budaya. Namun, antropologi
memiliki kajian yang lebih luas mengenai manusia, antropologi tidak hanya mempelajari
manusia sebagai mahluk sosial budaya tetapi antropologi juga mempelajari manusia sebagai
mahluk biologis.

Kajian budaya memiliki ruang lingkup yang lebih terfokus pada budaya. Berbeda dengan
antropologi yang kajiannya begitu luas mengenai manusia. kajian budaya lahir dari
antropologi, pada perkembangannya kajian budaya berbeda dengan antropologi setidaknya
terlihat dari ruang lingkup kajiannya, kajian budaya ruang lingkupnya fokus pada budaya dan
antropologi ruang lingkupnya sangat luas mengenai manusia.

Sejarah lahirnya ilmu kajian budaya tidak akan pernah terlepas dari bagaimana
lingkungan/kehidupan pada masa tertentu mempengaruhi teori yang dilahirkan oleh para
pemikir-pemikirnya. Seorang pemikir takan pernah jauh dari apa yang ada dekat dengan
dirinya sebelum meninggalkan jauh dari apa yang mereka diami sehari-hari. Begitu pula
sama seorang sastrawan tidak akan menulis apa yang ia tak kuasai Sebut saja Madzhab
Frankurt, siapa yang tidak kenal medzhab ini dalam ilmu budaya kontemporer? Saya yakin
madzhab ini dikenal cukup baik dalam dunia akademik, karena yang dibawa mereka dalam
pemikirannya telah menambah suatu khazanah keilmuan yang luar biasa berdampak penting
bagi dunia akademik yang sampai sekarang masih relevan.

Kajian Budaya ( Inggris:Cultural Studies ) adalah suatu cara pandang teoritis mengenai
suatu objek dengan perspektif bidang kritik sastra, sosiologi, sejarah, kajian media, dan
berbagai bidang lainnya. Kajian budaya merupakan bidang interdisipliner yang mengambil
berbagai cara pandang dari ilmu lain untuk meneliti hubungan antara kebudayaan
dengan politik atau kekuasaan. Objek kajian budaya tidak hanya dipahami secara sempit
mengenai seni atau kebudayaan, namun juga menyetuh kehidupan sehari-hari manusia yang
menyangkut budaya populer. Namun, kajian budaya tidak bisa direduksi menjadi kajian
budaya populer walaupun proyek utama kajian budaya adalah mengkaji budaya
populer. Teks, sebagai objek kajian, dalam kajian budaya tidak hanya dipandang secara
sempit, namun dipandang menyentuh unsur subjektivitas dan latar belakang sosial yang
membentuk sebuah teks. Asumsi dasar kajian budaya adalah Marxisme.
Pada model ‘Kajian Budaya’, “budaya” merupakan sebuah bidang perselisihan dan
persaingan kekuatan yang berasal dari ketidaksimetrisan bentuk kekuasaan, modal dan nilai.
Kajian Budaya sebagai ilmu akademis telah dituduh sebagai proses mendematerialisasikan
atau mengelompokkan isi media untuk membuat pesan politis dan ideologis menjadi objektif
demi kepentingan analisis. Pendekatan ini seringkali selanjutnya dijadikan ciri sebagai
sebuah ‘akibat’ model analisis yang berfokus pada mekanisme para penganut paham kapitalis
dan badan hukum terhadap penguasaan dan biasanya mengabaikan perantara dan aktivitas
individu, kelompok dan cabang budaya yang berperan sebagai penerima dan pengguna
media.

Menurut pandangan kajian budaya, media massa dan komunikasi khususnya


membuat sandi (secara implicit pada awalnya dianggap sebagai konteks untuk makna) atas
sebuah ideologi dominan yang dapat diterima masyarakat. Media akibatnya secara ideologis
diberi kode sehingga memaksimalkan persetujuan kehendak konsumen dan kaun yang
“mampu-tidak mampu” untuk “bertahan pada program ini” dan mengabadikan status quo dari
distribusi kemakmuran dan kekuasaan.
Hegemoni ideology yang melindungi kelas yang memimpin dan berkepemilikan bukanlah
masalah dari kekuatan, kekerasan atau manipulasi yang sengaja nampak. Hal ini berfungsi
sangat baik karena hegemoni ini berdasarkan pada persetujuan kehendak dari orang-orang
yang kurang memiliki kekuasaan dan kekayaan untuk menerima sebuah ideology yang
dominan, demi melihat dunia dan berperilaku berdasarkan pandangan di atas.

B. Saran

Menurut kami, kehidupan manusia sangat berkaitan dengan budaya. Dalam antropologi,
budaya merupakan pola-pola tingkah laku dan pikiran yang dibuat,dipelajari, dan disebarkan
oleh manusia. Setiap kelompok manusia memiliki budaya yang berbeda dengan kelompok
lain. Karena salah satu sifat kebudayaan itu disebarkan maka kebudayaan tiap-tiap kelompok
manusia akan menemukan satu titik yang merupakan titik pertemuan antar kebudayaan dari
tiap-tiap kelompok manusia. Dari pertemuan tadi akan terjadi kontak budaya yang berakibat
penggabungan antar kebudayaan tanpa menghilangkan kebudayaan sendiri (akulturasi) atau
penggabungan antar kebudayaan yang menghasilkan kebudayaan baru (asimilasi).

Menurut kami, mengapa kajian budaya menjadi perlu untuk dipelajari, karena
mempelajari budaya hakikatnya mempelajari hidup manusia seperti dijelaskan sebelumnya
bahwa kehidupan manusia sangat berkaitan dengan budaya. Bisa dikatakan bahwa pola
tingkah laku dan pikiran setiap hari manusia berangkat dari budaya baik secara sadar ataupun
tidak sadar.

Jadi, menurut kami kajian budaya perlu dipelajari karena mempelajari budaya hakikatnya
mempelajari hidup manusia dan sebagai manusia, saya rasa penting untuk mempelajari diri
kita sendiri dari sudut pandang ilmu sosial.
DAFTAR PUSTAKA

https://vincenziavdt.wordpress.com/2016/05/07/makalah-kajian-budaya/
http://erpandsima.blogspot.co.id/2015/11/kajian-budaya-dan-interaksi-simbolik.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Kajian_budaya
http://iraganean.blogspot.co.id/2010/04/kajian-budaya.html
http://mysteriouxboyz90.blogspot.co.id/2010/08/teori-komunikasi-kajian-budaya-stuart.html
http://yasir.staff.unri.ac.id/2012/03/14/kajian-budaya/
Larry A. Samovar, Richard E. Porter, Edwin R. McDaniel. 2010. Communication Between
Cultures. Terjemahan; Komunikasi Lintas Budaya. Penerbit Salemba Humanika. Jakarta.
Little John, Stephen W. Teori Komunikasi. Edisi 9. 2009. Cengage Learning. Jakarta:
Salemba Humanika.

Anda mungkin juga menyukai