Anda di halaman 1dari 4

Fanatisme Pemilu 2019 Dalam Perspektif Pancasila :

Antara Cinta dan Kebodohan


Heri Febrianyah, Kelas M, 195050101111148
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya

Ajang pesta rakyat yang hadir setiap lima tahun sekali yaitu pemilihan presiden dan wakil
presiden merupakan hal yang sangat ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia, geriliya masyarakat
sangat terlihat tiap kali ajang tersebut akan dilaksanakan. Pemilihan orang nomor satu di
Indonesia ini memiliki rangkaian acara yang menarik dimulai dari adanya penentuan kandidat
yang muncul dari partai politik hingga rangkaian debat yang selalu ditayangkan oleh televisi.
Selain menjadi ajang politik pemilihan presiden dan wakil presiden ini juga bisa menjadi media
edukatif, anak muda dan orang dewasa akan tahu bagaimana cara menghormati perbedaan, saling
menghargai dan gotong royong memperbaiki moral politik.

Masyarakat Indonesia memiliki pola pikir dan tingkah laku yang berbeda-beda. Perbedaan
wilayah, suku, agama dan ras menjadikan setiap orang memiliki pandangan tersendiri terhadap
masing-masing pasangan calon. Hal-hal tersebut menjadi dasar mengapa setiap orang memiliki
pilihan politik yang berbeda. Perbedaan memang bukan hal yang tabu di Indonesia, dengan
wilayahnya yang memiliki ribuan pulau menjadikan Indonesia memiliki banyak budaya dan
tradisi yang berbeda-beda. Banyaknya perbedaan menimbulkan banyaknya kepentingan, salah
satu contohnya adalah orang-orang islam pasti akan memilih kandidat yang islam pula ,begitu
sebaliknya orang-orang non Islam pasti akan memilih kandidat yang memang lebih
memperhatikan mereka. Kepentingan ini akhirnya menimbulkan banyaknya spekulasi-spekulasi
yang saling menjatuhkan antara dua kubu calon.

Tahun 2019 merupakan tahun politik yang berbeda dari tahun-tahun politik sebelumnya,
karena pada tahun ini pemilihan presiden dan wakil presiden dilaksanakan secara bersamaan
dengan pemilihan anggota legislatif. Hal itu menjadikan gesekan-gesekan yang timbul
dimasyarakat menjadi lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2019 ini terdapat dua
pasangan calon presiden dan wakil presiden, yaitu pasangan petahana Ir. H. Jokowidodo dengan
KH.Ma'ruf Amin yang didukung oleh partai PDIP, GOLKAR, PPP, PKB, PBB, PSI, dan PKPI
dengan nomor urut 01 dan pasangan H.Prabowo Subianto dengan Sandiaga Salahudin Uno yang
didukung oleh partai GERINDRA, PAN, PKS , DEMOKRAT, dan BERKARYA dengan nomor
urut 02. Masing-masing pasangan calon memiliki basis pemilih yang berbeda-beda, seperti
pasangan nomor urut 01 yang memiliki basis pemilih daerah timur dan jawa , dan pasangan
nomor urut 02 yang memikiki basis pemilih dari daerah barat. Banyak hal-hal strategis yang
menjadi alasan untuk memilih, seperti jokowi yang berasal dari solo jawa tengah menjadikan
daerah jawa mayoritas memilih pasangan nomor urut 01, dan pasangan nomor urut 02 yang
didukung oleh ulama menjadikan daerah-daerah berbasis agama seperti aceh dan sumatera barat
mayoritas memilih pasangan tersebut.
Kondisi Indonesia pada saat ini masih sangat rawan terhadap adanya masalah-masalah antar
golongan, seperti perang antar suku, permasalahan antar agama bahkan ada pula sebagian
masyarakat atau wilayah yang masih mau memisahkan diri dari Indonesia. Hal tersebut timbul
karena masih kurangnya rasa nasionalisme dan tidak adanya persatuan Indonesia seperti yang
tertera didalam pancasila nomor ketiga. Pentingnya rasa nasionalisme harus ada dalam setiap
individu masyarakat Indonesia agar bangsa Indonesia dapat bersama-sama menjalankan misinya,
yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memberikan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pada pemilu tahun 2019 ini banyak sekali masalah-masalah yang timbul dimasyarakat, isu-
isu yang menjatuhkan masing-masing pasangan calon selalu muncul setiap harinya menjelang
hari pemilihan. Bukan hanya sekedar isu biasa, isu-isu buruk tentang latar belakang masing-
masing kandidat yang bersifat pribadipun selalu dilontarkan oleh masing-masing lawan politik.
Seperti jokowi yang diisukan anak seorang PKI dan juga Prabowo yang diisukan seorang
pelanggar HAM. Hal-hal yang seharusnya menjadi media pemersatu berubah menjadi media
perpecahan. Saling fitnah tidak dapat terbendungkan, sehingga masyarakat Indonesia selalu
mengkonsumsi berita-berita bohong setiap harinya. Berita berita bohong tersebut menjadikan
masyarakat selalu meluapkan emosinya dengan tindakan-tindakan yang anarkis dan diluar batas
kemanusiaan.

Media televisi dan media sosial menjadi media utama tempat menyampaikan informasi
tentang pemilihan umum. Baik dari pihak penyelenggara yaitu KPU maupun masyarakat sipil
yang saling berkomunikasi melalui dua media tersebut. Proses menyatakan pendapat dari
masyarakat dapat diluapkan dimedia sosisal, sedangkan televisi menjadi alat KPU untuk
menyampaikan informasi-informasi penting berkaitan pemilu kepada masyarakat dan televisipun
dimanfaatkan oleh kedua tim kampanye untuk menyampaikan visi misi mereka. Perdebatan-
perdebatan oleh elit-elit politik selalu ditampilkan di televisi setiap harinya, khalayak umumpun
dapat melihat perdebatan-perdepatan tersebut. Masyarakat yang mendapatkan informasi dari
mediapun selalu berspekulasi dengan pemikiran yang berbeda-beda. Pro dan kontra pasti ada
dalam setiap hal, tetapi sering sekali pro dan kontra tersebut diselimuti oleh sifat fanatisme yang
berlebihan. Sifat fanatisme yang seharusnya bersifat mencitai suatu pilihan atau pandangannya
malah menjadi sifat kebodohan yang bersifat membenci dan melanggar norma kemanusiaan.
Segala sesuatu yang berbeda dengan mereka selalu dicaci maki seolah-olah pilihan mereka
paling benar, padahal sesuatu tidak dapat dilihat sepihak. Sesuatu yang salah bisa menjadi benar,
dan sesuatu yang benar bisa menjadi salah, semuanya tergantung siapa yang memandangnya.

Perang tagar di twitter merupakan kegiatan rutin masyarakat kala itu. Masing-masing kubu
selalu mengkampanyekan program-program mereka dan juga selalu menyerang dan mengkritisi
program-program lawan politiknya. Secara umum kegiatan seperti ini memang bagus untuk
dilakukan masyarakat, namun dilain hal bukan hanya mengkritisi dan mengoreksi, tetapi tagar
twitter ini dijadikan alat untuk menjatuhkan satu sama lain. Dengan adanya saling fitnah antara
dua kubu calon menjadikan kondisi media sosial selalu terasa panas setiap harinya. Hal ini juga
menjadi salahsatu faktor pendorong terjadinya perpecahan yang timbul didalam masyarakat.

Permasalahan yang terjadi pada tahun politik kali ini sangat luar biasa, dimulai dari adanya
pergerakan masa oposisi yang luar biasa militan sampai dengan isu kematian petugas TPS
setelah pemungutan suara. Menjelang tahun politik, masyarakat oposisi melakukan pergerakan
masa yang cukup besar, yaitu setelah diadakannya ijtima ulama masyarakat oposisi melakukan
pergerakan-pergerakan yang masif untuk melawan pemerintahan petahana, baik melalui aksi-
aksinya maupun melalui media sosial. Begitupun masyarakat yang mendukung calon petahana,
mereka selalu mengkampanyekan keberhasilan-keberhasilan yang diraih oleh pemerintah selama
periode petahana menjabat. Pada sisi lain kedua kubu juga melakukan kampanye-kampanye
negatif yang membuat perpecahan, seperti menghina latar belakang masing-masing pasangan
calon dan juga masing-masing mencoba menjatuhkan tokoh-tokoh yang berada disekeliling
masing-masing pasangan calon. Hal tersebut memang tidak dilakukan secara keseluruhan oleh
masyarakat pendukung masing-masing pasangan calon , melainkan dilakukan oleh oknum yang
memiliki kepentingan pribadi. Hal-hal tersebut berlangsung selama masa kampanye.
Mengunggulkan masing-masing pasangan calon merupakan kegiatan yang rutin bagi masyarakat
Indonesia kala itu.

Isu kecurangan memang seringkali menjadi perbincangan setelah dilakukannya pencoblosan.


Masyarakat yang berada dilapangan menjadi saksi akan siapa yang akan memimpin Indonesia
kedepannya. Pada media sosial beberapa masyarakat oposisi mengungkap ada beberapa kejadian
kecurangan, seperti surat suara yang sudah tercoblos di Malaysia dan adanya indikasi
kecurangan dengan tidak menggembok kotak suara. Hal itu terus menjadi buah bibir
dimasyarakat, mereka memperdebatkan adanya kecurangan atau tidak pada pemilihan presiden
kali ini. Masyarakat oposisi menduga-duga adanya kecurangan yang sistematis, terstruktur dan
masif, begitupun sebaliknya masyarakat pendukung petahana membantah adanya hal tersebut.

Setelah dilaksanakannya seluruh rangkaian pemilu masyarakat diharapkan tenang dan bisa
bersatu kembali. Tetapi hal yang terjadi malah sebaliknya, setelah adanya putusan KPU yang
diadakan pada tanggal 22 Mei dini hari , masyarakat yang tidak terima dengan keputusan
tersebut melakukan demo didepan kantor bawaslu. Pada hari itu terjadi kerusuhan didaerah
Jakarta, tindakan saling serang antara masyarakat dengan aparat terjadi hingga dua hari lamanya.
Hal itu memang diungkap polisi ditunggangi oleh oknum yang memiliki kepentingan, sehingga
mengorbankan masyarakat untuk saling bermusuhan. Kejadian ini menghasilkan beberapa
korban meninggal dunia. Kerugian negara pun timbul dan perekonomian didalam masyarakat
menurun, karena dengan adanya kejadian tersebut masyarakat menjadi takut untuk beraktifitas,
seperti tutupnya pasar grosir terbesar di asia ,dan takutnya para turis untuk menyumbangkan
devisa ke Indonesia.

Sampai pada akhirnya tim pemenangan Prabowo Sandi memutuskan untuk mengajukan
permasalahan ke mahkamah konstitusi. Lagi-lagi pasangan dengan nomor urut dua yaitu
Prabowo Sandi dinyatakan kalah. Masyarakat mau tidak mau harus bisa menerima keputusan
tersebut, karena memang dalam fakta persidangan tidak ditemukan adanya kecurangan yang
terstruktur,sistematis dan masif seperti yang dituduhkan oleh kubu oposisi. Pada sisi lain
perolehan angkapun cukup jauh sehingga tidak ada hal yang bisa membalikan posisi. Jikalapun
tim pemenangan Prabowo Sandi dapat membuktikan adanya kecurangan yang tersruktur,
sistematis dan masif tidak sertamerta menjadikan Prabowo Sandi memenangkan pemilu tersebut.

Sebenarnya secara keseluruhan proses pemilu ini merupakan sebuah cita-cita bangsa untuk
terus memajukan Negara Indonesia. Dalam upaya memajukan Negara Indonesia masyarakat
harus pro aktif baik mendukung secara langsung seperti bekerja dalam pemerintahan maupun
tidak langsung seperti menjadi aktivis dan oposisi. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Kusumatuti,A (2015) yang menyatakan bahwa penelitian terdahulu menunjukan bahwa
penyelenggaraan infrastruktur pedesaan yang memiliki partisipasi aktif masyarakat dapat
mengefektifkan pembangunan.

Masyarakat Indonesia seharusnya sudah cukup dewasa dalam menghadapi masalah-masalah


seperti ini. Perbedaan memang menjadi ciri khas negara Indonesia, tetapi jangan jadikan
perbedaan menjadi faktor untuk saling bermusuhan dan menimbulkan perpecahan. Segala bentuk
kecintaan pada sesuatu memanglah sudah menjadi kodrat masyarakat Indonesia, tetapi janganlah
buta terhadap kecintaan tersebut. Berfikir cerdas dalam menghadapi sesuatu harus dilakukan
masyarakat Indonesia dalam kondisi seperti ini, Jangan bodoh dengan membenci perbedaan dan
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang kita cintai tersebut. Fanatisme memang
penting, karena kita perlu memperjuangkan hak-hak kita. Tetapi melawan hak-hak orang lain
untuk memperjuangkan hak-hak kita bukanlah fanatisme, melainkan kebodohan dalam dalil
"fanatisme" .

Sumber Referensi : Kusumatuti,A. 2015. Modal Sosial dan Mekanisme Adaptasi Masyarakat
Pedesaan dalam Pengelolaan dan Pembangunan Infrastruktur. Jurnal Sosiologi. 20 (1) : 81-97

Anda mungkin juga menyukai