Anda di halaman 1dari 12

DESAIN LAYANAN PUBLIK TERINTEGRASI DI DAERAH

MELALUI WHOLE GOVERNMENT APPROACH: PRAKTIK


DI SURABAYA, PONTIANAK DAN DENPASAR

Penulis: Mohamad Yudha Prawira & Tities Eka Agustine


Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)
Gedung Permata Kuningan Lantai 10, Jalan Kuningan Mulia Kav.
9C, Setiabudi, Jakarta Selatan
No. Tlp: 08568118642 ; Email: m.yudha.prawira@hotmail.co.id;
tities.ekagustine@gmail.com

Abstract
Poor quality of public services in the local government is still a focus
improvement agenda of bureaucracy reform in Indonesia. Innovation
policy on public services are still tend to be interpreted partially by
local government. Ideally, the policy of public services should aim to
meet the people needs thoroughly. Surabaya, Pontianak and Denpasar
are the examples which have respond to the need to create integration
public services. Efforts were made by those government by whole
government approach with coordination directly from the head of local
government. This is the key to the institutional integration public
services delivered, by the commitment a head of government. Further
more, this commitment must be followed through a regulation,
planning, budgeting process and coordination between local
institution. These two points are the step in reaching institutional
integration in responding the public service based on people needs.
Kata kunci: whole government approach, open government,
pelayanan publik

Abstrak
Rendahnya kualitas layanan publik pemerintah daerah masih menjadi
fokus perbaikan dari agenda reformasi birokrasi di Indonesia. Inovasi
kebijakan pelayanan publik yang dijalankan pemerintah daerah saat ini
masih cenderung diterjemahkan secara parsial. Padahal secara ideal,
kebijakan layanan publik seharusnya diterjemahkan untuk memenuhi

492
kebutuhan masyarakat secara menyeluruh. Surabaya, Pontianak dan
Denpasar merupakan contoh dari daerah yang telah merespon
kebutuhan tersebut dengan menciptakan integrasi layanan publik.
Upaya tersebut dilakukan dengan pendekatan pemerintahan secara
menyeluruh (Whole Government Approach) dengan koordinasi
langsung dari Kepala Daerah. Praktik tersebut merupakan kunci dari
proses integrasi kelembagaan pelayanan publik yang berasal dari
komitmen pemimpin daerah. Lebih jauh lagi, komitmen tersebut harus
ditindaklanjuti melalui kerangka regulasi, perencanaan, penganggaran
dan juga koordinasi antarinstitusi. Dua poin tersebut, menjadi tahapan
dalam mencapai integrasi kelembagaan dalam merespon pelayanan
publik berbasis kebutuhan masyarakat.
Kata kunci: whole government approach, open government,
pelayanan publik

Pengantar
Agenda reformasi birokrasi yang berlangsung sejak tahun 2010 masih
belum memberikan kabar baik. Survei capaian reformasi birokrasi
yang dilakukan tiap lima tahun menunjukkan integritas pelayanan
publik di pusat mendapatkan nilai 7,22 dari 8,00 sedangkan di daerah
masih belum diketahui angka pastinya (Kementerian PAN & RB,
2014). Selain itu, permasalahan pelayanan publik yang lemah di
daerah juga tercermin melalui hasil peringkat kemudahan berusaha
Indonesia pada tahun 2017, berada pada posisi 91 dari target peringkat
40 (World Bank, EoDB 2017).
Laporan Ombudsman Republik Indonesia tentang Hasil Penilaian
Kepatuhan Standar Pelayanan Publik tahun 2016-tingkat kepatuhan
daerah atas regulasi nasional tentang layanan publik-juga
menunjukkan kabar yang mengecewakan. Dari 85 Pemerintah
Kabupaten (pemkab) yang disurvei, menunjukkan bahwa sebanyak 25
pemkab (29%) masuk dalam zona merah (kepatuhan rendah), 45
Pemkab (53%) masuk dalam zona kuning (kepatuhan sedang) dan
hanya 15 Pemkab (18%) masuk dalam zona hijau (kepatuhan tinggi)
(Ombudsman, 2016). Masih rendahnya angka kepatuhan tersebut
menunjukkan bahwa kualitas layanan publik, terutama di daerah perlu
untuk diperbaiki.
Ruang kebijakan yang luas dalam era otonomi daerah seyogyanya
dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sistem birokrasi. Namun

493
kenyataanya, inovasi pelayanan publik di daerah masih bersifat parsial
dan sporadis. Inovasi pemerintah daerah (pemda) masih sebatas
lingkup kedinasan, tidak bersifat menyeluruh kepada semua dinas di
daerah. Kondisi demikian dapat ditemukan di beberapa daerah
sebagaimana temuan laporan Open Government in Indonesia (OECD,
2016). Inovasi layanan publik di Kabupaten Karanganyar (inovasi
pelayanan pertanahan berbasis aplikasi (LARASITA), Kantor Imigrasi
Jakarta Selatan (pengurusan paspor secara online) dan Kabupaten
Barru (deregulasi perizinan dan penyederhanaan proses penerbitan
izin) menunjukkan upaya perbaikan birokrasi masih terbatas pada satu
atau dua institusi saja.
Selain itu, hal lain yang lebih esensial dari pelayanan publik adalah
nilai kepuasan masyarakat. Pelayanan dengan sistem daring belumlah
cukup, melainkan harus mempertimbangkan persepsi atas kebutuhan
masyarakat. Pemerintah harus melakukan transisi layanan publik yang
tidak hanya sebagai portal informasi tetapi juga mampu menangkap
dinamika kebutuhan masyarakat (citizen centered use). Pendekatan
berbasis kebutuhan masyarakat juga akan memberdayakan dan
membangun sensitivitas praktik layanan publik yang bersih,
transparan dan akuntabel (OECD, 2016).
Fakta bahwa kinerja layanan publik daerah masih lemah dan proses
reformasi birokrasi yang berjalan parsial menjadi titik tolak
pengembangan dalam tulisan ini. Tulisan ini menawarkan konsep the
whole government approach sebagai salah satu pendekatan untuk
menciptakan pelayanan publik yang terintegrasi dan lebih efisien.
Tujuan tulisan ini untuk memaparkan praktik daerah yang sudah
mengembangkan pelayanan terintegrasi. Lebih jauh lagi, poin-poin
penting dalam proses pengintegrasian dapat direplikasi oleh daerah
lainnya. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah kualitatif.
Dengan menggunakan pendekatan deskriptif penulis menggambarkan
analisis atas fenomena yang terjadi. Pengambilan data dilakukan
melalui studi literatur dan penggalian dokumen pemerintah serta
jurnal-jurnal ilmiah.

Integrasi Pelayanan Publik


Penyediaan layanan publik merupakan salah satu bentuk kewajiban
negara. Sebagaimana amanat Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar

494
Negara Republik Indonesia Tahun 194591 bahwa Negara bertanggung
jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan
umum yang layak. Ketentuan tersebut kemudian melahirkan Undang
Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Menurut
undang-undang tersebut, pelayanan publik adalah kegiatan atau
rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga
negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan
administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Proses pemenuhan kebutuhan publik seyogyanya berjalan secara
efektif dan efisien, baik dalam prosedur, instrumen dan monitoring
evaluasi layanan. Konsep integrated public service delivery,
sepatutnya menjadi pilihan untuk mengurangi permasalahan
inefisiensi dan lemahnya kinerja layanan publik. Terpusatnya seluruh
institusi layanan publik akan mempersingkat waktu, mengurangi
prosedur, memangkas pengeluaran masyarakat (untuk transportasi)
dan memberikan kepastian lokasi layanan (Mounir Ariss; Ozan
Bayulgen, 2010).
Kriteria dari integrasi layanan publik yang berkualitas harus
memperhatikan beberapa komponen penting yang terdiri dari: 1)
integrasi layanan publik yang ditawarkan oleh pemerintah harus
dilakukan melalui akses terpusat (customer-driven integration); 2)
integrasi antara seluruh otoritas publik dalam satu sistem
membutuhkan koordinasi yang baik dalam memberikan kinerja
layanan (task-and expertise driven integration); 3) integrasi
kewenangan, data dan sumber daya lain yang digunakan oleh otoritas
yang berbeda untuk melaksanakan layanan (resource- or data-driven
integrationi) ( Maria A. Wimmer, 2002).

Integrasi pelayanan Publik dengan pendekatan pemerintahan


secara menyeluruh
Konsep pendekatan pemerintahan secara menyeluruh (The Whole
Government Approach/ WOG) bukan merupakan konsep yang baru.

91
Pasal 18A ayat (2) “Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber
daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Serta Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 “Negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.”
495
Sebelumnya, konsep tersebut dikenal dengan Join Up Government
(JUG) yang diperkenalkan oleh pemerintahan Tony Blair, 1997.
Keduanya menitikberatkan kepada strategi yang holistik,
menggunakan pengetahuan dalam ilmu sosial daripada ekonomi
(Bogdanor dalam Christensen, 2006).
Baik JUG dan WOG mengedepankan asipirasi untuk mencapai
koordinasi vertikal dan horisontal. Konsep WOG digunakan untuk
memperlihatkan kepada aparat pelayan publik yang bekerja diluar
batas portofolio untuk mencapai tujuan bersama dan membuat
integrasi pemerintah untuk merespon masalah tertentu. Pendekatan
dapat dilakukan secara formal atau informal. Fokus dalam dilakukan
melalui pengembangan kebijakan, manajemen program dan pemberian
layanan (Christensen, 2006).
WOG membutuhkan prinsip-prinsip yang harus dipenuhi agar tercipta
integrasi kelembagaan yang kondusif dan koheren. Berdasarkan
laporan OECD, 2006 tentang pendekatan pemerintah secara
menyeluruh di negara-negara rentan mengindikasikan enam
komponen yang harus dilibatkan dalan proses integrasi. Pertama,
kesamaan tujuan dibutuhkan untuk menghubungkan aktivitas dari
aktor-aktor yang berbeda. Kedua, dibutuhkan strategi operasional
bersama. Kolaborasi bersama agar tujuan tidak terfragmentasi dan
berkerja dalam panduan bersama. Ketiga, koordinasi. Pendekatan ini
membutuhkan komitmen politik dari pemimpin dan seorang pemimpin
untuk melakukan peran koordinasi. Kejelasan dari arahan politik dan
kepemimpinan menjadi poin utama dalam efektivitas pendekatan ini.
Keempat, membuat kebijakan insentif yang tepat. Untuk bekerja
bersama perlu mempertimbangkan insentif, implikasi baik dalam
keuangan dan sumberdaya manusia. Kelima, membuat mekanisme dan
instrumen yang mendorong korensi kebijakan melalui penggabungan
institusi, keuangan dan kewenangan diantara kelembagaan. Keenam,
membangun manajemen sistem informasi terintegrasi dimana aktor-
aktor yang berbeda dapat mengakses.

Praktik Integrasi Layanan di Surabaya, Pontianak dan Denpasar


Konsep integrasi layanan menggunakan pendekatan pemerintahan
yang menyeluruh/WOG telah diterapkan di beberapa daerah di
Indonesia. Diantaranya adalah Kota Surabaya, Kota Pontianak dan
Kota Denpasar. Berbekal pada ruang kebijakan yang diberikan oleh

496
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 201492, daerah tersebut kemudian
menerjemahkan WOG dengan cara dan keunikannya masing-masing.

 Surabaya yang dinobatkan sebagai Smart City (Kota Cerdas)


merupakan buah dari terintegrasinya layanan publik melalui sistem
elektronik. Surabaya Single Window (SSW) dan sebelas sistem
elektronik lainnya (e-sdm, e-education, e-health dan lainnya) yang
terdapat dalam website surabaya.go.id. Melalui SSW, misalnya
pelaku usaha dapat melakukan permohonan izin tanpa perlu datang
ke kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Selain itu,
masyarakat juga dapat membuat janji ke puskesmas atau rumah
sakit daerah melalui e-health, hal ini akan mengurangi waktu
tunggu untuk mendapatkan layanan kesehatan.

 Pontianak memiliki integrasi pelayanan melalui electronic


government. Bahkan seluruh data dalam sistem layanan juga
dilengkapi dengan electronic document (e-doc). Dengan
menggunakan sistem e-doc maka proses tranparansi, akuntabilitas
dan juga integrasi data telah tercapai. Untuk menguatan kualitas
layanan, Walikota Pontianak juga Walikota menerbitkan Peraturan
Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pelayanan Publik. Dalam
Perda, tertulis ketentuan sanksi bagi aparat pelayan publik yang
terlambat dalam menerbitkan izin. Keterlambatan tersebut akan
memberikan kompensasi kepada pemohon, berupa pengurangan
biaya pengurusan izin sebesar dua persen setiap harinya hingga
izin tersebut diterima.

 Denpasar memiliki fasilitas gedung layanan bersama yang diberi


nama Graha Sewaka Dharma. Sewaka Dharma yang berarti adalah
pelayanan merupakan kewajiban. Gedung tersebut dimanfaatkan
sebagai bangunan kantor dan sebagai pusat pelayanan administrasi
publik terintegrasi. Sebanyak tiga belas loket layanan dari tiga
belas institusi yang berkantor dalam Sewaka Dharma, semuanya
merupakan lembaga yang memiliki fungsi layanan publik seperti
pelayanan kependudukan, perizinan, perbankan, perusahaan air,
kesehatan dan lainnya. Selain itu, Pemerintah Kota Denpasar juga
memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dalam pelaksanaan
tugas dan fungsinya. Tercatat sebanyak enam belas jenis e-sewaka

92
Melalui Pasal 349 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, pemda dapat melakukan penyederhanaan jenis dan prosedur serta
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam meningkatkan pelayanan
publik
497
yaitu pelayanan publik Kota Denpasar berbasis teknologi dan
informasi.

Tabel 1. Perbandingan Integrasi Layanan Publik


Surabaya Pontianak Denpasar

Jenis Integrasi melalui  Integrasi melalui  Integrasi melalui


Integrasi sistem elektronik sistem elektronik sistem elektronik
terpusat (customer- terpusat (customer- terpusat (customer-
driven integration) driven integration) driven integration)

 Integrasi data  Integrasi tugas dan


melalui e-doc kewengan layanan
(resource- or data- dalam satu gedung
driven integration) (task-and expertise
driven integration)
 Penegakan
kepatuhan terhadap
prosedur layanan
publik

Kerangka Peraturan Walikota Peraturan Daerah No. 2 RPJMD 2010-2015


Kebijakan No. 55 Tahun 2015 Tahun 2010 tentang
tentang Pedoman Pelayanan Publik di
Penyelenggaraan Kota Pontianak
Integrasi
Pelayanan
Perizinan dan Non
Perizinan di Kota
Surabaya

Situs E-gov https://www.suraba http://www.pontianakk https://www.denpasarkota


ya.go.id ota.go.id .go.id

Konsep WOG by WOG by regulation WOG by planning and


WOG regulation budgeting

Pra-Kondisi Integrasi Layanan


Berdasarkan praktik ketiga daerah, penerapan WOG membutuhkan
pra-kondisi untuk mencapai tujuan berupa integrasi layanan publik.
Beberapa pra-kondisi tersebut yakni:
Momentum dan visi kepala daerah. Dalam menjalan pendekatan
WOG, diperlukan adanya momentum atau masalah bersama untuk
memperbaiki pelayanan publik. Sebagaimana dalam studi OECD

498
sebelumnya bahwa dibutuhkan tujuan bersama untuk menyelesaikan
masalah dengan menerapkan WOG. Walikota Pontianak Sutarmidji,
misalnya berkomitmen melakukan reformasi birokrasi setelah
mendapatkan momentum dari rendahnya pendapatan asli daerah
(PAD) dan desakan dari masyarakat atas lamanya dan mahalnya
layanan perizinan. Sama halnya dengan Kota Surabaya, Tri
Rismaharini, dengan visi pemimpin daerahnya juga berupaya
menyelesaikan hambatan pada aspek perizinan. Sedangkan di Kota
Denpasar, hambatan pada aspek pelayanan yang tidak terintegrasi dan
maraknya percaloan izin menyebabkan Walikota Denpasar, Ida Bagus
Rai Dharmawijaya Mantra telah melakukan perubahan strategi dalam
perbaikan pelayanan publik.
Menerjemahkan komitmen dalam regulasi (WOG by Regulation).
Bentuk garansi bahwa pelayanan publik memenuhi ekspektasi
pengguna layanan adalah tersedianya legitimasi komitmen. Komitmen
tersebut dapat berbentuk regulasi ataupun pakta integritas (maklumat
layanan). Maklumat layanan berisi tentang keseluruhan rincian
kewajiban dan janji yang terdapat dalam standar pelayanan telah
diamanatkan pada penyelenggara layanan93. Praktik negara lain,
seperti United Kingdom (UK) maklumat layanan dibuat dalam bentuk
White Paper (UK Government, 2011). Isi White paper mengatur
secara komprehensif kerangka kebijakan antar layanan publik.
Komitmen dari Walikota Surabaya dan Pontianak secara langsung
terwujud dalam regulasi daerah. Surabaya dalam melakukan integrasi
pelayanan perizinan telah menerbitkan Peraturan Walikota Nomor 55
Tahun 2015 tentang Pedoman Penyelenggaraan Integrasi Pelayanan
Perizinan dan Non Perizinan. Peraturan tersebut melahirkan Surabaya
Single Window (SSW). Pontianak juga melakukan hal yang sama.
Namun, hal yang menarik adalah untuk memastikan kualitas layanan
perizinan memenuhi kepatuhan terhadap regulasi daerah, Walikota
menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang
Pelayanan Publik.

Menerjemahkan komitmen dalam perencanaan dan


penganggaran daerah (WOG by Planning and Budgeting). Realisasi
inovasi membutuhkan pendanaan untuk pembangunan infrastruktur

93
Pasal 30 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dalam rangka
menerapkan standar pelayanan publik, penyelenggara layanan wajib menyusun dan
menetapkan maklumat pelayanan.
499
dan sistem. Proses penggaran ini merupakan konsekuensi dari proses
inovasi (Fostering Innovation in Public Sectors - OECD, 2017).
Walikota Denpasar memiliki komitmen perbaikan layanan publik yang
dilakukan melalui pengadaan fasilitas infrastruktur. Program tersebut
tidak tertulis dalam kerangka regulasi, namun diterjemahkan dalam
proses perencanaan dan penganggaran. Komitmen kepala daerah
dalam poin ini telah terealisasi dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD 2010-2015). Terlihat bahwa
pembangunan gedung pusat pelayanan dan pengadaan sistem
elektronik yang terintegrasi menjadi komponen program daerah.
Dengan demikian membuktikan bahwa dalam proses perencanaan dan
penganggaran pemda memiliki strategi fokus untuk membenahi
kualitas layanan publik.
Koordinasi antar lembaga. Kerangka kolaborasi dan koordinasi
dibutuhkan untuk mengatur interaksi antar aktor diluar pemerintahan.
Seperti kerjasama institusi yang mengintegrasikan layanan dengan
pemerintah (Fostering Innovation in Public Sectors - OECD, 2017).
Penerapan WOG untuk mencapai integrasi layanan publik
membutuhkan koordinasi. Dari sisi operasional layanan, perencanaan
produk layanan, mekanisme integrasi data, monitoring dan evaluasi
menjadi penting untuk dibahas bersama. Hal ini penting dilakukan,
khususnya bagi lembaga diluar perangkat daerah seperti Perusahaan
Daerah Air Minum, Perbankan, Badan Pertanahan Nasional dan lain
sebagainya. Hal demikian sebagaimana telah dilakukan oleh Walikota
Denpasar, dengan pembangunan gedung Sewaka Dharma, Pemda
mampu mengintegrasikan pelayanan lintas instansi. Dengan demikian,
peran kepala daerah dalam proses pengintegrasian menjadi signifikan.
Partisipasi Masyarakat. Penggunaan sistem pelayanan berbasis
elektronik merupakan salah satu jembatan dalam integrasi pelayanan.
Namun, penggunaan sistem digital sebaiknya juga berbasis pada
kebutuhan masyarakat dan memuat prinsip keterbukaan (open
government). Pada pra-kondisi ini, ketiga daerah belum menerapkan
partisipasi masyarakat dalam melakukan pendekatan WOG. Selama
ini ketiga daerah masih berada pada tahapan penggunaan sistem
digital.
Disatu sisi, pemda sepatutnya memperhatikan prinsip keterbukaan
tersebut dalam menerapkan WOG. Adapun prinsip keterbukaan
memuat tentang partisipasi publik yang efektif, transparansi dan
akuntabilitas, keterbukaan data-data primer dari pemerintah,

500
keterbukaan akses, kemudahan dalam mengakses, kolaborasi antar
lembaga, inklusif dan beragam (www.opengovpartnership.org).
Dengan menggunakan prinsip tersebut, interaksi tidak hanya terjadi
satu arah, namun dua arah. Di negara-negara maju bahkan telah
menggunakan integrasi partisipasi masyarakat untuk mendapatkan
data. Melalui data masyarakat (public data), pemerintah dapat
mengetahui perilaku dan kebutuhan masyarakat, misalnya saja dari
penggunaan sosial media. Public data merupakan asset yang cukup
kuat untuk mengubah pendekatan dari masyarakat sebagai objek
(citizen-centred) menjadi masyarakat sebagai subject (citizen-drive)
(Government at Glance – OECD, 2017). Selain itu, proses konsultasi
publik dalam setiap tahapan desain integrasi kelembagaan akan
menghasilkan ide yang baru untuk mengurangi hambatan dalam
inovasi (Fostering Innovation in Public Sectors - OECD, 2017).
Berdasarkan praktik baik di daerah, pemda sepatutnya dapat
memanfaatkan ruang kebijakannya untuk melakukan reformasi
birokrasi secara menyeluruh. Pendekatan WOG yang telah dilakukan
oleh tiga daerah sepatutnya dapat dimanfaatkan untuk direplikasi di
daerah lainnya. Untuk menunjang upaya replikasi tersebut, beberapa
tahapan pra-kondisi untuk menerapkan WOG sepatutnya juga menjadi
perhatian pemda sehingga dapat menghasilkan dampak yang efektif
bagi kepentingan masyarakat. Reformasi tersebut pada akhirnya harus
mengarah pada pemenuhan hak dan kebutuhan dasar (UU 25/2009),
peningkatan kesejahteraan dan membangun kepercayaan masyarakat
(UU 23/2014).

Gambar 1. Desain Reformasi Layanan Publik dengan


Pendekatan The Whole Government Approach

501
Penutup
Permasalahan birokrasi pelayanan publik di Indonesia sepatutnya kini
perlu menjadi perhatian pemerintah, terutama pemda. Pemda memiliki
andil yang cukup besar pasca era otonomi daerah. Pendekatan
reformasi birokrasi pelayanan publik secara parsial sepatutnya tidak
menjadi lagi menjadi pilihan agenda reformasi kebijakan. Daerah
memerlukan pendekatan pemerintah secara menyeluruh (WOG) dalam
rangka mencapai perbaikan birokrasi pelayanan publik secara holistik.
Sebagaimana praktik baik yang sudah dilaksanakan oleh tiga daerah
(Surabaya, Pontianak dan Denpasar) telah melakukan upaya perbaikan
proses pelayanan. Namun, proses layanan yang sudah baik dapat
ditingkatkan agar lebih efektif. Pemohon tidak perlu mengidentifikasi
siapa penyedia layanan, namun ia hanya perlu tahu satu kantor, satu
sistem dimana ia dapat mengaksesnya.
Peran masyarakat saat ini tidak lagi hanya sebagai objek namun harus
diubah menjadi subjek layanan. Masyarakat sepatutnya dilibatkan
dalam setiap kebijakan dan program yang diberikan oleh pemda,
misalnya dalam pembutan regulasi, desain sistem dan prosedur
layanan. Prinsip-prinsip keterbukaan layanan publik dapat
mengakomodir kebutuhan masyarakat. Hal tersebut akan menambah
perspektif pemda untuk membangun layanan publik yang
berintegritas. Terakhir, instrumen monitoring perlu di desain dalam
pelaksanaan layanan publik. Desain monitoring yang menjawab
kebutuhan masyarakat seyogyanya dilakukan secara berkelanjutan dan
memudahkan pemda dalam menilai kualitas layanan publik secara
berkelanjutan.

Daftar Pustaka
Ariss, Mounir., dan Ozan Bayulgen, 2010, Integrated Public Service
Delivery, USA: Pappers and Rogers Group.
Https://www.opengovpartnership.org/stories/how-about-defining-
open-government-principles, diakses pada tanggal 3 Agustus
2016.
Kementerian PANRB, 2014, Laporan Kinerja Kementerian PANRB
Tahun 2014, Jakarta: Kementerian PANRB

502
OECD, 2016, Open Government in Indonesia, Paris: OECD
Publishing.
OECD, 2017, Fostering Innovation in the Public Sector, Paris: OECD
Publishing.
OECD, 2017, Government at a Glance 2017, Paris: OECD Publishing.
Ombudsman RI, 2016, Hasil Penilaian Kepatuhan Terhadap Standar
Pelayanan dan Kompentensi Penyelenggaraan Pelayanan
Sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik. Jakarta: Ombudsman.
Pusat Inovasi Pelayanan Publik, 2016, Penyusunan Ragam Inovasi
Administrasi Negara, Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.
Minister for Government Policy, 2011, Open Public Services White
Paper, UK.
Tom Christensen dan Per Laegreid, 2007, The whole of Government
Approach to Public Sector Reform, Public administration
review, Volume 67 No. 6 (Nov-Dec 2007). USA.
Wimmer., Maria A., 2002, Modelling for Online One Stop
Government, Journal Electronic Market Volume 12. USA:
Taylor & Francis.
World Bank, 2017, Ease of Doing Business 2017, Washington DC:
World Bank.

503

Anda mungkin juga menyukai