Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH ILMU BEDAH MULUT

PRE-TEST KEPANITERAAN

Disusun oleh:

DHININTYA HYTA
10/298372/KG/8650

BAGIAN ILMU BEDAH MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Ilmu bedah mulut merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran gigi yang
menangani kasus dengan signifikansi dan kebutuhan tindakan pembedahan.
Eksodonsia adalah salah satu cabang ilmu bedah mulut yang mempelajari tentang
hal yang berhubungan dengan tindakan bedah gigi yang bertujuan mengeluarkan
seluruh bagian gigi beserta jaringan patologisnya dari dalam soket gigi serta
menanggulangi komplikasi yang mungkin ditimbulkannya.
Adapun prinsip yang berlaku dalam eksodonsia maupun ilmu bedah yaitu
asepsis, bedah atraumatik, anestesi, dan keseimbangan cairan tubuh. Asepsis yaitu
keadaan bebas dari mikroorganisme yang dapat dicapai melalui sterilisasi dan
desinfeksi. Bedah atraumatik merupakan tindakan bedah dengan prinsip
menimbulkan trauma jaringan sekecil mungkin. Anestesi adalah tindakan dengan
tujuan menghilangkan atau sedikitnya mengurangi rasa nyeri selama perawatan
bedah dilangsungkan. Anestesi yang sering dijumpai pada eksodonsia adalah
anestesi lokal dengan berbagai cara, yaitu topikal, infiltrasi, dan blok saraf.
Keseimbangan cairan tubuh juga merupakan faktor penting yang perlu
diperhatikan dalam eksodonsia.
Sebagai dokter gigi sudah lazimnya menerapkan prinsip-prinsip dalam
eksodonsia maupun ilmu bedah tersebut untuk meminimalisir resiko terjadinya
komplikasi pada tindakan bedah. Selain itu, dokter gigi juga wajib mengetahui
secara tepat keadaan gigi dan jaringan sekitarnya serta keadaan kesehatan umum
penderita yang dihadapinya sehingga diagnosis maupun rencana perawatan akan
dibuat berdasarkan keadaan pada masing-masing individu dengan keadaan yang
berbeda.

I.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Teknik Anestesi Blok N. Alveolaris Inferior Metode
Fisher?
2. Bagaimana cara-cara sterilisasi alat, bahan medis, dan ruangan?
3. Apa faktor-faktor yang harus diperhatikan pada saat praktikum Bedah
Mulut?
4. Apa komplikasi yang dapat terjadi pada pemberian anestesi lokal dan
proses pencabutan gigi?
5. Apa ciri-ciri tang posterior rahang atas dan rahang bawah?

I.3 Tujuan
1. Memenuhi ujian kepaniteraan Bedah Mulut.
2. Mengetahui Teknik Anestesi Blok N. Alveolaris Inferior Metode
Fisher.
3. Mengetahui cara-cara sterilisasi alat, bahan medis, dan ruangan.
4. Mengetahui faktor yang harus diperhatikan pada saat praktikum Bedah
Mulut.
5. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada pemberian anestesi
lokal dan proses pencabutan gigi.
6. Mengetahui ciri-ciri tang posterior rahang atas dan rahang bawah.
BAB II
PEMBAHASAN

I. Anestesi Lokal Blok Mandibula Metode Fisher


Inferior Alveolar Nervus Block (IANB) atau yang sering juga disebut
dengan blok mandibula merupakan metode anestesi lokal blok mandibula yang
sering digunakan di kedokteran gigi. Metode Inferior Alveolar Nervus Block
dibagi menjadi dua metode yaitu direk IANB dan indirect IANB. Metode indirek
IANB sering juga disebut dengan Metode Fisher atau fissure 1-2-3 teknik dengan
penambahan anestesi saraf bukal.
Metode ini menganestesi nervus inferior alveolar, nervus incisivus, nervus
mental, dan nervus lingual. Nervus bukal juga bisa ditambahkan dalam beberapa
prosedur yang melibatkan jaringan lunak di daerah posterior bukal. Daerah yang
dianestesi dengan metode ini adalah gigi mandibula sampai ke midline, corpus
mandibula, bagian inferior dari ramus, mukoperiosteum bukal, membrane mukosa
anterior sampai daerah gigi molar satu mandibula, 2/3 anterior lidah dan dasar
dari kavitas oral, jaringan lunak bagian lingual dan periosteum, external oblique
ridge, dan internal oblique ridge.
Indikasi Inferior Alveolar Nervus Block adalah untuk prosedur pencabutan
beberapa gigi mandibula dalam satu kuadran, prosedur pembedahan yang
melibatkan jaringan lunak bagian bukal anterior sampai molar satu serta jaringan
lunak bagian lingual. Kontra indikasi Inferior Alveolar Nervus Block adalah
pasien yang mengalami infeksi atau inflamasi akut pada daerah penyuntikan serta
pasien dengan gangguan kontrol motorik menggigit bibir atau lidah secara tiba
tiba.
Gambar 1. Ilustrasi Inferior Alveolar Nervus Block.

Prosedur Anestesi Lokal Blok Mandibula Metode Fisher:


1. Pasien didudukkan dengan posisi semisupin atau setengah telentang.
2. Intruksikan pasien untuk membuka mulut selebar mungkin agar
mendapatkan akses yang jelas ke mulut pasien. Posisi diatur sedemikian
rupa agar ketika membuka mulut, oklusal dari mandibula pasien sejajar
dengan lantai.
3. Posisi operator berada pada arah jam 8 dan menghadap pasien untuk
rahang kanan mandibula, sedangkan untuk rahang kiri mandibula posisi
operator berada pada arah jam 10 dan menghadap ke pasien.
Gambar 2. Posisi operator untuk mandibula kiri dan kanan.

4. Jarum 25 gauge direkomendasikan untuk pasien dewasa dengan panjang


jarum sekitar 42 mm atau 1,625 inch. Hal ini diperlukan karena bagian
jarum yang masuk ke jaringan adalah sekitar 20 mm.
5. Aplikasikan antiseptik di daerah trigonom retromolar.
6. Jari telunjuk diletakkan di belakang gigi terakhir mandibula, geser ke
lateral dan palpasi linea oblique eksterna pada ramus mandibula, kemudian
telunjuk digeser ke median untuk mencari linea oblique interna. Ujung
lengkung kuku berada di linea oblique interna dan permukaan samping jari
berada di bidang oklusal gigi rahang bawah.
7. Jarum diinsersikan dipertengahan lengkung kuku dari sisi rahang yang
tidak dianestesi tepatnya dari regio premolar dan jarum dengan bevel
mengarah ke tulang sampai jarum kontak dengan tulang (Posisi I). Arah
jarum hampir tegak lurus dengan tulang.

Gambar 3. Posisi jarum di foramen mandibula.


Gambar 4. Insersi spuit pada anestesi lokal blok mandibula.

8. Spuit digeser kesisi yang akan dianestesi, sejajar dengan bidang oklusal
dan jarum ditusukkan sedalam 5 mm, lakukan aspirasi bila negatif
keluarkan anestetikum sebanyak 0,5 ml untuk menganestesi N. Lingualis
(Posisi II).
9. Spuit digeser ke arah posisi I tapi tidak penuh sampai sekitar region
kaninus lalu jarum ditusukkan sambil menyelusuri tulang sedalam kira-
kira 10-15 mm. Aspirasi dan bila negatif keluarkan anestetikum sebanyak
1 ml untuk menganestesi N. Alveolaris inferior (Posisi III). Setelah selesai
spuit ditarik kembali.
(Thangavelu dkk., 2012)

Metode Fisher sering juga dimodifikasi dengan penambahan anestesi


untuk saraf bukal setelah kita melakukan posisi III, pada waktu menarik kembali
spuit sebelum jarum lepas dari mukosa tepat setelah melewati linea oblique
interna ,jarum digeser ke lateral ke daerah trigonom retromolar, aspirasi dan bila
negatif keluarkan anestetik sebanyak 0,5 ml untuk menganestesi saraf bukal dan
kemudian spuit ditarik keluar.
Keberhasilan dari anestesi lokal blok mandibula Metode Fisher dapat
diketahui dengan memeriksa keadaan bibir bagian bawah dan lidah dari regio
yang dianestesi. Jika terjadi pati rasa pada daerah tersebut, maka dapat dijadikan
indikator bahwa nervus lingualis dan nervus mentalis yang merupakan cabang
dari nervus inferior alveolar sudah dianestesi dengan baik. Keberhasilan dari
anestesi lokal blok mandibula Metode Fisher juga dapat dilihat secara objektif
pada pasien apabila selama perawatan pasien tersebut tidak mengeluhkan rasa
sakit.
Kegagalan dapat terjadi akibat jumlah anestetikum yang tidak adekuat saat
penyuntikan atau karena variasi anatomi tiap individu sehingga prosedur anestesi
lokal blok mandibula tidak menganestesi saraf yang dituju dengan tepat. Bentuk
mandibula yang berbeda tiap individu menyebabkan perbedaan letak foramen
mandibula tampat keluarnya nervus inferior alveolar. Untuk mengatasi kegagalan
diperlukan beberapa pertimbangan sebelum melakukan tindakan anestesi. Selain
teknik dan keterampilan yang bagus dari operator, pemilihan bahan anestetikum
juga dapat mempengaruhi keberhasilan. Bahan anestetikum golongan lidokain
ditambah dengan adrenalin merupakan gold standard untuk tindakan anestesi
lokal.

II. Sterilisasi
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Standard
Precautions dikembangkan dari universal precautions dengan menggabungkan
dan menambah tahapan pencegahan yang dirancang untuk melindungi petugas
kesehatan gigi dan pasien dari patogen yang dapat menyebar melalui darah dan
cairan tubuh yang lain. Standar ini harus dilakukan untuk semua pasien ketika
melakukan tindakan yang melibatkan kontak dengan darah, semua cairan tubuh,
sekresi, ekskresi (kecuali keringat), kulit dengan luka terbuka dan mukosa.
Standard Precaution merupakan langkah-langkah yang perlu diikuti ketika
melakukan tindakan yang melibatkan kontak dengan darah, semua cairan tubuh
dan sekrsesi, ekskresi (kecuali keringat), kulit dengan luka terbuka dan mukosa.
Prosedur standard precaution bertujuan untuk melindungi dokter gigi, pasien dan
staf dari paparan objek yang infeksius selama prosedur perawatan berlangsung.
Pencegahan yang dilakukan adalah evaluasi pasien, perlindungan diri, sterilisasi
instrumen, desinfeksi permukaan, penggunaan alat sekali pakai dan penanganan
sampah medis (Center for Disease Control and Prevention, 2003). Sterilisasi
adalah setiap proses (kimia atau fisik) yang membunuh semua bentuk hidup
terutama mikroorganisme termasuk virus dan spora bakteri.
II.1. Sterilisasi Alat
Sterilisasi intrumen dilakukan dalam 4 tahap, yaitu :
1. Pembersihan sebelum sterilisasi
Sebelum disterilkan, alat-alat harus dibersihkan terlebih dahulu dari debris
organik, darah dan saliva. Dalam kedokteran gigi, pembersihan dapat
dilakukan dengan cara pembersihan manual atau pembersihan dengan
ultarsonik. Pembersihan dengan memakai alat ultrasonik dengan larutan
deterjen lebih aman, efisien dan efektif dibandingkan dengan penyikatan.
Gunakan alat ultrasonik yang ditutup selama 10 menit. Setelah
dibersihkan, instrumen tersebut dicuci dibawah aliran air dan dikeringkan
dengan baik sebelum disterilkan. Hal ini penting untuk mendapatkan hasil
sterilisasi yang sempurna dan untuk mencegah terjadinya karat.
2. Pembungkusan
Setelah dibersihkan, instrumen harus dibungkus untuk memenuhi
prosedur klinik yang baik. Instrumen yang digunakan dalam kedokteran
gigi harus dibungkus untuk sterilisasi dengan menggunakan nampan
terbuka yang ditutup dengan kantung sterilisasi yang tembus pandang,
nampan yang berlubang dengan penutup yang dibungkus dengan kertas
sterilisasi, atau dibungkus secara individu dengan bungkus untuk
sterilisasi yang dapat dibeli.
3. Proses sterilisasi
Sterilisasi dapat dicapai melalui metode berikut:
a. Pemanasan basah dengan Tekanan Tinggi (Autoclave)
Cara kerja autoclave sama dengan Pressure cooker. Uap jenuh lebih
efisien membunuh mikroorganisme dibandingkan dengan maupun
pemanasan kering. Instrumen tersebut dapat dibungkus dengan kain
muslin, kertas, nilon, aluminium foil, atau plastik yang dapat menyalurkan
uap.
b. Pemanasan Kering (Oven)
Penetrasi pada pemanasan kering kurang baik dan kurang efektif
dibandingkan dengan pemanasan basah dengan tekanan tinggi. Akibatnya,
0 0
dibutuhkan temperatur yang lebih tinggi 160 C atau 170 C dan waktu
yang lebih lama (2 atau 1 jam) untuk proses sterilisasi. Menurut
Nisengard dan Newman suhu yang dipakai adalah 1700C.
c. Uap Bahan Kimia (Chemiclave)
Kombinasi dari formaldehid, alkohol, aseton, keton, dan uap pada 138
kPa merupakan cara sterilisasi yang efektif. Kerusakan mikroorganisme
diperoleh dari bahan yang toksik dan suhu tinggi. Sterilisasi dengan uap
bahan kimia bekerja lebih lambat dari autoclave yaitu 138-176 kPa
selama 30 menit setelah tercapai suhu yang dikehendaki. Prosedur ini
tidak dapat digunakan untuk bahan yang dapat dirusak oleh bahan kimia
tersebut maupun oleh suhu yang tinggi.
Umumnya tidak terjadi karatan apabila instrumen telah benar-
benar kering sebelum disterilkan karena kelembaban yang rendah pada
proses ini sekitar 7-8%. Keuntungan sterilisasi dengan uap bahan kimia
adalah lebih cepat dibandingkan dengan pemanasan kering, tidak
menyebabkan karat pada instrumen atau bur dan setelah sterilisasi
diperoleh instrumen yang kering. Namun instrumen harus diangin-
anginkan untuk mengeluarkan uap sisa bahan kimia.
4. Penyimpanan yang aseptik
Setelah sterilisasi, instrumen harus tetap steril hingga saat dipakai.
Penyimpanan yang baik sama penting dengan proses sterilisasi itu sendiri,
karena penyimpanan yang kurang baik akan menyebabkan instrumen
tersebut tidak steril lagi. Lamanya sterilitas tergantung pada tempat
dimana instrumen itu disimpan dan bahan yang dipakai untuk
membungkus. Daerah yang tertutup dan terlindung dengan aliran udara
yang minimal seperti lemari atau laci merupakan tempat penyimpanan 0C,
selama 60 menit, untuk alat yang dapat menyalutkan panas adalah 1900C,
sedangkan untuk instrumen yang tidak dibungkus 6 menit. Pembungkus
instrumen hanya boleh dibuka segera sebelum digunakan, apabila dalam
waktu satu bulan tidak digunakan harus disterilkan ulang.
Untuk menentukan tingkat sterilisasi atau disinfeksi yang layak, maka alat-alat
digolongkan sesuai dengan penggunaan dan aplikasinya.
1. Alat kritis
Alat kritis adalah alat yang berkontak langsung dengan daerah
steril pada tubuh, yaitu semua struktur atau jaringan yang tertutup kulit
atau mukosa. Alat yang termasuk dalam kategori ini yaitu jarum suntik,
skalpel, elevator, bur, tang, jarum jahit, dan peralatan untuk implantasi
misalnya implan, bahan aloplastik, dan bahan hemostatik. Alat kritis
sebaiknya disterilisasi dengan autoklaf.
Sterilisasi autoklaf merupakan cara sterilisasi pemanasan dengan
uap bertekanan yang merupakan cara sterilisasi paling efektif. Sterilisasi
autoklaf pada suhu 121oC selama 10 menit normalnya dapat merusak
semua bentuk kehidupan mikrobial (Mulyanti dan Putri, 2011). Apabila
penggunaan autoklaf tidak memungkinkan, desinfeksi yang sangat baik
dapat dicapai dengan menggunakan bahan kimia yang terdaftar pada US
Environmental Protection Agency (EPA). Cara lain untuk mensterilkan
adalah dengan merendam dalam air mendidih selama paling sedikit 10
menit.
(Pedersen, 1996)
2. Alat semikritis
Alat semikritis adalah alat yang bisa bersentuhan tetapi sebenarnya
tidak dipergunakan untuk penetrasi ke membran mukosa mulut. Kaca
mulut dan alat-alat lain yang digunakan untuk pemeriksaan dan tes
termasuk dalam kategori ini. Handpiece yang digunakan dalam bedah
mulut idealnya bisa diautoklaf (Pedersen, 1996).
3. Alat nonkritis
Alat nonkritis adalah peralatan yang biasanya tidak berkontak
dengan membran mukosa, meliputi pengontrol posisi kursi, kran yang
dioperasikan dengan tangan, dan pengontrol kontak untuk melihat gambar
sinar X. Apabila terkontaminasi oleh darah, dan/atau saliva, mula-mula
harus dilap dengan handuk pengisap kemudian didesinfeksi dengan larutan
antibakteri yang cocok (Pedersen, 1996).

II.2 Sterilisasi Bahan Medis


Alat dan bahan juga dapat disterilisasi menggunakan metode pemanasan
kering. Prosedur ini dikerjakan dalam oven. Hal ini berlaku bagi peralatan
laboratorium seperti cawan petri, pipet, juga minyak atau serbuk. Waktu yang
diperlukan yaitu 1-2 jam (Mulyanti dan Putri, 2011).

II.3 Sterilisasi Ruangan


Dekontaminasi permukaan-permukaan yang tersentuh sekresi mulut
pasien, instrumen, atau tangan operator dapat diatasi dengan bahan kimia
antibakteri seperti sodium hipoklorit (larutan pemutih). Semua permukaan kerja
yang terkontaminasi pertama-tama dilap dengan handuk untuk menghilangkan
bahan-bahan organik kemudian didesinfeksi dengan larutan pemutih (clorox
diencerkan dalam perbandingan 1:10 sampai dengan 1:100 tergantung bahan
organik yang ada). Hal tersebut dilakukan setiap hari. Pemutih merupakan salah
satu bahan antibakteri yang murah dan efektif, namun perlu diperhatikan bahwa
bahan ini bersifat korosif terhadap logam, khususnya alumunium.
Idealnya pengontrolan dengan tangan sebaiknya dihindarkan atau
dikurangi. Tempat kumur, dispenser untuk sabun, dan pengontrol kursi sebaiknya
menggunakan peralatan yang bisa dioperasikan dengan kaki.
Peralatan tajam yang biasanya digunakan di dalam prosedur bedah mulut
dan sering terkontaminasi darah dan saliva, misalnya jarum suntik, jarum jahit,
blade, elevator, dan lain-lain dianggap berpotensi untuk menginfeksi dan harus
ditangani dengan cara khusus. Untuk menghindari kontak yang tidak diperlukan,
semua peralatan disposibel ditempatkan dalam wadah yang diletakkan sedekat
mungkin dengan tempat penggunaanya. Secara umum, semua alat yang disposibel
diautoklaf dulu sebelum dibuang (Pedersen, 1996).
Ruangan bedah pada umumnya dibagi menjadi 4 area yang dibagi menurut
aktivitas yang dilakukan, yaitu:
1. Daerah tidak terbatas
Area ini adalah pintu masuk dari koridor utama dan terisolasi dari area
lainnya dari ruangan bedah. Tempat ini adalah tempat petugas, pasien,
dan material.
2. Zona transisi
Area ini terdiri atas ruang pakaian dan lemari, adalah tempat petugas
memakai pakaian bedah yang memungkinkan mereka berpindah dari
daerah tidak terbatas ke daerah semi terbatas atau daerah terbatas pada
ruangan bedah. Hanya petugas yang berwenang yang bisa memasuki
area ini.
3. Daerah semi terbatas
Area ini merupakan area penunjang dari ruangan bedah dan terdiri atas
ruangan pra-operasi dan ruang pemulihan, serta tempat penyimpanan
untuk instrumen steril. Hal-hal yang harus diperhatikan di area ini
adalah.
a. Batasi lalu lintas petugas dan pasien setiap waktu.
b. Ada area kerja untuk pemrosesan instrumen bersih.
c. Ada tempat penyimpanan untuk suplai yang bersih dan steril
dengan rak-rak tertutup untuk meminimalkan debu dan kotoran
yang menumpuk di atas instrumen yang disimpan.
d. Ada pintu yang membatasi akses ke daerah terbatas dari
ruangan bedah tersebut.
e. Petugas yang bekerja di area ini diwajibkan memakai pakaian
bedah dan menutup seluruh kepala.
f. Petugas harus memakai sepatu yang bersih dan tertutup yang
akan melindungi kaki mereka dari cairan dan instrumen yang
jatuh.

4. Daerah terbatas
Area ini terdiri atas ruangan-ruangan operasi dan tempat cuci tangan.
Hal-hal yang harus diperatikan di area ini adalah:
a. Batasi lalu lintas staf dan pasien setiap waktu
b. Pintu harus selalu tertutup
c. Petugas pencuci harus memakai pakaian bedah penuh, penutup
kepala, dan masker
d. Masker wajib digunakan ketika peralatan bedah dibuka dan
petugas menyusun peralatan bedah
e. Pasien yang memasuki unit bedah harus memakai baju bersih
dan tutup kepala
(Mulyanti dan Putri, 2011)

II.3 Faktor-faktor yang Harus Diperhatikan dalam Praktikum Bedah


Mulut
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam praktikum Bedah Mulut,
yaitu asepsis, bedah atraumatik, dan di bawah anestesi yang baik serta
keseimbangan cairan tubuh (Mangunkusumo, 1997).
A. Asepsis
Asepsis adalah suatu keadaan yang bebas mikroorganisme. Di bidang
kedokteran gigi, asepsis di daerah rongga mulut harus diusahakan sebaik
mungkin. Keadaan tersebut juga diusahakan untuk operator, alat bedah
yang digunakan, dan kamar bedah. Hasil bedah yang paling baik tidak
akan dicapai tanpa keadaan yang asepsis karena umumnya kegagalan
bedah terutama berasal dari infeksi (Mangunkusumo, 1997).
B. Bedah Atraumatik
Bedah atraumatik adalah cara mengerjakan bedah (operasi) jaringan
hidup yang berprinsip pada trauma jaringan yang ditimbulkan diusahakan
sekecil mungkin. Prinsip ini berlaku bagi tindakan eksodonsia. Pada bedah
yang membutuhan pembukaan lapisan jaringan lunak, ada beberapa
persyaratan yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Lapisan jaringan lunak harus direncanakan sehingga persediaan darah
akan tetap dipertahankan;
2. Pola lapisan jaringan lunak harus memberi kemudahan dalam
refleksinya; lapisan jaringan lunak tersebut harus dapat menutup
daerah operasi secara sempurna saat dikembalikan pada posisi semula
dan dapat ditahan oleh jahitan tanpa ada ketegangan jaringan.
(Mangunkusumo, 1997)
C. Anestesi
Anestesi diartikan sebagai tanpa rasa atau tanpa sensasi. Setiap
tindakan bedah selalu dilaksanakan di bawah pengaruh anestesi yang dapat
dilakukan secara umum atau lokal dengan tujuan menghilangkan ataupun
mengurangi rasa nyeri selama perawatan bedah berlangsung sehingga
dapat dicapai ketenangan kerja operator selama bekerja. Anestesi umum
merupakan suatu keadaan tidak ada sensibilitas yang meliputi seluruh
tubuh dan penderita tidak dalam kesadaran penuh, sedangkan anestesi
lokal merupakan keadaan tidak adanya rasa pada daerah yang terbatas atau
hilangnya sensasi pada daerah tertentu sewaktu penderita masih dalam
keadaan sadar. Pada umumnya anestesi untuk kepentingan eksodonsia atau
bedah minor lainnya dilakukan secara lokal (Mangunkusumo, 1997).
D. Keseimbangan cairan tubuh
Seorang penderita yang mengalami perdarahan yang berlebihan akibat
kecelakaan atau tindakan bedah perlu mendapatkan pengganti darah yang
hilang. Beberapa penderita memerlukan penggantian cairan tubuh melalui
jalan intravenosa (infus). Umumnya pemberian cairan intravenosa terdiri
dari glukosa dalam 500-1000 cc akuades steril. Pemberian larutan glukosa
dianjurkan 250 cc per jam dan jangan lebih cepat dari ketentuan itu. Bila
penderita dalam keadaan dehidrasi dan toksis, lebih baik diberikan cairan
garam (salin) (Dwirahardjo, 2004).

II.4 Komplikasi dalam Pencabutan Gigi


Tindakan pencabutan gigi dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan
baik pada pemberian anestesi lokal maupun selama proses pencabutan gigi itu
berlangsung.
A. Komplikasi pada pemberian anestesi lokal
1. Kegagalan mencapai keadaan anestesi
Kegagalan mencapai keadaan anestesi biasanya disebabkan oleh
teknik yang salah. Bila anestesi kurang memadai sebaiknya prosedur
tersebut diulangi denggan memberi perhatian khusus terhadap
bangunan-bangunan anatomis dan detail teknik. Alasan lain yang
umum dari kegagalan ini adalah adanya infeksi. Anestesi lokal harus
diberikan pada daerah di dekat daerah infeksi (Roberts dan
Rosenbaum, 1991).
2. Sakit selama penyuntikan
Rasa sakit selama penyuntikan dapat disebabkan oleh teknik
yang buruk. Ahli bedah harus melakukannya dengan hati-hati dan
perlahan. Selama proses blok saraf, terkadang terjadi sakit syok
elektrik di sepanjang distribusi saraf yang diblok. Gejala ini
menunjukkan bahwa selubung saraf sudah tertembus dan jarum harus
ditarik (Roberts dan Rosenbaum, 1991).
3. Pembentukan hematoma
Beberapa daerah yang mempunyai suplai saraf ke jaringan
orofasial sangat bersifat vaskular. Pada saat melakukan blok saraf,
terutama blok alveolar superior posterior, pembuluh darah dapat
tertembus. Hal tersebut akan menimbulkan perdarahan ke jaringan
dan merangsang terbentuknya hematoma. Antibiotik harus diberikan
sebagai tindakan profilaksis karena hematoma ini mungkin akan
terinfesi. Pasien harus diperiksa ulang setelah 2 minggu (Roberts dan
Rosenbaum, 1991).
4. Suntikan intravaskular
Suntikan intravaskular dapat dicegah dengan melakukan aspirasi.
Tidak ada efek lokal kecuali resiko terjadinya hematoma kecil
(Roberts dan Rosenbaum, 1991).
5. Trismus
Trismus adalah kejang otot yang menyulitkan gerak membuka
mulut. Hal ini dapat terjadi bila suntikan ke pterigoid medial
menyebabkan sobeknya serat otot dan hematoma. Timbulnya trismus
seringkali lebih dari 24 jam setelah penyuntikan, tetapi biasanya
hilang secara spontan (Roberts dan Rosenbaum, 1991).
6. Paralisa
Paralisa unilateral dari otot wajah adalah komplikasi yang tidak
umum dan biasanya terjadi setelah suntikan alveolar inferior. Hal
tersebut terjadi karena ujung jarum terletak terlalu jauh dalam
hubungannya dengan mandibula dan masuk ke kelenjar parotid,
menyebabkan cabang-cabang saraf fasial teranestesi, dan
menimbulkan paralisa otot yang disuplainya serta paralisa sebagian
besar sisi wajah. Perawatan gigi harus ditunda sampai komplikasi ini
hilang atau sampai efek larutan anestesi lokal reda (Roberts dan
Rosenbaum, 1991).
7. Gangguan sensasi jangka panjang (parestesi)
Parestesi dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut;
a. Trauma pada selubung saraf yang diakibatkan jarum suntik.
b. Injeksi larutan anestesi lokal yang terkontaminasi oleh alkohol
atau larutan untuk sterilisasi yang dekat dengan nervus dapat
menyebabkan iritasi yang berlanjut pada edema dan
meningkatnya tekanan pada regio dari nervus, dan parestesi dapat
terjadi.
c. Hemorragi pada atau sekitar selubung saraf.
(Malamed, 2004)
8. Trauma bibir
Trauma bibir biasa terjadi pada anak-anak yang menerima blok
saraf alveolar inferior. Bila sensasi mulai kembali tetapi bibir masih
kebas dan seperti karet, beberapa anak cenderung menggigit bibirnya
untuk mengetes sensasi dan tidak menyadari bahwa hal ini akan
menimbulkan trauma yang parah (Roberts dan Rosenbaum, 1991).
9. Edema
Edema atau pembengkakan jaringan dapat disebabkan oleh
trauma selama injeksi, adanya infeksi, reaksi alergi, hemorragi,
injeksi dari larutan yang mengiritasi, dan angioedema herediter
(Malamed, 2004).
10. Alergi
Alergi merupakan reaksi hipersensitif yang dapat disebabkan
oleh larutan anestesi lokal. Respon alergi dapat meliputi dermatitis,
bronchospasme, dan anafilaksis sistemik (Malamed, 2004).
B. Komplikasi pada proses pencabutan gigi
1. Perdarahan
Dalam keadaan normal, keparahan perdarahan tergantung pada
ukuran dan sifat lumen pembuluh darah. Perdarahan dapat berasal
dari pembuluh darah vena, arteri, dan kapiler.
Sebab perdarahan yang abnormal dapat mekanis atau
biokimiawi. Perdarahan mekanis yatu perdarahan yang berasal dari
berbagai ukuran pembuluh darah yang terluka yang tidak dapat
berhenti karena jendalan darah tidak dapat terbentuk atau karena
jendalan darah yang sudah terjadi pecah atau lepas dari ujung
pembuluh yang terbuka. Contohnya adalah perdarahan dari ekstraksi
gigi, insisi jaringan lunak, trauma tulang rahang, dll. Perdarahan
biokimiawi disebabkan abnormalitas elemen darah atau sistem
vaskular yang menghambat pembentukan jendalan darah. Perdarahan
ini ditemui pada pasien dengan hemofilia, gangguan hepar, dan
sebagainya.
Perdarahan juga dapat dibagi menjadi perdarahan primer dan
sekunder.
a. Perdarahan primer
Pada penderita normal, setelah prosedur bedah dan
penutupan luka dalam rongga mulut selesai, perdarahan biasanya
secara spontan akan berhenti. Perdarahan primer merupakan
perdarahan yang tidak berhenti 4-5 menit setelah akhir operasi
atau ekstraksi gigi, sebelum penderita dipulangkan. Jika terjadi,
dapat dilakukan kontrol perdarahan. Di dalam rongga mulut,
perdarahan primer dapat berasal dari tulang maupun jaringan
lunak.
b. Perdarahan sekunder
Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah
24 jam. Umumnya disebabkan karena jendalan darah yang telah
terjadi hancur atau lepas karena suatu proses infeksi.
(Dwirahardjo, 2004)
2. Fraktur akar gigi
Pencabutan gigi yang dipaksakan dapat menyebabkan fraktur
mahkota gigi atau bagian akar gigi yang meninggalkan sisa akar di
dalam soket gigi. Pada prinsipnya, sisa akar yang tertinggal
seluruhnya harus diambil segera terutama bila gigi yang bersangkutan
berasal dari gigi yang telah terinfeksi.
Penyebab fraktur gigi atau akar gigi:
a. Kesalahan dalam menempatkan paruh forsep, paruh forsep
memegang bagian gigi di luar daerah sementum atau poros
panjang paruh forsep tidak sejajar dengan poros panjang gigi
b. Pemilihan forsep yang salah
c. Karies gigi yang meluas; struktur gigi akan menjadi rapuh dan
mudah fraktur
d. Kerapuhan struktur gigi yang berhubungan dengan usia lanjut
atau nekrosis jaringan pulpa gigi
e. Gigi yang mempunyai kelainan akar, misalnya akar gigi
membengkok atau menyudut pada ujungnya
f. Kelainan tulang pendukung gigi
g. Gerakan ekstraksi gigi yang salah arah
h. Menggerakan gigi yang akan diekstraksi ke satu arah saja dengan
kekuatan yang melebihi batas kekuatan struktur gigi tersebut.
(Dwirahardjo, 2004)
3. Alveolalgia
Keadaan alveolus gigi dapat dikatakan menderita alveolalgia atau
dry socket bila pasca pencabutan gigi alveolus gigi yang bersangkutan
tidak terisi jendalan darah, atau jendalan darah yang sudah terjadi
rusak atau lepas dari soket gigi. Sebab utama alveolalgia adalah
adanya gangguan nutrisi di daerah alveolus yang bersangkutan yang
berasal dari kerusakan vasa darah pokok yang memberi nutrisi pada
soket gigi yang bersangkutan. Alveolalgia ini juga dapat disebabkan
oleh adanya infeksi bakteri ke dalam soket gigi, benda asing yang
masuk ke dalam soket gigi, trauma, dan lain-lain (Dwirahardjo, 2004).
4. Fistula Oro-Antral
Fistula oroantral adalah saluran yang menghubungkan rongga
mulut dan rongga sinus maksilaris. Fistula ini dapat dibentuk oleh
penutupan lubang yang tidak sempurna dari suatu lesi (misalnya
abses, luka, proses penyakit).
Fistula oroantral dapat terjadi sebagai komplikasi pencabutan
gigi posterior maksila, misalnya akibat penggunaan elevator yang
salah dalam pengambilan akar gigi atau gigi sehingga mendorong
akar gigi atau gigi masuk ke sinus, ataupun akibat rongga sinus yang
terlalu luas sampai daerah akar gigi sehingga ekstraksi gigi yang
berdekatan dengan sinus meninggalkan lubang besar (Dwirahardjo,
2004).
5. Sinkop dan syok
Menurut Dwirahardjo (2004), sinkop merupakan bentuk syok
nerogenetik dan disebabkan oleh iskhemia serebral yang timbul
sekunder setelah terdapat vasodilatasi atau suatu kenaikan volume
darah pada vaskular periferal disertai suatu penurunan dalam tekanan
darah.
Sinkop banyak dijumpai pada praktek kedokteran gigi sebagai
komplikasi setelah anestesi lokal ataupun pasien yang sedang
menerima perawatan gigi. Pasien yang duduk di atas kursi gigi,
otaknya berada posisi superior seingga sangat mudah terkena
penurunan aliran volume darah.
Syok merupakan keadaan klinis yang menunjukkan adanya
reduksi pada sirkulasi darah perifer atau rerata aliran darah perifer
yang bermakna. Syok akibat trauma, perdarahan, tindakan bedah, atau
luka terbakar termasuk dalam tipe hipovolemik.

II.5 Tang Posterior Rahang Atas dan Rahang Bawah


A. Tang posterior rahang atas
Paruh tang premolar rahang atas berhadapan seperti bayangan
cermin satu sama lain, dapat digunakan untuk pencabutan premolar rahang
atas kiri maupun kanan.

Gambar 5. Tang premolar rahang atas


Paruh bukal dari masing-masing tang molar memiliki desain yang
runcing, yang mana akan tepat menempati bifurkasio bukal dari kedua
akar bukal.

Gambar 6. Tang molar rahang atas

Tang bayonet dengan paruh memanjang didesain untuk ekstraksi


gigi dan akar molar ketiga rahang atas.

Gambar 7. Tang bayonet

B. Tang posterior rahang bawah


Tang akar rahang bawah dengan paruh runcing digunakan untuk
pencabutan incisivus, premolar, dan akar gigi rahang bawah.

Gambar 8. Tang akar rahang bawah


Tang molar rahang bawah digunakan untuk pencabutan gigi
permanen rahang bawah. Ujung paruh akan menempati furkasi molar,
dapat digunakan pada gigi rahang bawah kanan atau kiri (Abusallamah,
2013).

Gambar 9. Tang molar rahang bawah

C. Perbedaan tang posterior rahang atas dan rahang bawah


Rahang Atas Rahang Bawah
Desain Paruhnya cenderung lebih Paruhnya lebih membentuk
paralel terhadap pegangannya. sudut terhadap pegangannya.
Desain pegangan bayonet hanya Paruh tang mandibula selalu
khusus untuk tang rahang atas. simetris. Pegangan vertikal
Modifikasi ini dimaksudkan jika digunakan adalah khusus
untuk membantu menghindari untuk tang-tang rahang bawah
bibir bawah. Desain paruh yang
asimetris, kanan dan kiri hanya
terdapat pada tang untuk gigi
molar atas
Aplikasi Dikenakan pada daerah servikal Gaya vertikal yang diperlukan
gigi yang dicabut. Adaptasi untuk adaptasi atau
diperoleh melalui kombinasi dari menempatkan tang diimbangi
tekanan mencengkram dan oleh gaya berlawanan yang
apikal. Digunakan dengan pinch dikenakan terhadap mandibula
grasp dan telapak tangan dengan melakukan sling grasp.
menghadap ke atas. Telapak tangan menghadap ke
bawah
Tekanan Lateral (bukal/lingual), paralel Tekanan lateral (bukal/lingual)
yang (apikal/oklusal), dan rotasional dihantarkan, tetapi tekanan
dihantarkan lingual mungkin lebih
dominan pada pencabutan
gigi-gigi molar bawah.
Tekanan paralel, apikal, dan
oklusal serta tekanan
rotasional juga digunakan
apabila diperlukan
(Pederson, 1996)
BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
1. Teknik anestesi Blok N. Alveolaris Inferior Metode Fisher merupakan
teknik yang digunakan untuk menganestesi gigi mandibula, gingiva
mandibula, dan bibir bawah.
2. Dalam melakukan sterilisasi alat dan bahan medis, dilakukan 4 tahapan;
pembersihan sebelum sterilisasi, pembungkusan, sterilisasi, dan
penyimpanan aseptik. Selanjutnya untuk menentukan tingkat sterilisasi
atau disinfeksi yang layak, maka dapat digolongkan sesuai dengan
penggunaan dan aplikasinya menjadi alat kritis, semikritis, dan nonkritis.
Sterilisasi dapat dilakukan menggunakan autoklaf, oven, dan sebagainya.
3. Sterilisasi atau desinfeksi ruangan dapat dilakukan dengan menggunakan
larutan pemutih pada daerah yang terkontaminasi. Kontaminasi pada
ruangan dapat dicegah dan diminimalisir dengan mengurangi pemakaian
tangan pada peralatan-peralatan seperti tempat kumur, dispenser untuk
sabun, pengontrol kursi, serta dengan melakukan pengaturan letak alat.
4. Terdapat faktor yang harus diperhatikan dalam praktikum Bedah Mulut,
yaitu asepsis, bedah atraumatik, anastesi, dan keseimbangan cairan tubuh.
5. Dalam melakukan tindakan pencabutan gigi terkadang menimbulkan hal-
hal yang merugikan saat pemberian anestesi lokal maupun selama proses
pencabutan gigi itu berlangsung, antara lain kegagalan mencapai keadaan
anestesi, sakit selama penyuntikan, pembentukan hematoma, paralisa,
gangguan sensasi jangka panjang (parestesi), edema, trismus, alergi,
fraktur akar gigi, alveolalgia, fistula oro-antral, sinkop, dan syok
6. Beberapa perbedaan tang posterior rahang atas dan rahang bawah dapat
dilihat dari desain, aplikasi, dan tekanan yang dihantarkan.
III.2 Saran
Sebaiknya sebagai seorang dokter gigi perlu melaksanakan prinsip-prinsip
bedah (asepsis, bedah atraumatik, anestesi, keseimbangan cairan tubuh) dengan
sebaik-baiknya untuk meminimalisir komplikasi yang mungkin dapat terjadi,
karena sebagian besar komplikasi disebabkan oleh tidak terciptanya kondisi yang
asepsis serta teknik anestesi yang tidak sesuai dan layak seperti yang telah
diteorikan.
DAFTAR PUSTAKA

Abusallamah, A., 2012, Simple Tooth Extraction Technique,


http://www.slideshare.net/, diakses pada 12/9/2014.
Dwirahardjo, B., Bahan Ajar Bedah Mulut I, Yogyakarta, Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Gadjah Mada, h. 2-3, 30-50.
Malamed, S.F., 2004, The Handbook of Local Anesthesia, 5th ed., Los Angeles,
Elsevier, h. 288, 297, 319.
Mangunkusumo, H., 1997, Eksodonsia dan Komplikasinya, Yogyakarta, Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada, h. 21-23.
Mulyanti, S. dan Putri, M.H., 2011, Pengendalian Infeksi Silang di Klinik Gigi,
Jakarta, EGC, h.66, 161-2.
Pederson, G.W., 1996, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut (terj.), Jakarta, EGC, h. 1-
3, 25
Roberts, G.J. dan Rosenbaum, N.L., 1991, Atlas Berwarna Analgesia dan Sedasi
Gigi Geligi, Jakarta, Hipokrates, h. 65-67.
Thangavelu K., Sabitha S., Kannan R., dan Saravanan K., 2012, Inferior alveolar
nerve block using internal oblique ridge as landmark, Streamdent, 3(1): 15-8.

Anda mungkin juga menyukai