Anda di halaman 1dari 6

TUGAS MATA KULIAH

MANAJEMEN BENCANA

POTENSI MULTI BENCANA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Disusun Oleh:

Nama : Raindras Dwiarsa


NIM : 19/447994/PGE/01406

PROGRAM STUDI MAGISTER GEOGRAFI

PASCASARJANA FAKULTAS GEOGRAFI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2019
Potensi Multi Bencana di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Secara geografis Indonesia berada di sekitaran Cincin Api Pasifik sehingga harus
berhadapan dengan kejadian bencana. Dikenal dunia dengan “Supermarket
Bencana”, Indonesia memiliki potensi bermacam kejadian bencana dengan frekuensi
cukup tinggi. Pada beberapa peristiwa selama 20 tahun terakhir, Indonesia menjadi
headline di media dunia karena bencana-bencana alam yang mengerikan dan
menyebabkan kematian ratusan ribu manusia dan hewan, serta menghancurkan
wilayah daratannya (termasuk banyak infrastruktur sehingga mengakibatkan kerugian
ekonomi).

Sebagai bagian dari Indonesia, Provinsi Nusa Tenggara Timur juga tidak luput dari
kejadian bencana. Terbagi menjadi 8 pulau besar yaitu Pulau Flores, Pulau Adonara,
Pulau Lembata, Pulau Pantar, Pulau Alor, Pulau Sumba, Pulau Sabu, Pulau Rote dan
Pulau Timor, Provinsi berbasis kepulauan ini juga memiliki potensi bencana yang
beragam. Secara umum wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki 2
karakteriskik yaitu wilayah gugusan Pulau Flores (Flores sampai dengan Alor) di
bagian utara dan gugusan Pulau Sumba, Pulau Sabu, Pulau Rote dan Pulau Timor.
Berdasarkan data BNPB terdapat 8 jenis kejadian bencana di Provinsi ini selama
periode 2015 - 2019.

Jenis Kejadian Bencana Jumlah Kejadian


Banjir 47
Tanah Longsor 42
Gelombang Pasang / Abrasi 9
Putting Beliung 123
Kekeringan 22
Kebakaran Hutan dan Lahan 2
Gempa Bumi 7
Letusan Gunung Api 1
Sumber : BNPB

Banjir, berdasarkan data di atas Provinsi Nusa Tenggara Timur mengalami 47


kejadian banjir pada periode 2015 – 2019. Iklim di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang
sangat dipengaruhi oleh iklim dari Benua Australia mengakibatkan seringnya terjadi
cuaca ekstrem. Dalam periode tahunan, Provinsi Nusa Tenggara Timur bisa
mengalami kekeringan panjang. Namun pada saat terjadi hujan maka intesnsitasnya
akan sangat tinggi dan disertai angin kencang. Tingginya curah hujan ini memicu
kejadian banjir di sejumlah wilayah di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Selain intensitas hujang tinggi kejadian banjir juga dipengaruhi oleh factor geologi dan
penutupan lahan. Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan daratan yang
mengalami pengangkatan geologis, sehingga merupakan daratan karst. Karakteristik
karst yang memiliki solum tanah tipis mengakibatkan jumlah vegetasi yang menutupi
lahan menjadi sedikit. Hal tersebut menyebabkan lahan tidak dapat menahan air hujan
dengan intensitas tinggi, yang kemudian diduga sebagai penyebab kejadian banjir.

Potensi bencana alam yang kedua adalah tanah longsor. Penyebab tanah longsor
secara umum yang telah teridentifikasi adalah tingginya curah hujan; hancurnya
bebatuan; tumpukan sampah; hutan gundul; getaran; erosi; bendungan surut, lereng
tebing yang terjal; menumpuknya material; longsoran lama; kelebihan beban; tanah
kurang padat; dan adanya lahan pertanian di lereng.

Provinsi Nusa Tenggara Timur, khususnya di wilayah Pulau Flores banyak mengalami
kejadian longsor. Berdasarkan penyebabnya, kondisi fisik di Flores terdapat lereng
dengan kemiringan curam, dominasi tanah bertekstur lempung, pada beberapa
wilayah banyak terdapat batu sedimen kecil yang mucah pecah, pola panggunaan
lahan di wilayah dengan kelerengan curam dan dibantu dengan intensitas hujan tinggi
telah memicu kejadian tanah longsor di Provinsi yang terkenal dengan kayu
cendananya ini.

Wilayah dengan basis kepulauan memiliki garis pantai yang panjang, sehingga
potensi bencana gelombang pasang menjadi perlu untuk diwaspadai. Kejadian
bencana gelombang pasang di Provinsi Nusa Tenggara Timur tercatat sebanyak 9
kali dalam periode 2015 – 2019. Gelombang Pasang adalah fenomena naiknya
permukaan air laut akibat adanya pengaruh gaya tarik (gravitasi) bulan dan matahari
terhadap bumi. Tinggi rendahnya kenaikan air pasang itu ditentukan oleh dua faktor:
(1) posisi relatif bulan dan matahari terhadap bumi, (2) serta jarak bulan (pada
orbitnya) dengan titik pusat (inti) bumi. Meskipun bencana gelombang pasang belum
menimbulkan korban jiwa, kerugian yang muncul sebagai akibatnya cukup tinggi
diantaranya kerusakan properti dan berhentinya kegiatan ekonomi masyarakat di
wilayah yang terdampak.

Potensi bencana keempat adalah angin putting beliung yang merupakan bencana
dengan frekuensi kejadian tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan
menimbulkan korban jiwa dan kerusakan terbesar. Bencana Putting Beliung
disebabkan oleh terbentuknya awan cumulonimbus (Cb). Suhu muka air laut yang
meningkat 30 – 32 derajat celcius (anomaly +1 sampai +2,5 derajat terhadap
normalnya) mendukung pembentukan awan konvektif serta adanya pola angin
siklonik yang menyebabkan massa udara berkumpul dan mempercepat pembentukan
awan konvektif atau awan Cb.

Meskipun kejadian kekeringan bukan dianggap bencana oleh sebagian masyarakat di


Provinsi Nusa Tenggara Timur karena merupakan hal yang sudah dianggap lumrah
dan pasti akan dialami setiap tahunnya, bencana kekeringan di NTT ternyata
memberikan efek yang cukup besar. Pada periode tahun 2015 – 2019 berdasarkan
data BNPB korban jiwa yang menderita dan mengungsi mencapai angka fantastis
(865.900 jiwa).

Dengan kondisi iklim yang kering di sebagian besar wilayah Provinsi Nusa Tenggara
Timur, kejadian bencana kebakaran hutan dan lahan menjadi bencana tahunan.
Potensi bencana keenam ini disebabkan oleh kondisi alam yang ada, yaitu luasnya
padang savanna dan tipe hutan lahan kering musiman dengan kerapatan jarang.

Kejadian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur dipicu oleh
kejadian alami dan buatan. Sumber api yang berasal dari alam dapat berasal dari
panas sinar matahari yang mengenai rumput kering di padang savanna. Namun
kejadian buatan yang dipicu oleh praktek pembukaan lahan dengan cara pembakaran
dan pembakaran padang savanna untuk pkegiatan perburuan dan penggembalaan
menjadi penyebab utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan di NTT.

Meskipun tidak menimbulkan korban jiwa, mitigasi tetap perlu dilakukan. Hal tersebut
berkaitan dengan efek berkesinambungan dari kejadian kebakaran hutan dan lahan
diantaranya akumulasi asap (pencemaran udara) dan kerusakan lingkungan.

Sebagai bagian dari Indonesia dimana keseluruhan wilayahnya termasuk dalam


Cincin Api Pasifik, Provinsi Nusa Tenggara Timur berpotensi terjadi bencana gempa
bumi. Gempa bumi mungkin adalah ancaman bencana alam terbesar di Indonesia
karena terjadi tiba-tiba dan bisa menyerang wilayah padat penduduk, seperti kota-
kota besar. Gempa bumi merupakan ancaman konstan di Indonesia karena
pertemuan lempeng tektonik dan aktivitas vulkanik di wilayah ini.

Di Provinsi NTT sendiri tercatat kejadian gempa bumi sebanyak 5 kali dalam periode
2015 - 2019

Cincin Api Pasifik

Di Provinsi NTT sendiri tercatat kejadian gempa bumi sebanyak 5 kali dalam periode
2015 – 2019. Dari 5 kejadian tersebut tidak ada korban jiwa meninggal, 5 orang luka-
luka dan 7.746 jiwa menderita dan mengungsi. Namun kerugian fisik yang ditimbulkan
cukup besar.

Potensi bencana kedelapan adalah letusan gunung api. Di Provinsi Nusa Tenggara
Timur terdapat 9 gunung api, beberapa diantaranya adalah Gunung Sirung di Alor;
Lewotobi Lakilaki dan Perempuan (Flores Timur); Ile Ape, Lewotolok, dan Hobalt
(Lembata); Ranaka dan anak Ranaka (Manggarai); Ine Rie dan Ebulobo (Ngada),
serta Rokatenda dan Egon (Sikka). sejak 2000, hanya tiga gunung yang meletus,
yakni Sirung, Rokatenda, dan Hobalt yang berada di dalam laut. Sedangkan gunung
api lainnya hanya menunjukkan peningkatan aktivitas dan kembali normal.

Potensi bencana selanjutnya adalah tsunami, dengan wilayah panjangnya garis


pantai di wilayah kepulauan Nusa Tenggara Timur menyebabkan meningkatnya
potensi bencana tsunami. Walaupun belum ada kejadian tsunami di Provinsi NTT
tindakan mitigasi tetap perlu dilakukan.

Sebagai benuk mitigasi bencana di Provinsi Nusa Tenggara Timur maka perlu
ditingkatkan kesadaran masyarakat akan bencana, sehingga apabila terjadi gejala
kebencanaan masyarakat mampu bertindak untuk mengurangi korbam jiwa dan fisik.

Anda mungkin juga menyukai