Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

Fiqh/Ushul Fiqh Dan Syari’at

Oleh :

NAMA : PUTRI MAGHFIRAH & CUT NURHALIZA

NIM : 180703001 / 180703023

UNIT :3

PRODI : BIOLOGI

DOSEN : ISWAR, M.Ag

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR – RANIRY

DARUSSALAM – BANDA ACEH

TAHUN 2019
DAFTAR ISI

BAB I ...................................................................................................1
Pengertian fiqh ..........................................................................1

BAB II ..................................................................................................2
Pengertian usulul fiqh .............................................................. 2
Hubungan usul fiqh dan fiqh ...................................................3
Sejarah perkembangan usulul fiqh .........................................3

BAB III
Pengertian syari’at ....................................................................6
Hubungan antara fiqh dan syari’at ..........................................6

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................7


BAB 1
1. Pengertian fiqh
Kata fiqih (‫ )فقه‬secara bahasa terdapat dua makna. Makna pertama adalah al fahmu al
mujarrad (‫)المجرد الفهم‬, yang artinya adalah mengerti secara langsung atau sekedar mengerti saja.
(Muhammad bin Mandhur, Lisanul Arab, madah: fiqih Al Mishbah Al Munir) Kata fiqih yang
berarti sekedar mengerti atau memahami
, disebutkan di dalam ayat Al Quran Al Karim, ketika Allah menceritakan kisah kaum Nabi
Syu’aib ‘Alaihis Salam yang tidak mengerti ucapannya
. ‫ش َعيْبُ َيا قَالُوا‬
ُ ‫يرا نَ ْفقَهُ َما‬
ً ِ‫“ تَقُو ُل ِم َّما َكث‬
Mereka berkata, ‘Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan
itu.’” (QS. Hud: 91)
Di ayat lain juga Allah Swt berfirman menceritakan tentang orang-orang munafik yang tidak
memahami pembicaraan.
‫ّللاِ ِع ْن ِد ِم ْن ُكل قُ ْل‬ َ ‫َحدِيثًا يَ ْفقَ ُهونَ يَكَادُونَ ََل ْالقَ ْو ِم َٰ َه‬
َّ ۖ ‫ؤَُل ِء فَ َما ِل‬
“Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah.” Maka mengapa orang-orang itu (orang
munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?” (QS. An Nisa: 78)

Menurut istilah, fiqh berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’ yang
berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dali tafsil (jelas).Orang
yang mendalami fiqh disebut dengan faqih. Jama’nya adalah fuqaha, yakni orang-orang yang
mendalami fiqh. Menurut para ahli fiqh (fuqaha), fiqh adalah mengetahui hukum-hukum shara’
yang menjadi sifat bagi perbuatan para hamba (mukallaf), yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh
dan mubah. Imam Syafii memberikan definisi yang komprehensif, “Al ‘ilmu bi al ahkaam al
syar’iyyah al ‘amaliyyah al muktasabah min adillatiha al tafshiliyyah” Yakni mengetahui
hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang didapatkan dari dalil-dalil yang terperinci.
‘al ilm’ pada definisi ini bermakna pengetahuan secara mutlak yang didapatkan secara yakin
atau dzanni. Karena hukum yang terkait dengan amaliyah ditetapkan dengan dalil yang bersifat
qath’I atau pun dzanni.

1
BAB 2
2. Pengertian usulul fiqh
Ushul fiqh berasal dari dua kata , yaitu ushul dan fiqh. Ushul adalah bentuk jamak dari
kata Ashl ( ‫ ) اصل‬yang artinya kuat (rajin),pokok,sumber,atau dalil tempat berdirinya
sesuatu. Kalau ada pokok pasti ada cabang,sesuatu yang berada di bawah pokok tersebut
dinamai far’un ( ‫ = ) فرع‬cabang . perkataan ushul fiqih ini sering juga di sebut dengan
mushtahab, yatu sesuatu yang menyertai sesuatu yang telah ada.Dalam masalah Qiyas.
Dimaksud dengan ushul yaitu pokok yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan sesuatu
(standar) ( ‫ ) به مثبه‬artinya alat ukur.Adapun kata fiqh menurut bahasa artinya
memahami,mengerti,yaitu bentuk masdar dari ( ‫ ) فقه‬artinya faham,mengerti,pintar dan
kepintaran. Sebagaimana sabda Nabi saw.

Artinya: Barangsiapa yang dikehendaki Allah mendapat kebijakan,niscaya allah akan


memberikan kepadanya ngerti agama. (HR. Bukhary).

Ushul fiqh telah memberikan cara atau metode mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya
yaitu tentang apa yang dikehendaki oleh perintah dan apa pula yang dikehendaki oleh larangan.
Jadi pada prinsipnya harus diketahui dulu hakekat dari dalil-dalil yang mengandung hukum
tersebut.
Adapun yang menjadi obyek pembahasan ushul fiqih adalah :

1. Menjelaskan macam-macam hukum dan jenis-jenis hukum seperti wajib, haram, sunnat,
makruh, dan mubah.
2. Menjelaskan macam-macam dalil dan permasalahannya.
3. Menjelaskan cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya.
4. Menjelaskan ijtihad dan cara-caranya.
Jadi yang menjadi obyek pembahasan ushul fiqh itu adalah perbuatan mukallaf dari
sagi dapat diterapkan kepadanya hukum-hukum syari’at serta syari’at yang bersifat kully dari
segi dapat ditarik daripadanya hukum yang bersifat kully (umum) pula,sedangkan yang
menjadi pokok pembahasannya adalah :
1. Hukum,yang didalamnya meliputi
2. wajib,sunnat,makruh,mubah,haram,hasan,qabih,’ada,qada,shahih,fasid,dan lain-lain.
3. Adillah ,yaitu dalil-dalil qur’an ,sunnah,ijma’,dan qiyas.
4. Jalan-jalan serta cara-cara beristimbath (turuqul istimbath).
5. Mustambith,yaitu mujthid dengan syarat-syaratnya.
6. Dalil-dalil untuk menginstimbathkan hukum

2
3. Hubungan usul fiqh dan fiqh
Hubungan ilmu Ushul Fiqh dengan Fiqh adalah seperti hubungan ilmu mathiq
(logika) dengan filsafat, bahwa mantiq merupakan kaedah berfikir yang memelihara akal agar
tidak ada kerancuan dalam berfikir. Juga seperti hubungan antara ilmu nahwu dalam bahasa
arab, dimana ilmu nahwu merupakan gramatikal yang menghindarkan kesalahan seseorang di
dalam menulis dan mengucapkan bahasa arab. Demikian juga Ushul Fiqh adalah merupakan
kaidah yang memelihara fuqaha’ agar tidak terjadi kesalahan di dalam mengistimbatkan
(menggali) hukum.
Untuk memudahkan pemahaman dalam masalah seperti ini, kami kemukakan contoh- contoh
tentang perintah mengerjakan sholat berdasarkan Al- Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad
SAW. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Isra’ yang terjemahannya sebagai berikut:

“ Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula)
sholat shubuh. Sesungguhnya sholat shubuh itu disaksiakn ( oleh Malaikat). QS. Al- Isra: 78

Nabi Muhammad SAW telah bersabda dalam hadits-Nya yang berbunyi:

“ Shalatlah sebagaimana kamu melihatku bershalat”. (HR. Muttafaqun alaihi).

Dari firman Allah SWT dan Hadist Nabi Muhammad SAW belum dapat diketahui, apakah
hukmnya mengerjakan shalat itu, baik wajib, sunat, atau harus. Dalam masalah ini Ushul Fiqh
memberikan dalil bahwa hukum perintah atau suruhan itu asalnya wajib, terkecuali adanya
dalil lain yang memalingkannya dari hukumannya yang asli itu.Hal itu dapat dilihat dari
kalimat perintah mengenai mengerjakan Shalat bagi umat Islam.

4. Sejarah perkembangan usulul fiqh


Secara pasti, tumbuhnya ilmu Ushul Fiqih bersamaan dengan tumbuhnya ilmu fiqih,
meskipun pembukuannya lebih dahulu ilmu fiqih. Sebab tumbuhnya ilmu fiqih tidak terlepas
dari kaidah / metode yang digunakan dalam penggalian hukum fiqih itu sendiri. Metode
penggalian hukum ini tidak lain adalah ilmu Ushul Fiqih.

3
a) Masa Nabi saw

Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum Islam)
dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah
wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa sahabat yang
menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada
Hadis muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur di
Yaman. Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz:

“Sesungguhnya Rasulullah Saw. mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi bertanya


kepada Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab:
akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau
temukan di dalam Kitabullah?!, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW,
Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?!, ia menjawab: saya
akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah
memberi Taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW”. (HR. Tirmizi)
Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada saat itu
Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih adalah,
jika terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka pertama adalah
mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran, kemudian Hadis. Jika dari kedua sumber
hukum Islam tersebut tidak ditemukan maka dapat berijtihad
b) Pada masa sahabat

Pada zaman sahabat dan tabi’in, pengetahuan mereka sempurna tentang hukum-
hukum yang terrdapat di dalam Al-Quran dan mengetahui pula sebab-sebab turunnya, serta
rahasia syariat dan tujuan karena pergaulan mereka pada zaman nabi saw. Karena itu
mereka tidak memerlukan peraturan-peraturan dalam mengambil suatu hukum. Mereka
tidak menggunakan pengetahuan Ushul Fiqh dalam teori, tetapi dalam praktek
sesungguhnya ilmu ini telah diterapkan dan menjadi teladan bagi umat sesudahnya.
c) Pada Masa Tabi’in

Pada masa tabiin, tabi’ al-tabiin, dan para imam mujtahid kekuasaan Islam meluas ke
daerah daerah yang di huni oleh orang-orang yang bukan berbahasa Arab atau bukan
bangsa Arab, kondisi budayanya cukup berbeda-beda. Banyak di antara ulama yang
bertebaran ke daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit pula penduduk daerah tersebut yang
masuk Islam. Semakin kompleksnya persoalan-persoalan hukum yang ketetapannya tidak
di jumpai di dalam al-quran dan hadis. Karena itu ulama-ulama yang tinggal di daerah
tersebut melakukan ijtihad, mencari ketetapan hukumnya berdasarkan penalaran mereka
terhadap ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi. Ditambah pula dengan pengaruh kemajuan
ilmu pengetahuan dalam berbagai bidangnya pada masa itu, kegiatan ijtihad menjadi maju
pesat.
4
d) Masa Tabi’ Tabi’in (Periode Imam Madzhab)

Pada periode ini, metode penggalian hukum bertambah banyak, baik corak maupun
ragamnya. Dengan demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbat hukum dan
teknis penerapannya. Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dalam memutuskan perkara
membatasi ijtihadnya dengan menggunakan al-Quran, Hadis, fatwa-fatwa sahabat yang
telah disepakati dan berijtihad dengan menggunakan penalarannya sendiri, seperti istihsan.
Abu Hanifah tidak mau menggunakan fatwa ulama pada zamannya. Sebab ia berpandangan
bahwa mereka sederajat dengan dirinya. Imam Maliki –setelah al-Quran dan Hadis- lebih
banyak menggunakan amal (tradisi) ahli madinah dalam memutuskan hukum, dan
maslahah mursalah. Demikian pula imam-imam yang lain.

5
BAB 3
5. Pengertian syari’at

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, syariat adalah hukum agama


yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah
Swt., hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan Alquran
dan hadis. Bentuk kata tidak bakunya: sarengat, sariat, sereat, syariah.

Sebagai sebuah khas agama, istilah syariat selalu identik dengan teologi
Islam. Seperti kalimat, Al-Quran adalah sumber pertama dari syariat Islam.
Meskipun sebenarnya istilah ini sudah ada sejak sebelum Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam diutus, namun di lingkungan masyarakat Indonesia istilah
syariat lebih populer identik dengan Islam.

Syariat berasal dari kata dasar sya-ra-‘a yang artinya memulai,


mengawali, memasuki, memahami. Atau diartikan juga dengan membuat
peraturan, undang-undang, syariat. Syar’u n dan syir’atan memiliki arti yang
sama: ajaran, undang-undang, hukum, piagam.

6. Hubungan antara fiqh dan syari’at


Setelah memahami pengertian syariah dan pengertian fiqih, ada baiknya kita mengerti
sikap apa yang harus dilakukan terhadap sumber hukum Islam (al-Quran dan al-Hadits)
Pertama, hukum-hukum yang ditetapkan oleh sumber hukum Islam secara gamblang
harus disikapi secara “qat’i” alias mutlak. Artinya ketika membaca teks tersebut, jelas tanpa
perlu penafsiran atau kajian lagi, seperti:
kewajiban shalat, puasa, zakat harta, memenuhi janji, dilarang berbohong, haram mencuri,
zina, larangan nikah sejenis, dan lainnya yang disebut secara gamblang dalam dalil-
dalil naqly, yaitu al-Quran dan Sunnah Mutawatirah.
Kedua, dalil dalam sumber hukum Islam yang tercantum tanpa dijelaskan secara
gamblang hingga berpotensi dipahami secara multi-interpretasi, yang kemudian menjadi bahan
ijtihad ulama dan hasilnya berbeda-beda, maka harus disikapi dengan lapang dada, menghargai
perbedaan pendapat. Seperti:
apakah al-fatihah dimulai dari basmalah atau dari “Alhamdulillah…”, apakah niat puasa
ramadhan wajib diucapkan setiap malam atau tidak, apakah boleh menghitung awal Ramadhan
dan akhirnya dengan hisab falaki atau tidak, berapakan nishab barang curian sehingga seorang
pencuri bisa dihukum hudud,dan lain sebagainya. (Al-Madkhal al-Fiqhy al-Aam, Prof.
Musthafa Zarqa).
Dengan ini, perbedaan pendapat ulama fiqih dalam sebuah masalah merupakan khazanah dan
kekayaan intelektual umat Islam yang harus dibanggakan dan dijaga, bukan diributkan atau
malah jadi sumber perpecahan.

6
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Satria Effendi, M. Zein, M.A., Ushul Fiqih, Jakarta: kencana, 2008

Prof. Dr. Rachmat Syafe’I, M.A., Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung, 2007

Dr. Andewi Suhartini, M. Ag., Ushul Fiqh, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Dept.Agama
RI, 2009

Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, M.A., Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2011

Drs. Zarkasji Abdul Salam, pengantar ilmu fiqh-ushul fiqh, cv Bina Usaha, Yogyakarta, 1986

Anda mungkin juga menyukai