Analisis situasi
Senyawa hidrokarbon miyak oli bekas kendaraan merupakan suatu
limbah buangan berbahaya dan beracun yang merupakan dampak dari
penggunaan kendaraan bermotor. Oli merupakan zat kimia yang
digunakan pada kendaraan bermotor yang berguna untuk mengurangi
keausan pada mesin. Penggunaan utama oli yaitu terdapat pada oli mesin.
Seiring dengan pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor sejalan
dengan besarnya permintaan pelumas kendaraan agar kendaraan dapat
digunakan dengan baik. Di daerah pedesaan sekalipun, sudah bisa
ditemukan bengkel-bengkel kecil, yang salah satu limbahnya adalah
minyak pelumas. Dengan kata lain, penyebaran limbah minyak pelumas
sudah sangat luas dari kota besar sampai ke wilayah pedesaan di seluruh
Indonesia. Kegiatan usaha bengkel ini memiliki dampak positif dan
dampak negatif. Dampak positifnya adalah memberi kontribusi bagi
Pendapatan Asli Daerah (PAD), memberikan kesejahteraan, serta
memberikan kesempatan kerja. Sebaliknya, kegiatan usaha bengkel
berpotensi menimbulkan persoalan lingkungan yang berupa kebisingan,
pencemaran tanah, pencemaran air, pencemaran udara, ataupun gangguan
kesehatan. Selain itu, persoalan lingkungan yang lebih serius dapat
ditimbulkan oleh limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang berupa
oli bekas yang selanjutnya disebut minyak pelumas bekas sebagai akibat
dari kegiatan usaha bengkel.
limbah minyak pelumas termasuk kategori limbah B3 yaitu Bahan
Berbahaya Beracun. Meski limbah minyak pelumas masih bisa
dimanfaatkan, tetapi apabila tidak dikelola dengan baik, hal tersebut bisa
membahayakan lingkungan. Limbah minyak pelumas mengandung
komponen logam berat, karena mengandung sifat beracun tinggi saat
terlepas ke lingkungan, terutama pada perairan dikarenakan dapat
menyebabkan terhalangnya sinar matahari dan oksigen dari atmosfer ke
air, proses ini dapat mengakibatkan efek yang berbahaya bagi makhluk
hidup di air.
Minyak pelumas bekas merupakan limbah B3 dari sumber tidak
Tidak spesifik maksudnya adalah minyak pelumas bekas berasal bukan
dari proses utamanya, tetapi berasal dari kegiatan pemeliharaan alat.
c. Isi
Jumlah populasi masyarakat yang mengalami peningkatan setiap
tahunnya akan berdampak pada peningkatan akan kebutuhan transportasi.
Peningkatan sepeda motor harus diimbangi dengan penambahan pelayanan
untuk sepeda motor tersebut seperti bengkel. Dari kegiatan bengkel tersebut
juga dihasilkan limbah yang berupa limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(B3) seperti oli bekas, dan juga lap yang sudah terkontaminasi oleh pelarut atau
pelumas. Walaupun oli bekas masih bisa dimanfaatkan, bila tidak dikelola
dengan baik, maka akan membahayakan bagi lingkungan.
Pengelolaan limbah minyak pelumas dengan baik bertujuan agar limbah
minyak pelumas yang dihasilkan tidak mencemari lingkungan dan sifat minyak
pelumas menjadi lebih tidak berbahaya. Selain itu, pengelolaan limbah minyak
pelumas bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan nyaman bagi
masyarakat. Apabila penanganan minyak pelumas dilakukan dengan baik,
maka akan bisa memberikan keuntungan bagi pengelola limbah minyak
pelumas dan juga pengurangan biaya produksi bagi industri yang
memanfaatkan kembali limbah minyak pelumas sebagai pelumas berbagai
peralatan, karena limbah minyak pelumas masih bisa dimanfaatkan untuk
pelumas lagi dengan cara pemakaian yang berbeda dari sebelumnya.
Karena sifatnya yang beracun dan berbahaya, limbah minyak pelumas
bekas perlu dikelola dengan baik guna untuk mengurangi resiko terjadinya
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Untuk mengatasi hal tersebut Salah satu cara untuk mengolah limbah
yang mengandung minyak pelumas yakni dengan cara pemisahan
menggunakan gravity separator. Metode pemisahan dengan gravitasi umumnya
dijumpai pada prinsip pengendapan dengan menggunakan metode plate settler.
Plate settler memiliki fungsi untuk meningkatkan penghilangan padatan
sehingga jarak pengendapan ke dasar bak menjadi berkurang. Sebagai
akibatnya, surface loading rate menjadi berkurang. Surface loading rate adalah
hubungan antara volume limbah yang masuk selama 1 hari yang berisi
sejumlah partikel padatan yang akan diendapkan. Surface loading rate yang
bernilai kecil mengindikasikan bahwa partikel dengan ukuran yang kecil dapat
terendapkan, artinya partikel yang berukuran besar pasti juga dapat
terendapkan.
Salah satu upaya yang juga dapat dilakukan dalam perbaikan lahan
yang tercemar adalah dengan memanfaatkan peranan makhluk hidup atau
bioremediasi. Bioremediasi adalah salah satu upaya dalam mengolah
kontaminan dengan menggunakan peranan mikroba, tumbuhan maupuan enzim
yang dihasilkannya. Metode bioremediasi ini bersifat organik dan telah terbukti
aman dan efektif dalam memperbaiki kualitas lingkungan yang tercemar
minyak. Metode bioremediasi ini aman dan ramah lingkungan karena
menggunakan peranan mikroba dan tidak menggunakan bahan kimia
berbahaya lainnya sehingga tidak akan membahayakan lingkungan.
d. kesimpulan
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Pengelolaan
limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau
penimbunan.
Fungsi minyak pelumas meliputi yaitu mengurangi gesekan dan
keausan, mendinginkan komponen mesin, membantu merapatkan
kompresi serta membersihkan komponen mesin. Minyak pelumas yang
digunakan untuk melumasi mesin mempunyai persyaratan antara lain,
tahan suhu tinggi, tahan karat dan korosi, mampu mencegah terjadinya
busa serta mampu mengalir pada suhu rendah. Pemilihan kekentalan
minyak pelumas yang kurang tepat dapat menghambat kerja mesin.
Minyak pelumas yang terlalu encer tidak akan berfungsi dengan baik dan
bila terlalu kental akan menghambet kerja mesin karena tahanan yang
tinggi.
Penurunan kualitas lingkungan salah satunya dapat disebabkan oleh
limbah yang dihasilkan dari limbah bekas oli pelumas. Limbah oli
pelumas mengandung bahan berbahaya dan beracun yang sukar untuk
dihilangkan dan mengakibatkan efek bagi lingkungan dan kesehatan.
Daftar pustaka
Junaidi. 2013. Penggunaan bakteri Pseudomonas Flourescens daan Pupuk Kandang dalam
Bioremediasi Insepcitol Tercemar Hidrokarbon. Jurnal Konservasi Sumber Daya Lahan,
1 (1): 1-9