Anda di halaman 1dari 20

PERAN PERAWAT JIWA DALAM MENANGGULANGI DAMPAK

PSIKOLOGIS KORBAN BENCANA ALAM

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Jiwa


Program Studi Profesi Ners yang Dibina Oleh
Ibu Esti Widiani, S.Kep, Ns, M.Kep.

Disusun Oleh

Putri Asni Nilam (P17212195062)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
MALANG
2019
Gambaran Risiko Gangguan Jiwa pada Korban Bencana Alam Gempa di
Lombok Nusa Tenggara Barat
Oleh : Dwidiyanti, Irwan Hadi, Reza Indra Wiguna, Hasanah Eka Wahyu Ningsih
Journal of Holistic Nursing And Health Sience. Volume 1, Nomor 2, Oktober
2018
Available Online at https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/hnhs

PENDAHULUAN

Bencana alam gempa bumi meningkatkan perhatian akan masalah

kesehatan yang ditimbulkan secara global (Saleema, 2012). Lebih dari 500.000 kali

gempa dilaporkan terjadi di seluruh penjuru dunia dalam tiap (Ramirez, 2005).

Korban gempa tidak hanya mengalami masalah darurat seperti pembangunan,

makanan, kondisi fisik akibat gempa namun juga masalah kesehatan mental

(Surendra, 2017). Sebuah survey menunjukkan bahwa, setelah peristiwa bencana,

sebagian besar populasi korban bencana tetap memiliki reaksi psikologis yang

normal, sekitar 15-20% akan mengalami gangguan mental ringan atau sedang yang

merujuk pada kondisi PTSD, sementara 3-4% akan mengalami gangguan berat

seperti psikosis, depresi berat dan kecemasan yang tinggi (WHO, 2013). Sebuah

systematic review masalah kesehatan mental setelah gempa bumi di Jepang pada

tahun 2011 menemukan bahwa kondisi PTSD sekitar 10-53,5% dialami oleh korban

gempa, sementara kondisi depresi dialami oleh sekitar 3-43,7% korban gempa

(Ando, 2011).

Tanggal 5 Agustus 2018 terjadi gempa bumi berkekuatan 7 SR yang

melanda Pulau Lombok, Indonesia dengan kedalaman 32 km, setelah serangkaian

gempa sejak awal Juli 2018 dengan kekuatan 6,4 SR. Sekitar 390 orang meninggal

dunia, 1447+ lukaluka, 67.875 rumah rusak, 468 sekolah rusak dan 352.793 orang
mengungsi (Damanik, 2018). Berdasarkan hasil survey menunjukkan bahwa masih

banyak masyarakat yang ketakutan atau khawatir jika gempa terulang kembali

sehingga masih belum ingin kembali ke rumah. Selain itu masyarakat merasakan

kesedihan tidak memiliki tempat tinggal akibat rumah yang hancur atau retak.

Trauma psikologis setelah bencana alam akan semakin memperburuk kondisi atau

masalah psikologis yang telah ada sebelum gempa terjadi (Surendra, 2017).

Distress yang berkaitan dengan bencana alam akan berlangsung lama setelah

insiden (Ando, 2011 & Jordan, 2010). Kondisi tersebut akan semakin memburuk

bila tidak dideteksi sejak dini dan ditangani dengan baik, sehingga membutuhkan

pelayanan kesehatan mental (trauma healing) (Surendra, 2017).

Sebuah intervensi penanganan trauma psikologis paska bencana dilakukan

untuk menindaklanjuti kebutuhan pelayanan kesehatan mental bagi korban bencana

melalui tindakan pelatihan petugas kesehatan untuk menyediakan dukungan

psikososial (Walker, 2016). Petugas kesehatan yang telah menerima pelatihan akan

mengaplikasikan layanan kesehatan mental sebagai suatu bentuk pemenuhan

kebutuhan layanan dalamm jangka waktu panjang dan berkelanjutan. Hal tersebut

merupakan bagian dari usaha perbaikan sistem kesehatan di masyarakat (Surendra,

2017). Salah satu bentuk layanan kesehatan trauma healing yang dapat

diimplementasikan oleh perawat untuk mengatasi masalah psikososial atau

gangguan mental yaitu mindfulness spiritual. Berdasarkan hasil studi literature,

Mindfulness mampu mendorong perilaku yang positif dan dapat menurunkan

masalah psikologis diantaranya; stress, kecemasan dan depresi (Walker, 2016).

Sebuah penelitian tentang Mindfullness menunjukkan bahwa klien yang

mendapatkan terapi mindfulness dengan pendekatan spiritual dapat mengontrol


marah dan menenangkan hati klien, serta mampu meningkatkan kemandirian pasien

dalam menjalankan fungsi kehidupannya (Dwidiyanti, 2017). Penelitian lain yang

dilakukan oleh Ijaz et al. pada tahun 2017 menemukan bahwa individu yang

beribadah, shalat secara rutin dengan mindfulness atau penuh kesadaran memiliki

kesehatan mental yang jauh lebih baik dibandingkan dengan individu yang tidak

melakukan ibadah secara rutin dan dengan mindfulness (Ijaz, 2017). Tujuan

penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi risiko gangguan jiwa, masalahmasalah

yang muncul pada korban gempa Lombok Nusa Tenggara Barat.

ANALISIS JURNAL BERDASARKAN METODE PICO

 Populasi

Survey dilakukan pada sekitar 88 korban bencana alam gempa di wilayah

kerja Puskesmas Penimbung dan Puskesmas Gangga.

 Intervensi

Penelitian ini merupakan penelitian mix method kuantitatif dan kualitatif.

Penelitian ini dilakukan setelah diadakannya pelatihan trauma healing kepada

dosen Stikes Yarsi Mataram, petugas dan kader kesehatan Puskesmas

Penimbung dan Gangga. Metode kuantitatif melalui survey dilakukan oleh

dosen, petugas dan kader kesehatan untuk mendata jumlah korban bencana

alam gempa yang mengalami risiko gangguan jiwa. Metode kualitatif

dilakukan dengan metode question answer masalah yang dialami oleh

korban bencana alam gempa. Pengumpulan data kualitatif dilakukan setelah

penerapan trauma healing: Mindfulness Spiritual pada korban gempa.


Instrument Kuesioner Deteksi Dini Risiko Gangguan Jiwa digunakan untuk

mengetahui jumlah korban gempa yang mengalami risiko gangguan jiwa. 29

Pertanyaan tergabung dalam kuesioner ini yang terdiri 4 komponen indikasi

gangguan jiwa yaitu gangguan psikologi neurosis untuk pertanyaan nomor 1-

20, indikasi penggunaan narkotika untuk pertanyaan nomor 21, indikasi

gangguan psikotis untuk pertanyaan nomor 22-24, dan pertanyaan nomor 25-

29 untuk indikasi adanya PTSD. Form dokumentasi digunakan untuk

mengetahui karakteristik, masalah, tindakan dan rencana tindak lanjut untuk

korban bencana gempa alam.

 Comparasi

Jurnal 2 : Dampak Psikososial Akibat Bencana Lumpur Lapindo. Oleh

Mundakir. Program Studi S1 Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Surabaya. Jurnal Ners Vol.6 No.1 April 2011: 42-

49

Hasil : Masyarakat korban bencana lumpur lapindo mengalami dampak

psikologis seperti perubahan emosi, dan perubahan kognitif. Dampak sosial

yang terjadi pada masyarakat korban antara lain, adanya perubahan fungsi

keluarga, perubahan hubungan sosial masyarakat, resiko gangguan

perkembangan anak dan remaja, penurunan aktifitas spiritual, kehilangan mata

pencaharian, dan dukungan sosial yang tidak ada.

Kesimpulan : Dengan demikian kebutuhan masyarakat korban akan layanan

kesehatan baik layanan kesehatan fisik maupun psikososial merupakan

kebutuhan yang umum dibutuhkan oleh masyarakat paska mengalami korban,

dan selayaknya dipenuhi oleh pemerintah maupun PT Lapindo.


 Outcome

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 13 orang dengan kriteria

normal, 75 responden mengalami gangguan neurosis, 26 responden mengalami

gejala psikosis dan 57 responden mengalami gejala PTSD (Post traumatic

stress disorder). Penggunaan narkotika tidak ditemukan pada responden korban

bencana alam gempa bumi.

Masalah-masalah yang ditemukan pada korban setelah bencana alam gempa

bumi diantaranya yaitu pertama masalah dampak gempa yang meliputi

ketakutan akan kembali terjadinya gempa bumi, kesulitan melupakan peristiwa

gempa, kecemasan, kegelisahan memikirkan gempa, ketakutan untuk masuk

ke dalam rumah, mendengar suara gemuruh atau ketakutan bila malam tiba.

Kedua, setelah terjadinya gempa para korban mengalami masalah keluarga

seperti masalah dengan suami, anak, cucu, kekhawatiran terhadap keluarga,

dan termasuk juga gagal menikah. Ketiga, masalah dengan diri sendiri pun

muncul seperti merasa sendiri. Selain itu, kehilangan pekerjaan juga menjadi

masalah ekonomi yang muncul dampak terjadinya gempa bumi. Masalah

tersebut yang menyebabkan korban sering menyendiri, merasa pusing dan juga

sedih. Keempat, isu makhluk halus merupakan salah satu masalah yang

muncul yang meresahkan masyarakat pasca gempa bumi di Lombok. Isu

muncul setelah ditemukannya cap telapak tangan di dinding - dinding rumah

warga. Isu makhluk halus ini merupakan masalah dalam aspek spiritual

masyarakat yang dialami setelah peristiwa gempa bumi. Aspek spiritual lain

yaitu kondisi sakit yang dialami oleh warga, warga menyebutkan keluhan fisik

seperti pegal-pegal, sakit punggung, kaki dan juga hipertensi.


PERAN PERAWAT JIWA DALAM MENANGGULANGI DAMPAK
PSIKOLOGIS KORBAN BENCANA ALAM

Peran Perawat dan Aktivitas Psikososial dalam Menanggulangi Dampak

Psikososial :

a. Aktivitas Psikososial Berdasarkan Tahap Bencana

Tahap Tanggap Darurat : Pasca dampak-langsung

 Menyediakan pelayanan intervensi krisis untuk pekerja bantuan, misalnya

defusing dan debriefing untuk mencegah secondary trauma

 Memberikan pertolongan emosional pertama (emotional first aid), misalnya

berbagai macam teknik relaksasi dan terapi praktis

 Berusahalah untuk menyatukan kembali keluarga dan masyarakat.

 Menghidupkan kembali aktivitas rutin bagi anak

 Menyediakan informasi, kenyamanan, dan bantuan praktis.

Tahap Pemulihan: Bulan pertama

 Lanjutkan tahap tanggap darurat

 Mendidik profesional lokal, relawan, dan masyarakat sehubungan dengan efek

trauma

 Melatih konselor bencana tambahan

 Memberikan bantuan praktis jangka pendek dan dukungan kepada penyintas

 Menghidupkan kembali aktivitas sosial dan ritual masyarakat

Tahap Pemulihan akhir: Bulan kedua

 Lanjutkan tugas tanggap bencana.

 Memberikan pendidikan dan pelatihan masyarakat tentang reseliensi atau

ketangguhan.
 Mengembangkan jangkauan layanan untuk mengidentifikasi mereka yang

masih membutuhkan pertolongan psikologis.

 Menyediakan "debriefing" dan layanan lainnya untuk penyintas bencana yang

membutuhkan.

 Mengembangkan layanan berbasis sekolah dan layanan komunitas

lainnya berbasis lembaga.

Fase Rekonstruksi

 Melanjutkan memberikan layanan psikologis dan pembekalan bagi pekerja

kemanusiaan dan penyintas bencana.

 Melanjutkan program reseliensi untuk antisipasi datangnya bencana lagi.

 Pertahankan "hot line" atau cara lain dimana penyintas bisa menghubungi

konselor jika mereka membutuhkannya.

 Memberikan pelatihan bagi profesional dan relawan lokal tentang

pendampingan psikososial agar mereka mampu mandiri.

b. Aktivitas Psikososial Berdasarkan Kelompok Usia

 Anak-anak

Dukungan psikososial dapat diberikan dalam berbagai bentuk kegiatan dan

program, namun perlu diingat bahwa segala bentuk interaksi dengan anak

berpotensi untuk memulihkan anak secara psikologis. Hal ini penting untuk

difahami oleh semua pekerja kemanusiaan yang terlibat dalam respons

bencana, baik yang bekerja langsung dengan anak maupun tidak. Dukungan ini

tidak hanya berarti bekerja dengan anak, tetapi juga dengan orang tua, warga

sekitar dan organisasi lain untuk membantu anak memperoleh akses dan
pelayanan dasar yang perlu mereka dapatkan. (Unicef Indonesia –

Perlindungan Anak dalam Keadaan Darurat).

Hal utama yang perlu dilakukan adalah bersikap tenang saat bersama

dengan anak-anak, karena reaksi orang dewasa akan mempengaruhi reaksi

anak. Mulailah membuat kegiatan yang teratur dan rutin bagi anak. Kegiatan

yang teratur adalah salah satu kebutuhan psikososial utama bagi anak-

anak. Anak-anak akan merasa aman jika segera melakukan aktivitas yang

sama/mirip dengn aktivitas rutin yang dilakukan sebelum bencana. Oleh karena

itu penting sekali, untuk segera menyelenggarakan sekolah darurat, mencari

tempat yang aman bagi anak-anak untuk bermain di sore hari, mengajak anak

untuk mengaji di sore hari (atau bible study untuk anak-anak Nasrani).

Dukungan psikososial diberikan dalam beberapa bentuk, seperti Mengajak

anak-anak melakukan kegiatan-kegiatan atraktif, bermain, bernyanyi dan

perlombaan-perlombaan sederhana untuk memotivasi semangat dan

menyalurkan emosi anak. Pemulihan aktifitas pendidikan melalui

pembelajaran transisi di tenda atau sekolah darurat. Dapat didukung dengan

kegiatan menggambar, menulis cerpen tentang pengalaman sehari-hari atau

pengalaman saat peristiwa bencana terjadi atau impian masa depan. Menggali

potensi, bakat dan minat anak dibidang seni, olah raga dan permainan-mainan

tradisional lokal. Juga konseling personal untuk kelompok anak yang

mengalami stress akut (teridentifikasi mengalami trauma).

 Remaja

1. Mengajaknya Sholat dan Zikir untuk relaksasi

2. Melakukan aktifitas sosial


3. Melakukan aktifitas olahraga

4. Melakukan aktifitas kesenian seperti menari, menyanyi, main musik,

drama, melukis, dan lain-lain

5. Menulis

6. Menonton film

 Orang Dewasa

1. Ajak untuk perbanyak melakukan kegiatan agama

2. Temani mereka

3. Ajak bicara tentang apa saja sehingga ia tidak merasa sendiri

4. Menjadi pendengar yang baik terutama saat ia menceritakan perasaannya

tentang bencana yang menimpa

5. Dorong korban untuk banyak beristirahat dan makan yang cukup

6. Ajak korban melakukan aktifitas yang positif

7. Ajak korban untuk melakukan kegiatan rutin sehari-hari

8. Ajak bercanda dengan menggunakan humor ringan

9. Ajak berbincang-bincang tentang kondisi saat ini diluar

10. Membantu menemukan sanak saudara yang masih terpisah

11. Memberikan informasi yang dibutuhkan sehingga menimbulkan harapan

 Wanita

Dalam memulihkan diri sendiri :

1. Mengungkap masalah yang dirasakan kepada orang yang dipercayai

2. Merawat dan menjaga kesehatan diri, baik fisik maupun psikis


3. Melakukan aktivitas-aktivitas yang disukai yang dapat mengalihkan dari

pikiranpikiran akan kejadian, baik dilakukan sendiri maupun secara

berkelompok

4. Belajar Ketrampilan Baru

5. Mencoba iklas dan mendekatkan diri kepada-Nya

Membantu keluarganya dalam memulihkan kondisi pasca bencana

1. Memberikan pengetahuan dan informasi mengenai bencana (gempa,

banjir,tsunami, longsor dll) kepada anak dan keluarga

2. Saling mendukung dan memperhatikan sesama anggota keluarga, serta

memberikan perhatian lebih kepada anggota keluarga yang masih

memiliki masalah akibat bencana dan peristiwa sulit

3. Memberikan dukungan kepada anak untuk melakukan kegiatan baik di

sekolah maupun di luar sekolah

4. Apabila dia berperan sebagai orang tua tunggal, maka dia bekerja

untukmencari nafkah bagi keluarga sesuai dengan

kemampuan/ketrampilan yang dimiliki.

Memulihkan sesama perempuan dalam komunitas:

1. Saling memberikan perhatian kepada sesama perempuan korban bencana

yang tinggal di sekitarnya.

2. Saling bercerita dan berbagi perasaan antar sesama perempuan di

komunitas

3. Saling memberi informasi kepada sesama perempuan baik dalam hal

mengembangkan usaha (industri kecil) bersama-sama dan dapat berupa

informasi lainnya.
4. Mengajak rekan perempuan dalam komunitas agar lebih percaya diri, dan

aktif dalam kegiatan-kegiatan kelompok

5. Bersama-sama ikut memberikan pendapat dalam rapat atau pertemuan

penyelesaian masalah karena suara perempuan juga penting.

 Lansia

1. Berikan keyakinan yang positif

2. Dampingi pemulihan fisiknya dengan melakukan kunjungan berkala

3. Berikan perhatian yang khusus untuk mendapatkan kenyamanan pada

lokasi penampungan

4. Bantu untuk membangun kembali kontak dengan keluarga maupun

lingkungan sosial lainnya

5. Dampingi untuk menapatkan pengobatan dan bantuan keuangan


KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 048/MENKES/SK/I/2006
TENTANG PEDOMAN PENANGGULANGAN MASALAH KESEHATAN
JIWA DAN PSIKOSOSIAL PADA MASYARAKAT AKIBAT BENCANA
DAN KONFLIK
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Langkah-langkah penanganan masalah kesehatan jiwa dan psiokososial tergantung

dari fase kedaruratan, yaitu fase kedaruratan akut dan fase konsolidasi :

1. Fase Kedaruratan Akut merupakan periode dimana kurang tertanganinya

penanganan kegawatdaruratan medik dan kurangnya akses terhadap pelayanan

kesehatan dasar. Selama fase ini umumnya dianjurkan untuk memberikan

intervensi sosial.

 Intervensi sosial yang diperlukan pada fase ini meliputi:

a. Menyebarluaskan informasi tentang: kedaruratan, penyelamatan fisik

terhadap populasi, informasi tentang pertolongan, termasuk apa yang

dikerjakan oleh setiap organisasi dan dimana mereka berlokasi, dan lokasi

kerabat untuk meningkatkan reuni keluarga. Informasi harus disebarluaskan

menurut prinsip dari risiko komunikasi: misalnya informasi harus sederhana

dan dapat dimengerti serta bersifat empatik (menunjukkan pengertian

tentang situasi dari mereka yang selamat dari bencana).

b. Mencari jejak keluarga dari mereka yang terpisah, usia lanjut dan kelompok

rawan lainnya.

c. Menyediakan petugas lapangan yang sigap untuk menangani kesehatan,

distribusi makanan, kesejahteraan sosial dan mencatat mereka yang

mengalami perkabungan, disorientasi dan yang membutuhkan pertolongan

segera.
d. Membimbing masyarakat untuk mengambil keputusan dimana meletakkan

tempat beribadah, sekolah dan pasokan air di tempat mengungsi.

e. Membantu yatim piatu, janda, duda, atau mereka yang tifak mempunyai

keluarga melalui jaringan sosial.

f. Mendorong terbantuknya kembali budaya yang normal dan kegiatan

keagamaan (termasuk upacara berduka cita) dan mengadakan kegiatan

rekreasi untuk anak- anak yang sesuai dengan budaya setempat.

g. Mendorong dimulainya kegiatan sekolah bagi anak-anak walaupun tidak

sepenuhnya.

h. Melibatkan orang dewasa dan remaja dalam kegiatan nyata dan kegiatan

yang menarik (misalnya membangun perkemahan, mengatur pencarian

keluarga, membagikan makanan, mengatur vaksinasi, mengajari anak-anak,

dan lain-lain).

i. Menyebarluaskan informasi yang sederhana, empatik dan meneguhkan

tentang reaksi stres yang normal kepada masyarakat luas. menyiarkan berita

singkat yang tidak sensasional dalam radio, membuat poster, leaflet yang

mungkin berguna untuk menenangkan masyarakat.

 Intervensi psikologis pada fase akut meliputi:

a. Mengadakan hubungan dengan Puskesmas/RSU/RSJ atau pelayanan

darurat di daerah lokasi.

b. Menangani keluhan psikiatrik yang mendesak (misalnya membahayakan

bagi dirinya atau orang lain, gannguan psikotik, depresi berat, maniakal, dan

epilepsi) di Puskesmas/RSU/RSJ.
c. Menjamin tersedianya obat psikotropika esensial di tingkat

Puskesmas/RSU/RSJ. Banyak orang yang mrmpuyai keluhan psikiatrik

akut merupakan gejala awal dari gangguan jiwa dan penghentian obat secara

mendadak harus dihindari. Lagipula sebagian orang akan memerlukan

terapi masalah kesehatan jiwa akibat mengalami stresor yang ekstrim.

d. Dengan memperhitungkan tersedianya pekerja masyarakat (sukarela dan

non sukarela) segera setelah terpapar dengan stresor yang ekstrim, perlu

memberikan peneguhan yang mengikuti prinsip pertolongan psikologis

(misalnya mendengarkan, menunjukkan rasa turut berempati, menilai

kebutuhan, menjamin tersedianya kebutuhan fisik yang mendasar, tidak

memaksa berbicara atau memaksa memindahkan mereka dari keluarga atau

orang yang bermakna lainnya, memberikan support sosial dan tidak

memaksa, melindungi dari bahaya berikutnya dan lain-lain)

e. Bila fase akut telah berlalu, mulai melatih dan mensupervisi pekerja

Puskesmas/RSU/RSJ dan pekerja masyarakat.

2. Fase Rekonsiliasi merupakan periode darurat akut diikuti oleh fase konsolidasi

dimana kebutuhan dasar sudah kembali pada tingkatan sebelum darurat atau

pada kasus pengungsian.

 Intervensi sosial selama fase konsolidasi meliputi:

a. Tetap meneruskan intervensi sosial yang membutuhakn seperti yang telah

dibicarakan di atas.

b. Menyusun psikoedukasi dan rencana selanjutnya. Untuk mendidik

masyarakat tentang pemilihan pelayanan kesehatan jiwa yang tersedia.

Dimulai setelah minggu keempat dari fase akut, mendidik masyarakat


secara hati-hati tentang perbedaan diantara distres dan psikopatologi,

hindari saran tentang psikopatologi yang lebih rumit (misalnya halusinasi,

waham) serta hindari olok-olok dan bahasa yang menimbulkan stigma.

c. Dorong penerapan cara pertahanan diri yang positif yang sudah mereka

miliki.

d. Apabila terjadi kemiskinan, dorong inisiatif pengembangan ekonomi.

Contoh inisiatif tersebut adalah:

 Memberikan kredit investasi kecil

 Kegiatan yang menambah penghasilan

 Intervensi psokologis selama fase rekonsilidasi

a. Mendidik pemuka masyarakat (misalnya kepala desa, guru dan lain-lain)

dan pekerja kemanusiaan lainnya tentang keterampilan pelayanan

psikologis yang dasar. (misalnya cara memberi support emosional, memberi

informasi, peneguhan yang simpatik dan pengenalan masalah kesehatan

jiwa yang mendasar) untuk menimbulkan kesadaran dan support masyarakat

serta untuk merujuk individu ke Puskesmas/RSU bila diperlukan.

b. Melatih dan mensupervisi tenaga Puskesmas/RSU/RSJ dalam hal

pengetahuan dan keterampilan kesehatan jiwa yang mendasar (misalnya

pemberian psikotropika yang sesuai, konseling suportif, kerja sama dengan

keluarga, pencegahan bunuh diri, mengatasi keluhan somatik yang tak dapat

dijelaskan secara medis, mengatasi penyalahgunaan zat dan cara merujuk

pasien).

c. Menyediakan obat-obatan bagi pasien psikiatrik yang tak memungkinkan

dibawa kePuskesmas/RSU/RSJ selama fase darurat akut


d. Melatih dan mensupervisi pekerja masyarakat (misalnya pekerja yang

memberi dukungan dan konseling) untuk membantu perugas

Puskesmas/RSU/RSJ bila pasien terlalu banyak. Pekerja masyarakat

mungkin sukarela, para profesional, atau profesional tergantung dari situasi.

Pekerja masyarakat perlu dilatih dan disupervisi dalam sejumlah

keterampilan dasar: menilai persepsi individu, keluarga dan kelompok

terhadap masalah, cara memberikan support emosional, konseling

menghadapi duka cita, manajemen stres, konseling mengatasi masalah,

memobilisasi sumber daya keluarga dan masyarakat serta cara merujuk.

e. Bila memungkinkan bekerjasama dengan ahli pengobatan tradisional.

Dalam hal ini tentu berlaku pada kerjasama yang dapat dilakukan.

f. Memfasilitasi terbentuknya kelompok support tolong diri yang

bersumberdaya masyarakat. Fokus dari kelompok tolong diri tersebut

khususnya dalam berbagi masalah, tukar pendapat untuk menemukan cara

yang lebih efektif dalam pertahanan diri dan mencari penyelesaian

(termasuk cara tradisional) yang menghasilkan saling support emosional

dan kadang-kadang menghasilkan inisiatif tingkat masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Adeney, Farsijana. (2007). Perempuan dan Bencana. Yogyakara : Selendang Ungu


Press

Kharismawan, Kuriake. Panduan Program Psikososial Paska Bencana. Diakses


tanggal 11 Agustus 2019 dari http://www.sintak.unika.ac.id

Lubis, Misran. (2010). Perlindungan Anak Dalam Situasi Bencana. Diakses tanggal
11 Agustus 2019 dari http://www.ccde.or.id

Martam, Irma S. (2010). Pemulihan Psikososial Berbasis Komunitas. Diakses


tanggal 11 Agustus 2019 dari http://www.pulih.or.id

Ando S, et al. Mental health problems in a community after the Great East Japan
Earthquake in 2011: a systematic review. Harv Rev Psychiatry. 2017; 25(1): 15-
28.

Anwar J, Mpofu E, Matthews LR, Shadoul AF, Brock KE. Reproductive health and
access to healthcare facilities: risk factors for depression and anxiety in women
with an earthquake experience. BMC Public Health. 2011;11:523.

Brewin CR, Andrews B, Valentine JD. Meta-analysis of risk factors for


posttraumatic stress disorder in trauma-exposed adults. Journal of Consulting
and Clinical Psychology. 2000;68: 748-66

Calhoun L, Cann A, Tedeschi R, McMillan J (2000) A correlational test of the


relationship between posttraumatic growth, religion, and cognitive processing.
Journal of Traumatic Stress 13: 521–527. [PubMed]

Caroline Damanik. Ada 447 Gempa susulan terjadi di Lombok hingga pagi ini.
2018. Available from:
http://www.regional.kompas.com/read/2018/08/10/07150051/ada-447- gempa-
susulan-terjadi-di-lombok-hingga-pagi-ini

Cheng Y, Wang F, Wen J, Shi Y. Risk factors of post-traumatic stress disorder


(PTSD) after Wenchuan earthquake: a case control study. PLoS One.
2014;9:e96644.

Dwidiyanti, M., Wijayanti, D. Y., Sari, S. P. & Sarjana, A. S. W. (2017). Modul


smart sharing. Semarang: UNDIP Press
Farooqui M. et al. Posttraumatic stress disorder: a serious pos-earthquake
complication.Trends Psychiatry Psychoter. 2017.Vol 39 No 2.

Feder A, Ahmad S, Lee EJ, Morgan JE, Singh R, Smith BW, et al. Coping and
PTSD symptoms in Pakistani earthquake survivors: purpose in life, religious
coping and social support. J Affect Disord. 2013;147:156-63.

Fergusson DM, Horwood LJ, Boden JM, Mulder RT. Impact of a major disaster on
the mental health of a well-studied cohort. JAMA Psychiatry. 2014;71:1025–
31.doi:10.1001/jamapsychiatry.2014.652.

Ijaz S. et al. Mindfulness in Salah Prayer and its Association with Mental Health. J
Relig Health. 2017 56(6):2297-2307.

Jordans MJD, Upadhaya N, Tol WA, van Ommeren M. Introducing the IASC
mental health and psychosocial support guidelines in emergencies in Nepal: a
process description. Intervention. 2010;8(1):52–63.

Kun P, Han S, Chen X, Yao L. Prevalence and risk factors for posttraumatic stress
disorder: a cross-sectional study among survivors of the Wenchuan 2008
earthquake in China. Depress and Anxiety. 2009;26:1134-40.

Neria Y, Nandi A, Galea S. Post-traumatic stress disorder following disasters: a


systematic review. Psychol Med. 2008;38:467-80

Naeem F, Ayub M, Masood K, Gul H, Khalid M, Farrukh A, et al. Prevalence and


psychosocial risk factors of PTSD: 18 months after Kashmir earthquake in
Pakistan. J Affect Disord. 2011;130:268-74.

Richman K (2012) Religion at the epicenter agency and affiliation in Léogâne after
the earthquake. Studies in Religion/Sciences Religieuses 41: 148–165.

Ramirez M, Peek-Asa C. Epidemiology of traumatic injuries from earthquakes.


2005. (online) Available from
http://epirev.oxfordjournals.org/content/27/1/47.extract.

Saleema AG, Rozina KS, & Zahid AF. Role of community health nurse in
earthquake affected areas. J Pak Med Assoc. 2012. Vol. 62 No.10.

Surendra S, et al. Post-disaster mental health and psychosocial support: experience


from the 2015 Nepal earthquake. WHO South-East Asia Journal of Public
Health. 2017. Doi: 10.4103/2224-3151.206160 Available from:
https://www.researchgate.net/publication/316892957

Vázquez C, Cervellón P, Pérez-Sales P, Vidales D (2005) Positive emotions in


earthquake survivors in el salvador. Journal of Anxiety Disorders 19: 313– 328.
[PubMed]

Walker M, Mann RA. Nurse Education Today Exploration of mindfulness in


relation to compassion , empathy and re fl ection within nursing education.
YNEDT. 2016;40:188-190.

WHO. Building back better. Sustainable mental health care after emergencies.
Geneva: World Health Organization; 2013. Available from
http://apps.who.int/iris/beatstream/10665/85377/1/978241564571_eng.pdf?u
a=1

Yuan KC, Ruo Yao Z, Zhen Yu S, Xu Dong Z, Jian Zhong Y, Edwards JG, et al.
Prevalence and predictors of stress disorders following two earthquakes. Int J
Soc Psychiatry. 2013;59:525-30.

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR


048/MENKES/SK/I/2006 TENTANG PEDOMAN PENANGGULANGAN
MASALAH KESEHATAN JIWA DAN PSIKOSOSIAL PADA
MASYARAKAT AKIBAT BENCANA DAN KONFLIK. MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Anda mungkin juga menyukai