Anda di halaman 1dari 16

SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i

FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Vol. 3 No. 1 (2016), pp.93-108, DOI: 10.15408/sjsbs.v3i1.3320
------------------------------------------------------------------------------------

Qiraah Alquran Dengan Nagham Ajam - Lagam Jawa;


Kasus Isra’ Mi’raj di Istana Negara, Jum’at, 15 Mei 2015*
(Qiraah Koran By Nagham Ajam - Lagam Java; Case Isra 'Mi'raj At The State
Palace On Friday, May 15, 2015)

Qosim Arsadani
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Tangsel
E-mail: qosimarsadani@gmail.com

10.15408/sjsbs.v3i1.3320

Abstract:
Every Muslim would agree that the Koran is the holy book were wonderful. He will
be more beautiful when it is read beautifully by using Nagham and a melodious
voice. By reading the Koran is mutawaatir means that from the beginning the angel
Gabriel received it from Allah which is then conveyed to the Holy Prophet so were
messengers to convey back to friends and so on in the history of the turn and the
different traffic generation is the same. New problems arise when the Koran is read
using Java Nagham. Therefore this study want to discuss more in depth about the
law.
Keywords: Koran, Qiroah and Nagham

Abstrak:
Setiap muslim pasti sepakat bahwa Alquran kitab suci yang indah. Ia akan menjadi
semakin indah apabila dibaca secara indah dengan menggunakan nagham atau lagam
dan suara yang merdu. Secara bacaan Alquran bersifat mutawatir artinya sejak dari
awal malaikat Jibril menerimanya dari Allah SWT yang kemudian disampaikan
kepada Rasulullah Saw begitu pula rasul dalam menyampaikan kembali kepada para
sahabat dan begitu seterusnya dalam lintas sejarah pergantian dan berbedanya
generasi adalah sama. Permasalahan baru muncul ketika Alquran dibaca dengan
menggunakan Nagham Jawa. Oleh karenanya penelitian ini ingin membahas lebih
mendalam tentang hukumnya.
Kata Kunci: Alquran, Qiroah dan Nagham

Diterima tanggal naskah diterima: 11 Maret 2016, direvisi: 21 April 2016, disetujui untuk
*

terbit: 22 Mei 2016.

93
Qiraah Alquran Dengan Nagham Ajam - Lagam Jawa;
Kasus Isra’ Mi’raj di Istana Negara, Jum’at, 15 Mei 2015

Pendahuluan
Allah SWT telah menyampaikan kalam-Nya (Alquran) dalam bahasa arab
agar kalian berfikir-memahami: ‫ انا انزلناه عربيا لعلكم تعقلون‬-“Sesungguhnya Kami
menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya”(Q.S.Yusuf: 12:2). Bahkan lebih dari itu menurut imam
Muhammad bin Idris al-Syafi’i seluruh kitab Samawi (sebutan kitab yang
berdasarkan wahyu; zabur, taurat dan injil) diturunkan dalam bahasa arab.1
Kalamullah adalah kalam agung yang nilai dan posisinya sama dengan
pemiliknya, yaitu Allah Jalla Jalaluhu. Kalam Allah SWT menurut para ulama ada
yang bersifat Manthuq – terucap dan ada yang bersifat Ghairu Manthuq- tidak
terucap.
Kalamullah yang Ghairu Manthuq lazim disebut dengan Ayat Kauniyah
berupa jagat raya. Kalam Allah SWT yang terucap dalam bentuk kitab wajib
diimani dan dipercaya oleh setiap orang mukmin karena ia bagian dari rukun
iman yang enam. Disebutkan dalam sebuah hadist dari sahabat Umar bin
Khattab ra. Bahwa suatu hari Rasulullah SAW kedatangan seorang tamu yang
berpakaian serba putih, rambutnya hitam serta tidak diketahui dari mana asal
datangnya tamu tersebut oleh para sahabat. Kemudian tamu itu duduk
dihadapan Rasulullah SAW seraya menempelkan kedua lututnya dengan lutut
Rasulullah SAW dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua
pahanya, kemudian dia bertanya; wahai Rasulullah SAW, apa itu iman?
Rasulullah SAW menjawab; iman itu adalah engkau percaya kepada Allah,
kepada para malaikat, kitab-kitab-Nya, percaya kepada para rasul-Nya, percaya
dengan hari akhir, dan engkau percaya dengan taqdir, baik dan jeleknya.2 Kalam
Allah SWT yang manthuq-terucap terbagi menjadi dua katagori, yaitu kitab dan
suhuf (lembaran-lembaran). Informasi ini langsung disampaikan oleh Allah SWT
dalam beberapa ayat Alquran. Khusus untuk suhuf diantaranya dapat kita lihat
dan baca dalam surat al-A’laa (87): 19 atau ayat terakhir dari surat tersebut, yaitu
“Suhuf Ibrahim dan Musa”.
Kalam Allah SWT yang berupa kitab yang menjadi bagian dari rukun
iman sebagaimana disebutkan dalam hadist di atas ada empat buah, yaitu; 1.
Taurat diturunkan kepada Nabi Musa as., 2. Zabur diturunkan kepada Nabi
Dawud as., 3. Injil diturunkan kepada Nabi Isa as., dan 4. Alquran diturunkan
kepada nabi Muhammad SAW.3 Karena beriman dengan kitab adalah bagian
dari rukun iman, maka cara pendekatannya adalah dengan ta’abbudi yaitu sikap
menerima apa adanya tanpa reserve dan tanpa sikap kritis sebagai realisasi

1 Al-Syafi’i, Abu Abdullah Muhammad bin Idris. Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr,

1997 H. – 1418 M.), j. 1., h. 29


2 Imam Muslim, Shahih Muslim, (Mesir: Isa al-Babi al-Halbi wa Syirkah, tth.), h. 22

3 Nashr bin Muhammad al-Hanafi al-Samarqandi, Qathr al-Ghaist fi Syarh Abi Laist,

(Surabaya: Said bin Nabhan wa Auladuh, tth), h. 7

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No 1 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 94
Qosim Arsadani

ketertundukan (ibadah) seseorang kepada Allah SWT sebagai Khaliqnya. Sikap


ta’abbudi ini harus dipunya dan dipahami oleh setiap muslim karena adanya
pengetahuan tentang kitab tersebut bersifat Ma’lum min al-Din bi al-Dlaruri,
sesuatu yang bersifat given dan dogmatis.
Alquran sebagai salah satu kitab yang diturunkan terakhir dan tentu
kepada nabi terakhir, penutup para nabi dan rasul-khatam al-Ambiya wa al-
Mursalin, Nabi Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib al-Quraisyi yang
nuzul – turun pertama pada saat Nabi Muhammad SAW sedang beribadah
tahannus (kontemplasi) di gua Hira pada tahun 611 M. disaat usianya mencapai
40 tahun. Memang tidak bias dipungkiri bahwa satu rasul dengan rasul lainnya
ada interdependensi dan talenta yang menghubungkan, baik secara darah seperti
dari Nabi Ibrahim punya anak Ishaq dan Ismail, Ya’qub, Yusuf dan seterusnya
ataupun lainnya terutama kesamaan visi dan misi yang diembannya, yaitu
menyampaikan risalah tauhid dan monotheisme. Visi dan misi risalah tauhid
dan monotheisme para rasul yang ternyata merupakan perjanjian antara
manusia dengan Allah SWT dengan MoU abadi sejak mereka masih berada di
alam ruh. Kita perhatikan Firman Allah SWT dalam Q.S. al-‘Araf (7): 172.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)."

Kesamaan visi dan misi para manusia pilihan Tuhan ini dalam
mengemban risalah tauhid menjadikan satu dengan lainnya bagaikan untaian
mutiara yang indah dan apik, satu berkelindan dengan lainnya, semua dalam
rangka menuju Yang Satu. Betapa informasi sudah langsung disampaikan oleh
sumber informasi yang sangat otoritatif dan pasti valid, Allah SWT dalam
Alquran surat al-Ambiyaa (21): 25.
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami
wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan
Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku".

Diantara apologistik keberhasilan produktifitas serta suksesnya dakwah


para rasul, ternyata orang-orang yang dipercaya untuk menyampaikan risalah
Ilahiyyah, misi ketuhanan dengan membawa syariat, adalah mereka diutus
sesuai dengan bahasa dan kondisi masyarakatnya masing-masing. Allah SWT
telah menginformasikan hal itu langsung kepada kita sebagaimana dapat kita
baca dalam firman-Nya.
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya,
supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah
menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa

95 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Qiraah Alquran Dengan Nagham Ajam - Lagam Jawa;
Kasus Isra’ Mi’raj di Istana Negara, Jum’at, 15 Mei 2015

yang Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
(Q.S. Ibrahim: 14:4)

Allah SWT Maha Bijaksana, Maha Mengetahui juga Maha Mengatur


dalam menurunkan syariat dan segala ketentuan yang menyangkut manusia
tidak begitu saja dengan sifat Maha Perkasa-Nya. Sebaliknya Dia menurunkan
dan menyampaikan-Nya sesuai situasaiN dan kondisi masyarakat dalam setiap
generasinya. Suatu syariat yang diperuntukkan untuk suatu masyarakat belum
tentu syariat tersebut masih eksis dan dipertahankan dalam generasi masyarakat
berikutnya, seperti khitan yang disyariatkan sejak Nabi Ibrahim hingga kini, lain
dari khitan adalah pernikahan yang ternyata sudah ada revisi dari banyak segi.
Betapa indah perumpamaan yang menyatakan, bahwa satu periode rasul dengan
periode rasul berikutnya adalah ibarat orang yang membangun sebuah
bangunan yang apik, indah dan serasi sampai titik bata terakhir. Rasulullah SAW
bersabda, hadist dari sahabat Abu Hurairah (H.R. Bukhari) :4
“Sesungguhnya perumpamaan saya dan para nabi sebelum saya adalah seperti
seorang membangun rumah, dia membangun secara bagus dan indah terus
tertinggal satu bata, kemudian manusia mengelilingi (memperhatikan) dan
mereka heran karenanya, mereka berkata, coba batu ini diletakkan, saya adalah
batu itu, dan saya adalah penutup para n

Alquran itu ya Qiroah - Bacaan


Allah SWT itu adalah Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan pasti di luar alam,
karena memang Dia tidak butuh tempat sebagaimana jirim-makhluk yang selalu
membutuhkan tempat sekedar cukup seberapa besar dirinya, karena Allah Jalla
Sya’nuhu di luar alam agar Dia dikenal manusia yang berada di dalam alam,
maka Allah SWT memperkenalkan diri-Nya dan fihak yang Dia percaya untuk
menyampaikannya itu disebut dengan Rasulullah (utusan Allah). Untuk
membangun komunikasi tentu harus ada cara yang dipakai, satu diantaranya
adalah dengan bahasa verbal yang disebut dengan Kalamullah (ucapan/firman
Allah).
Kalamullah yang berupa Alquran secara jumlah surat dalam mushaf
Usmani bisa kita identifikasi jumlahnya yaitu 114 surat, walaupun faktualnya
secara kuantitas para ulama berbeda pendapat tentang besaran jumlah ayat
apalagi hurufnya, sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Amin Suma yang
mengutip beberapa pendapat ulama, yaitu menurut ulama Madinah jumlah
ayatnya sebanyak 6.210, ulama Basrah sebanyak 6.204, ulama Syam 6.226, ulama
Kufah 6.217 dan menurut Ibn Abbas sebanyak 6.616.5 Kalamullah yang manthuq

4 Imam Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Mesir: Dar Kutub), j.

4. H, 1864.
5 Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), j. 1,

h. 79-80

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No 1 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 96
Qosim Arsadani

ini berbeda dengan ayat kauniyah yang berbentuk jagat alam raya ini, ayat-ayat
kauniyah ini kalau kita lihat secara jenis mungkin bias kita lakukan tetapi bentuk
rincian satuan masing-masing dalam realitasnya tentu menjadi sangat sulit kalau
tidak dikatakan mustahil untuk kita bisa mengetahui detailnya. Tulisan ini
berusaha untuk menelisik dan melihat lebih dalam pendapat ulama tentang
Alquran dan bacaannya. Sebagaimana dipahami bahwa kalam Allah SWT dalam
system credo-keyakinan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah bersifat tanpa suara
dan juga tanpa huruf (‫) بال صوت وال حرف‬, hal ini identik dengan realitas wujud
Allah SWT itu sendiri yang bersifat Berbeda dengan makhluk ( ‫)مخالفة للحوادث‬.6 Di
dalam memahami firman Allah SWT ayat ke 2 dalam surat Yusuf (12):
"Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Quran dengan berbahasa Arab,
agar kamu memahaminya”.
Para ulama berbeda pendapat, bahwa kalam Allah SWT yang berupa
Alquran itu diturunkan dan disampaikan dalam bahasa Arab. Konsekwensinya
maka seluruh aspek terkait dengan Alquran harus menggunakan standar bahasa
arab, bukan bahasa lainnya. Barang siapa berpendapat lain, maka dia salah.
Demikian kata Abu Ubaidah juga Ibnu Faris.7 Kalau kita telisik pendapat para
ulama mengenai Alquran secara etimologi - arti kebahasaan ternyata para ulama
berbeda pendapat tentang ashaliyah-otentikasi lafal Alquran itu sendiri. Secara
bahasa ada yang mengatakan bahwa lafal Alquran itu asli tetapi ada juga yang
berpendapat tidak asli, tetapi sebaliknya bahwa kata Alquran itu diambil dan
mempunyai akar kata-musytaq (‫ )مشتق‬dari kata-kata yang lain.
Perbedaan pendapat tentang ashaliyah kata Alquran ini disamping
masalah penulisannya juga dari asal muasal kata Alquran itu sendiri, begitu juga
dalam pengucapannya. Ada yang berpendapat Alquran secara bahasa
mempunyai huruf hamzah - mahmuz ( ‫ )مهموز‬ada juga yang mengatakan tidak
ada hamzahnya- ghairu mahmuz (‫)غير مهموز‬. Menurut Imam Muhammad bin Idris
al-Syafi’i (w.155 H.) atau yang lebih dikenal dengan panggilan imam Syafi’i,8
Alquran dalam penulisan ataupun pengucapannya sama yaitu tanpa hamzah -
ghairu mahmuz (‫) غير مهموز‬, juga tidak mempunyai akar kata - ghairu musytaq ( ‫غير‬
‫)مشتق‬. Bagi imam Syafi’i, Alquran adalah nama kitab suci yang Allah SWT
turunkan kepada nabi terakhir, nabi Muhammad SAW sebagaimana kitab Taurat
kepada nabi Musa, kitab Zabur kepada nabi Dawud dan kitab Injil kepada nabi
Isa (semoga shalawat dan salam Allah untuk semua mereka, keluarga, sahabat,
kita juga semua para pengikut hingga akhir zaman, Amin) sehingga penulisan
dan pengucapannya adalah al-Quran (‫)القران‬. Sedangkan Imam al-Farra’, Yahya

6 Muhammad al-Sanusi, Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala Um al-Barahain, (Singapura, Jeddah: Al-

Haramain, tth), h. 112. Lihat juga pada; Abdullah al-Syarqawi, Al-Syarqawi ‘ala al-Hud-Hudi,
(Semarang: Maktabah wa Matba’ah Keluarga, tth.), h. 73-74
7 Abdurrahman al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996M./1416H.),

j. 1, h. 427
8 Subhi Shalih, Mabahist fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ilm lil Malayin, tth),h. 18

97 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Qiraah Alquran Dengan Nagham Ajam - Lagam Jawa;
Kasus Isra’ Mi’raj di Istana Negara, Jum’at, 15 Mei 2015

bin Ziyad al-Dailami salah seorang ahli nahwu dari Kufah berpendapat, bahwa
lafal Alquran itu tidak asli tetapi mempunyai akar kata – musytaq (‫ )مشتق‬dari kata
qa-ra-in (‫ )قرائن‬yang merupakan kata jama’ (plural) dari kata qarinah (‫ )قرينة‬yang
berarti tanda atau simbul, karena itu huruf hamzah dalam lafal Alquran adalah
asli.9 Namun demikian menurut imam al-Zajjaj, Ibrahim bin al-Sirri (w. 311H.),
lafal Alquran secara penulisan dan pengucapannya mempunyai hamzah (‫)مهموز‬
juga mempunyai akar kata ( ‫ )مشتق‬dari kata qar-u (‫ ) قرء‬yang berarti al-Jam’u (‫)الجمع‬
– mengumpulkan atau menghimpun, ikut timbangan kata (wazan) fu’lan (‫;)فعالن‬
hal ini disebabkan isi Alquran itu mengumpulkan dan menghimpun isi kitab-
kitab samawi terdahulu. Senada dengan al-Zajjaj adalah imam al-Lihyani,10 Abul
Hasan Ali bin Hazim (w. 215 H.) juga Manna’ Khalil al-Qatthan,11 menurut
mereka bahwa lafal Alquran itu mashdar mahmuz ( ‫ )مصدر مهموز‬ikut timbangan
kata al-Fu’lanu (‫ )الفعالن‬atau al-Ghufranu ( ‫ )الغفران‬juga diambil dari kata qa-ra-a ) ‫قرا‬
) dengan arti membaca ( ‫) تال‬. Dengan demikian, kata Alquran itu mashdar dari
qa-ra-a = yaq-ra-u = qur-an, qi-ra-ah dan qur’a-nan (‫ قرانا‬,‫ قراءة‬,‫ يقرا – قرءا‬- ‫)قرا‬, sehingga
secara etimologi, al-Qur-an berarti bacaan, kemudian kata mashdar (kata kerja
yang dibendakan) ini dibaca dengan isim maf’ul menjadi maqru’, artinya sesuatu
yang dibaca. Dengan demikian Alquran adalah sesuatu yang dibaca. Bahkan
dalam fakta sejarah maupun bukti empirik menunjukkan bahwa di kolong langit
ini, tidak satu pun bacaan yang jumlah pembacanya sebanyak pembaca Alquran,
demikian kata tulisan Muhammad Amin Suma.12

Imam Qiroah - Bacaan Alquran


Bahasan yang sangat urgent adalah tentang bagaimana wahyu Alquran
disampaikan, pewahyuannya kepada Rasulullah SAW oleh Allah SWT melalui
malaikat Jibril as ternyata tidak sesederhana apa yang kita bayangkan,
peringatan dini sudah Allah SWT sampaikan kepada nabi tatkala beliau dalam
keadaan masih ketakutan setelah pertemuan perdananya dengan malaikat Jibril
di gua Hira, disaat beliau tidur dengan berselimut tiba-tiba datang wahyu
sebagaimana tercantum dalam Q.S (74). Al- Muzammil: “Sesungguhnya Kami
akan menurunkan kapadamu Perkataan yang berat”.
Qaulan Staqila – Ucapan yang berat, Proses penyampaian wahyu atau
kalamullah ini bahkan ada cara yang dirasa sangat berat bagi Rasulullah SAW
yaitu apabila wahyu itu disampaikan seperti bunyi lonceng.13 Dalam proses

9 Subhi Shalih, Mabahist fi Ulum al-Qur’an, h. 18


10 Subhi Shalih, Mabahist fi Ulum al-Qur’an, h. 19
11 Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahist fi Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Mansyurat al-‘Ashr al-

Hadist, 1973 M./1393 H.), h. 20


12 Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-I lmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), j.

1, h.21
13 Musthafa Muhammad ‘Imarah, Jawahir al-Bukhari wa Syarh al-Qasthalani, (Indonesia:

Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, tth), h. 5

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No 1 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 98
Qosim Arsadani

penyampaiannya, awalnya malaikat Jibril as hanya menggunakan satu huruf


atau satu model dialek, kemudian Rasulullah SAW tidak henti-hentinya
meminta kepada Jibril as agar menambahkannya sampai akhirnya berhenti
diangka tujuh. Para ulama memahami kata tujuh huruf itu diantaranya dengan
tujuh dialek suku arab saat proses nuzul Alquran yaitu suku Quraisy, Hudzail,
Tsaqif, Hawazun, Kinanah, Tamim dan Yaman.14. Qiroah dalam arti suatu
metode atau cara membaca Alquran oleh seorang imam dimana ia berbeda
dengan lainnya.15 Qiroah dalam arti mazhab adalah suatu perkembangan sejarah
dalam tata cara membaca Alquran. Malaikat Jibril as dalam mewahyukan
Alquran kepada Rasulullah SAW yang dengan menggunakan tujuh huruf yang
oleh para ulama pahami dengan tujuh dialek ini pernah menimbulkan sedikit
ketegangan diantara para sahabat. Suatu ketika Umar bin Khatab shalat menjadi
makmum dari sahabat Hisyam bin Hakim yang membaca surat al-Furqan,
ternyata dipenilaian Umar apa yang dibaca sahabat Hisyam berbeda dengan apa
yang Umar dapatkan dari Rasulullah SAW., maka segera Umar menyampaikan
dan menanyakannya perihal bacaannnya sahabat Hisyam, setelah mereka
bertemu dan menyampaikan permasalahannya dan Rasulullah SAW
mendengarkan bacaan kedua sahabat tersebut, Rasululllah SAW bersabda:
”Seperti itulah Alquran diturunkan”.16
Setelah Rasulullah SAW wafat dan kekhilafahan dipegang oleh Abu
Bakar al-Shidiq ra ada regulasi berupa kodifikasi terhadap Alquran. Kodifikasi
ini didasarkan atas inisiasi dari Umar bin Khattab yang disampaikan kepada
khalifah Abu Bakar al-shiddiq. Pada mulanya khalifah tidak mau menerima ide
Umar ini karena dianggap “bid’ah”. Inisiasi Umar bin Khattab ini sebagai wujud
sifat hasasiyah (responsibilty) atas peristiwa dan terjadinya perang terhadap
kelompok murtad di daerah Yamamah, peristiwa itu telah menyebabkan 70
sahabat penghafal Alquran (huffadl) gugur menjadi syuhada.
Di era Abu Bakar ini Alquran dikodifikasi tanpa pilih dan pilah model
tulisan juga dialek bacaannya, semua diterima apabila dibuktikan dengan dua
alat bukti sekaligus, yaitu hapalan dan tulisan.17 Akhirnya khalifah Abu bakar
merespon usulan Umar bin Khattab dan memerintahkan juru tulis wahyu
(Kuttab al-Wahyi) pada masa rasulullah SAW yaitu Zaid bin Stabit dengan tim-
nya untuk segera melaksanakan dan mengkodifikasi Alquran. Setelah Abu bakar

14Manna’ Khalil al-Qathan, Mabahist fi Ulum al-Qur’an, h. 158


15Diantara kitab yang secara khusus m embahas tentang Qiroah Sab’ah secara mendetail
dan dalam, baik dari sisi konten cara membaca ataupun silsilah sanad imam yang bersangkutan
adalah Kitab “Al-Taisir fi al-Qiroat al-Sab’i) yang ditulis oleh al-Imam Abi Amr Ustman bin Sa’id
al-Dani (w. 444 H.). Imam Abu Amr adalah salah seorang yang rasyihk fi ilm - sangat alim dalam
bidang qiroah, beliau telah menulis tidak kurang dari 26 kitab yang terkait dengan masalah qiroah
al-Qur’an ini. (Jeddah: Maktabah al-Haramain, tth).
16 Manna’ Khalil al-Qathan, Mabahist fi Ulum al-Qur’an, h. 157. Muhammad Ali al-Shabuni,

Al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Alam al-Kutub, 1985 M.-1405 H.), h. 216
17 Subhi Shalih, Mabahist fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ilm lil Malayin, 1988), h. 79

99 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Qiraah Alquran Dengan Nagham Ajam - Lagam Jawa;
Kasus Isra’ Mi’raj di Istana Negara, Jum’at, 15 Mei 2015

wafat dan khilafah dipegang oleh Umar bin Khattab, terkait kodifikasi Alquran
tidak ada perubahan apapun, perubahan baru ada pada masa khalifah ketiga,
Usman bin Affan. Pada masanya, khalifah membuat regulasi agar tim yang
dipimpin Zaid bin Stabit kembali menulis dan mengkodifikasi Alquran hanya
dengan satu standar yaitu bahasa suku Quraisy, argument logis yang
dikemukakan oleh khalifah bahwa Alquran diturunkan dengan standar mereka
sebagaimana asal Nabi Muhammad SAW. Hasil kerja tim Zaid bin Stabit
kemudian disebut dengan Rasm Usmani dan dijadikan sebagai Mushaf al-Imam
(Buku Induk) yang harus dijadikan rujukan dalam penulisan Alquran
berikutnya.
Benang merah pemahaman tentang kemutawatiran Alquran sebagaimana
dijelaskan di atas, bisa juga kita temukan dengan cara kita mengikuti pendapat
ulama yang mengggunakan metode ta’wil dalam memahami ayat dalam bentuk
huruf tahaji (huruf hijaiyah yang secara independen dijadikan ayat pertama pada
surat), seperti “ ‫ “ الم‬yang dijadikan ayat pertama pada surat al-Baqarah;18 bahwa
huruf Alif diambil dari kata Allah, huruf Lam dari kata Malak Jibril sedangkan
huruf Mim dari kata Muhammad; Ta’wil yang diberikan adalah bahwa Alquran
cara penyampaiannya secara mutawatir dari Allah SWT kepada Jibril as dan
terus kepada Rasulullah SAW yang kemudian menyampaikannya kepada para
sahabat, secara bahasa dan bacaan semua sama tidak ada yang berubah dan
berkurang sedikitpun.
Dari semua sahabat yang menerima pengajaran bacaan Alquran dari
Rasulullah SAW yang terkenal selain dari empat khalifah al-Rasyidun (Abu
Bakar al-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib)
adalah; Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qil, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’ab,
Zaid bin Stabit, Abu Zaid bin al-Sakan dan Abu Darda.19 Setelah wilayah Islam
meluas dan para sahabat menyebar serta masing-masing membawa cara
membaca Alquran sesuai dengan yang mereka terima dari gurunya yaitu
Rasulullah SAW., maka timbul pula akhirnya ragam cara membaca Alquran.
Dari ragam cara membaca Alquran ini ada yang tidak bertahan sampai kini,
tetapi ada juga yang bertahan sampai kita sekarang.
Eksistensi ragam bacaan yang sampai saat sekarang ini dikarenakan pola
atau cara itu disamping dibaca terus menerus oleh si Qori (baca; imam) juga
dilanjutkan oleh para muridnya dan lebih lagi ditulis sehingga dari generasi ke
generasi bisa mempelajarinya. Dari sekian banyak imam qiroah yang terkenal
adalah sebanyak tujuh orang, sehingga qiroahnya disebut dengan “Qiroah Sab’ah

18Hasil diskusi dengan beberapa fihak di forum kajian al-Qur’an.


19Abdul Aziz al-Zamzami, Al-Iksir fi Tarjamah Nadzmi Ilmi al-Tafsir, (Semarang: Maktabah
Thoha Putra, tth), h. 30-31

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No 1 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 100
Qosim Arsadani

- Tujuh Qiroah”,20 Mereka adalah: imam Nafi’, imam Ashim, imam Hamzah,
imam Abdullah bin Amir, imam Abdullah bin Kastir, imam Abu Amr bin “Alla
dan imam Ali bin al-Kisa’i.

Indah dalam Baca Alquran


Alquran dipandang sebagai bacaan secara umum boleh dibaca siapa,
dimana dan kapan saja. Tetapi menjadi menarik tatkala Alquran dibaca dengan
suara yang merdu, indah dan menggunakan lagu seperti yang marak belakangan
ini. Pembacaan itu ada yang dilakukan oleh orang perorangan atau kelompok,
baik secara tadarusan, ikhtiyari atau karena adanya event, atau malah dijadikan
perlombaan dalam MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an) baik ditingkat regional
atau bahkan internasional. Membaca secara indah Alquran ternyata merupakan
sunnah Rasulullah SAW, kita cermati Hadist riwayat imam Muslim dalam bab
“Istihbab Tahsin al-Shaut bi Alquran”, dari sahabat Abu Huraira h ra, Rasulullah
SAW bersabda:21
“Dari Abu Hurairah, bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda: Allah
tidak mengizinkan melantunkan membaca sesuatu dengan keras kepada Nabi
kecuali dalam melantunkan (taghanniy) Alquran”. (H.R. Imam Muslim).

Baru-baru ini tepatnya pada hari jum’at malam 15 Mei 2015 /27 Rajab
1436 H. jagad Nusantara dihebohkan oleh perhelatan akbar berupa Peringatan
Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Disebut perhelatan besar karena
pelaksananya adalah Negara; semua pejabat tinggi Negara diundang dan hadir
terutamanya Presiden ke 7 RI Bapak Ir. H. Joko Widodo juga Wapres Drs. H.
Yusuf Kalla, tidak ketinggalan para menteri Kabinet Kerja terutama Menteri
Agama Lukmanul Hakim Syaifuddin karena ini adalah gawean Kementerian
Agama, bahkan hadir juga para Duta Besar.
Sangat menarik dan menggelitik untuk kita simak karena diantara
rangkaian acaranya adalah pembacaan ayat suci Alquran dengan cara yang
“tidak lazim”, umumnya nagham atau lagu yang biasa dipakai untuk membaca
Alquran adalah Bayati, Shoba, Hijaz, Nahawand, Rost, Jiharkah dan atau Sikah.
Eh ini malah lagam yang nyentrik karena berupa lagam daerah asli Indonesia
yaitu lagam Jawa yang dibawakan oleh Dr. Muhammad Yaser Arafat, MA.
Alquran memang luar biasa, sebagai kitab suci umat Islam yang merupakan
mayoritas penduduk Indonesia ini memang mengandung nuansa syair dan
sajak, bahkan lebih indah karena semua kalimatnya ada nilai yang tidak dipunya
oleh sajak apapun, tetapi Alquran bukan kitab syair dan sajak, dia adalah kitab
hidayah. Mari kita perhatikan pada surat ke 112 (al-Ikhlas), surat ke 113 (al-

20 Muhammad Ali al-Shabuni, Al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: ‘Alam al-Kutub, cet.

Pertama, 1985 M./1405 H.), h. 233. Abdul Aziz al-Zamzami, Al-Iksir fi Tarjamah Nadzmi Ilmi al-Tafsir,
(Semarang: Maktabah Thoha Putra, tth), h. 32
21 Imam Muslim, Shahih Muslim, (Mesir: Isa al-Babi al-Halbi wa Syirkah, tth), h. 317

101 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Qiraah Alquran Dengan Nagham Ajam - Lagam Jawa;
Kasus Isra’ Mi’raj di Istana Negara, Jum’at, 15 Mei 2015

Falaq) juga surat yang ke 114 yang merupakan surat terakhir Alquran (an-Nas).
Namun begitu Alquran bukanlah kitab syair yang boleh kita baca selayaknya
syair, bahkan lebih dari itu tidaklah layak bagi seorang nabi untuk bersyair,
bahkan syair bukanlah ucapan para rasul, demikian disampaikan oleh Syaikh
Hamami Zadah dalam kitabnya yang khusus tentang surat Yasiin,22 ini langsung
jaminan dari Allah SWT sebagaimana firman-Nya:
“Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu
tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab
yang memberi penerangan”(Q.S. Yasin:36:69).

Sebagai teks bacaan, Alquran secara bahasa tentunya sama dengan


bacaan-bacaan pada umumnya, boleh dibaca kapan dan dimana saja begitu pula
dalam keadaan apa saja, namun demikian ia menjadi tidak sama dan bahkan
memang harus tidak sama dan berbeda dengan teks bacaan apapun dilihat dari
Alquran sebagai Kalamullah. Perspektif ini dapat dilihat dari definisi Alquran
yang disampaikan oleh para ulama, Alquran adalah 23 “Kalamullah yang mu’jiz
(bernilai mu’jizat)”, diturunkan kepada nabi Muhammad SAW seorang penutup
para nabi dan rasul, melalui perantara malaikat Jibril al-Amin, ditulis dalam
mushaf, disampaikan kepada kita secara mutawatir, dinilai ibadah membacanya,
diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas”.24 Dengan
melihat dan mengikuti definisi tentang arti Alquran secara terminology yang
telah disampaikan di atas, kita garis bawahi kata,”‫ – المنقول الينا بالتواتر‬disampaikan
kepada kita secara mutawatir”. Kata mutawatir secara umum berarti
penyampaian sesuatu secara sama oleh semua generasi sehingga tidak mungkin
adanya pembelokan atau kebohongan.25 Malaikat Jibril as itu menerima wahyu
Alquran dari Allah SWT secara langsung secara lafal dan makna dengan cara
yang khusus, kemudian malaikat Jibril menyampaikannya kepada nabi
Muhammad SAW sama persis dan persis sama sebagaimana beliau terima dari
Allah SWT., dalam hal ini malaikat Jibril bukan sekedar menghafalnya dari Lauh
al-Mahfudh, apalagi hanya menyampaikan arti atau maksudnya saja.26 Sehingga
Alquran ini benar-benar murni kalam Allah SWT. Kita perhatikan pernyataan-
Nya kepada Muhammad bin Abdullah, Rasulullah. SAW. “Dan Sesungguhnya

22 Hamami Zadah, Tafsir Surah Yasiin, (Surabaya, Indonesia: Maktabah Dar al-Ilm), tth., h.
26
23 Muhammad Ali al-Shabuni, Al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: ‘Alam al-Kutub, cet.

Pertama, 1985 M./1405 H.), h. 8


24 Lihat dalam Manna’ Khalil al-Qathan, Mabahist fi Ulum al-Qur’an, h. 20-21. Muhammad

Ali al-Shabuni, Al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: ‘Alam al-Kutub, cet. Pertama, 1985 M./1405 H.),
h. 8
25 Hafidz Hasan al-Mas’udi, Minhah al-Mughist fi Ilm Musthalah al-Hadist, (Semarang:

Pustaka al-Alawiyah, tth.), h. 10. Lihat juga pada, Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-
Maliki al-Makki al-Hasani, Al-Minhal al-Latif fi Ushul al-Hadist al-Syarif, (Malang: Haiah al-Shofwah,
tth.), h. 94
26 Lihat Manna’ Khalil al-Qathan, Mabahist fi Ulum al-Qur’an, h. 35-36

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No 1 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 102
Qosim Arsadani

kamu benar-benar diberi Al-Qur'an dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi
Maha mengetahui”. (Q.S. al-Naml:27:6)
Pada ayat yang lain, juga dapat kita pahami bahwa Rasulullah SAW
hanya mengikuti bacaan Alquran yang diterimanya, tidak lebih juga tidak
kurang, kita perhatikan firman Allah SWT. Dalam al-Bayyinat, surat ke 75 pada
ayat 17 dan 18. “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu”.
Taqdir Allah SWT. yang telah menentukan manusia sebagai mahkluk
berakal dan berbudaya disamping juga dianugerahi nafsu, dengan modal seperti
itu manusia di dunia ini dianugerahi oleh penciptanya mempunyai dwi fungsi
sekaligus yang ternyata hal itu tidak dianugerahkan kepada makhluk-mahkluk
lainnya, yaitu sebagai hamba Allah (Abdullah) sekaligus wakil Allah
(Khalifatullah). Dalam mengemban fungsinya ternyata manusia selalu
berkecenderungan membuat sesuatu yang baru (tahdist).
Bacaan Alquran adalah hal yang sacral dan bersifat ta’abbudi, dan
sampainya kepada kita adalah secara mutawatir dari sejak diturunkan kepada
Jibril as dan Rasulullah SAW terus kepada para sahabat dan sampai kepada kita
saat ini bahkan sampai titik generasi terakhir manusia nanti adalah sama persis
dan persis sama. Tetapi dalam masalah nagham-lagam-lagu Rasulullah SAW
tidak pernah mengajarkannya kepada para sahabat, dengan demikian nagham
adalah hasil ijtihadi ulama. Kalau perpsektif ini yang kita pakai, maka barang
siapa yang membaca Alquran dengan menggunakan lagu adalah bagian dari
ibadah muamalah, artinya ibadah tersebut tidak bersifat hubungan langsung
antara seorang manusia dengan Allah sebagai Tuhannya. Dalam ibadah
muamalah Allah SWT dan juga Rasulullah SAW hanya mengatur secara global
dan umum saja disini berarti bacaan Alquran, sedangkan bagaimana nagham,
lagam atau lagu diserahkan kepada kreatifitas manusia.
Hal ini sejalan dengan arti muamalah itu sendiri yang secara etimologi
terambil dari kata ‫ معاملة‬- ‫ عامل – يعامل‬yang ternyata isim mashdar (kata kerja yang
dibendakan) dari kata ‫ عمل‬yang mendapat tambahan huruf alif, maka hal itu
berarti berfungsi musyarakah bain al-istnaini (adanya hubungan kerja antara dua
fihak).27 Kata muamalah didefinisikan sebagai ibadah yang tidak secara langsung
berhubungan dengan Allah SWT tetapi berupa adanya interaksi antara manusia
dengan sesama atau lingkungannya. Dalam muamalah kaidah fikih fersi imam
Muhammad bin Idris al-Syafi’i (imam Syafi’i) dan banyak diikuti oleh para

Muhammad Ma’shum bin Ali, Al-Amstilah al-Tashrifiyah, (Semarang: Pustaka al-


27

Alawiyah), tth., h. 14-15

103 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Qiraah Alquran Dengan Nagham Ajam - Lagam Jawa;
Kasus Isra’ Mi’raj di Istana Negara, Jum’at, 15 Mei 2015

ulama lainya yang berlaku adalah28“ ‫– االصل فى المعاملة االباحة حتى يجد الدليل على تحريمها‬
Asal dalam muamalah adalah ibahah - boleh sampai ada dalil yang
mengharamkannya”.
Peringatan Isra’ Mi’raj Nabi besar Muhammad SAW yang dilaksanakan
di Istana oleh pemerintah RI dalam sesi Tilawah Alquran sang Qori’
menyampaikannya dengan lagam jawa. Alquran adalah sesuatu yang indah
(malih), ia akan bertambah indah apabila dibaca dan disampaikan dengan indah.
Allah SWT juga indah bahkan Maha Indah suka kepada yang indah, begitu pula
Rasulullah SAW sangat mencintai keindahan. Status hukumnya adalah sunnat
membaca Alquran dengan suara bagus dan merdu, bahkan menurut imam
Syarafuddin al-Nawawi juga sunnat meminta atau menyuruh orang yang bagus
suaranya untuk membacakannya.29 Karena suara yang merdu akan lebih
mendatangkan kekhusyuan dan kenyamanan pendengar sehingga lebih
menyampaikan misi Alquran itu sendiri. Rasulullah SAW memberikan apresiasi
kepada sahabat Abu Musa Asy’ari sebagai salah seorang yang mendapat
anugerah suara yang merdu laksana serulingnya nabi Dawud as. Kata tartil
adalah bahasa umum yang dipakai oleh Allah SWT dalam memerintahkan
kepada Rasulullah SAW saat membaca al- Qur’an :” ‫ ورتل القران ترتيال‬- Dan bacalah
Al Qur’an itu dengan tartil (pen. perlahan-lahan)”.(Q.S. al-Muzammil:73:4).
Banyak hadist yang secara spesifik Rasulullah SAW memerintahkan agar kita
membaca Alquran dengan suara terindah, diantaranya beliau bersabda :30 ‫زينوا‬
‫ – القران باصواتكم‬Hiasilah Alquran dengan suara kalian. (H.R. Ibn Hibban dari
sahabat Barra bin Azib). Dalam kesempatan yang lain, beliau juga bersabda; ‫حسنوا‬
dengan suara AlquranBuatlah indah - 31‫ فان الصوت الحسن يزيد القران حسنا‬,‫القران باصواتكم‬
kalian, karena sesungguhnya suara yang indah membuat Alquran tambah indah.
(H.R. Darimi dari sahabat Barra bin Azib).

Lagu Baca Alquran


Keindahan Alquran akan tampak lebih nyata apabila ia dibaca secara
benar dan dengan suara merdu, betapa hati dan perasaan sering hanyut karena
merasa nyaman, tentram dan tidak jarang tanpa sadar mulut sipendengar
bergumam ‫ هللا‬dengan hati tergetar saat lantunan ayat suci itu dibaca. Kalau kita
perhatikan pada acara Isra’ Mi’raj di Istana yang telah menimbulkan pro dan
kontra. Pada satu sisi para tamu undangan betapa banyak yang termangu-

28 Muhammad Shidqi bin Ahmad al-Burniu, Al-Wajiz fi Idlaih Qawaid al-Figh al-Kulliyah,

(Riyadh:Muassasah al-Risalah1983 M.-1404H.), h. 109. Muhammad Jamaluddin bin Ahmad, Al-


‘Inayah fi al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Jombang:Al-Muhibbin, 1412H.), h. 28.
29 Abdurrahman al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr,
1996M./1416H.), j. 1, h. 337
30 Imam Ibn Hibban, Shahih Ibn Hibban, (Maktabah Syamilah: Shahih Ibn Hibban, j. 3. H.

25).
31 Imam al-Darimi, Sunan al-Darimi, (Maktabah Syamilah: Sunan al-Darimi, j. 4, h. 2194).

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No 1 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 104
Qosim Arsadani

mangu mendengarkan qiroah Alquran dengan lagam Jawa tanda mereka


menikmati dan setuju, seolah mereka bilang ok, why not?
Dibagian lain “diluaran sana” banyak yang bersungut-sungut tanda
tidak sepaham dan tidak setuju dengan apa yang terjadi di Istana. Mereka
bahkan ada yang mau mengusulkan agar menteri Agama diganti saja, dianggap
telah melecehkan agama. Lantas bagaimana sebenarnya Nagham – lagam - lagu
dalam membaca Alquran? Ilmu yang mengajarkan benar dan juga keindahan
dalam membaca Alquran disebut Ilmu Tajwid.
Kata tajwid berasal dari kata: ‫ يجود – تجويد‬- ‫ – جود‬jawwada – yujawwidu –
tajwid, yang berarti membuat indah. Ilmu tajwid adalah ilmu yang mempelajari
tentang bagaimana cara mengucapkan huruf hijaiyah sesuai dengan aturan yang
semestinya, mengetahui panjang juga pendeknya bacaan, jelas (idzhar), idgham,
tafkhim-tarqiq (tebal-tipis), waqaf (berhenti), imalah (tengah antara fathah dan
kasrah) juga ihkfa (samar) dan lainnya. Ilmu ini tidak bisa dipelajari hanya
dengan membaca kitab atau buku, tetapi harus bermusyafahah – belajar secara
langsung dengan guru, demikian dikatakan oleh Manna’ Khalil Qatthan yang
mengutip pendapatnya Ibn al-Jaziri yang oleh al-Suyuthi disebutnya sebagai
syaikh syuyukhina-guru para guru kita (imam qiroah).32
Huruf hijaiyah yang dipakai dalam menyusun lafal dan kalimat bahasa
Arab yang ternyata juga dipakai oleh Kalamullah Alquran memang mempunyai
karakteristik sangat berbeda dengan bahasa apapun di kolong jagad. Hal itu bisa
dilihat dari banyak sisi; bisa dari gramatika (nahwu), bisa juga dari kekayaan
susunan asal dan perubahan kata yang ternyata punya arti sangat jauh berbeda
dari asal katanya (sharaf); belum lagi lafal yang kelihatan sama cara menulis dan
juga hurufnya tetapi berbeda harakat, maka berbeda bunyi dan juga artinya;
sekedar contoh:33 kata ‫ ; قدر‬apabila kita ba ca Qa-da-run artinya ukuran, apabila
kita baca qid-run artinya panci, tetapi begitu kita baca Qad-run maka artinya
adalah kemuliaan atau keagungan dan masih sangat banyak yang lainnya, belum
lagi dari sisi ada tidaknya tambahan pada suatu lafal yang juga pasti merubah
arti yang dikandungnya.
Alquran dilihat dari bacaan dan cara membacanya secara tartil adalah
bersifat mutawatir, ada dan harus tetap adanya sejak zaman awal nuzulnya
sampai kapanpun sebagai dijelaskan di atas, tetapi membacanya secara indah
dengan lagu, nagham, atau lagam maka adanya jauh setelah proses nuzul
Alquran itu selesai, dengan argumentasi logika ini, maka adanyanya nagham
atau lagam tidak qath’i karena tidak mutawatir. Karena nagham atau lagu ini

32 Manna’ Khalil al-Qathan, Mabahist fi Ulum al-Qur’an, h. 188. Abdurrahman Al-Suyuthi,

Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996 M.-1416 H.), j. 1, h. 236.
33 Lihat dalam Kamaluddin Nurdin Marjuni, Kamus Syawarifiyyah, (Jakarta: Ciputat Press

dan Ma’had Syawarifiyyah, 2007), h. 471-472.

105 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Qiraah Alquran Dengan Nagham Ajam - Lagam Jawa;
Kasus Isra’ Mi’raj di Istana Negara, Jum’at, 15 Mei 2015

tidak qath’i, maka ia diposisikan sebagai bagian dari ibadah muamalah, dan
karenanya menurut penulis berlakulah kaidah sebagaimana disebutkan di atas.
Memang konsekwensi logis dalam usaha memperluas wilayah dakwah
Islamiyah para sahabat kemudian menyebar ke seluruh pelosok negeri dengan
membawa Qira’at masing-masing. Hal ini menyebabkan berbeda-beda juga
ketika Tabi’in mengambil Qira’at dari para Sahabat. Demikian halnya dengan
Tabiut-tabi’in yang berbeda-beda dalam mengambil Qira’at dari para Tabi’in.34
Kendati demikian ada dasar teori akademik yang disepakati sebagai dasar
rancang bangun untuk menilai suatu qiroah itu shahih dan tidaknya, serta boleh
diamalkan dalam kehidupan baik ketika shalat atau hanya tadarusan, baik
dilakukan secara individual atau secara kolektif. Para ulama menetapkan tiga
syarat sah dan diterimanya qiraat.35 yaitu :1) Sesuai dengan salah satu kaidah
bahasa Arab.2) Sesuai dengan tulisan pada salah satu mushaf Usmani, walaupun
hanya tersirat. 3) Shahih sanadnya.
Kendati ilmu qiraat berhubungan dengan pelafalan ayat-ayat Alquran, ia
tidak memiliki kaitan dengan melagukan bacaan Alquran. Khusus untuk
masalah melagukan Alquran, dijelaskan dalam ilmu nagham, yaitu ilmu tentang
seni membaca Alquran. Eksistensi dan keberadaan ilmu nagham secara ekplisit
disebutkan dalam surat Al-Muzzammil ayat 4 di atas. Di berbagai wilayah negeri
Islam berkembang aneka ragam seni membaca Alquran. Seni baca indah atau
nagham yang dikenal adalah; Nahawan, Bayati, Hijaz, Shaba, Ras, Jiharkah,
Syika, dan lainnya.
Semua jenis lagu atau irama itu tidak ada kaitannya dengan ilmu Qiraat
Sab’ah seperti yang dijelaskan di atas. Ilmu nagham ini semata-mata hanya
merupakan seni membaca secara malih (indah) terkait dengan bagaimana
melafalkan ayat Alquran. Menurut penelusuran data, pada umumnya, para
pembaca Alquran dari Mesir yang membawa seni baca Alquran ke Indonesia.
Mereka mengajarkan berbagai macam lagu dan memberikan beragam variasinya
serta membuat harmoni yang khas. Seni seperti itulah yang sering kali
diperlombakan dalam acara Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ).
Nagham-lagam adalah merupakan salah satu bentuk ekspresi seni dalam
Islam. Nagham ini telah tumbuh sejak lama. Ibnu Manzur menyatakan bahwa
ada dua teori tentang asal mula munculnya naghom Alquran. Pertama, nagham
Alquran berasal dari nyanyian nenek moyang bangsa Arab. Kedua, nagham
terinspirasi dari nyanyian budak-budak kafir yang menjadi tawanan perang.
Kedua teori tersebut menegaskan bahwa lagu-lagu dalam membaca Alquran
berasal dari khazanah tradisional Arab. Dengan teori ini pula, ditegaskan bahwa

34 Abdul Aziz al-Zamzami, Al-Iksir fi Tarjamah Nadzmi Ilmi al-Tafsir, (Semarang: Maktabah

Thoha Putra, tth), h. 28-31


35 Jalal al-Din al-Suyuthi, Abd. Al-Rahman, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr,

1996 M.-1416 H.), j. 1, h. 236-238

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No 1 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 106
Qosim Arsadani

lagu-lagu dalam membaca Alquran idealnya bernuansa irama Arab. Dalam


tautan sejarah, bahwa seni baca Alquran baru menampakkan semangat dan
geliatnya pada awal abad ke-20 M. yang berpusat di Makkah dan Madinah serta
di Indonesia.

Kesimpulan
Alquran secara etimologi yang berarti bacaan pada dasarnya bisa
diperspektifkan sama dengan apapun nama bacaan, baik dari sisi bahasa
ataupun cara membacanya. Namun demikian sebagai Kalamullah Alquran
mempunyai nilai yang amat sangat berbeda dengan kalam atau ucapan siapa
dan apapun. Sebagaimana diinformasikan sendiri oleh shohibul kalam Allah Jalla
Jalaluhu bahwa nabi Muhammad SAW hanya diperintahkan menyampaikan apa
adanya Alquran itu sebagaimana beliau terima sebagaimana bunyi Q.S. Al-
Bayyinat (75): 18 di atas. Maka dengan dasar ayat tersebut, menjadi tiada berhak
siapapun dan atas nama apapun untuk mengubah bacaan Alquran, baik dengan
cara menambah ataupun mengurangi apalagi menghilangkan sebagian. Bacaan
Alquran harus Tasalsul sanad-bersambung dan tidak terputusnya sanad, inilah
yang lazim disebut dengan mutawatir.
Setiap muslim pasti sepakat bahwa Alquran kitab suci yang indah
“syai’un malih”, ia akan menjadi semakin indah kalau dibaca secara indah dengan
menggunakan nagham atau lagam dan suara yang merdu. Secara bacaan
Alquran itu bersifat mutawatir artinya sejak dari awal malaikat Jibril
menerimanya dari Allah SWT yang kemudian disampaikan kepada Rasulullah
SAW begitu pula rasul dalam menyampaikan kembali kepada para sahabat dan
begitu seterusnya dalam lintas sejarah pergantian dan berbedanya generasi
adalah sama. Menjadi kebanggaan tersendiri apabila seseorang dianugerahi
suara yang merdu sebagaimana Rasulullah SAW memberikan apresiasi kepada
sahabat Abu Musa al-Asy’ari, kontra produktif bisa saja terjadi apabila nagham
yang dipakai tidak lagi nagham Arab sebagai pakem kelaziman tetapi justru
nagham atau lagam ajam (non arab) sebagaimana yang pernah terjadi.
Hemat penulis, sebagai proses tafhim dan memberikan pencerahan
kepada masyarakat, Alquran harus dipahami dari dua sisi sekaligus yaitu kontek
bacaan dan cara membacanya. Dilihat dari sudut pandang bacaan, maka Alquran
adalah mutawatir sedangkan cara membacanya dengan nagham adalah bagian
dari olah rasa manusia dalam keinginannya lebih bisa membuat Alquran
semakin indah, sehingga membaca Alquran menggunakan nagham adalah
bagian dari ibadah muamalah. Sebagai bagian dari ibadah muamalah, maka
baginya juga berlaku kaidah muamalah yaitu bahwa “asal segala sesuatu adalah
boleh sampai ada dalil yang melarangnya”. Wallahu a’lam bi al-Shawab.

107 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Qiraah Alquran Dengan Nagham Ajam - Lagam Jawa;
Kasus Isra’ Mi’raj di Istana Negara, Jum’at, 15 Mei 2015

Daftar Pustaka
Aji, Ahmad Mukri. Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialektika Pemikiran Hukum
Islam, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2012.
Aji, Ahmad Mukri. Kontekstualisasi Ijtihad Dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam
di Indonesia, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010. Al-Bukhari, Imam Ismail bin
Ibrahim bin Mughirah, Shahih Bukhari, (Mesir: Dar Kutub)
Al-Burniu, Muhammad Shidqi bin Ahmad, Al-Wajiz fi Idlaih Qawaid al-Fiqh al-
Kulliyah, (Riyadh: Muassasah al-Risalah), 1983 M./1412 H.
Al-Darimi, Imam, Sunan al-Darimi, Maktabah Syamilah: Sunan al-Darimi, j. 4.
Al-Hasani, Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki al-Makki, Al-
Minhal al-Latif fi Ushul al-Hadist al-Syarif, (Malang: Haiah al-Shofwah).
Muslim, Imam, Shahih Muslim, (Mesir: Isa al-Babi al-Halbi wa Syirkah).
Al-Mas’udi, Hafidz Hasan, Minhah al-Mughist fi Ilm Musthalah al-Hadist,
(Semarang: Pustaka al-Alawiyah).
Al-Qatthan, Manna’ Khalil, Mabahist fi Ulum Alquran, (Riyadh: Mansyurat al-
‘Ashr al-Hadist, 1973 M./1393 H).
Al-Samarqandi, Nashr bin Muhammad al-Hanafi, Qathr al-Ghaist fi Syarh Abi
Laist, (Surabaya: Said bin Nabhan wa Auladuh).
Al-Sanusi, Muhammad, Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala Um al-Barahain, (Singapura,
Jeddah: Al-Haramain).
Al-Syarqawi, Al-Syarqawi ‘ala al-Hud-Hudi, (Semarang: Maktabah wa Matba’ah
Keluarga).
Al-Shabuni, Muhammad Ali, Al-Tibyan fi Ulum Alquran, (Beirut: ‘Alam al-Kutub,
cet. Pertama, 1985 M./1405 H.).
Suma, Muhammad Amin, Studi Ilmu-Ilmu Alquran, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000.
Subhi Shalih, Mabahist fi Ulum Alquran, (Beirut: Dar al-Ilm lil Malayin).
Al-Suyuthi, Abdurrahman, Al-Itqan fi Ulum Alquran, (Beirut: Dar al-Fikr,
1996M./1416H.).
Hibban, Imam Ibn Hibban, Shahih Ibn Hibban, (Maktabah Syamilah: Shahih Ibn
Hibban, j. 3.).
Imarah, Musthafa Muhammad, Jawahir al-Bukhari wa Syarh al-Qasthalani,
(Indonesia: Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah).
Kamaluddin Nurdin Marjuni, Kamus Syawarifiyyah, (Jakarta: Ciputat Press dan
Ma’had Syawarifiyyah), 2007
Muhammad Ma’shum bin Ali, Al-Amstilah al-Tashrifiyah, (Semarang: Pustaka al-
Alawiyah).
Muhammad Jamaluddin bin Ahmad, Al-‘Inayah fi al-Qawaid al-Fiqhiyyah,
(Jombang: Maktabah al-Muhibbin), 1412 H
Al-Zamzami, Abdul Aziz; Al-Iksir fi Tarjamah Nadzmi Ilmi al-Tafsir, (Semarang:
Maktabah Thoha Putra).

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No 1 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 108

Anda mungkin juga menyukai