SKRIPSI
Disusun oleh
YUHAN CAHYANTARA
NIM : 024314007
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya orang lain, baik itu sebagian maupun seluruhnya, kecuali yang
telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya suatu karya
ilmiah.
Yuhan Cahyantara
iv
108
Motto
Persembahan
vi
110
KATA PENGANTAR
Rasa syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
kasih dan kekuatan yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis mampu
menyelesaikan karya ini. Sungguh, Dia yang menjadi sandaran segala harapan
Selain itu, karya ini juga terwujud atas bantuan dan perhatian dari berbagai
pihak yang sungguh berarti bagi penulis. Untuk itulah dalam kesempatan yang indah
saran, kebebasan dalam menulis, dan mengoreksi karya ini. Berkat bimbingan
Bapak penulis merasa tenang dan optimis dalam menyusun karya ini.
akademis penulis. Terima kasih atas koreksi, perbaikan awal, dan penjelasannya,
Sebagai Kaprodi Ilmu Sejarah yang telah memberikan dorongan bagi penulis
Drs. Ign. Sandiwan Suharso, Dra. Lucia Juningsih, M.Hum, Drs. Silverio R.L.
Aji Sampurno, M.Hum, dan Dr. Baskara T. Wardaya, S.J. yang telah memberikan
vii
111
5. Bapak F.X. Sugiyono, Bsc. dan Ibu Serafica Listi Sulaxmi, Mas Koko dan Ester.
6. Reni, yang telah membuat abstrak untukku. Bersamamu aku merasakan kasih dan
sayangmu.
7. Qeqe, yang selalu bisa membuatku tertawa dan bahagia. Terima kasih juga atas
8. Ada dan Iren, senang mengenal kalian. Banyak juga kebahagiaan yang kudapat
dari kalian.
9. Teman-temanku di 2002 :
Ida, Mamik, Gusti, Vila, Ela, Nana, Feny, Yosi, Hananto, Markus, Eko, Daniel,
Roger, Vianney, Devi, Yuda, Halim, Ekarama, Opet, Elang, Soekarno. Senang
10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah skripsi ini. Terima kasih juga atas
koreksinya.
11. Musik-musik yang selalu menjadi teman dan pengiringku selama ini :
Dewa-Dewi, Ungu – Bayang Semu, Linkin Park – Numb, Evo – Terlalu Lelah,
12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih.
Penulis
viii
112
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
MOTTO ........................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ............................................................................................ vi
ABSTRAK ....................................................................................................... ix
ABSTRACT..................................................................................................... x
DAFTAR ISI.................................................................................................... xi
H. Hipotesis .................................................................................... 15
xi
113
BAB V. PENUTUP......................................................................................... 89
LAMPIRAN
xii
114
ABSTRAK
ix
115
ABSTRACT
x
BAB I
PENDAHULUAN
mengangkat senjata dan berkonfrontasi secara fisik di medan tempur, tetapi ada
bentuk perjuangan lain yang bisa dilakukan dalam menghadapi penjajah. Strategi
bersifat radikal revolusioner, tetapi ada juga strategi lain yang bersifat politis
Indonesia dalam melawan penjajahan Belanda, terutama pada masa 1946 – 1949
ketika bangsa Indonesia berusaha untuk mengalahkan Belanda, baik dengan cara
dikatakan bahwa pada masa 1946 – 1949 merupakan masa-masa pasang surut
Militer Belanda I pada tanggal 21 Juli 1947 adalah suatu peristiwa yang cukup
1
2
Indonesia sebatas Pulau Jawa, Sumatera, dan Madura. Jelas bahwa Agresi Militer
Belanda I telah melanggar salah satu pasal dalam Perjanjian Linggajati, terutama
dunia internasional. India dan Australia adalah dua negara yang secara tegas
mengecam agresi tersebut dan membela negara Indonesia karena alasan rasa
negara terhadap Dewan Keamanan PBB (DK PBB) agar ikut terlibat dalam
PBB mengeluarkan sebuah resolusi pada tanggal 1 Agustus 1947 yang intinya
pihak ketiga sebagai mediatornya.2 Dengan adanya resolusi ini maka setidaknya
konflik antara Indonesia – Belanda bisa sedikit mereda karena kini mulai banyak
Indonesia – Belanda kini bukan lagi hanya merupakan masalah bilateral saja,
tetapi sudah menjadi perhatian dunia internasional, terlebih lagi adanya resolusi
1
K.M.L. Tobing, 1986, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia : Renville, Gunung Agung,
Jakarta, hlm. 2.
2
G. Moedjanto, 1989, Indonesia Abad ke-20 Jilid II, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 16.
3
dari DK PBB jelas merupakan suatu bentuk nyata perhatian dunia internasional
pembentukan Komisi Jasa-jasa Baik atau lebih dikenal dengan nama Komisi Tiga
Negara (KTN) yang akan bertindak sebagai mediator dalam perundingan antara
Indonesia – Belanda. KTN ini nantinya terdiri dari tiga negara, yaitu : satu negara
yang ditunjuk oleh Indonesia, satu negara yang ditunjuk oleh Belanda, dan satu
negara lagi yang merupakan hasil pilihan dua negara yang ditunjuk oleh
Serikat (AS) sebagai anggota KTN yang ketiga, dengan demikian lengkaplah
sudah komposisi KTN.3 Pada tanggal 27 Oktober 1947 KTN telah tiba di Jakarta
bersama dengan sejumlah peninjau militer yang akan melakukan survei lapangan
untuk membantu KTN dalam mengetahui secara konkret konflik yang terjadi
lain pun muncul menyangkut masalah tempat perundingan. Indonesia tidak mau
pun berusaha mencari tempat perundingan yang dapat dianggap netral dan tentu
saja bisa disetujui oleh kedua negara tersebut. Setelah melalui lobi-lobi politiknya
3
Lihat dalam Terminologi Sejarah Indonesia 1945-1950 dan 1950 – 1959, 1996, Depdikbud,
Jakarta, hlm. 91.
4
Priok. Kapal tersebut bernama U.S.S. Renville, sehingga nantinya perundingan ini
Militer I. Untuk itulah kemudian delegasi pun dibentuk, delegasi Indonesia yang
Widjojoatmodjo.4
Alasan penulis memilih judul ini karena selama ini wacana mengenai
Disamping itu Menurut Hans J. Morgenthau - seorang ahli ilmu politik dari
Jerman - ada sembilan faktor yang menjadi unsur kekuatan nasional suatu negara,
4
Ide Anak Agung Gde Agung, 1983, Renville, terj., Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 57 – 59.
5
taktik militer oleh para pemimpin militernya untuk kekuatan dalam masa
perang.”5
mempunyai arti penting sebagai salah satu kekuatan nasional dalam membina
hubungan suatu negara dengan negara lain, dalam keadaan damai maupun
perang. Hal ini pun tak luput juga terjadi pada bangsa Indonesia bila merujuk
1947. Berbagai hal yang berhubungan dengan sisi-sisi diplomasi antara Indonesia
penulis akan mencoba untuk mengambil esensi dari Perundingan Renville untuk
5
Hans J. Morgenthau, 1990, Politik Antarbangsa, terj., Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
hlm. 213.
6
Agresi Militer Belanda tanggal 21 Juli 1947 ke Indonesia. Banyak negara yang
penghentian konflik yang telah dilanggar oleh Belanda. Melalui KTN yang
merupakan komisi yang dibentuk oleh DK PBB, Indonesia dan Belanda harus
oleh Indonesia maupun Belanda, antara lain adalah menyangkut tentang wilayah
kedaulatan masing-masing negara dan status hubungan kedua negara.6 Dalam hal
telah menduduki wilayah-wilayah Indonesia yang secara resmi telah diakui oleh
tuntutan, negosiasi, dan kesepakatan menjadi suatu hal yang perlu untuk
6
G. Moedjanto, op.cit., hlm. 17-21.
7
Renville ?
Indonesia – Belanda ?
tersebut, yaitu dari tahun 1947 – 1948. Secara lebih khusus, penulis hanya akan
tahun 1948.
C. Pokok Permasalahan
peristiwa Agresi Militer Belanda I saja, tetapi juga merupakan suatu perundingan
negara selama ini agar diketahui posisi dan kapasitas masing-masing negara
adalah peran penting yang dapat diambil dari proses perundingan tersebut bagi
hubungan kedua negara yang saling bertikai tersebut. Untuk lebih memfokuskan
D. Tujuan Penelitian
kehidupan bernegara. Secara implisit penulis ingin agar penelitian ini mampu
E. Manfaat Penelitian
masa kini dan yang akan datang, yaitu aspek pembelajaran sejarah. Penelitian ini
F. Tinjauan Pustaka
Perundingan Renville.
Buku yang pertama adalah Ide Anak Agung Gde Agung, 1983, Renville,
terj., Sinar Harapan, Jakarta. Buku ini berisi tentang pandangan dan gagasan
terjadi selama perundingan berlangsung pun turut dikaji, antara lain mencakup
tentang sekelumit kisahnya sewaktu masih aktif sebagai diplomat dari Perjanjian
Linggajati sampai dengan Konferensi Asia Afrika. Sisi penting buku ini adalah
11
dalam buku ini penulisnya mampu memberikan argumentasi yang jelas terhadap
perspektif yang positif terhadap diplomasi yang selama ini dilaksanakan oleh
pemerintah RI. Selain itu sisi-sisi diplomasi tidak hanya dipandang dari sisi
Hubungan Indonesia – Belanda Periode 1945 – 1950 Jilid I. Buku ini diterbitkan
oleh Upakara atas disposisi dari Kementerian Luar Negeri Indonesia pada tahun
baik yang berasal dari pihak Indonesia maupun pihak Belanda pada periode 1945
yang terjadi di seputar Perjanjian Renville. Buku ini membantu penulis dalam
mengetahui lebih banyak tentang sudut pandang politik kedua negara, yaitu dari
tersebut.
12
Politik Bangsa Indonesia : Renville, Gunung Agung, Jakarta. Buku ini berisi
berlangsung dan lobi-lobi politik yang terjadi antara Indonesia – Belanda dalam
segi kausalitas, sehingga setiap bagiannya mempunyai penjelasan yang jelas dan
tambahan penting bagi penulis dalam mencari akar permasalahan yang terjadi
Indonesia Independence and the United Nations. Buku ini diterbitkan oleh
Stevens and Sons Limited pada tahun 1960 di London. Buku ini banyak memuat
perdamaian yang ditempuh oleh Indonesia dan Belanda pada periode 1946 –
dengan Konferensi Meja Bundar. Buku ini banyak membantu penulis dalam
konflik.
Selain itu penulis juga menggunakan beberapa buku lain sebagai referensi
dalam penelitian ini. Ada buku yang berjudul Di Bawah Bendera Revolusi tulisan
Ide Anak Agung Gde Agung yang berjudul Pernyataan Rum-Van Roijen 7 Mei
politik yang terjadi di negeri Belanda pada periode 1948 yang pada dasarnya
Renville.
terdapat perbedaan dengan penelitian ini dalam hal isinya. Di dalam buku-buku
ini lebih komprehensif dalam melihat Perundingan Renville sebagai suatu proses
Indonesia – Belanda.
G. Kerangka Konseptual
Renville ini akan memuat suatu hal yang berhubungan dengan konflik yang
yang jelas tentang pengertian konflik itu sendiri. Selain itu dalam penelitian ini
bilateral yang juga akan diberi pengertian sesuai dengan konteks dalam penelitian
walaupun dalam kadar yang rendah.7 Dalam konteks ini konflik diartikan sebagai
hubungan antara satu negara dengan negara lain. Dalam konteks ini perundingan
perjanjian diartikan sebagai suatu persetujuan yang dibuat oleh kedua belah pihak
masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.9
Dalam konteks ini diplomasi diartikan sebagai pengalaman dan kecakapan dalam
7
Menurut Alfian dalam Prisma, edisi 3 Maret 1977, hlm. 89.
8
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, Depdikbud, Jakarta, hlm. 759.
9
Ibid., hlm. 351.
15
hal perhubungan antara negara dan negara.10 Dalam konteks ini bilateral diartikan
dalam penelitian ini penulis akan menampilkan tiga pernyataan yang menjadi
sangat dipengaruhi oleh adanya faktor keuntungan yang diperoleh dari hasil
perjanjian tersebut.
H. Hipotesis
ditempuh oleh Indonesia dan Belanda di bawah pengawasan PBB melalui KTN
perdamaian ternyata bukanlah hal yang mudah untuk segera diwujudkan karena
substansi yang akan dibahas, tetapi juga menyangkut tentang substansi itu
10
Ibid., hlm. 207.
11
Ibid., hlm. 117.
16
tuntutan dari Indonesia dan Belanda yang pada dasarnya menghendaki agar
Akibatnya adalah sulit bagi kedua belah pihak untuk membuat kesepakatan yang
Hipotesis I :
Indonesia atas Pulau Jawa, Sumatera, dan Madura karena dengan agresinya
Malang.12 Resolusi DK PBB tanggal 1 Agustus 1947 yang berisi tentang perintah
12
Robert Bridson Cribb, 1990, Gejolak Revolusi di Jakarta 1945 – 1949 : Pergulatan antara
Otonomi dan Hegemoni, terj., Grafiti, Jakarta, hlm. 150-152.
17
perundingan berjalan lebih lanjut harus ditentukan dahulu batas wilayah masing-
masing negara agar diketahui secara pasti posisi masing-masing negara. Secara
Belanda. Garis ini dikenal dengan nama garis Van Mook.13 Indonesia tentu saja
batas wilayah setidaknya harus mengacu pada resolusi DK PBB pada tanggal 1
Agustus 1947, bukan seperti yang dituntut Belanda pada tanggal 29 Agustus
pendudukan terhadap wilayah Indonesia secara ilegal. Bagi Indonesia hal tersebut
tidak hanya sekedar batas wilayah saja, tetapi juga menyangkut masalah
Hipotesis II :
dalam menentukan batas-batas daerah pendudukan dan perbedaan itu sulit untuk
akan memanas.
13
Ibid., hlm. 166.
18
Selain masalah wilayah kedaulatan, ada juga masalah lain yang muncul di
Indonesia dengan usul-usulnya yang sangat keras. Belanda menuntut agar konflik
agar Indonesia masuk sebagai negara bagian dalam pemerintahan sementara itu
Indonesia diambil alih olehnya.15 Tentu saja Indonesia keberatan atas rencana
tersebut karena hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan Indonesia
sebagai negara yang merdeka. Indonesia tidak mau menjadi negara bagian karena
14
Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., hlm. 86-87.
15
Ibid., hlm. 80-87.
19
sikap Letnan Gubernur Jenderal Van Mook yang tetap tidak mau berkompromi
tegang.16 Hal tersebut tentu saja juga berpengaruh pada hubungan kedua negara.
Hipotesis III :
tanggal 17 Januari 1948, namun bukan berarti hasil-hasil dari perjanjian tersebut
bisa dengan mudah untuk dilaksanakan. Secara garis besar pasal-pasal di dalam
saja yang cara-cara untuk mewujudkannya belum dirumuskan secara rinci. Dari
sekian pasal yang ada di dalam Perjanjian Renville, pasal yang paling krusial dan
namun Indonesia tidak sependapat dengan Belanda dalam hal cara-cara teknis
16
Ibid., hlm. 120.
20
adanya perbedaan yang cukup besar tersebut maka situasi pasca penandatanganan
justru akan semakin renggang karena tidak adanya persamaan pandangan dalam
I. Metodologi Penelitian
dengan cara :
1. Heuristik
2. Kritik Sumber
tahap ini penulis mulai membandingkan satu sumber dengan sumber lainnya
dipastikan kevalidannya.
17
Ibid., hlm. 88-89.
21
3. Analisis
maka penulis mulai melakukan interpretasi atas data tersebut dengan tetap
mengacu pada topik yang sedang diteliti. Interpretasi akan selalu berpedoman
4. Penulisan
adalah tahap penulisan. Dalam penulisan ini penulis juga terus melakukan
editing, baik dari segi materi maupun tata bahasanya, sehingga tulisan yang
J. Sistematika Penulisan
penelitian.
Bab III berisi tentang penguraian masalah yang kedua, yaitu : dinamika
BAB II
Renville, kiranya perlu untuk sedikit mengulas kaitan antara Agresi Militer Belanda I
pada tanggal 21 Juli 1947 dengan Perjanjian Linggajati yang akan sangat berpengaruh
pada akar substansi dalam Perundingan Renville. Secara pragmatis Agresi Militer
facto Pemerintah Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatera”.1 Jelas bertentangan,
dan Madura.2
Menurut Belanda aksi tersebut bukanlah suatu bentuk agresi, tetapi hanya
suatu bentuk aksi polisionil saja yang bertujuan untuk memelihara keamanan di
daerah-daerah yang dianggap masih rawan tingkat keamanannya. Selain itu alasan
Belanda mengadakan aksi tersebut karena mereka menilai bahwa Indonesia tidak
bahkan menolak pesan usulan Belanda tanggal 27 Mei 1947 tentang pembentukan
1
Pramoedya Ananta Toer dkk., 2001, Kronik Revolusi Indonesia Jilid III (1947),
Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hlm. 431.
2
Ibid., hlm. 234-295.
23
24
jawab atas apa yang terjadi di seluruh Hindia Belanda, meskipun pada kenyataannya
Sampai di sini dapat diketahui bahwa salah satu motif awal Belanda
tersebut karena pada akhirnya hal itu hanya akan memperkeruh keadaan saja. Dengan
adanya pasukan bersama berarti sama saja dengan mengijinkan pasukan Belanda
untuk masuk ke dalam daerah pendudukan Indonesia secara bebas karena hal itulah
yang menjadi maksud Belanda. Jelas tidak mungkin bagi Indonesia untuk menerima
hal tersebut karena Indonesia menilai bahwa masalah keamanan adalah urusan
internal negara yang secara otomatis menjadi wewenang negara itu sendiri yang tidak
perlu melibatkan pihak asing. Pembentukan pasukan bersama bisa juga dilihat
sebagai suatu taktik Belanda saja agar mereka bisa menempatkan pasukannya dengan
sebenarnya sudah sering memperdebatkan aksi 21 Juli 1947 tersebut di dalam sidang
DK PBB. Hal tersebut tak lepas dari adanya perhatian dan peranan sejumlah negara
anggota DK PBB seperti India dan Australia yang telah berhasil mendesak DK PBB
3
G. Moedjanto, 1989, Indonesia Abad Ke-20 Jilid I, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 186.
25
untuk membahas masalah Indonesia di dalam sidang DK PBB. Pada awalnya Belanda
merasa keberatan bila masalah tersebut dibahas di dalam forum internasional karena
mereka menganggap bahwa hal tersebut adalah urusan internal Belanda sendiri,
mempunyai kompetensi untuk menjelaskan konflik yang terjadi. Namun hal tersebut
India, dan Polandia ternyata telah berhasil membujuk dewan untuk menghadirkan
pihak Indonesia dalam sidang DK PBB karena masalah Indonesia adalah konfilk
yang melibatkan dua negara yang bertikai yang jika tidak segera diatasi bisa
bulan Agustus pada dasarnya masih membahas tentang gencatan senjata antara
Indonesia – Belanda.
Pada tanggal 14 Agustus 1947 Syahrir yang menjadi ketua delegasi Indonesia
menyampaikan pidato dalam sidang DK PBB yang berisi tuntutan agar DK PBB
Republik Indonesia pada posisi seperti sebelum agresi.5 Pada intinya Syahrir sebagai
wakil Indonesia sangat mengharapkan bahwa posisi Indonesia, baik secara teritorial
maupun politis harus dipulihkan terlebih dahulu seperti sebelum terjadinya agresi,
tersebut ternyata hanya ditanggapi dengan sikap dingin saja oleh Belanda. Tanpa
Indonesia – Belanda untuk kesekian kalinya. Selain bertumpu pada peristiwa Agresi
Militer Belanda I, Perundingan Renville juga bertujuan untuk memperjelas posisi dan
status masing-masing pihak dalam rangka menyelesaikan konflik yang kini semakin
senjata, hanya saja substansinya semakin kompleks ketika harus membahas tentang
rekapitulasi daerah-daerah kekuasaan dan penarikan pasukan. Selain itu ada juga
substansi lain yang tidak kalah penting, yaitu tentang rencana pembentukan suatu
Belanda sejak tahun 1945, yaitu ketika pasukan-pasukan Inggris datang ke Indonesia
untuk membebaskan tahanan perang dan melucuti pasukan Jepang.7 Hanya saja
lama dalam hubungan Indonesia – Belanda semasa konflik yang belum terpecahkan.
Kini setidaknya ada tiga substansi persengketaan di dalam Perundingan Renville yang
harus dibahas lagi oleh Indonesia dan Belanda. Substansi-substansi tersebut, yaitu :
terjadinya Agresi Militer Belanda I. Dalam hal ini yang diperdebatkan antara
Indonesia – Belanda adalah masih mengenai dampak dari agresi dan tindakan-
oleh DK PBB. Bila dalam agresinya Belanda telah berhasil menduduki kota-kota
yang cukup strategis milik Indonesia, seperti Bandung, Bogor, Cirebon, Semarang,
Surabaya, Palembang, dan Medan, maka hal itu pun terus berlanjut di daerah-daerah
daerah kekuasaan Indonesia yang secara jelas telah melakukan kekerasan militer
8
Pramoedya Ananta Toer dkk., op. cit., hlm. 299-327.
28
senjata adalah substansi dasar yang harus segera dilaksanakan terlebih dahulu agar
perundingan bisa berjalan secara kondusif, tetapi pada kenyataannya Belanda masih
buntu ketika kedua belah pihak membahas tentang batas-batas daerah pendudukan
yang akan dijadikan pedoman dalam pelaksanaan gencatan senjata. Seperti yang telah
sampai pada posisi sebelum agresi, yang berarti bahwa Indonesia tetap berpegang
pada posisinya yang diakui dalam Perjanjian Linggajati sebagai batas wilayah
membuat rancangan sendiri dengan mengajukan tuntutan bahwa garis demarkasi yang
dipakai adalah garis pendudukan pasukannya pada saat gencatan senjata, yaitu
tanggal 4 Agustus 1947.9 Garis itu dinamakan garis Van Mook karena dinyatakan
oleh Letnan Gubernur Jenderal Belanda H.J. Van Mook. Sebagai gambaran garis Van
Mook itu meliputi Jawa Barat kecuali Banten, sebagian Jawa Tengah meliputi
Banyuwangi, dan Pulau Madura, itu pun belum termasuk di Pulau Sumatera.10
9
Garis demarkasi, daerah kosong, atau daerah yang tidak bertuan, pada umumnya sesuai
dengan garis status quo. Garis status quo itu merupakan batas daerah yang diduduki oleh tentara
Belanda sesuai dengan proklamasi Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 29 Agustus 1947. Ada di
dalam Slametmulyana, 1986, Kesadaran Nasional Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan Jilid 3,
Inti Idayu Press, Jakarta, hlm. 99.
10
Berdasarkan peta dalam George McTurnan Kahin, op. cit., hlm. 294.
29
dan tidak memiliki dasar yang legal. Indonesia menilai bahwa garis Van Mook adalah
suatu hal yang dipaksakan karena didapat Belanda dengan cara menyerang daerah-
daerah yang secara efektif masih dikuasai oleh pasukan Indonesia, dan terlebih lagi
hal tersebut dilakukan tanpa mematuhi adanya perintah gencatan senjata dari DK
PBB.
memang menjadi substansi yang cukup alot dalam pembahasannya. Baik Indonesia
dan penentuan batas-batas wilayah kedaulatan. Di antara kedua belah pihak belum
Agresi Belanda yang kemudian diikuti dengan adanya tuntutan Belanda atas garis
Van Mook membuat daerah kekuasaan Indonesia menjadi semakin sempit. Bila
pasukan untuk melaksanakan gencatan senjata, maka dalam hal ini Indonesia –
yaitu : di Jawa Barat kecuali Banten, sebagian kecil Jawa Tengah, Jawa Timur, Pulau
Madura, dan Pulau Sumatera. Status yang diperdebatkan di sini tidak hanya
30
jaminan keamanan, penarikan pasukan yang masih ada di sana, dan proses penentuan
Federal Sementara dan NIS. Dari beberapa substansi perundingan yang telah
disebutkan sebelumnya, substansi inilah yang merupakan substansi paling krusial dan
dalamnya termuat beberapa masalah yang menyangkut tentang posisi dan status
masing-masing pihak di masa yang akan datang. Substansi tentang pembentukan NIS
ini merupakan suatu rencana jangka panjang yang cukup rumit dalam proses
masing-masing pihak yang harus terlebih dahulu dinyatakan sebagai salah satu bagian
terpentingnya.11
dalam Perundingan Renville yang menurut Belanda adalah sebagai suatu bentuk
hubungan kerja sama antarnegara yang berdasarkan atas persamaan status. Secara
lebih lanjut Belanda menjelaskan bahwa pada dasarnya NIS adalah suatu bentuk
lain yang akan tergabung dalam persemakmuran itu, termasuk juga Indonesia dan
11
Ide Anak Agung Gde Agung, 1995, Persetujuan Linggajati : Prolog dan Epilog, Yayasan
Pustaka Nusatama – Sebelas Maret University Press, Yogyakarta, hlm. 47.
31
pembentukan NIS tersebut, kedaulatan Belanda atas Indonesia tetap berlaku dan akan
diserahkan kepada NIS setelah NIS itu terbentuk. Masing-masing negara bagian akan
diberi status merdeka di bawah NIS yang akan dikepalai oleh Belanda.13 Tetapi
substansi tersebut baru merupakan wacana besar saja karena pembahasan lebih lanjut
Indonesia.
tersebut karena ada banyak hal yang terkesan kurang jelas dan terkesan tidak adil.
Banyak masalah yang belum dibahas oleh Indonesia maupun Belanda menyangkut
dijernihkan terlebih dahulu agar Indonesia dapat mengambil keputusan yang tepat
tersebut karena hal-hal tersebut berpengaruh terhadap hak dan kedaulatannya sebagai
suatu negara.
12
Ibid., hlm. 49 dan Pramoedya Ananta Toer dkk., op. cit., hlm. 432.
13
Ibid.
32
Bila ditelusuri secara lebih jauh ide awal tentang adanya rencana
pembentukan NIS tersebut sebenarnya sudah ada jauh sebelum adanya Perundingan
Renville, bahkan sebelum adanya Perjanjian Linggajati, hanya saja hal tersebut tidak
secara cepat dapat dilaksanakan karena masih adanya perbedaan pandangan antara
Indonesia – Belanda dalam tata cara teknis pembentukannya. Ide tersebut datang dari
hasil kompromi antara Letnan Gubernur Jenderal Van Mook dengan Syahrir pada
awal bulan Desember 1945 yang kemudian disampaikan oleh Van Mook kepada
Menteri Urusan Tanah Seberang Belanda, Logemann.14 Dapat diketahui bahwa ide
tersebut sebenarnya sudah ada sejak pasukan Inggris datang ke Indonesia untuk
negerinya sehubungan dengan kemenangan Sekutu pada Perang Dunia II (PD II). Jadi
sebenarnya ada kaitan antara kedatangan Inggris dan proses perundingan antara
Indonesia.15 Pada awalnya Belanda menaruh harapan besar pada Inggris yang datang
memulihkan kekuasaannya di Indonesia seperti sebelum tahun 1942. Pada saat itu
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 – karena pada saat itu terjadi kekosongan
14
Ibid., hlm. 45-50.
15
M.C. Ricklefs, op. cit., hlm. 435.
33
dan memulangkan pasukan Jepang ke negerinya dan sama sekali tidak untuk
Indonesia agar proses pembebasan tahanan perang dapat berjalan dengan lancar.16
Kejelasan sikap Inggris inilah yang membuat Van Mook mulai sadar bahwa
sudah tidak mungkin lagi bagi Belanda untuk menguasai kembali Indonesia dan
karena jelas bahwa sikap Inggris adalah tidak setuju dengan maksud pemerintahnya
menyatakan bahwa keadaan di Indonesia kini sudah berubah, dimana gerakan rakyat
untuk menuntut kemerdekaan semakin kuat dan meluas membuat Van Mook pun
menyadari bahwa Belanda sudah tidak mempunyai posisi yang cukup kuat di
kepada pemerintahnya di Belanda bahwa dengan situasi yang seperti saat ini tidaklah
mungkin bagi Belanda berkuasa kembali di Indonesia seperti sebelum tahun 1942 dan
16
Osman Raliby, 1953, Documenta Historica, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 43.
34
Awalnya, Pemerintah Belanda yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri
Urusan Tanah Seberang Logemann menentang sikap Van Mook tersebut dan
memanfaatkan situasi yang ada. Tetapi setelah diyakinkan oleh Van Mook,
Pemerintah Belanda baru bisa sedikit melunak dan mulai membicarakan rekomendasi
Van Mook tersebut. Hasil pembicaraan antara Van Mook dan Syahrir pada awal
bulan Desember 1945 itulah yang akhirnya dijadikan dasar pemikiran bagi Logemann
lain menyatakan :
Ide untuk membentuk NIS itu lebih tampak sebagai suatu langkah alternatif
Belanda dalam menghadapi situasi politik di Indonesia yang cukup dilematis. Di satu
sisi Belanda tetap ingin menanamkan pengaruhnya di Indonesia, tetapi di sisi lain
keberadaan Inggris yang tetap tegas pada misi utamanya jelas merupakan situasi yang
persemakmuran adalah suatu jalan tengah yang ditempuh oleh Belanda untuk
17
Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., hlm. 31-50.
18
Ibid., hlm. 49.
35
Rencana pembentukan NIS adalah suatu bentuk konsesi politik yang ditawarkan oleh
Belanda dan diharapkan agar dengan cara tersebut pihaknya masih tetap bisa
mengikat Indonesia dalam suatu hubungan kerja sama, meskipun bentuknya masih
samar-samar.
36
BAB III
terlebih dahulu agar gencatan senjata bisa dilaksanakan secara efektif. Proses
yang menurut Belanda harus segera dibahas oleh kedua belah pihak dalam
bidang militer belum dituntaskan, maka akan sulit bagi pihaknya untuk
khususnya mengenai gencatan senjata akan bisa dilaksanakan secara efektif jika
karena pada dasarnya masih terdapat persengketaan di antara kedua belah pihak
36
37
politik antara Indonesia – Belanda merupakan substansi yang lebih penting dan
bahwa di antara kedua belah pihak ternyata masih belum menemukan suatu
substansi-substansi yang ada. Meskipun dalam hal ini keberadaan KTN sebagai
sehingga masih sulit bagi keduanya untuk menempatkan substansi yang dihadapi
secara obyektif dan proporsional. Obyektif dalam hal ini adalah perlunya
pihak lain.
Adanya usaha yang dilakukan oleh KTN dengan cara melakukan lobi-lobi
politik di antara kedua belah pihak sering terganjal oleh sikap Belanda yang
cenderung kaku dan sulit untuk diajak memahami substansi yang ada dari sudut
pandang kedua belah pihak. Selain itu hambatan terhadap jalannya perundingan
juga sering berasal dari dalam DK PBB sendiri. Adanya perbedaan pandangan
yang akan merugikan posisi Belanda, baik secara militer maupun politik.1 Posisi
Belanda yang lebih kuat secara militer membuat Belanda mempunyai daya tawar
yang lebih tinggi dalam menghadapi setiap tuntutan Indonesia, sehingga dasar
karena selain masih adanya sejumlah pertempuran di lapangan, hal tersebut juga
disebabkan oleh adanya perang urat saraf yang terus dilakukan oleh Indonesia
bentuk sentimen politisnya kepada pihak lain untuk menunjukkan eksistensi dan
dari dunia internasional dan untuk menciptakan situasi-situasi yang mungkin bisa
secara de facto maupun de jure seperti dari Inggris, AS, Mesir, Libanon, Suria,
1
Alastair M. Taylor, 1960, Indonesian Independence and the United Nations, Stevens and
Sons Limited, London, hlm. 54, 57, dan 62.
39
Afganistan, Burma, Arab Saudi, Yaman, Rusia, dan India tetap berpandangan
adanya faktor simpati dan dukungan dari dunia internasional dan keterlibatan DK
PBB melalui KTN yang secara teoritis bisa diharapkan membantu menyelesaikan
konfliknya dengan Belanda selama ini. Bagi Belanda sendiri perundingan ini
mungkin menjadi sesuatu hal yang tidak diharapkan sejak Van Kleffens gagal
Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) pada tanggal 2
bahwa:
2
G. Moedjanto, 1989, Indonesia Abad Ke-20 Jilid I, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 138.
3
Charles Wolf Jr., 1948, The Indonesian Story, The John Day Company, New York, hlm.
138.
40
Cukup singkat memang inti dari pidato PM Amir Syarifuddin tersebut, tetapi
politik yang cukup mengejutkan berbagai pihak. Partai Majelis Syura Muslimin
kabinetnya dengan memasukkan sejumlah nama baru yang berasal dari Masyumi
ke dalam kabinetnya.6
4
A.H. Nasution, 1978, Sekitar Perang Kemerdekaan I Jilid 6 : Perang Gerilya Semesta I,
Angkasa, Bandung, hlm. 5-6.
5
Pramoedya Ananta Toer dkk., 2001, Kronik Revolusi Indonesia Jilid III (1947),
Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hlm. 400.
6
Masyumi mendapat enam kursi di dalam Kabinet Amir Syarifuddin yang telah dirombak
pada tanggal 11 November 1947. Lihat Susan Finch and Daniel S. Lev, 1965, Republic of Indonesia
Cabinets 1945 – 1965, Interim Reports Series, New York, hlm. 12-14.
41
Amir Syarifuddin karena kini dapat dikatakan bahwa sebagian besar partai politik
yang didukung oleh partai-partai dari Sayap Kiri maupun Nasional. Dari Sayap
Kiri terdapat Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Partai Buruh
(PNI), Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), dan Masyumi.7 Langkah PM Amir
tercermin dalam pidato politik para pemimpinnya. Salah satu pidato politik
Belanda adalah pidato yang diucapkan Van Mook di dalam suatu siaran radio
7
Ibid.
42
……………………………………………………………………………
“Mungkin kami salah, karena terlalu sabar, sehingga elemen-elemen
jahat dalam Republik semakin merajalela melakukan penculikan,
pembunuhan, perusakan dan pembakaran di daerah-daerah yang
mereka tidak dapat pertahankan dengan membawa serta sandera-
sandera Belanda yang berhasil mereka tangkap. Semuanya dilakukan
untuk mempertahankan kejahatan mereka. Pemerintah Republik tidak
mampu membangun suatu pemerintahan, sekalipun hanya yang
menyerupai suatu sistem pemerintahan yang mempunyai peraturan
keuangan, ekonomi, dan sosial. Pendeknya, jika Republik dibiarkan
menyelesaikan urusannya sendiri, mereka tidak akan mampu mencapai
sesuatu yang dapat diandalkan untuk memperoleh kemerdekaan yang
berdaulat.”8
menuduh bahwa pemerintah Indonesia saat ini tidak mampu menjalankan roda
Mook tersebut penuh dengan nuansa sentimen politis terhadap Indonesia yang
secara sekilas apa yang dikatakannya seolah-olah benar, tetapi tanpa disertai
8
K.M.L Tobing, 1986, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia : Linggajati, Gunung Agung,
Jakarta, hlm. 170-171.
9
Ibid.
43
sendiri itulah yang oleh Belanda disebut sebagai negara federal, sedangkan
merasa tidak puas dengan pemerintahan Indonesia saat ini dan lebih
layaknya suatu negara yang kemudian diberinya status otonom sebagai suatu
Timur (NIT).12 Kemudian diikuti dengan adanya gerakan Partai Rakyat Pasundan
di Jawa Barat pada bulan Mei 1947, dimana dalam kasus ini ada indikasi bahwa
Jawa Barat. Selain itu Belanda juga membentuk Negara Kalimantan Barat dan
kemudian memberikan status daerah otonom atas Kalimantan Timur pada bulan
Agustus 1947, setelah itu Belanda juga membentuk Negara Sumatera Timur pada
10
Audrey Kahin, 1985, Regional Dynamics of the Indonesia Revolution : Unity from
Diversity, University of Hawai Press, Honolulu, hlm. 220-221.
11
Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 58-59.
12
Audrey Kahin, op. cit., hlm. 218.
44
bulan Desember 1947.13 Dari keterangan tersebut hal yang dapat dikatakan
pemerintahan Indonesia.
Belanda ternyata masih terhambat oleh adanya perbedaan prinsip dalam memulai
substansi politiklah yang harus didahulukan. Selain itu masing-masing pihak pun
substansi yang ada. Pada substansi gencatan senjata misalnya, kedua belah pihak
13
Charles Wolf Jr., op. cit., hlm. 106 dan 108. Lihat juga dalam Anthony Reid, 1974,
Indonesian National Revolution 1945-1950, Longman, Australia, hlm, 116.
45
senjata berarti perintah bagi pasukannya untuk tetap tinggal di tempat dan
pembersihan terhadap pasukan Indonesia yang masih berada di dalam garis Van
Mook.14 Oleh karena adanya perbedaan penafsiran itulah kedua belah pihak
sering terlibat dalam perdebatan karena Indonesia menuduh Belanda tidak mau
mematuhi resolusi DK PBB karena secara sepihak pasukan Belanda masih saja
oleh pasukan Belanda. Hal itulah yang membuat pertempuran antara pasukan
secara sistematis diuraikan oleh Komisi Konsuler dalam laporannya kepada KTN
pada bulan Oktober 1947 yang juga menyatakan bahwa gencatan senjata tidak
14
Robert J. McMahon, 1981, Colonialism and Cold War : The United States and the
Strunggle for Indonesian Independence 1945 – 1949, Cornell University Press, London, hlm. 190.
15
Basuki Suwarno, 1999, Hubungan Indonesia – Belanda Periode 1945 – 1950 Jilid I,
Upakara, Jakarta, hlm. 262.
46
yaitu pada tanggal 4 Agustus 1947, sedangkan Belanda berpendapat bahwa garis
telah diduduki, dalam hal ini Belanda menuntut agar garis Van Mook dijadikan
politik menjadi terbengkalai karena kedua belah pihak terus cenderung untuk
DK PBB pun sering terjadi perbedaan pendapat. Dalam hal ini dapat
yang cenderung akan merugikan Belanda. Dalam sidang DK PBB sendiri terjadi
beberapa kali penolakan rancangan resolusi yang pada intinya berisi tentang
perintah untuk menarik mundur pasukan Belanda pada posisi semula, yaitu
sebelum tanggal 21 Juli 1947. Salah satunya adalah ketika pada tanggal 11
16
George McTurnan Kahin, 1995, Nasionalimse dan Revolusi di Indonesia, terj., UNS Press,
Jakarta, hlm. 274.
47
Belanda ke daerah yang mereka duduki sebelum terjadinya agresi 21 Juli 1947.17
Rancangan tersebut juga didukung oleh Australia, Kolombia, dan Polandia, tetapi
tentangan datang dari AS. Warren Austin yang menjadi wakil AS menyatakan
bahwa DK tidak mempunyai data dan informasi yang cukup untuk menilai posisi
resolusi yang diajukan AS tersebut dan menolak rancangan Rusia karena hanya
didukung oleh tiga suara, sedangkan Belgia, Perancis, dan Inggris menolaknya.19
Perancis, dan Belgia untuk merumuskan resolusi yang berisi tentang penarikan
pasukan Belanda membuat DK PBB tidak berhasil menemukan cara yang efektif
sampai bulan Oktober pun belum tercapai suatu kesepakatan yang secara konkret
bisa dilaksanakan.
daerah pendudukan masing-masing pihak pasca agresi 21 Juli 1947. Pada tanggal
15 November 1947, Glenn Abbey (AS) yang bertindak sebagai Ketua Komite
rancangan tersebut, KTN menjelaskan bahwa kini semua kegiatan patroli militer
harus dibatasi sejauh 1 km dari posisi pasukan pihak lain dan melarang
pergerakan pasukan tanpa izin KTN. Adanya penjelasan dari KTN tersebut
pada tanggal 21 Juli 1947 beberapa kesatuan pasukan Indonesia sudah tidak lagi
Belanda, sehingga tidak masuk akal jika Belanda menuntut agar pasukan
20
Ibid., hlm. 69.
21
Basuki Suwarno, op. cit., hlm. 276-277.
49
yang cukup berarti antara Indonesia – Belanda, baik di bidang militer maupun
merupakan dua substansi yang sulit untuk diselesaikan karena masih adanya
dengan cara membuat garis demarkasi yang kemudian diikuti dengan penarikan
pasukan kedua belah pihak. Adanya alasan Belanda yang menyatakan bahwa
22
Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 75-76.
50
mereka diserang terlebih dahulu oleh pasukan Belanda. Dengan situasi demikian
dalam proses perundingan untuk mencapai perdamaian tetapi secara militer kedua
belah pihak masih tetap saja saling bermusuhan karena masih adanya tekanan-
tekanan politik dan militer yang dirasakan oleh masing-masing pihak. Strategi
perlawanan gerilya dilakukan oleh Indonesia karena selain kalah dalam hal
terjepit oleh pasukan Belanda. Dalam kenyataannya gerakan gerilya ini tidak
hanya dilakukan oleh pasukan reguler Indonesia saja, tetapi juga dilakukan oleh
sekelompok orang dari kalangan sipil yang tergabung dalam suatu wadah yang
sering disebut laskar rakyat. Terdapat beberapa nama laskar gerilya yang
Cirebon, dan berbagai daerah lainnya, yang secara aktif terus berusaha untuk
maupun perusakan. 23
23
Robert Bridson Cribb, 1991, Gangsters and Revolutioners : The Jakarta Peoples Militia
and the Indonesian Revolution 1945-1949, University of Hawai Press, Honolulu, hlm. 158-163.
51
atau juga menyergap konvoi pasukan Belanda dan mereka mulai mengundurkan
diri jika merasa terancam oleh pasukan Belanda. Selain itu strategi perlawanan
juga dilakukan dengan cara bumi hangus, yaitu merusak dan membakar hasil-
hasil bumi atau instalasi-instalasi yang menurut mereka sudah tidak dapat
dipertahankan lagi agar tidak bisa dimanfaatkan oleh Belanda.24 Strategi bumi
skala kecil yang dapat diatasi oleh Belanda, tetapi hal tersebut tampaknya cukup
suatu lingkaran masalah yang cukup rumit bagi KTN untuk menengahinya karena
kedua belah pihak tidak mau membuat suatu prioritas dalam menyelesaikannya.
Desember 1947 di atas kapal USS Renville yang bersandar di Tanjung Priok,
Indonesia – Belanda masih saja terjadi aksi-aksi permusuhan, maka hal tersebut
politik.27
daerah kekuasaan Indonesia adalah suatu bukti bahwa pemerintah Belanda ingin
yang terpenting untuk saat ini adalah bagaimana caranya untuk membuat
pembersihan di daerah tersebut yang mengakibatkan 300 orang lebih tewas dan
insiden tersebut bukanlah suatu gerakan pembersihan, tetapi hanya patroli rutin
saja dan penyebabnya pun adalah karena pasukan Indonesia di daerah tersebut
dengan terpaksa Belanda pun mengambil tindakan dengan cara kekerasan. Wakil
delegasi Belanda Van Vrederburch juga menambahkan bahwa dia telah mendapat
28
Ibid.
29
A.H. Nasution, op. cit., hlm. 339.
54
tidak bisa dijadikan alasan oleh Belanda untuk tidak menarik pasukannya karena
menciptakan situasi perundingan yang tidak kondusif. Selain tidak mau menarik
demikian membuat Belanda pun mulai merasa jenuh karena tidak ada keputusan
Indonesia dengan suatu pernyataan yang diucapkan oleh PM Beel yang disiarkan
melalui radio, yang menyatakan bahwa perundingan kini tidak bisa ditunda-tunda
lagi karena memuat substansi yang sangat penting dan harus segera diselesaikan.
Secara implisit PM Beel juga memberikan suatu ancaman bagi Indonesia dengan
Melihat situasi yang demikian KTN pun segera tanggap dan menyarankan
agar Komite segera menyusun suatu rancangan baru yang bisa segera dibahas.
Paul Van Zeeland menyatakan bahwa sebenarnya substansi gerakan senjata bisa
Indonesia dan segera menentukan garis demarkasi.32 Sebagai langkah awal, dia
menyarankan agar garis demarkasi ditetapkan terlebih dahulu sebagai batas posisi
pun kemudian mengirimkan suatu pesan kepada masing-masing pihak yang berisi
1947 dan dikenal dengan nama Pesan Natal yang berisi tentang pokok-pokok
33
Ibid, hlm. 83-84.
56
Salah satu isi dari pesan tersebut yang cukup memberatkan bagi Indonesia adalah
tentang usulan untuk menerima garis Van Mook sebagai garis demarkasi. Bagi
Indonesia tidak ada alasan yang kuat untuk menerimanya karena hal tersebut
semata-mata hanya berdasarkan argumen Belanda saja. Adanya usulan dari KTN
mengenai garis Van Mook merupakan suatu ancaman tersendiri atas posisi
karena penerimaan garis Van Mook akan mengabaikan posisi pasukan Indonesia
pada saat gencatan senjata. Hanya saja Indonesia pun mempunyai pertimbangan
lain yang membuatnya tidak bisa dengan mudah menolak usulan KTN tersebut.
pasukannya tidak sebanding dengan Belanda dan dilaporkan juga bahwa mereka
mulai melemah karena kekurangan amunisi, selain itu adanya jaminan untuk
yang setuju atas pesan dari KTN, hanya saja ada beberapa pasal dalam pesan
34
Abu Hanifah, 1972, Tales of A Revolution, John Sound PT Y LTD, Australia, hlm. 262.
57
beberapa pasal dalam pesan tersebut, khususnya mengenai pasal yang menyebut
Indonesia. Dalam pesan balasannya pada tanggal 2 Januari 1948, Belanda justru
Belanda memberi batas waktu 48 jam bagi Indonesia untuk membahas pesannya
tersebut dengan KTN dan jika dilanggar maka Belanda akan bebas bertindak.
rumit karena salah satu pihak kini mulai melakukan ancaman. Untuk mengatasi
politik tambahan tersebut berisi tentang sejumlah pasal jaminan KTN terhadap
35
Robert J. McMahon, op. cit., hlm. 201.
58
rancangannya agar pihaknya bisa secara jelas mengetahui maksud dari rancangan
tersebut. Untuk itulah kemudian Indonesia bertemu dengan KTN pada tanggal 13
36
Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 88-89.
59
penyerahan kedaulatan itu tidak akan mempengaruhi kedaulatan itu secara utuh.
Lalu Richard Kirby menjawab bahwa pernyataan tersebut adalah suatu kebenaran
seimbang.37
bahwa Indonesia bisa ikut menandatangani konsitusi NIS meskipun secara resmi
belum masuk ke dalamnya sebagai negara bagian. Hanya saja ketika NIS sudah
terbentuk status Indonesia akan menjadi sejajar dengan negara bagian lainnya.38
pemerintahan sementara.
sementara Indonesia tetap melaksanakan hubungan dengan luar negeri. Paul Van
Zeeland dan Frank Graham hanya menjawabnya dengan menyatakan bahwa hal
“perwakilan yang adil” dan apakah negara-negara federal yang dibentuk oleh
Belanda juga akan diberi perwakilan yang adil. Jika demikian bagaimana dengan
37
Ibid., hlm. 91.
38
Ibid., hlm. 91-92.
39
Ibid.
60
suara penduduk di daerah tersebut dalam menentukan sikapnya, apakah akan ikut
Indonesia atau ikut negara lain. Frank Graham menjelaskan bahwa pada tanggal
11 Januari 1947 yang lalu KTN telah menyatakan akan memberikan perwakilan
yang adil untuk semua negara, maka hal tersebut tentu juga berlaku pada negara-
negara federal bentukan Belanda tersebut.40 Maksud dari kata “adil” adalah hal
Belanda, maka kini KTN akan berusaha untuk menjajaki kembali suara penduduk
negara baru di dalam NIS.41 Jadi pemilihan umum tersebut akan menjadi dasar
pemerintahan sementara.
suatu perjanjian. Pada intinya adanya sejumlah jaminan dari KTN seperti yang
termuat di dalam rancangannya membuat Indonesia percaya bahwa untuk saat ini
40
Ibid., hlm. 92-93.
41
Charles Wolf Jr., op. cit., hlm. 149.
61
mengenai garis Van Mook, keberadaan garis tersebut akan dipulihkan lagi
rancangan tersebut.
gencatan senjata dan 12 pasal persetujuan politik, sedangkan naskah yang berisi
enam prinsip politik tambahan baru hanya diajukan saja dan akan ditandatangani
2. 12 Persetujuan Politik
42
Bernard Dahm, 1971, History of Indonesia in the Twentieth Century, Praeger Publishers,
New York, hlm. 130.
43
Lihat lampiran hlm. 102. K.M.L. Tobing, 1986, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia :
Renville, Gunung Agung, Jakarta, hlm. 36-43.
62
BAB IV
Januari 1948 secara formal telah menjadi suatu dasar kesepakatan yang penting
bagi usaha Indonesia dan Belanda dalam rangka menyelesaikan konflik yang
dalam bidang militer maupun politik, yang oleh kedua belah pihak diharapkan
Tercapainya Perjanjian Renville dapat dikatakan sebagai suatu tahapan baru yang
masa yang akan datang. Secara substansial Perjanjian Renville memuat dua
substansi pokok yang selama ini menjadi sumber konflik di dalam hubungan
yang lebih luas Perjanjian Renville adalah suatu usaha Pemerintah Indonesia dan
62
63
Secara teknis Perjanjian Renville masih berbentuk garis-garis besarnya saja dan
masih belum juga berhasil dipecahkan oleh Indonesia dan Belanda dalam proses
cukup dapat dikatakan sebagai suatu langkah yang progressif dalam usaha
ini terlihat pada bagian enam Prinsip Tambahan yang memuat substansi tentang
rencana pembentukan NIS dan Uni yang secara eksplisit menjadi bukti bahwa
hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda di masa yang akan datang, setelah
Perjanjian Renville tampaknya masih memerlukan waktu yang lebih lama karena
belum bisa diatasi. Meskipun dapat dikatakan sebagai langkah yang progressif, di
tersebut ada beberapa pasal yang cenderung merugikan Indonesia. Ada beberapa
harus kehilangan beberapa wilayah kekuasaannya, antara lain atas sebagian Jawa
Barat, Jawa Timur, dan Madura karena adanya penerimaan pasal 1 dan 8 pada
menerima Garis Van Mook Belanda sebagai batas daerah pendudukan kedua
belah pihak pasca Agresi Militer 21 Juli 1947. Penerimaan atas Garis Van Mook
jelas merugikan Indonesia karena garis tersebut dibuat oleh Belanda dengan cara
1
Robert J. McMahon, 1981, Colonialism and Cold Ward : The United States and the Struggle
for Indonesian Independence 1945 – 1949, Correll University Press, London, hlm. 207.
65
senjata dari DK PBB. Kerugian Indonesia menjadi semakin jelas jika melihat
pada pasal 8 yang menyatakan bahwa pasukan Indonesia yang masih berada di
yang dimaksud menuju daerahnya sendiri. Dengan adanya pasal tersebut, maka
Van Mook. Secara otomatis hal tersebut membuat daerah kekuasaan Indonesia
menjadi semakin sempit karena sudah termakan oleh Garis Van Mook Belanda.
Yang lebih tragis lagi adalah sekitar 35.000 pasukan Indonesia harus mengungsi
ke daerah yang telah ditetapkan sebagai akibat dari pasal 8 tersebut yang dalam
dukungan lagi dari dua partai politik terbesar tersebut Kabinet Amir Syarifuddin
tidak bisa menjalankan tugasnya. Penarikan dukungan oleh Masyumi dan PNI
tersebut dilakukan karena kedua partai tersebut merasa kecewa terhadap hasil-
2
Ada di dalam Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa Periode 1945 –
1950, 2004, Deplu, Jakarta, hlm. 658.
66
Masyumi dan PNI tetap merasa kecewa, sehingga memutuskan untuk menarik
dan ternyata didukung oleh mayoritas partai politik yang ada, bahkan partai-
partai dari golongan sayap kiri pun mendukungnya.4 Dalam kabinet ini
Satu hal yang cukup menarik adalah masuknya kembali dukungan dari Masyumi
dan PNI dalam Kabinet Hatta yang secara jelas mendukung Perjanjian Renville
3
Deliar Noer, 1987, Partai Islam di Pentas Nasional 1945 – 1965, Grafitipers, Jakarta, hlm.
175.
4
Susan Finch and Daniel S. Lev, 1965, Republic of Cabinets 1945-1965, Interim Departs
Series, New Yogyakarta , hlm. 14-15.
5
Hersri Setiawan, 2002, Negara Madiun? : Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan,
FuSPAD, Jakarta, hlm. 7.
67
Hindia Belanda seluruhnya ada dan akan tetap berada di tangan Kerajaan
tersebut akan mudah bagi Belanda untuk menciptakan suatu wacana politik baru
adalah sampai sejauh mana kedaulatan tersebut akan dijalankan oleh Belanda?
sendiri.
6
Hindia Belanda adalah sebutan yang digunakan oleh orang-orang Belanda untuk menyebut
Indonesia.
68
menyatakan bahwa masing-masing pihak, yaitu Indonesia dan Belanda tidak akan
kebebasan seperti apa yang dimaksud di dalam pasal tersebut dan bagaimana
mengatur bentuk kebebasan tersebut? Hal tersebut menjadi begitu penting ketika
kebebasan seperti yang dimaksud dalam pasal 2 tersebut. Akibat yang lebih jauh
lagi adalah secara sepihak Belanda dengan bebasnya semakin giat dalam
pemerintahan sendiri yang dalam hal ini aspirasi tersebut tak lain adalah seperti
beberapa daerah Indonesia yang menjadi korban dari kegiatan Belanda tersebut.
facto masih berada di wilayah Indonesia, antara lain : di Sumatera Selatan, Jawa
7
G. Moedjanto, 1989, Indonesia Abad Ke-20 Jilid II, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 66-67.
8
Alastair M. Taylor, 1960, Indonesian Independence and the United Nations, Stevers and
Sons Limited, London, hlm. 110-112.
69
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, dan Sumatra Timur.9 Jelas bahwa
dengan tindakan tersebut wilayah Indonesia menjadi semakin sempit karena telah
merupakan suatu langkah dasar yang masih memerlukan tindak lanjut untuk
mencapai hasil-hasil yang konkret dalam penyelesaian konflik kedua belah pihak.
masih sulit untuk bisa segera dilaksanakan karena masih adanya perbedaan
dalam setiap bagian substansi yang sedang dibahas. Setidaknya masih tersisa dua
rumit dan tidak menentu. Dua substansi di dalam Perjanjian Renville yang masih
9
G. Moedjanto, op. cit., hlm. 68.
70
Sementara dan NIS yang perlu dibahas adalah mengenai bagaimana membuat
negara, yang masih belum jelas adalah bagaimana sebenarnya bentuk hubungan
tersebut tidak muncul sebagai substansi yang secara langsung dibahas tetapi
dapat dipisahkan dari adanya keharusan juga untuk membahas tentang pandangan
dalamnya. Jadi, dapat dikatakan bahwa kedua substansi tersebut mempunyai nilai
yang strategis bagi Indonesia dan Belanda dalam menentukan hubungan bilateral
yang terjadi.
oleh Thomas Critchley. Anggota dari AS, Frank Graham digantikan oleh Coert
Dubois. Sedangkan anggota dari Belgia, Paul Van Zeeland digantikan oleh
Raymond Herremans.10
antara kedua belah pihak dalam memahami sejumlah pasal yang ada di dalam
seluruhnya ada dan akan tetap berada di tangan Kerajaan Belanda sampai
dilihat secara sisi kronologis, maka jelas bahwa Belanda memang telah
pihaknya mempunyai kedaulatan atas seluruh Hindia Belanda dengan segala hak
suatu hal yang mutlak dan tanpa syarat. Belanda menafsirkan pasal tersebut
sebagai suatu dasar bahwa kedaulatannya atas Hindia Belanda mencakup juga
Pemerintahan Federal Sementara seperti itu jelas menyalahi aturan dan tidak sah
diberikan perwakilan yang adil.” Pasal tersebut dengan jelas mengatur bahwa
perwakilan yang adil, bukan secara sepihak seperti yang dilakukan oleh Belanda.
Selain itu Indonesia juga menolak penafsiran Belanda bahwa kedaulatan yang
dimiliki oleh pemerintahnya atas Hindia Belanda bersifat mutlak dan final karena
12
Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., hlm. 34.
13
Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 35.
14
A. Arthur Schiller, 1955, The Formation of Federal Indonesia 1945 – 1949, The Hague,
Bandung, hlm. 46.
73
kedaulatan Belanda tersebut secara de jure saja dan itu pun harus dilakukan
merampas hak dan kedaulatannya sebagai suatu negara yang telah merdeka. Jadi,
Politik yang menyatakan bahwa, “Telah sewajarnya bahwa kedua belah pihak
Indonesia. Sebenarnya hal tersebut sudah dilakukan Belanda sejak tahun 1946,
yaitu ketika membentuk Negara Indonesia Timur (NIT), dimana pada saat itu
15
Soekarno, 1965, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid II, Panitia Penerbit, Jakarta, hlm. 62.
16
G. Moedjanto, op. cit., hlm. 60.
74
lain : Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, Negara Jawa Timur,
negara tersebut merupakan salah satu bentuk kebebasan seperti yang dimaksud
dalam pasal 2 tersebut.18 Belanda menyerukan kepada Indonesia bahwa tidak ada
dalam hal keinginan untuk membentuk pemerintahan sendiri. Dalam hal ini
tidak setuju jika Belanda menafsirkan isi pasal 2 tersebut sebagai lampu hijau
Indonesia keberatan karena ada beberapa negara federal yang dibentuk dari
17
Ibid., hlm. 61-65.
18
Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 112.
19
A. Arthur Schiller, op. cit., hlm. 147.
20
Hilman Adil, 1993, Hubungan Australia dengan Indonesia, Djambatan, Jakarta, hlm. 72.
75
Juli 1947. Sedangkan dalam hal tujuan, Indonesia tidak melihat suatu alasan
apapun untuk membentuk negara-negara federal tersebut, jika hal itu dikaitkan
dengan rencana pembentukan NIS karena NIS dibentuk dengan cara yang
berbeda.
bersama dengan pasal 1 bagian Enam Prinsip Tambahan juga menjadi perdebatan
maka menurut Belanda nantinya setiap negara bagian akan menyerahkan semua
wewenang federalnya kepada NIS yang akan dikepalai oleh Letnan Gubernur
kekuasaan di bidang politik, ekonomi, dan militer yang diperolehnya dari negara-
pasal 6 bagian Persetujuan Politik dan pasal 4 bagian Enam Prinsip Tambahan
yang menyatakan bahwa, “Dalam waktu tidak kurang dari enam bulan tapi tidak
lebih dari satu tahun sesudah persetujuan ini ditandatangani, maka di daerah-
21
Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., hlm. 96.
76
dalam Republik Indonesia atau masuk bagian yang lain di dalam lingkungan
Negara Indonesia Serikat.” NIS dibentuk dengan cara yang demokratis, yaitu
melalui suatu pemilihan umum untuk menentukan suara penduduk terhadap NIS,
apakah akan tetap menjadi bagian dari Indonesia atau memisahkan diri. Jadi,
yang akan menjadi bagian dari NIS, bukan dengan cara memasukkannya secara
sampai di situ saja karena kedua belah pihak masih belum bisa merumuskan
formulasi yang bisa disepakati dalam menyusun struktur dan kekuasaan NIS yang
akan dibentuk.
Perdebatan yang muncul adalah di daerah mana saja pemilihan umum tersebut
akan diadakan di Jawa, Sumatera, dan Madura, tetapi yang masih tidak jelas
diadakan di seluruh Indonesia agar tercapai prinsip keadilan untuk seluruh daerah
22
Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 111-112.
77
hanya di daerah-daerah pendudukan Belanda saja karena sudah menjadi hal yang
tersebut dibentuk hanya melalui elit-elit lokal tertentu saja, sehingga perlu untuk
anggota KTN, yaitu Critchley dan Dubois mengajukan suatu rancangan kepada
NIS dengan cara lain. Rancangan tersebut diajukan pada 10 Juni 1948 dan berisi
tentang beberapa hal yang secara prinsipiil mengarah kepada skema pembentukan
23
Soekarno, op. cit., hlm. 63-64.
24
Ibid.
78
angkatan perang, dan hubungan luar negeri kedua belah pihak seperti yang telah
dilimpahkan kepadanya.
dengan kepentingan politiknya yang dalam hal ini jelas bahwa posisi Letnan
25
Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 126-127.
26
Ibid., hlm. 133.
27
A. Arthur Schiller, op. cit., hlm. 51.
79
Letnan Gubernur Jenderalnya akan digeser dan hanya diakui sebatas de jure saja,
seijin Pemerintah Federal Sementara. Di sisi lain tuntutan Belanda justru lebih
radikal, pihaknya menuntut agar TNI – sebagai angkatan perang negara bagian –
Indonesia tidak setuju jika seluruh angkatan perang berada di bawah satu
komando Letnan Gubernur Jenderal, apalagi mengenai ide untuk melebur TNI
karena TNI adalah aparat negara yang keberadaannya sudah melekat di dalam
komando atas angkatan perang Belanda yang berada di tangan Letnan Gubernur
Jenderal sendiri.29 Jadi, mengenai angkatan perang ini ada dua komando terpisah
28
Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., hlm. 152-153.
29
Ibid., hlm. 142.
80
angkatan perang federal dengan pengertian bahwa hal tersebut bukan berarti
peleburan TNI menjadi angkatan perang federal, tetapi unsur-unsur yang ada di
menuntut agar urusan hubungan luar negeri Indonesia diserahkan saja padanya.
negeri merupakan hak otonom pemerintahnya yang tidak bisa diwakilkan kepada
pihak lain. Setelah itu Belanda tidak mau lagi membahas Rencana Critchley –
kegemparan di pihak Belanda, rencana yang semula bersifat rahasia itu bocor.
tersebut dibantah oleh Dubois karena sama sekali tidak berdasar.30 Kejadian itu
yang pasti. Sementara itu sebuah rancangan kembali diajukan oleh Merle
Cochran, anggota KTN dari AS pengganti Dubois, yang isinya antara lain :
30
Robert J. McMahon, op. cit., hlm. 223-224.
81
diadakannya pemilihan umum. Di sisi lain Rencana Cochran jauh lebih tegas
dalam hal mengatur dan membatasi porsi kekuasaan Belanda melalui Wakil
akan dibentuk seperti Majelis, Presiden, PM, dan Dewan Federal. Kekuasaan
yang terpusat di tangan Belanda adalah suatu hal yang sangat ingin dihindari oleh
Cochran.
konflik antara Indonesia – Belanda tidak hanya bisa diamati dari tajamnya
perbedaan penafsiran terhadap Perjanjian Renville, tetapi juga bisa diamati dari
sisi lain yang juga berpengaruh. Kini pemahaman atas Perundingan Renville
31
Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., hlm. 112-115.
82
dalam konteks hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda akan dilihat dari
sisi lain, yaitu dari kerangka garis-garis kebijakan politik masing-masing negara.
Perundingan Renville sebagai satu bentuk interaksi politik dua negara yang
masing pihak sebagai pihak yang mempunyai kepentingan politis satu sama lain.
garis kebijakan politik dalam menyikapi konflik yang ada. Adanya perubahan-
perubahan politik yang terjadi, baik di Indonesia maupun Belanda, menjadi faktor
Renville.
Belanda semakin tidak menentu karena tidak ada kesepakatan konkret yang bisa
dalam negeri masing-masing pihak yang lebih tampak sebagai pergolakan politik.
Belanda disebabkan oleh adanya respon politik yang berbeda-beda dari berbagai
terelakkan lagi bahwa situasi yang demikian tersebut secara akumulatif telah
83
Belanda.
berbagai kalangan elit-elit politik dalam negeri. Mulai dari Amir Syarifuddin
yang merasa dikhianati, Masyumi dan PNI yang bersikap mendua, laskar rakyat
yang semakin tidak terkendali, sampai dengan TNI yang kecewa. Selain itu bisa
dilakukan oleh partainya sendiri, Partai Sosialis, Masyumi, dan PNI. Partai
ketuanya sendiri.32 Masyumi dan PNI pun bersikap mendua dalam menyikapi
Syarifuddin, sehingga kabinetnya bubar. Ironisnya, Masyumi dan PNI justru ikut
masalah posisinya di dalam pemerintahan, ada beberapa masalah lain yang secara
32
Hersri Setiawan, op. cit., hlm. 4.
84
Situasi politik yang sedang bergejolak ternyata justru dimanfaatkan oleh beberapa
Di Jawa Barat beberapa nama kesatuan laskar rakyat seperti Bambu Runcing,
gejolak politik yang sedang terjadi.34 Momentum hijrahnya Divisi Siliwangi dari
Jawa Barat ke Jawa Tengah dan Jawa Timur membuat laskar rakyat menjadi
badan perjuangan rakyat yang masih eksis beraksi di sejumlah daerah di Jawa
dianggap bekerja sama dengan Belanda.35 Hanya saja dalam aksi-aksinya laskar
rakyat sering berbenturan dengan TNI, laskar rakyat sering dituduh sebagai
telak dari Perundingan Renville yang tidak bisa berbuat banyak. Diusirnya Divisi
Siliwangi dari Jawa Barat telah memperlemah posisinya secara defensif terhadap
pengungsian, dimana pihaknya terlibat konflik dengan Divisi Senopati dari Jawa
Tengah. Isu rasionalisasi Kabinet Hatta yang bertujuan untuk mengurangi jumlah
33
Ibid., hlm. 1-15.
34
Robert Bridson Cribb, 1991, Gangsters and Revolutions : The Jakarta Militia and the
Indonesian Revolution 1945 – 1949, University of Hawaii Press, Honolulu, hlm. 171.
35
Ibid., hlm. 173.
85
pihaknya termasuk salah satu kesatuan yang akan terkena program dari Kabinet
Perubahan politik di negeri Belanda sudah terjadi sejak bulan Juli 1948,
ketika hasil pemilu telah mengubah arah kebijakan politik Pemerintah Belanda
terhadap Indonesia. Selain karena lebih sebagai hasil dari proses pemilu,
dalam menyikapi masalah Indonesia. Kaitan antara situasi politik dalam negeri
Volkpartij/KVP) dan Partai Buruh (Partij van der Arbeid (PvdA) adalah dua
partai politik terbesar yang pada saat itu berkuasa di negeri Belanda.37 Keduanya
36
Yahya A. Muhaimin, 1982, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945 – 1966,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 53.
37
Ide Anak Agung Gde Agung, 1995, Pernyataan Rum-Van Roijen 7 Mei 1949, terj.,
Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta, hlm. 3-8.
86
adalah suatu hal yang tidak dapat diberikan begitu saja dan harus dilakukan
mudah dipahami dengan menampilkan tokoh-tokoh yang pada saat itu duduk di
Mook, dan Jenderal Spoor adalah orang-orang yang mempunyai kekuasaan pada
bulan Juli 1948, Beel menjabat sebagai PM, Van Mook masih sebagai Letnan
juga ia harus tetap tunduk pada kekuasaan politik pemerintah pusat di Belanda
yang dalam hal ini dipegang oleh Beel sebagai PM. Beel adalah tokoh yang
terhadap Indonesia, sedangkan Van Mook lebih moderat. Perbedaan inilah yang
38
Ibid., hlm. 8-9.
87
karena di antara Beel – Van Mook sering terjadi perbedaan pendapat dalam
kadang membuat keputusan politik sendiri yang menurut berbagai pihak justru
dengan Partai Buruh dan dimulailah perubahan politik yang cukup signifikan.
Partai Rakyat Katolik mendapat posisi Menteri Urusan Tanah Seberang dengan
penempatan W. Dress. Posisi Menteri Luar Negeri diberikan pada Partai Liberal
(Volkspartij Voor Vrijheid en Democratie/VVD) yang dalam hal ini diisi oleh
Katolik, dan Partai Buruh masih mempertahankan Van Mook, meskipun kedua
penggantinya, tetapi dengan gelar baru sebagai Wakil Tinggi Mahkota. Secara
berhasil dikuasai oleh Partai Katolik yang konservatif, sehingga sikap politiknya
39
Ibid., hlm. 3-4.
40
Ibid., hlm. 3-5.
88
Indonesia.
yang krisis, selain karena situasi politik dalam negeri kedua negara yang
bergejolak hal tersebut, juga disebabkan oleh tidak berhasilnya kedua belah pihak
BAB V
PENUTUP
Perundingan Renville yang telah dirintis oleh DK PBB melalui KTN sejak
kesekian kalinya sebagai usaha untuk menyelesaikan konflik yang sudah lama
berkecamuk, terutama sekali pasca Agresi Militer I. Secara garis besar substansi yang
substansi yang dulu pernah dibahas dalam Perjanjian Linggajati pada tahun 1946
yang belum sepenuhnya bisa dilaksanakan. Hanya saja kini situasinya bertambah
kesepakatan damai yang pernah dibuat sebelumnya dan kini kedua belah pihak harus
konflik yang terjadi. Secara lebih spesifik Perundingan Renville memuat dua bidang
substansi, yaitu : substansi di bidang militer dan substansi di bidang politik. Dalam
bidang militer, substansi yang dibahas adalah mengenai usaha untuk menghentikan
Belanda.
Indonesia – Belanda bisa diperoleh secara lebih utuh dari adanya perubahan-
89
90
perubahan politk yang terjadi di dalam negeri kedua negara tersebut pasca
sedang bertikai. Pertentangan tersebut ternyata berpengaruh juga pada situasi politik
dalam negeri masing-masing pihak yang selanjutnya bisa dilihat sebagai suatu
gambaran besar hubungan politik kedua negara pasca Perundingan Renville. Pasca
Partai Rakyat Katolik yang sangat konservatif berkuasa dan mulai melaksanakan
garis kebijakan politiknya yang lebih radikal dari masa pemerintahan sebelumnya.
Pada periode ini Pemerintah Belanda mulai mendesak Indonesia agar menerima
Renville.
banyak kalangan yang pada intinya mengecam Perjanjian Renville karena dinilai
telah banyak merugikan. Munculnya FDR – yang kemudian berubah menjadi PKI –
yang merupakan oposan pemerintahan Hatta secara tidak langsung membuat atmosfer
karena ada beberapa akibat dari Perjanjian Renville yang secara tidak langsung
menimpa pihaknya. Rasionalisasi adalah salah satu bagian dari rangkaian akibat
Perjanjian Renville yang dirasakan oleh FDR, dimana banyak anggotanya yang
Indonesia dipenuhi dengan intrik politik, provokasi, dan konflik segitiga yang terjadi
91
antara pemerintah, kelompok yang pro pemerintah, yaitu TNI dan pihak oposisi yang
hubungan Indonesia – Belanda yang selama ini terus menggantung dan penuh dengan
konflik yang belum terselesaikan. Bila perubahan politik yang terjadi di dalam negeri
Belanda telah membawanya untuk bersikap lebih radikal terhadap Indonesia, yang
yang dilakukan oleh golongan sayap kiri terkait dengan hasil-hasil Perjanjian
substansi yang ada di dalamnya ternyata justru membuat hubungan keduanya tidak
selama ini, dimana yang ada hanyalah kesepakatan-kesepakatan formal saja karena
optimal.
bisa melaksanakan gencatan senjata secara efektif karena masih terdapat perbedaan
92
Proses gencatan senjata tidak berjalan lancar karena di antara Indonesia – Belanda
masih belum menemukan kesepakatan mengenai daerah-daerah mana saja yang harus
dikosongkan untuk dibuat suatu garis demarkasi. Lebih jauh lagi bahwa adanya
kecenderungan dari Belanda yang menuntut Garis Van Mook sebagai syarat dalam
alot, karena Belanda tidak mau membahas substansi politik sebelum dicapainya
atas Indonesia tetap berada di tangannya, baik secara de facto maupun de jure,
konflik. Secara politis Belanda ingin agar kedaulatannya atas Indonesia diterima
secara utuh dan final, sedangkan Indonesia tetap ingin mengartikan kedaulatan
Belanda tersebut hanya sebatas simbol, dimana pelaksanaan kekuasaan yang nyata
harus berada di tangan suatu bentuk pemerintahan bersama yang lahirnya melalui
dalam menentukan batas-batas daerah pendudukan dan perbedaan itu sulit untuk
memanas.
93
– Belanda lebih disebabkan karena adanya insiden-insiden militer yang sering terjadi
beralasan bahwa pasukan Belandalah yang terlebih dahulu memulai aksi-aksi militer
kedaulatan masing-masing pihak dengan segala hak dan tanggung jawabnya di antara
oleh Belanda di dalam kerangka hubungan politik kedua negara. Perbedaan yang
cukup mendasar tersebut menyebabkan tidak adanya tindakan konkret di antara kedua
perbedaan substansi yang cukup krusial. Situasi hubungan antara Indonesia – Belanda
pasca Perundingan Renville yang terus mengambang membuat tidak adanya lagi
harapan dari kedua belah pihak untuk membuat suatu pendekatan dalam
94
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Abu Hanifah.
1962, Tales of A Revolution, John Sound PTY LTD, Australia.
Basuki Suwarno.
1999, Hubungan Indonesia – Belanda Periode 1945 – 1950 Jilid I, terj.,
Upakara, Jakarta.
___________________
1991, Gangsters and Revolutioners : The Jakarta Militia and the
Indonesian Revolution 1945 – 1949, University of Hawaii Press,
Honolulu.
Dahm, Bernard.
1971, History of Indonesia in Twentieth Century, Praeger Publishers, New
York.
Deliar Noer.
1987, Partai Islam di Pentas Nasional 1945 – 1965, Grafitipers, Jakarta.
Depdikbud.
1996, Terminologi Sejarah Indonesia 1945 – 1950 dan 1950 – 1959,
Jakarta.
Deplu.
2004, Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke masa Periode
1945 – 1950, Jakarta.
Hersri Setiawan.
2002, Negara Madiun? : Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan,
FuSPAD, Jakarta.
95
96
Hilman Adil.
1993, Hubungan Australia dengan Indonesia, Djambatan, Jakarta.
___________________.
1995, Pernyataan Rum-Van Roijen 1 Mei 1949, terj., Yayasan Pustaka
Nusatama, Yogyakarta.
___________________.
1995, Persetujuan Linggajati : Prolog dan Epilog, Yayasan Pustaka
Nusatama – Sebelas Maret University Press, Yogyakarta.
Kahin, Audrey.
1985, Regional Dynamics of the Indonesia Revolution : Unity from
Diversity, University of Hawaii Press, Honolulu.
McMahon, Robert J.
1981, Colonialism and Cold War : The United States and the Struggle for
Indonesian Independence 1945 – 1949, Cornell University Press, London.
Moedjanto, G.
1989, Indonesia Abad ke-20 Jilid I, Kanisius, Yogyakarta.
Mohammad Roem.
1989, Diplomasi : Ujung Tombak Perjuangan RI. Gramedia, Jakarta.
Morgenthau, Hans J.
1990, Politik Antarbangsa, terj., Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Osman Raliby.
1953, Documenta Historica, Bulan Bintang, Jakarta.
Reid, Anthony.
1974, Indonesian National Revolution 1945 – 1950, Longman, Sydney.
Ricklefs, M.C.
2004, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Serambi, Jakarta.
Schiller, A. Arthur.
1955, The Formation of Federal Indonesia 1945 – 1949, The Hague,
Bandung.
Slamet Mulyana.
1986, Kesadaran Nasional : Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan
Jilid 3, Inti Idayu Press, Jakarta.
Soekarno.
1965, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid II, Panitia Penerbit, Jakarta.
Taylor, Alastair, M.
1960, Indonesian Independence and the United Nations, Stevens and Sons
Limited, London.
Tobing, K.M.L.
1986, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia : Linggajati, Gunung Agung,
Jakarta.
___________________.
1986, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia : Renville, Gunung Agung,
Jakarta.
Yahya A. Muhaimin.
1982, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945 – 1966,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
2. Majalah
Prisma, edisi 3 Maret 1977.
3. Kamus
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Depdikbud, 1990.
98
Lampiran
1. Dengan segera, setelah perjanjian ini ditandatangani, kedua belah pihak akan
mengeluarkan perintah menghentikan tembak-menembak dalam tempo 48 jam.
Perintah ini akan berlaku atas pasukan-pasukan kedua belah pihak, pada sebelah
tempat masing-masing yang telah diterangkan dalam pengumuman dari
Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 29 Agustus 1947; garis-garis tersebut
dinamakan garis statusquo dan di daerah-daerah termaktub dalam ayat yang
berikut;
2. Dalam instansi (tingkatan) pertama dan untuk sementara akan diadakan daerah-
daerah (zones) sesuai dengan garis statusquo; sebagai kebiasaan daerah-daerah
ini melingkungi garis-garis statusquo pada sebelah pihak, garis dari pihak
Belanda yang terkemuka dan pada pihak lain, garis dari pihak Republik yang
paling depan, sedang lebarnya sesuatu daerah (zone) harus sama;
3. Mengadakan daerah-daerah yang tidak diduduki oleh militer (gedemilitairiseerd)
sekali-kali tidak menyangkut hak dari kedua belah pihak menurut resolusi dari
Dewan Keamanan pada tanggal 1, 25 dan 26 Agustus dan tanggal 1 Nopember
1947;
4. Setelah yang tertulis di atas diterima oleh kedua belah pihak, maka Komisi akan
menyerahkan pembantu-pembantu militernya kepada kedua belah pihak, sedang
pembantu-pembantu tersebut akan menerima petunjuk-petunjuk (instructies) dan
menerima pertanggungjawaban untuk menentukan, apakah penyelidikan atas
sesuatu insiden diperlukan oleh pembesar-pembesar dari satu atau kedua pihak;
5. Sambil menunggu keputusan dalam soal politik, tanggung jawab atas tertib-
tenteram dan keselamatan jiwa dan harta benda penduduk dalam daerah-daerah
yang dikosongkan (gedemilitairiseerd) akan dipegang oleh polisi sipil dari kedua
belah pihak. Polisi untuk sementara waktu, memakai tenaga personil militer
sebagai polisi sipil dengan perjanjian, bahwa kekuasaan polisi di bawah kontrol
sipil.
Pembantu-pembantu militer dari Komisi setiap waktu bersedia memberi nasihat
kepada kedua belah pihak dan menyerahkan tenaganya, bila dianggap perlu. Di
antaranya mereka itu mesti:
a. mendapat bantuan dari opsir-opsir polisi, yang ditempatkan oleh salah satu
pihak dalam tempat-tempat yang tidak diduduki lagi oleh militer untuk
menemani mereka itu dalam menyelenggarakan kewajiban mereka. Opsir-
opsir polisi dari satu pihak tidak dibenarkan berada di daerah pihak lainnya,
kecuali bersama-sama dengan pembantu militer Komisi dan opsir polisi dari
pihak lain;
99
jika salah satu pihak memberitahukan pada KTN dan pada pihak yang lain, yang
berpendapat, bahwa peraturan-peraturan gencatan senjata tidak ditaati oleh pihak
yang lain dan oleh karenanya persetujuan itu hendaknya diakhiri pada akhir
waktu empat belas hari yang berlangsung
Renville, 17 Januari 1948
perundingan politik pada sidang keempat yang diadakan Komisi Tiga Negara pada
1. Bantuan dari Komisi Tiga Negara akan diteruskan untuk melaksanakan dan
melaksanakan perjanjian untuk menyelesaiakan pertikaian politik di pulau-pulau
Jawa, Sumatera dan Madura, berdasarkan prinsip naskah perjanjian “Linggajati”;
2. Telah sewajarnya, bahwa kedua pihak tidak berhak menghalang-halangi
pergerakan-pergerakan rakyat untuk mengemukakan suaranya dengan leluasa dan
merdeka, yang sesuai dengan Perjanjian Linggajati. Juga telah disetujui, bahwa
kedua pihak akan memberi jaminan tentang adanya kemerdekaan bersidang dan
berkumpul, kemerdekaan mengeluarkan suara dan pendapatnya dan kemerdekaan
dalam penyiaran (publikasi), asal jaminan ini tidak dianggap meliputi juga
propaganda untuk menjalankan kekerasan dan pembalasan (repressailles);
3. Telah sewajarnya, bahwa keputusan untuk mengadakan perubahan-perubahan
dalam pemerintahan pamong praja di daerah-daerah hanya dapat dilakukan
dengan persetujuan sepenuhnya dan sukarela dari penduduk di daerah-daerah itu
pada suatu saat, setelah dapat dijamin keamanan dan ketenteraman dan tidak
adanya lagi paksaan kepada rakyat;
4. Bahwa dalam mengadakan suatu perjanjian politik dilakukan pula persiapan-
persiapan untuk lambat-laun mengurangi jumlah kekuatan tentaranya masing-
masing.
5. Bahwa, setelah dilakukan penandatanganan perjanjian penghentian permusuhan
dan sebaik dapat dilaksanakan perjanjian itu, maka kegiatan dalam lapangan
ekonomi, perdagangan, perhubungan dan pengangkutan akan diperbaiki dengan
101
Enam Dasar Tambahan dari Komisi Tiga Negara untuk Pembukaan Perundingan
Politik antara delegasi Republik Indonesia dengan delegasi Kerajaan Belanda, tanggal
Komisi Tiga negara berpendapat, bahwa keterangan dasar di bawah ini antara
lain akan dipergunakan sebagai dasar perundingan untuk penyelesaian politik, yaitu
sebagai berikut:
1. Kedaulatan atas Hindia Belanda seluruhnya ada dan akan tetap berada di tangan
Kerajaan Belanda sampai waktu yang ditetapkan. Kerajaan Belanda akan
menyerahkan kedaulatan ini kepada Negara Indonesia Serikat. Sebelum masa
peralihan demikian itu habis temponya, Kerajaan Belanda dapat menyerahkan
hak-hak, kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab kepada pemerintah federal
sementara yang dibentuk dari daerah-daerah yang nantinya akan merupakan
Negara Indonesia Serikat. Jika sudah terbentuk, Negara Indonesia Serikat akan
102