Kifayatul Atqiya’
Klasifikasi intelektual ke dalam dua bagian, teoritikus dan praktisi, memang bukan
lagi persoalan yang baru. Mereka yang keasyikan dengan seluk beluk keilmuan sering
dianggap lupa dengan fungsinya sebagai agen perubahan masyarakat. Sedangkan mereka
yang aktif di dalam kegiatan masyarakat sering dianggap kurang memiliki teori yang
mumpuni. Diakui atau tidak ini semua adalah persoalan yang muncul dalam dinamika
kehidupan kita dari dulu hingga sekarang.
Persoalan ini mendorong para mahasiswa untuk mencari analisis atau teori guna
memecahkan persoalan ini. Di alam pikiran mahasiswa saat ini, sejak munculnya konsep
marxisme, mahasiswa yang cenderung memilih menjadi seorang praktisi atau aktivis lebih
banyak dipengaruhi oleh alam pikiran kiri sedangkan mereka yang cenderung bergelut
dengan ilmu pengetahuan, mereka lebih fokus dengan keilmuannya yang bersifat utilitas bagi
dirinya sendiri dan jarang menyentuh kehidupan masyarakat. Tanpa bermaksud untuk
mereduksi realita, perlu penulis sampaikan bahwa di tengah-tengah klasifikasi tersebut
memang ada beberapa individu yang mengusai kedua bidang tersebut, praktis dan teoritis,
tetapi dengan jumlah yang sangat terbatas.
Ketika seorang santri aktif sebagai tokoh penggerak atau organisator hendaknya
mengambil nilai-nilai pergerakan dari buku-buku yang dikaji di pesantren. Bukan malah
meminjam terminologi orang lain dengan berbangga hati dan bersifat pesimis dengan
keilmuan yang selama ini dipelajari di pesantren. Penulis sangat yakin bahwa buku-buku
pesantren sangat layak dan bisa digunakan sebagai sebuah landasan paradigma dan
pandangan hidup seorang santri dalam menjadi seorang organisator. Penulis sangat terketuk
ketika mendengar pernyataan Syaikh Syatho Dimyati “Ada dua hal yang wajib bagi seorang
muslim, meninggalkan kemungkaran dan mengingkari kemungkaran tersebut sehingga dua
kewajiban tersebut tidak dapat gugur hanya karena seorang muslim meninggalkan salah satu
kewajibannya. Perlu diingat bahwa orang yang melarang orang lain tetapi dia sendiri tetap
melakukan sesuatu yang dilarangnya tetap tergolong orang yang buruk (Dimyati).” Maksud
dari ungkapan ini apa? Ketika seorang muslim berbuat kesalahan, maksiat atau hal lainnya
bukan berarti dia tidak berkewajiban untuk memberi nasehat, peringatan, atau pengarahan
terhadap muslim lain yang melakukan suatu kesalahan atau maksiat. Hal ini mengisyaratkan
pada kita bahwa konsep Islam yang kita pelajari di pesantren sangat memperhatikan sebuah
perubahan sosial tanpa mengesampingkan perubahan individu. Begitupun sebaliknya, sangat
memperhatikan perubahan individu tanpa mengesampingkan perubahan sosial. Keduanya
adalah dua mata uang yang saling terkait dan tidak berdiri sendiri.
Mungkin ungkapan Syaikh Syatho Dimyati tersebut terdengar sederhana dan sering
ditemukan di kitab-kitab yang di kaji di pesantren tetapi bagi penulis yang sedikit banyak
membaca dan mengkaji kajian kiri menemukan sebuah spirit pergerakan dari ungkapan
beliau. Jika saja ungkapan tersebut kita tarik ke ranah perjuangan melawan tirani atau
ketidakadilan maka akan kita dapati bahwa seorang tirani pun tetap berkewajiban untuk
melarang orang lain berbuat tirani. Seorang penindas berkewajiban melarang orang lain
menjadi penindas. Perlu diingat! Ini adalah contoh minimal (tergolong buruk) dari ungkapan
Syaikh Syatho Dimyati. Maka bagaimana konsep ideal yang dikehendaki Syaikh Syatho
Dimyati ? Idealnya adalah seseorang berkewajiban menjadi seorang yang adil dan melarang
orang lain untuk bertindak tidak adil/dzalim. Dengan begini, kita tahu bahwa spirit
perjuangan dapat kita ambil dari buku-buku khazanah Islam di pesantren. Lantas kenapa kita
terlalu terpesona dengan konsep orang lain seperti golongan kiri atau golongan lainnya?
Jika kita merunut genealogi paham kiri, sekuler, dan liberal di Eropa maka kita akan
menemukan bahwa paham itu lahir atas reaksi terhadap sikap gereja yang mengekang
perkembangan ilmu pengetahuan sehingga ketika muncul renaisan dan otoritas gereja
semakin surut, muncul lah berbagai paham yang mendiskreditkan agama (dalam konteks ini
adalah kristen) seperti humanisme, sekularisme, dan marxisme (yang menganggap agama
sebagai candu). Bisa kita perhatikan, perbedaan genealogi agama di Indonesia (dalam hal ini
adalah agama yang diajarkan dipesantren, agama Islam) dengan genealogi agama di Eropa
tersebut sangat lah berbeda. Di Indonesia, agama adalah sebuah pembebasan dan pengajaran
nilai ketuhanan, kesetaraan, keadilan, kebersamaan dll. Dulu sebelum Islam datang, di saat
Hindu menjadi agama kebanyakan masyarakat Indonesia (pada saat itu belum muncul nama
Indonesia), dibagi menjadi beberapa kasta, Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Pembagian
kasta tersebut membuat adanya kelas di dalam masyarakat yang memiliki peran tertentu.
Misalnya seorang Sudra tidak boleh membaca kitab suci karena dia adalah Sudra. Orang yang
boleh membaca kitab suci hanyalah orang yang berkasta Brahmana. Namun, dengan
datangnya Islam, sistem kasta itu mulai ditinggalkan dan masyarakat mulai tertarik dengan
agama Islam karena Islam mengajarkan kesetaraan umat. Di Islam, siapapun boleh membaca
kitab suci tanpa melihat kastanya sehingga masyarakat yang baru hidup dalam ketegori kasta,
dengan datangnya Islam mereka mulai merasa mendapat kesetaraan. Nampak jelas, bahwa di
Eropa agama merupakan masa kegelapan (The Dark Ages), sedangkan di Indonesia agama
merupakan pencerahan itu sendiri.