Anda di halaman 1dari 15

Pengaruh Sistem Tanam…(Aini Sa’diyah) 75

PENGARUH SISTEM TANAM PAKSA TERHADAP KEHIDUPAN


SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT KABUPATEN BATANG
TAHUN 1830-1870
Oleh: Aini Sa’diyah, Program Studi Ilmu Sejarah Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta, e-mail: ainisadiyah84@gmail.com

Abstrak

Krisis finansial Pemerintah Kolonial Belanda yang diakibatkan oleh Perang Jawa pada tahun
1825-1830 dan Perang Belgia tahun 1830-1831 telah mengakibatkan diberlakukannya sebuah
kebijakan baru di Indonesia. Kebijakan tersebut adalah Sistem Tanam Paksa yang diterapkan oleh
Gubernur Jendral Van Den Bosch. Tujuan utama Sistem Tanam Paksa adalah meningkatan produksi
tanaman ekspor kolonial. Rakyat kemudian diwajibkan untuk menanam tanaman ekspor pada sebagian
tanah mereka dan kemudian hasilnya diserahkan kepada pemerintah sebagai pajak. Di Kabupaten
Batang, Sistem Tanam Paksa telah dipraktekkan pada seluruh distrik, yaitu Distrik Batang, Masin,
Sedayu, Subah, Kalisalak, dan Kebumen. Komoditas ekspor utama di wilayah tersebut adalah kopi,
tebu, dan nila. Dalam pelaksanaannya, sistem tersebut telah mengalami berbagai penyimpangan yang
sangat menyengsarakan rakyat. Tidak hanya kerja penanaman, rakyat juga dibebani dengan berbagai
kerja wajib lain. Praktek kebijakan tersebut telah mengakibatkan kemiskinan masyarakat Kabupaten
Batang, rotasi lahan sawah basah untuk tanaman ekspor nila dan tebu telah mengakibatkan penurunan
peroduksi beras. Sebagai respon atas kebijakan tersebut, terdapat tiga gerakan protes yang telah
dilakukan masyarakat Kabupaten Batang, yaitu demonstrasi oleh petani gula pada tahun 1842,
demonstrasi oleh petani nila pada tahun 1847, dan gerakan sosial keagamaan yang berupa pelancaran
kritik terhadap pemerintah kolonial maupun pejabat pribumi yang dilakukan oleh jama’ah Rifa’iyah
pada sekitar tahun 1850-an.

Kata Kunci: Pengaruh, Sistem Tanam Paksa, Batang

THE EFFECT OF CULTIVATION SYSTEM ON SOCIAL AND


ECONOMIC LIFE OF SOCIETY OF BATANG REGENCY 1830-1870

Abstract

The financial crisis of the Dutch Colonial Government caused by the Java War in 1825-1830
and the Belgian War in 1830-1831 has resulted enactmented of a new policy in Indonesia. The policy
was the Cultivation System implemented by Governor General Van Den Bosch. The main purpose of
the Cultivation System was to increase the production of colonial export plants. People obliged to
plant export plants on their partial land and then the yield submitted to the government as a tax. The
Cultivation System in Batang regency has been practiced on the whole districts, namely Batang,
Masin, Sedayu, Subah, Kalisalak and Kebumen Districts. The main export commodities of those
districts are coffee, sugar cane and indigo. The implementation of the the system has run into various
of irregularities that sorrows people so much. People not only have to planting, but also burdened with
other compulsive work. The practice of those policy caused poverty of Batang Regency’ s people, the
rotation of wet rice fields for export plants such as nila and sugar cane decreasing rice production. In
response to those policy, there are three protest movements that have been done by the people of
Batang Regency, namely demonstration by sugar farmers in 1842, demonstrations by indigo farmers
in 1847, and social religious movements in the form of criticism of colonial government and
indigenous official which is conducted by Jama'ah Rifa'iyah in the intellectual in his era 1850s.

Keywoords: The effect, Cultuurstelsel, Batang

1
76 Jurnal Prodi Ilmu Sejarah Vol.4 No. 1 Tahun 2019

PENDAHULUAN Sistem Tanam Paksa adalah sebuah


Batang adalah nama sebuah kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah
kabupaten di Jawa Tengah yang terletak di Kolonial Belanda untuk mengatasi kesulitan
pesisir utara Pulau Jawa. Sebelum resmi finansial2 mereka yang diakibatkan oleh
menjadi Pemerintah Kabupaten Daerah Perang Jawa pada tahun 1825-1830 dan
Tingkat II Batang sejak tanggal 8 April 1966 Perang Belgia tahun 1830-1831. Usaha
hingga sekarang, kabupaten ini merupakan Pemerintah Belanda dalam memulihkan
salah satu wilayah yang memiliki keadaan ekonomi tersebut yaitu dengan
pengalaman historis dalam perkembangan mengangkat Gubernur Jenderal baru untuk
kolonialisme di Indonesia. Keterlibatannya Indonesia yang bernama Johannes Van Den
dengan sistem kolonial tersebut telah dimulai Bosch. diangkat menjadi Gubernur Jendral di
sejak berlangsungnya ekspansi kekuasaan Jawa pada tanggal 19 Januari 1830, dia
Bangsa Eropa (Barat) ke bagian dunia lain di adalah penasehat Raja Willem I yang
luar Eropa pada sekitar abad ke-18. Awal memunculkan ide Sistem Tanam Paksa untuk
keterlibatan Kabupaten Batang dengan mengatasi kekosongan kas mereka.
Pemerintah Kolonial Belanda dimulai sejak Van Den Bosch diberikan tugas
jatuhnya seluruh wilayah Pantai Utara Jawa utama untuk meningkatkan tanaman ekspor
ke tangan VOC.1 yang terhenti selama Sistem Pajak Tanah
Puncak ekspansi kekuasaan kolonial yang diberlakukan oleh Raffles.3 Ciri pokok
terjadi pada abad ke-19. Abad tersebut Sistem Tanam Paksa terletak pada keharusan
merupakan puncak dari gerakan kolonialisme rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk
yang paling besar pengaruhnya dalam barang, yaitu berupa hasil tanaman pertanian
membawa dampak perubahan politik, mereka dan bukan dalam bentuk uang seperti
ekonomi, sosial, dan kebudayaan bagi negara yang berlaku dalam sistem pajak. Menurut
Indonesia. Salah satu kebijakan masa pemikiran Van Den Bosch, dengan
Kolonial yang diterapkan di Kabupaten pemungutan pajak dalam bentuk barang,
Batang adalah Sistem Tanam Paksa atau maka produksi tanaman perdagangan akan
yang sering mereka sebut dengan istilah dapat dikumpulkan dan kemudian dipasarkan
Cultuurstelsel. di pasaran dunia secara luas, baik Eropa
maupun Amerika.
1
Hal ini sesuai dengan perjanjian
yang ditandatangani oleh VOC dengan
Sunan Pakubuwono II dari kerajaan 2
A Daliman, Sejarah Indonesia Abad
Mataram. Hal tersebut adalah dampak dari XIX-Awal Abad XX, (Yogyakarta: Ombak,
terjadinya peristiwa “Geger Pacinan” di 2012), hlm. 29.
Mataram tahun 1742. Lihat Krisna Bayu
Adji dan Sri Wintala Achmad, Geger Bumi
3
Mataram (Sejarah Panjang Perjalanan Tim Nasional Penulisan Sejarah
Kerajaan-kerajaan Jawa Pasca Mataram Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia:
Islam), (Yogyakarta: Araska, 2014), hlm. 61. Kemunculan Penjajah di Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2010), hlm. 352.
Pengaruh Sistem Tanam…(Aini Sa’diyah) 77
Ketentuan pelaksanaan Sistem penduduk,7 akan tetapi dalam prakteknya
Tanam Paksa tercantum dalam Stadsblad No. seluruh pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
4
22 tahun 1834. Wilayah utama yang didasarkan atas unsur paksaan.
dijadikan untuk mempraktikkan gagasan Van Periode Sistem Tanam Paksa sering
Den Bosch adalah Jawa. Daerah pelaksanaan disebut sebagai era paling eksploitataif dalam
sistem ini mencakup 18 wilayah karesidenan sejarah kolonialisme di Indonesia. Selain
di Jawa, salah satunya adalah Karesidenan pengeksploitasian terhadap sumberdaya alam
Pekalongan.5 Pada bulan Agustus 1930, Indonesia, Pemerintah Kolonial Belanda juga
Gubernur Jenderal telah mengeluarkan telah melakukan eksploitasi terhadap sumber
keputusan tentang pelaksanaan penanaman daya manusia, yaitu dalam hal pemanfaatan
6
tebu bagi seluruh karesidenan di Jawa. tenaga kerja. Dalam hal ini, rakyat dibebani
Tanaman yang ditanam pada setiap daerah dengan kerja wajib penanaman tanaman
yang terlibat dalam Sistem Tanam Paksa ekspor serta kerja wajib dalam pembangunan
tidaklah sama. Ada beberapa hal yang sarana penunjang dan lain-lain. Djuliati
dijadikan sebagai pedoman dalam Suroyo mengatakan bahwa eksploitasi
menentukan sebuah karesidenan tersebut kolonial lebih banyak bertumpu pada
harus menanam tanaman ekspor tertentu. eksploitasi tenaga kerja. Pada tahun 1840,
Salah satu contohnya adalah tanaman ekspor tanah pertanian di Jawa yang dipakai untuk
tebu dan nila diterapkan di Karesidenan Tanam Paksa adalah 6% (tidak termasuk
Pekalongan karena mempunyai lahan sawah tanam paksa kopi), padahal penduduk petani
yang luas dan jumlah penduduk yang pelaksana kerja wajib tanam mencapai 72,5%
memadai. dari seluruh penduduk petani Jawa.8
Dalam berbagai sumber dikatakan Berangkat dari kenyataan tersebut,
bahwa dalam pelaksanaanya, kebijakan- penulis akan meneliti secara lebih rinci dan
kebijakan Sistem Tanam Paksa yang komprehensif tentang bagaimana kewajiban-
dipraktikkan tidak sesuai dengan tujuh kewajiban yang dibebankan tersebut
ketentuan yang tercantum dalam stadsblad berdampak terhadap kehidupan masyarakat
tahun 1834. Diantara contohnya adalah Kabupaten Batang baik dalam bidang sosial
bahwa dalam stadblad dijelaskan mengenai maupun ekonomi. Mengingat bahwa penulis
penyediaan lahan untuk Tanam Paksa akan juga memiliki tujuan lain untuk menambah
dilakukan melalui persetujuan dengan

4
Ibid., hlm. 354.
7
Tim Nasional Penulisan Sejarah
Indonesia, op.cit., hlm. 354.
5
Sartono Kartodirjo dan Joko Suryo,
Sejarah Perkebunan Indonesia, (Yogyakarta: 8
A. M. Djuliati Suroyo, Eksploitasi
Aditya Media, 1991), hlm. 57. Kolonial Abad XIX; Kerja Wajib di
Karesidenan Kedu 1800-1890, (Jakarta:
6
A Daliman, op.cit., hlm 32. Yayasan Untuk Indonesia, 2000), hlm. 4.
78 Jurnal Prodi Ilmu Sejarah Vol.4 No. 1 Tahun 2019

khasanah sejarah Batang yang merupakan Jawa di sebelah utara.9 Secara umum
tempat kelahirannya. topografi, wilayah Kabupaten Batang
merupakan perpaduan antara daerah
METODE PENELITIAN pantai/dataran rendah, perbukitan, dan
Metode penelitian adalah suatu cara, pegunungan.
prosedur, atau teknik yang dilakukan untuk Pada saat Indonesia dalam zaman
mencapai hasil penelitian. Pada umumnya kerajaan Islam, Kabupaten Batang
setiap sejarawan melakukan penelitian merupakan bagian dari wilayah Karesidenan
sejarah dengan berpedoman pada metode Pekalongan yang merupakan daerah di
sejarah. Menurut Gilbert J. Garragan, metode bawah Pemerintahan Kerajaan Mataram
sejarah merupakan seperangkat asas dan Islam.10 Kabupaten Batang adalah wilayah
aturan yang sistematik yang didesain guna Kerajaan Mataram yang disebut sebagai
membantu secara efektif untuk wilayah Pasisiran Kulon (pesisir barat). Pada
mengumpulkan sumber-sumber sejarah, masa Tanam Paksa, Kabupaten Batang terdiri
menilainya secara kritis, dan menyajikan dari 6 Distrik, yaitu Distrik Batang, Masin,
sintesis hasil-hasil yang dicapainya, yang Sedayu, Subah, Limpung, dan Tersono. Pada
pada umumnya dalam bentuk tulisan. waktu itu, Kabupaten Batang telah
Penelitian ini menggunakan 4 tahapan dalam mengalami perluasan wilayah sebesar 254,9
metode sejarah, yaitu tahap heuristik paal, yaitu dari 150 paal pada tahun 1820
(pengumpulan sumber), verifikasi merupakan menjadi 404,9 paal pada tahun 1862.
(kritik sumber), Interpretasi (penafsiran Pada masa Sistem Tanam Paksa atau
sumber), dan Historiografi (penulisan sekitar abad ke-18 an, populasi penduduk di
sejarah). Kabupaten Batang terdiri dari dua kelompok
etnis, yaitu penduduk bumiputera Jawa dan
HASIL PENELITIAN penduduk bumiputera non Jawa yang terdiri
A. KAEADAAN UMUM KABUPATEN dari orang-orang Tionghoa.11 Di Karesidenan
BATANG
Pekalongan, kepadatan penduduk bumiputera
Kabupaten Batang adalah sebuah
Jawa cukup besar. Untuk persebarannya,
kabupaten di Jawa Tengah yang terletak di
penduduk bumiputera tersebut relatif merata
pesisir utara Pulau Jawa. Berbatasan
langsung dengan Kabupaten Kendal di 9
Anonim, Profil Kabupaten Batang,
sebelah Timur, Kota Pekalongan dan (Batang: Pemerintah Kabupaten Batang,
2005), hlm. 10.
Kabupaten Pekalongan di sebelah barat,
Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten 10
Kusnin Asa dkk, Sejarah Budaya
Wonosobo di sebelah selatan, serta Laut Batang, Jawa Tengah: Kantor Pariwisata
Kabupaten Batang, TT), hlm. 5.
11
ANRI, Arsip Pekalongan No. 69/5,
Politiek Verslag 1859.
Pengaruh Sistem Tanam…(Aini Sa’diyah) 79
di setiap distrik. Dalam Politiek Verslag adalah golongan pejabat pemerintah kolonial
tahun 1859, tercatat penduduk bumputera yang terdiri dari Bupati, Demang, Mantri,
Jawa sebanyak 103.452 dan penduduk Guru, dan lain sebagainya. Sedangkan
tionghoa sebanyak 1.075 orang. Menurut Edi golongan Wong Cilik mengacu pada rakyat
Cahyono yang pernah meneliti Industri Gula kebanyakan, yaitu mereka yang tidak
di Karesidenan Pekalongan pada masa termasuk dalam golongan priyayi atau kaum
Tanam Paksa, pertumbuhan penduduk elite. Mereka terdiri dari para petani, buruh,
Kabupaten Batang diperkirakan diakibatkan dan lain sebagainya.14 Golongan Wong Cilik
oleh perbaikan fasilitas kesehatan dan kebanyakan adalah petani yang tinggal di
pembukaan lahan baru. Perbaikan fasilitas pedesaan dan terdiri dari beberapa tingkatan
kesehatan yang mulai diintensifkan pada sosial. Penduduk desa terdiri dari empat
awal 1850-an dapat menekan angka kematian lapisan sosial, yaitu lapisan paling atas yang
di Karesidenan Pekalongan.12 terdiri dari golongan pendiri desa yang
Secara historis, Kabupaten Batang dikepali oleh lurah,15 selanjutnya adalah
merupakan bawahan dari Kerajaan Mataram sikep. bujang dan menumpang, serta wong
Islam yang menganut struktur sosial boeroeh atau koelie dalam lapisan terakhir.
tradisional. Dalam hal ini, hubungan sesama Perekonomian masyarakat
warga masyarakat desa disatukan oleh ikatan Kabupaten Batang sejak sebelum
desa, sehingga mereka merupakan diberlakukannya Sistem Tanam Paksa adalah
masyarakat yang komunal. Jika ikatan desa diberlakukan kedalam kelompok sistem
itu merupakan ikatan yang bersifat ekonomi tradisi. Hal ini berarti bahwa upaya-
horizontal, maka untuk menjalin hubungan upaya untuk memecahkan persoalan
penduduk dengan kelompok lapisan sosial ekonominya dilakukan melalui lembaga-
diatasnya secara vertikal dikenal dengan lembaga sosial. Di Pulau Jawa, lembaga-
ikatan feodal. Ikatan ini merupakan jalinan lembaga sosial dinamakan oleh Burger
hubungan lama antara kelompok pemegang sebagai suatu ikatan desa seperti yang sudah
13
kekuasaan dengan rakyat jelata. Masyarakat dijelaskan dalam bab stratifikasi sosial.
Kabupaten Batang pada masa Sistem Tanam Dalam masyarakat yang perekonomiannya
Paksa terdiri dari golongan priyayi dan wong diatur secara tradisional, pada umumnya
cilik. Golongan priyayi di daerah tersebut
14
Wasino, Tanah, Desa, dan
12
Edi Cahyono, Pekalongan 1830- Penguasa: Sejarah Pemilikan dan
1870: Transformasi Petani Menjadi Buruh Penguasaan tanah di Pedesaan Jawa,
Industri Perkebunan, (Bandung: Lbour Semarang: Unnes Press, 2006, hlm. 25.
Working Group, 2001), hlm. 38.
15
Pada beberapa desa dalam Distrik
13
Burger, D.H., Sejarah Ekonomi Batang dan Masin, peranan lurah dipegang
Indonesia dari Segi Sosiologi Sampai Akhir oleh wedana, dengan menggunakan
Abad XIX, (Jakarta: Pradnyaparamita, 1962), pengaruhnya sebagai penatoes. Lihat Edi
hlm. 93. Cahyono, op.cit., hlm. 53.
80 Jurnal Prodi Ilmu Sejarah Vol.4 No. 1 Tahun 2019

mereka mengarahkan faktor produksi. Hasil menjadi pegawai dan digaji oleh pemerintah
produksinya hanya untuk memenuhi kolonial.17
konsumsi sendiri dan hampir tidak
diperjualbelikan.16 Dalam sistem 1. Pelaksanaan Tanam Paksa Perkebunan
perekonomian tradisi, perekonomian di Kabupaten Batang.
masyarakatnya akan bersifat statis. a. Cara Pemerintah Kolonial Memperoleh
Perubahan hanya akan terjadi dalam jangka Lahan Untuk pelaksanaan Sistem Tanam
waktu yang sangat lama dan dalam kualitas Paksa
serta kuantitas perubahan yang sedikit sekali. Bagi petani, tanah pertanian
Dalam bidang politik, Kabupaten menentukan posisi dalam kehidupan mereka.
Batang telah mengalami 2 periode Tanah menjadi suatu hal yang penting
pemerintahan. Periode pertama sering sebagai sarana untuk mencukupi kebutuhan
disebut dengan pemerintahan Batang lama, hidup. Lebih dari itu, pemilikan tanah juga
yaitu pemerintahan Kabupaten Batang sejak sebagai penentu status sosial masyarakat.18
zaman kerajaan Mataram Islam sampai Pada zaman feodalisme Jawa hingga zaman
pemerintahan kolonial Belanda (sejak awal Pemerintahan Kolonial Belanda, semakin
abad 17 hingga 31 Desember 1935). Periode luas tanah yang dimiliki seseorang maka
kedua adalah Pemerintahan Kabupaten semakin tinggi status sosial yang
Daerah Tingkat II Batang, yaitu sejak 8 April disandangnya.
1966 hingga sekarang. Berdasarkan sistem Dalam rangka pelaksanaan Sistem
pemerintahan dalam Mataram Islam, setiap Tanam Paksa, pemerintah kolonial perlu
wilayah pasisiran dikepalai oleh seorang mendapatkan lahan pertanian untuk
bupati . Setelah daerah pesisir jatuh ke penanaman wajib komoditas ekspor.
tangan pemerintah kolonial, maka bupati- Berkaitan dengan itu, pada tahun 1830
bupati tersebut menjadi bupati pemerintah dikeluarkan peraturan baru tentang tata cara
kolonial. Pemerintah Kolonial Hindia mendapatkan tanah pertanian dari penduduk.
menganut sistem pemerintahan tidak Tanah pertanian yang diperuntukkan bagi
langsung (indirect rule). Mereka sistem ini diperoleh dengan cara mendapat
memanfaatkan ikatan perhambaan yang persetujuan dari penduduk desa yang
terjadi antara rakyat dengan pejabat-pejabat memegang hak atas tanah yang
pribumi. Dalam hal ini para bupati kemudian
disebut sebagai bupati gubernemen yang 17
Handinoto, Arsitektur dan Kota-
kota di Jawa Pada Masa Kolonial,
16
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 228.
Djoko Suryo, Sejarah Sosial
Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-
18
1900, (Yogyakarta: Proyek Pengembangan Wahyu Nugroho, Pagilaran
Pusat Fasilitas Bersama Antar Universitas Kabupaten Batang Tahun 1998-2000,
(Bank Dunia XVII) – PAU Studi Sosial skripsi, (Semarang: Universitas Negeri
Universitas Gadjah Mada, 1989), hlm. 31. Semarang, 2007), hlm. 17.
Pengaruh Sistem Tanam…(Aini Sa’diyah) 81
bersangkutan. Sesuai dengan ketentuan 88 desa di Kabupaten Batang yang terlibat
staatsblad nomor 22 tahun 1834, Mengenai dalam Cultuurdienst tebu.
luas tanah yang digunakan untuk penanaman Seperti halnya tebu, kopi juga
komoditas ekspor adalah tidak lebih dari 1/5 termasuk jenis tanaman yang sudah dikenal
tanah-tanah pertanian yang dimiliki oleh masyarakat Batang sebelum diberlakukannya
penduduk desa. Dalam rangka untuk Sistem Tanam Paksa. Tanaman ekspor Kopi
menjamin tercapainya kepentingan mereka, pada umumnya ditanam pada perkebunan-
Pemerintah Kolonial Belanda kemudian perkebunan dengan pembukaan lahan baru
memperkuat hubungannya dengan birokrasi yang tempatnya jauh dari pemukiman petani
pejabat pribumi. penggarap. Salah satu bentuk nyata dari hal
b. Produksi Tanaman Wajib Masa Sistem tersebut adalah pembukaan hutan di daerah
Tanam Paksa dataran tinggi di wilayah Pagilaran pada
Sistem Tanam Paksa diperkenalkan sekitar tahun 1840 an.
oleh pemerintah kolonial secara perlahan Berdasarkan data statistik tahun
antara tahun 1830 dan 1835. Menjelang 1862, terdapat 4 distrik di Kabupaten Batang
tahun 1840, sistem ini sudah sepenuhnya yang terlibat dengan tanaman wajib kopi.
berjalan, dengan adanya beberapa perubahan Wilayah tersebut meliputi Distrik Sidayu,
dalam pelaksanaannya. Di Karesidenan Subah, Kalisalak, Kebumen. Pada tahun
Pekalongan, tanaman ekspor utama yang tersebut, jumlah tanaman kopi di Kabupaten
wajib ditanam adalah kopi, tebu, dan nila. Batang sebanyak 3.429.593 pohon dengan
Kabupaten Batang sudah jumlah 16.836 keluarga yang terlibat dalam
membudidayakan tebu sejak sebelum masa penanaman komoditas ekspor tersebut.20
Tanam Paksa. Pada tahun 1837, berdiri Masyarakat Kabupaten Batang sudah
sebuah pabrik gula di wilayah Distrik Batang mengenal tanaman nila sejak sebelum
yang mengelola hasil perkebunan tebu seluas pelaksanaan Sistem Tanam Paksa. VOC telah
sekitar 400 bau. Pabrik tersebut bernama memperkenalkan tanaman nila pada hampir
Kecapi, milik pengusaha Belanda yang semua daerah di pesisir utara Jawa pada
bernama P. D. Van Blomme Stelin.19 Dalam akhir abad ke-18. Pada tahun 1835 terdapat 3
hal ini, Pemerintah Kolonial Belanda pabrik yang mengolah hasil perkebunan nila
kemudian membuat kontrak dengannya di Kabupaten Batang, yaitu pabrik nila
untuk menyanggupi memenuhi sebagian Kecapi yang terdapat di Distrik Masin pabrik
besar keperluan industri, yaitu seperti nila Limpung yang terletak di Distrik
menyediakan tenaga kerja untuk menjamin Kalisalak menghasilkan, dan pabrik nila
penyediaan tebu yang akan diproduksi oleh
pabrik. Dalam tahun 1840 an sudah sebanyak
20
ANRI, Arsip Pekalongan No.
19
ANRI, Arsip Perkebunan No. 518, 83/B/3Nb. 45, statistiek van de Residentie
Berisi tentang daftar pabrik gula di Jawa. Pekalongan in het alagemen 1862.
82 Jurnal Prodi Ilmu Sejarah Vol.4 No. 1 Tahun 2019

Tersono yang terletak di Distrik Kebumen.21 maskawin.22 Di Karesidenan Pekalongan,


Di Kabupaten Batang tanaman ekspor nila pohon kelapa juga sudah ditanam sejak
memiliki perkembangan yang cukup baik. sebelum diberlakukannya Sistem Tanam
Dari awal diterapkannya hanya berdiri 2 Paksa. Pada masa Sistem Tanam Paksa,
pabrik pada tahun 1833, hingga kemudian pohon kelapa ditemui di seluruh distrik yang
pada tahun 1850 menjadi 5 distrik yang ada di Kabupaten Batang.23
membudidayakan nila, yaitu semua distrik di Tanaman pendamping lain yang
Kabupaten Batang kecuali Distrik Subah. dibudidayakan di Kabupaten Batang pada
c. Produksi Tanaman Pendamping Masa masa Sistem Tanam Paksa adalah pohon
Sistem Tanam Paksa kina. Kina adalah salah satu tanaman ekspor
Wilayah Kabupaten Batang berada pada masa pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
dalam iklim tropis dan memiliki tanah-tanah yang berfungsi sebagai obat-obatan.
yang subur. Selain ditanami tanaman- Tanaman ini diperkenalkan di Indonesia pada
tanaman ekspor, mereka juga menanami abad 18, yaitu karena pada saat itu sedang
tanah-tanah sawah dan tegalan untuk terjadi peningkatan drastis pada kebutuhan
kebutuhan hidup mereka. Sawah-sawah kina di pasar internasional.24 Di Kabupaten
kering mereka tanami dengan kacang tanah, Batang, tanaman kina dikembangkan oleh
ketela, jagung, dan sayur-mayur, selain itu seorang pengusaha Belanda yang bernama E.
juga dikembangkan jenis tanaman padi Blink. Dia adalah seseorang yang
kering (wet rice). Adapun untuk tanaman memerintahkan pembukaan hutan belantara
utama pada lahan sawah basah adalah padi. untuk lahan perkebunan nila dan kopi di
Selain perkebunan kopi, tanah tegalan juga daerah Pagilaran pada tahun 1840. EAkan
ditanami dengan pohon kelapa, kina, dan tetapi hasil panen dari kedua komoditi
lain-lain. Budidaya tanaman ekspor masa tersebut kurang memuaskan, pada tahun
Sistem Tanam Paksa di Kabupaten Batang
dalam jumlah kecil antaralain tanaman 22
Di daerah seperti Bogor, VOC
kelapa dan kina. memerintahkan kepada setiap penduduk yang
Pohon kelapa (Cocos Nucifera) akan menikah untuk membeli bibit pohon
kelapadari penghulu kemudian mereka tanam
adalah salah satu komoditas ekspor kolonial pada rumah-rumah pejabat yang sudah
yang dimanfaatkan untuk minyak goreng, ditentukan. Sementara di Priangan, setiap
orang yang akan menikah diharapkan
bahan alat masak, dan sebagai pelengkap terlebih dahulu menanam satu sampai dua
pohon kelapa di tanahnya sendiri.
21
ANRI, Arsip Perkebunan No. 46, 23
ANRI, Arsip Pekalongan No.
Berisi laporan Residen Pekalongan kepada 83/B/3Nb. 45, statistiek van de Residentie
Gubernur Jendral di Batavia mengenai Pekalongan in het alagemen 1862.
ikhtisar perbandingan keadaan Karesidenan
Pekalongan sebelum dan sesudah 24
J. Stroomberg, Hindia Belanda
diadakannya Tanam Paksa. 1930, (Yogyakarta: IRCiSOD, 2018), hlm.
201.
Pengaruh Sistem Tanam…(Aini Sa’diyah) 83
1899 wilayah tersebut kemudian diganti menyita waktu untuk pemenuhan kebutuhan
dengan teh hingga sekarang.25 mereka sendiri.27
Betapa sulitnya rakyat menghadapi
2. Dampak Sosial dan Ekonomi Sistem Tanam Paksa dapat tergambar
Kebijakan Tanam Paksa di sebagai berikut. Misalnya dalam tanaman
Kabupaten Batang kopi, tanaman yang saat itu dianggap paling
Penulisan sejarah sosial dan ekonomi menguntungkan dalam perdagangan ekspor
di Indonesia pada abad 19 pada dasarnya tersebut hanya cocok ditanam pada lahan
tidak dapat lepas dari Sistem Tanam Paksa dataran tinggi dan kering. Di daerah tersebut
yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kolonial penduduknya jarang sehingga pekerjanya
Belanda sebagai kebijakan baru untuk didatangkan secara paksa dari dataran rendah
meningkatkan eksploitasi di tanah jajahan. yang keahlian mereka adalah bersawah.
Para penulis Sistem Tanam Paksa seperti Belum lagi jarak yang ditempuh sekitar
Van Soest, Pierson, Clive Day, Gongrijp, puluhan kilometer membuat mereka tidak
serta penulis lainnya menyimpulkan bahwa jarang harus meninggalkan desa mereka
pelaksanaan sistem ini telah menimbulkan berbulan-bulan lamanya.28 Lebih dari 20
kesengsaraan bagi rakyat.26 Dampak Sosial persen keluarga petani Karesidenan
dan Ekonomi pelaksanaan Sistem Tanam Pekalongan terserap untuk membudidayakan
Paksa di Kabupaten Batang sebagai berikut. kopi. Sehingga ada kemungkinan bahwa
a. Kemiskinan kaum tani yang terlibat dalam perkebunan
Dalam berbagai penelitian, proses kopi juga diserap untuk kerja di sektor
penanaman tanaman wajib pada masa Sistem produksi agrikultur ekspor lainnya.29
Tanam Paksa sangatlah memberatkan Dalam pelaskanaan Sistem Tanam
masyarakat. Kebijakan tersebut telah Paksa, lahan sawah basah penduduk harus
menimbulkan dampak sosial berupa berotasi denangan tanaman ekspor tebu dan
kemiskinan yang dialami oleh masyarakat nila. Hal ini mengakibatkan rakyat tidak lagi
Jawa. Hampir semua peraturan Tanam Paksa dengan bebas untuk menanam padi yang
yang tercantum dalam stadblads nomor 22 merupakan kebutuhan pokok pada lahan
tahun 1834 tidak dijalankan sebagaimana mereka. Tanah rakyat yang semula hanya
mestinya. Rakyat dibebankan dengan diwajibkan 20% untuk penanaman komoditi
penanaman tanaman ekspor dan bahkan
27
Mubyarto dkk, Tanah dan Tenaga
berbagai macam kerja wajib yang sangat
Kerja Perkebunan (Kajian Sosial Ekonomi),
Yogyakarta: Aditya Media, 1991.
25
Wahyu Nugroho, op.cit., hlm. 66. 28
Parakitri T. Simbolon, Menjadi
Indonesia, Jakarta: Kompas, 2007), hlm.
26
Van Niel, Robert, Sistem Tanam 130.
Paksa Di Jawa, (Jakarta: Pustaka LP3ES
29
Indonesia, 2003), hlm. viii. Edi Cahyono, op.cit., hlm. 36.
84 Jurnal Prodi Ilmu Sejarah Vol.4 No. 1 Tahun 2019

ekspor kemudian bertambah menjadi hampir seperti berikut:30 Petani menolak bagian
seluruh tanah masyarakat yang dilibatkan tanah yang harus dikerjakan untuk ditanami
untuk penanaman. Lahan sawah basah untuk tebu karena kondisi tanah tersebut buruk,
penanaman padi kemudian semakin bergeser petani menuntut kenaikan upah dari 14,22
untuk tanaman tebu dan nila. Rakyat gulden menjadi 25 gulden, dan petani
kemudian menanam tanaman padi untuk menolak menanam paparan tebu karena
kebutuhan pokok mereka pada lahan sawah pekerjaan untuk mengolah tanaman milik
kering dengan hasil lebih buruk dari yang petani sendiri belum selesai.
biasa ditanam pada lahan sawah basah. Pada tanggal 24 Oktober ratusan
Selain itu, rotasi lahan padi dengan kedua masyarakat Kabupaten Batang berbondong-
tanaman ekspor tersebut juga menurunkan bondong menuju rumah residen di
kesuburan tanah. Untuk memenuhi Pekalongan.31 Terdapat 51 desa yang terlibat
kebutuhan pokok, rakyat kemudian harus cultuurdienst tebu yang masyarakatnya
membeli beras hasil impor dari karesidenan terlibat dalam gerakan protes tersebut.32
lain dengan harga cukup mahal. Akan tetapi perlawanan tersebut tidak
b. Perlawanan Penduduk membuahkan hasil seperti yang diharapkan
Memasuki abad ke-20, dampak dari oleh rakyat, pemerintah justru menangkap 4
eksploitasi kolonial semakin terasa di orang yang dianggap sebagai profokator
lingkungan masyarakat Kabupaten Batang. dalam gerakan protes tersebut. Mereka
Penderitaan dan kemiskinan penduduk sudah kemudian dijatuhi hukuman dibuang ke
menjadi bagian tak terpisahkan dari mereka. penjara diluar Karesidenan Pekalongan pada
Hal tersebut berakibat terhadap adanya awal November 1842. Hal tersebut
berbagai macam perlawanan yang dilakukan mengakhiri gerakan protes masyarakat
oleh masyarakat terhadap para penguasa saat dengan tanpa membuahkan hasil, mereka
itu. Di Kabupaten Batang, tercatat 3 tetap kembali bekerja di lahan mereka
perlawanan penduduk yang terjadi pada masa masing-masing dengan tanpa kenaikan upah.
Sistem Tanam Paksa, yaitu gerakan protes Peristiwa semacam itu kembali terjadi pada
oleh petani perkebunan tebu tahun 1842, tahun 1847, yaitu berasal dari para petani di
gerakan protes oleh petani perkebunan nila
tahun 1847, dan gerakan sosial keagamaan
30
pada tahun 1850 an yang berupa pelancaran Ibid., hlm. 103.
kritik terhadap pemerintah kolonial.
31
Besluit 2 Februari 1843 No. 11,
Masyarakat Kabupaten Batang
dalam ANRI: Ikhtisar Keadaan Politik
melakukan gerakan protes pertamanya pada Hindia-Belanda Tahun 1839-1848.
tahun 1842. Berdasarkan laporan dari jaksa
32
besar Prawiro Widjoijo, dalam aksi protes Saat itu di Kabupaten Batang
terdapat 88 desa yang terlibat cultuurdienst
tersebut masyarakat menuntut beberapa hal tebu. Lihat Edi Cahyono, op.cit., hlm. 94.
Pengaruh Sistem Tanam…(Aini Sa’diyah) 85
beberapa desa yang diwajibkan untuk kaum feodal dan kaki tangan Belanda.
menanam nila.33 Mereka adalah orang-orang yang mengabdi
Selain dua gerakan protes yang kepada orang kafir. Dalam masalah
dilakukan secara langsung dengan keagamaan mereka dianggap sebagai anjing
melakukan demonstrasi, di kabupaten ini dan babi.34
juga terdapat gerakan sosial keagamaan yang Gerakan dari kaum Rifa’yah
berupa pelancaran kritik terhadap pemerintah mendapat simpati yang sangat positif dari
Kolonial Belanda. Hal tersebut dilakukan masyarakat umum, sentimen anti kolonial
oleh sekelompok orang yang tergabung dan birokrat tradisional juga semakin meluas.
dalam kelompok Rifa’iyah atau jama’ah dari Pejabat-pejabat pribumi yang merasa
Kyai Ahmad Rifa’i. Kyai Rifa’i adalah terancam kewibawaannya kemudian
seorang kyai pendatang di desa Kalisalak melaporkan tindakan Kyai Rifa’i yang
Kabupaten Batang sebagai bentuk menganggap kafir pemerintahan tradisional
pengasingan. Kyai Rifa’i merupakan tokoh dan tidak mau mentaatinya. Hingga pada
agama yang disegani di Kalisalak. akhirnya beliau diasingkan ke Ambon
Selain paham keagamaan, Kyai berdasarkan keputusan No. 36 tanggal 7 Mei
Rifa’i juga menanamkan sentimen dan kritik 1859. 35
terhadap Pemerintah Kolonial dan pejabat c. Penurunan Produksi Beras Sebagai
pribumi yang dianggap membantu Barang Dagang di Kabupaten
pemerintahan kolonial. Gerakan protes Batang.
Rifa’iyah memang tidak sampai pada tahap Rotasi lahan pertanian sawah basah
perang fisik, akan tetapi gerakan mereka terhadap tanaman ekspor tebu dan nila telah
berhasil membuat kekisruhan dan menimbulkan penurunan produksi beras di
mengguncangkan stabilitas politik. Setelah Kabupaten Batang. Kabupaten Batang adalah
memiliki jama’ah yang kuat, gerakan protes suatu wilayah yang pada masa Kerajaan
terhadap pemerintah mulai dilakukan secara Mataram Islam merupakan bagian dari
terang-terangan. Gerakan protes ini Karesidenan Pekalongan. Di bawah pengaruh
dilakukan di masjid-masjid umum. Khotbah kerajaan tersebut, selama abad ke-17 hingga
dan pengajiannya mengecam para pejabat pertengahan abad ke-18, Pekalongan berhasil
lembaga keagamaan yang diangkat dan menjadi lumbung pemasok beras ke luar
menghamba kepada pemerintah kolonial. Jawa seperti Makassar ataupun karesidenan-
Sementara pejabat pemerintah pribumi sejak
dari lurah sampai bupati dikecam sebagai
Yumiati, Gerakan Rifa’iyah di
34

Kalisalak Kabupaten Batang Tahun 1859-


33
1924, Skripsi, (Yogyakarta: Universitas
Besluit 2 Februari 1843 No. 11,
Negeri Yogyakarta, 2007), hlm. 56.
dalam ANRI: Ikhtisar Keadaan Politik
Hindia-Belanda Tahun 1839-1848.
35
Ibid., hlm. 61.
86 Jurnal Prodi Ilmu Sejarah Vol.4 No. 1 Tahun 2019

karesidenan lain di Jawa yang saat itu 7.885 pikul.37 Seiring berjalannya waktu,
mengalami defisit beras. Bahkan setelah terjadi perluasan lahan perkebunan tanaman
pengaruh VOC, produksi beras Pekalongan ekspor dan pendirian pabrik-pabrik untuk
masih sanggup memasok beras ke Batavia pengolahan tanaman tersebut telah
dan Semarang. mengakibatkan defisit beras terus
Eksistensi beras sebagai barang berlangsung hingga berakhirnya Sistem
dagang di Karesidenan Pekalongan tidak Tanam Paksa.
dapat dipertahankan sejak awal abad ke-19. Berdasarkan data tahun 1862,
Hal tersebut diakibatkan oleh seluruh distrik di Kabupaten Batang lebih
diberlakukannya Sistem Tanam Paksa banyak memproduksi padi varietes baru yang
mengakibatkan pemanfaatan lahan-lahan dapat ditanam pada lahan sawah kering.
sawah secara intensif untuk kepentingan Dampak berkurangnya produksi beras bagi
produksi agrikultur ekspor dunia nila dan masyarakat adalah bahwa mereka kemudian
tebu. Selain menggusur lahan penanaman harus membeli beras dagang dengan harga
padi produksi agrikultur tersebut juga telah mahal. Harga beras melionjak dari 69 gulden
menyerap tenaga kerja yang besar.36 per koyang di tahun 1831 menjadi 148
Dalam laporan tahun 1835 tentang gulden pada tahun 1846.38
ikhtisar perbandingan keadaan Pekalongan
sebelum dan sesudah Tanam Paksa, residen B. KESIMPULAN
Pekalongan, Praetou mengatakan bahwa Batang adalah sebuah kabuaten di
diberlakukannya Sisten Tanam Paksa sejak Jawa Tengah yang terletak di pesisir utara
tahun 1830 telah mengakibatkan hancurnya Pulau Jawa. Kabupaten Batang adalah salah
produksi beras sebagai barang dagang satu wilayah yang ikut membudidayakan
Karesidenan Pekalongan. Produksi beras di tanaman-tanaman untuk kepentingan ekspor
karesidenan tersebut kemudian hanya untuk pemerintah colonial pada masa Tanam Paksa.
memenuhi kebutuhan setempat saja. Bahkan Wilayah yang luas serta kepadatan
sejak tahun 1832, untuk mencukupi penduduknya telah mengakibatkan
kebutuhan setempat pun harus mengimpor Kabupaten Batang dilibatkan dalam
beras dari karesidenan-karesidenan lain. penanaman komoditi ekspor tebu dan nila.
Sebuah laporan tentang produksi beras dalam Selain itu, wilayah ini juga memiliki tanah
Karesidenan Pekalongan menunjukkan tegalan yang cukup luas hingga diwajibkan
kemerosotan produksi dari 48.231 pikul di menanam tanaman ekspor kopi.
tahun 1829, turun menjadi 40.915 di tahun
1830, dan pada tahun 1836 hanya tinggal 37
Besluit 8 Februari 1847 No. 1,
dalam ANRI: Ikhtisar Keadaan Politik
Hindia-Belanda Tahun 1839-1848.
36
Mubyarto (dkk), op.cit., hlm. 21.
38
Edi cahyono, op.cit., hlm. 34.
Pengaruh Sistem Tanam…(Aini Sa’diyah) 87
Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa Kyai Ahmad Rifa’i. Seperti dua gerakan
sangatlah memberatkan masyarakat. Hampir yang dilakukan sebelumnya, gerakan ini juga
semua peraturan Tanam Paksa yang tidak membuahkan hasil yang baik untuk
tercantum dalam stadblads nomor 22 tahun memperbaiki nasib masyarakat. Pemimpin
1834 tidak dijalankan sebagaimana mestinya. mereka, kyai Rifa’i justru kemudian
Rakyat dibebankan dengan penanaman diasingkan ke Ambon pada tahun 1859.
tanaman ekspor dan bahkan berbagai macam Edi Cahyono mengatakan bahwa
kerja wajib yang sangat menyita waktu untuk dampak ekonomi yang terjadi akibat
pemenuhan kebutuhan mereka sendiri. pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di
Akibat yang terjadi adalah kemiskinan yang Karesidenan Pekalongan adalah hancurnya
melanda masyarakat. beras sebagai barang dagang di wilayah ini.
Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Dalam hal ini pemerintah mencoba
Kabupaten Batang telah mengakibatkan mengatasi dengan penanaman jenis varietes
kemiskinan hingga menimbulkan gerakan padi baru berupa padi genjang yang memiliki
protes petani. Dalam hal ini, masyarakat kualitas buruk dan dapat ditanam pada lahan
Kabupaten Batang melakukan aksi gerakan sawah kering dengan waktu yang lebih
protes dengan dua cara. Berdasarkan Besluit singkat. Di kabupaten ini kemudian hampir
2 Februari 1843 No. 11, gerakan protes semua produksi padi yang ada adalah jenis
pertama dilakukan oleh rakyat dengan padi genjang. Akan tetapi hal tersebut tetap
berbondong-bondong mendatangi kantor tidak dapat menutupi defisit beras yang
residen di Pekalongan. Kejadian tersebut terjadi, masyarakat tetap harus memenuhi
terjadi pada tahun 1842 oleh petani-petani kebutuhan utama mereka dengan membeli
yang terlibat dalam cultuurdienst tebu, dan beras dagang dengan harga mahal. Harga
pada tahun 1847 oleh petani-petani yang beras melionjak dari 69 gulden per koyang di
terlibat dalam cultuurdienst nila. Akan tetapi tahun 1831 menjadi 148 gulden pada tahun
kedua aksi tersebut tidak dapat mengubah 1846.
nasib rakyat, mereka harus tetap melakukan
kerja paksa penanaman tebu maupun nila DAFTAR PUSTAKA
sampai batas waktu berakhirnya kebijakan. Arsip
Model gerakan protes yang kedua ANRI, Arsip Perkebunan No. 46, Berisi
laporan Residen Pekalongan kepada
adalah gerakan sosial keagamaan yang
Gubernur Jendral di Batavia
berupa pelancaran kritik terhadap pemerintah mengenai ikhtisar perbandingan
keadaan Karesidenan Pekalongan
Kolonial Belanda maupun pemerintah
sebelum dan sesudah diadakannya
pribumi. Hal tersebut dilakukan oleh Tanam Paksa.
sekelompok masyarakat yang tergabung
ANRI, Arsip Perkebunan No. 518, Berisi
dalam kelompok Rifa’iyah atau jama’ah dari tentang daftar pabrik gula di Jawa.
88 Jurnal Prodi Ilmu Sejarah Vol.4 No. 1 Tahun 2019

Bayu Patriasari (dkk), Citra Kota


ANRI, Arsip Perkebunan No. 1624, Berisi Pekalongan Dalam Arsip, Jakarta:
laporan tahunan Karesidenan ANRI, 2016.
Pekalongan 1834-1865.
Breman, Jan, Keuntungan Kolonial dari
ANRI, Arsip Pekalongan Box 9 bundel 20/5, Kerja Paksa:Sistem Priangan dari
Boek v.d. rijst leverantiev. Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-
Paccalongans, Batang en 1870, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Wieradessa, 1791, 1809-1813, 1 Indonesia, 2014.
band, berisi berkas mengenai
persediaan padi di Pekalongan, Boomgaard, Peter, Anak Jajahan Belanda:
Batang, dan Wiradesa. Sejarah Sosial Dan Ekonomi Jawa
1795-1880, Jakarta: Anggota IKAPI,
ANRI, Arsip Pekalongan No. 70a/2, 2004.
Politieke Verslagen v.d. R
Pekalongan over de jaren 1867- Djoko Suryo, Sejarah Sosial Pedesaan
1873. Karesidenan Semarang 1830-1900,
Yogyakarta: Proyek Pengembangan
ANRI, Arsip Pekalongan No. 82/1 B, Pusat Fasilitas Bersama Antar
statistiek van de Residentie Universitas (Bank Dunia XVII) –
Pekalongan 1820. PAU Studi Sosial Universitas Gadjah
Mada, 1989.
ANRI, Arsip Pekalongan No. 83/B/3Nb. 45,
statistiek van de Residentie Edi Cahyono, Pekalongan 1830-1870:
Pekalongan in het alagemen 1862. Transformasi Petani Menjadi Buruh
Industri Perkebunan, Bandung:
ANRI, Arsip Pekalongan No. 87.6, Berisi Lbour Working Group, 2001.
tentang laporan bulanan tanaman
indigo pada tahun 1850. Geertz, Clifford, Involusi Pertanian (Proses
Perubahan Ekologi di Indonesia),
Buku Jakarta: Bhratara Karya Aksara,
1983.
A. Daliman, Metode Penelitian Sejarah,
Yogyakarta: Ombak, 2012. Handinoto, Arsitektur dan Kota-kota di Jawa
Pada Masa Kolonial, Yogyakarta:
A. M. Djuliati Suroyo, Eksploitasi Graha Ilmu, 2010.
Kolonial Abad XIX; Kerja Wajib
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah,
di Karesidenan Kedu 1800-1890, Yogyakarta, Ombak: 2012.
Jakarta: Yayasan Untuk
Indonesia, 2000. Hiroyoshi Kano, Frans Husken, Djoko
Suryo, Dibawah Asap Pabrik Gula:
Anonim, Profil Kabupaten Batang, Masyarakat Desa Di Pesisir Jawa
Batang: Pemerintah Kabupaten Sepanjang Abad Ke-20, Yogyakarta:
Batang, 2005. Gadjah Mada University Press, 1996.

________, Sejarah Indonesia Abad XIX- J. Stroomberg, Hindia Belanda 1930,


Awal Abad XX, Yogyakarta: Ombak, 2012. Yogyakarta: IRCiSOD, 2018.

Basuki Soenardjo, Sejarah Perjuangan Kusnin Asa dkk, Sejarah Budaya Batang,
Pembentukan Pemerintah Kabupaten Jawa Tengah: Kantor Pariwisata
Batang, Batang: Kantor Departemen Kabupaten Batang, TT.
Penerangan Kabupaten Batang,
1991. Krisna Bayu Aji, Geger Bumi Mataram
(Sejarah Panjang Perjalanan
Pengaruh Sistem Tanam…(Aini Sa’diyah) 89
Kerajaan-kerajaan Jawa Pasca
Mataram Islam), Yogyakarta: Van Niel, Robert, Sistem Tanam Paksa Di
Araska, 2014. Jawa, Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia, 2003.
Linblad, Thomas, Sejarah Ekonomi Modern
Indonesia (Berbagai Tantangan Wasino, Tanah, Desa, Dan Penguasa
Baru), Jakarta: Pustaka LP3ES (Sejarah Kepemilikan dan
Indonesia, 2000. Penguasaan Tanah Di Pedesaan
Jawa), Semarang: UNNES Press,
Mubyarto dkk, Tanah dan Tenaga Kerja 2006.
Perkebunan (Kajian Sosial
Ekonomi), Yogyakarta: Aditya
Media, 1991. Skripsi dan Tesis

Marwati Djoned Poesponegoro, Nugroho


Notosusanto, Sejarah Nasional Wahyu Nugroho, Pergolakan Sosial Petani
Indonesia IV, Jakarta:Balai Pustaka, Teh Pagilaran Kabupaten Batang
1993. Tahun 1998-2000, skripsi,
Semarang: Universitas Negeri
Mubyarto dkk, Tanah dan Tenaga Kerja Semarang, 2007.
Perkebunan (Kajian Sosial
Ekonomi), Yogyakarta: Aditya
Media, 1991.. Yumiati, Gerakan Rifa’iyah di Kalisalak
Kabupaten Batang Tahun 1859-
Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, 1924, Skripsi, Yogyakarta:
Jakarta: Kompas, 2007. Universitas Negeri Yogyakarta,
2007.
Sartono Kartodirjo dan Joko Suryo, Sejarah BIODATA
Perkebunan Indonesia, Yogyakarta:
Aditya Media, 1991. Nama : Aini Sa’diyah

Tempat Tanggal Lahir: Batang, 18-12-1997


Tanto Sukardi, Tanam Paksa di Banyumas:
Kajian Mengenai Ssistem, Riwayat Pendidikan : MII 01 Rowosari
Pelaksanaan, dan Dampak Sosial
Ekonomi, Yogyakarta: Pustaka MTs Nurul Huda
Pelajar, 2014. Banyuputih
Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, MA NU 01
Sejarah Nasional Indonesia: Banyuputih
Kemunculan Penjajah di Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 2010.

Anda mungkin juga menyukai