Anda di halaman 1dari 3

Kritik Santri Atas Santri-Aktivis Hari Ini; Sebuah Refleksi Kajian Kitab

Kifayatul Atqiya’

Klasifikasi intelektual ke dalam dua bagian, teoritikus dan praktisi, memang bukan
lagi persoalan yang baru. Mereka yang keasyikan dengan seluk beluk keilmuan sering
dianggap lupa dengan fungsinya sebagai agen perubahan masyarakat. Sedangkan mereka
yang aktif di dalam kegiatan masyarakat sering dianggap kurang memiliki teori yang
mumpuni. Diakui atau tidak ini semua adalah persoalan yang muncul dalam dinamika
kehidupan kita dari dulu hingga sekarang.

Persoalan ini mendorong para mahasiswa untuk mencari analisis atau teori guna
memecahkan persoalan ini. Di alam pikiran mahasiswa saat ini, sejak munculnya konsep
marxisme, mahasiswa yang cenderung memilih menjadi seorang praktisi atau aktivis lebih
banyak dipengaruhi oleh alam pikiran kiri sedangkan mereka yang cenderung bergelut
dengan ilmu pengetahuan, mereka lebih fokus dengan keilmuannya yang bersifat utilitas bagi
dirinya sendiri dan jarang menyentuh kehidupan masyarakat. Tanpa bermaksud untuk
mereduksi realita, perlu penulis sampaikan bahwa di tengah-tengah klasifikasi tersebut
memang ada beberapa individu yang mengusai kedua bidang tersebut, praktis dan teoritis,
tetapi dengan jumlah yang sangat terbatas.

Masuknya alam pikiran kiri dalam klasifikasi golongan intelektual melahirkan


berbagai penggolongan, misalnya dalam terminologi Antonio Gramsci ada istilah intelektual
organik dan intelektual tradisional, dalam terminologi Ali Syariati ada istilah Rausyanfikr dan
an Nas dan masih banyak konsep lainnya terkait klasifikasi intelektual teoritis dan intelektual
praktis. Ini semua memang usaha yang bagus guna mengetahui persoalan intelektualitas yang
ada di sekitar kita. Namun, jika kita mencermatinya kita akan sadar bahwa konsep-konsep
tersebut adalah konsep pinjaman dari orang lain. Klasifikasi pertama yaitu intelektual organik
dan tradisional (klasifikasi Gramsci) adalah pinjaman kita terhadap konsep seorang post-
marxis sedangkan klasifikasi kedua adalah pinjaman kita terhadap konsep seorang filosof
sosial Iran yang mencoba bersikap ekletis dan mencari akar marxisme di dalam alam pikiran
Islam. Penulis tidak hendak bersikap fanatik terhadap golongan tertentu sehingga
mengesampingkan golongan lain (kaum kiri dan kaum Iranian). Penulis sadar betul bahwa di
golongan lain selalu adalah hal baik yang perlu kita ambil dan tentu pula ada beberapa hal
perlu kita tolak. Namun, alangkah baiknya jika seorang santri yang menjadi seorang
intelektual untuk menjadi penggerak yang otentik, penggerak yang mengambil paradigma,
pandangan hidup, etika, dan moral dari kazanah keislamannya sendiri.

Ketika seorang santri aktif sebagai tokoh penggerak atau organisator hendaknya
mengambil nilai-nilai pergerakan dari buku-buku yang dikaji di pesantren. Bukan malah
meminjam terminologi orang lain dengan berbangga hati dan bersifat pesimis dengan
keilmuan yang selama ini dipelajari di pesantren. Penulis sangat yakin bahwa buku-buku
pesantren sangat layak dan bisa digunakan sebagai sebuah landasan paradigma dan
pandangan hidup seorang santri dalam menjadi seorang organisator. Penulis sangat terketuk
ketika mendengar pernyataan Syaikh Syatho Dimyati “Ada dua hal yang wajib bagi seorang
muslim, meninggalkan kemungkaran dan mengingkari kemungkaran tersebut sehingga dua
kewajiban tersebut tidak dapat gugur hanya karena seorang muslim meninggalkan salah satu
kewajibannya. Perlu diingat bahwa orang yang melarang orang lain tetapi dia sendiri tetap
melakukan sesuatu yang dilarangnya tetap tergolong orang yang buruk (Dimyati).” Maksud
dari ungkapan ini apa? Ketika seorang muslim berbuat kesalahan, maksiat atau hal lainnya
bukan berarti dia tidak berkewajiban untuk memberi nasehat, peringatan, atau pengarahan
terhadap muslim lain yang melakukan suatu kesalahan atau maksiat. Hal ini mengisyaratkan
pada kita bahwa konsep Islam yang kita pelajari di pesantren sangat memperhatikan sebuah
perubahan sosial tanpa mengesampingkan perubahan individu. Begitupun sebaliknya, sangat
memperhatikan perubahan individu tanpa mengesampingkan perubahan sosial. Keduanya
adalah dua mata uang yang saling terkait dan tidak berdiri sendiri.

Mungkin ungkapan Syaikh Syatho Dimyati tersebut terdengar sederhana dan sering
ditemukan di kitab-kitab yang di kaji di pesantren tetapi bagi penulis yang sedikit banyak
membaca dan mengkaji kajian kiri menemukan sebuah spirit pergerakan dari ungkapan
beliau. Jika saja ungkapan tersebut kita tarik ke ranah perjuangan melawan tirani atau
ketidakadilan maka akan kita dapati bahwa seorang tirani pun tetap berkewajiban untuk
melarang orang lain berbuat tirani. Seorang penindas berkewajiban melarang orang lain
menjadi penindas. Perlu diingat! Ini adalah contoh minimal (tergolong buruk) dari ungkapan
Syaikh Syatho Dimyati. Maka bagaimana konsep ideal yang dikehendaki Syaikh Syatho
Dimyati ? Idealnya adalah seseorang berkewajiban menjadi seorang yang adil dan melarang
orang lain untuk bertindak tidak adil/dzalim. Dengan begini, kita tahu bahwa spirit
perjuangan dapat kita ambil dari buku-buku khazanah Islam di pesantren. Lantas kenapa kita
terlalu terpesona dengan konsep orang lain seperti golongan kiri atau golongan lainnya?

Perlunya Revitalisasi Kitab-Kitab Pesantren

Revitalisasi kitab-kitab pesantren adalah sebuah keharusan dan keniscayaan bagi


semua santri, khususnya mahasiswa saat ini. Karena derasnya arus pemikiran yang ada di
kampus, revitalisasi ini dapat menjadi penghalang mengaburnya identitas seorang santri baik
dalam bertindak, berpikir dan berkeyakinan. Saya pikir ini adalah harga mati, suatu hal yang
tidak bisa di tawar lagi. Tanpa revitalisasi ini posisi kitab-kitab pesantren (sebut saja kitab
turast) akan semakin tergeser oleh buku-buku kiri, sekuler, liberal, fundamental dan
pemikiran lainnya. Sekali lagi, penulis tidak bermaksud untuk mendiskreditkan buku-buku
selain buku turast, karena secara sadar penulis akui bahwa dalam beberapa aspek, buku-buku
tersebut sangat bermanfaat bagi ketajaman pikiran kita. Namun kita harus bersikap kritis dan
selektif.

Jika kita merunut genealogi paham kiri, sekuler, dan liberal di Eropa maka kita akan
menemukan bahwa paham itu lahir atas reaksi terhadap sikap gereja yang mengekang
perkembangan ilmu pengetahuan sehingga ketika muncul renaisan dan otoritas gereja
semakin surut, muncul lah berbagai paham yang mendiskreditkan agama (dalam konteks ini
adalah kristen) seperti humanisme, sekularisme, dan marxisme (yang menganggap agama
sebagai candu). Bisa kita perhatikan, perbedaan genealogi agama di Indonesia (dalam hal ini
adalah agama yang diajarkan dipesantren, agama Islam) dengan genealogi agama di Eropa
tersebut sangat lah berbeda. Di Indonesia, agama adalah sebuah pembebasan dan pengajaran
nilai ketuhanan, kesetaraan, keadilan, kebersamaan dll. Dulu sebelum Islam datang, di saat
Hindu menjadi agama kebanyakan masyarakat Indonesia (pada saat itu belum muncul nama
Indonesia), dibagi menjadi beberapa kasta, Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Pembagian
kasta tersebut membuat adanya kelas di dalam masyarakat yang memiliki peran tertentu.
Misalnya seorang Sudra tidak boleh membaca kitab suci karena dia adalah Sudra. Orang yang
boleh membaca kitab suci hanyalah orang yang berkasta Brahmana. Namun, dengan
datangnya Islam, sistem kasta itu mulai ditinggalkan dan masyarakat mulai tertarik dengan
agama Islam karena Islam mengajarkan kesetaraan umat. Di Islam, siapapun boleh membaca
kitab suci tanpa melihat kastanya sehingga masyarakat yang baru hidup dalam ketegori kasta,
dengan datangnya Islam mereka mulai merasa mendapat kesetaraan. Nampak jelas, bahwa di
Eropa agama merupakan masa kegelapan (The Dark Ages), sedangkan di Indonesia agama
merupakan pencerahan itu sendiri.

Tampaknya kita memang harus merenungkan kembali sebuah kaidah “al-


muhafadhotu 'ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah,” artinya memelihara tradisi
lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik. kaidah ini dapat diterapkan
hanya dengan pikiran yang jernih dan bijaksana sehingga mampu memilih dan memilah mana
yang benar dan baik tanpa mengkerdilkan identitas sebagai seorang santri. Wallahu alam

Anda mungkin juga menyukai