Berdasarkan anatomi saluran pernafasan atas terdiri dari mulai nares anterior hidung sampai cartilago cricoid
larynx.
1) HIDUNG
Organ hidung merupakan organ yang pertama berfungsi dalam saluran napas. Terbentuk oleh tulang (os
nasal), tulang rawan (cartilago) dan otot.
Bagian penting yang terdapat pada hidung adalah sbb:
a. Nares anterior = apertura nasalis anterior (lubang hidung)
b. Vestebulum nasi bagian hidung → tempat muara nares anterior (batas epitel kulit dengan mucosa hidung).
Terdapat silia yang kasar yang berfungsi sebagai saringan udara yang masuk waktu inspirasi.
c. Cavum nasi (rongga), yakni bagian dalam rongga hidung yang berbentuk terowongan, mulai dari nares
anterior sampai ke nares posterior → keluar pada nares posterior yang dikenal dengan Choana → dilanjutkan
ke daerah nasopharynx
d. Conchae nasalis yaitu tonjolan yang terbentuk dari tulang tipis dan ditutupi mucosa yang dapat mengeluarkan
lendir. Dalam cavum nasi ada 3 buah concha nasalis yaitu:
Concha nasalis superior
Concha nasalis media
Concha nasalis inferior
e. Saluran keluar cairan melalui hidung yaitu:
Meatus nasalis superior (antara concha nasalis superior dan media)
Meatus nasalis media (antara concha media dan inferior)
Meatus nasalis inferior (antara concha nasalis inferior dan donding atas maxilla).
f. Septum nasi (sekat), yakni sekat yang berasal dari tulang dan tulang rawan serta jaringan mucosa, sbb:
Cartilago septi nasi
Os Vomer
Lamina parpendicularis os ethmoidalis
Pada sudut mata medial terdapat hubungan hidung dan mata melalui "ductus nasolacrimalis" tempat
keluarnya air mata ke hidung melalui meatus inferior. Pada nasopharynx terdapat hubungan antara hidung dengan
rongga telinga melalui O.P.T.A. (Osteum Pharyngeum Tuba Auditiva) yang dikenal dengan Eustachii.
Pada tulang neurocranium dan splachnocranium terdapat rongga-rongga yang disebut dengan sinus. Sinus-
sinus berhubungan dengan cavum nasi dikenal dengan Sinus-sinus Paranasalis, antara lain:
a. Sinus sphenodalis, mergeluarkan sekresinya melalu meatus superior
b. Sinus frontalis, ke meatus media
c. Sinus maxillaris ke meatus media
d. Sinus ethmoidalis ke meatus superior dan media
Bila terdapat infeksi pada sinus dinamakan dengan: sinusitis yang sering terjadi pada komplikasi penderita
infeksi rongga hidung dan sakit gigi (rhinitis chronis) yaitu sinus maxilaris.
Persarafan Hidung
1. Bagian depan dan atas Cavum Nasi mendapat persarafan sensoris dari nervus nasalis, nervus ethmoidalis
anterior semuanya dari cabang N. Opthalmicus
2. Bagian bawah belakang termasuk mucosa conchae nasalis depan di persarafi oleh rami nasalis posterior
cabang dari N. Maxillaris
3. Daerah nasofaring dan conchae nasalis belakang mendapat persarafan sensorik dari cabang ganglion
pterygopalatinum.
Nervus olfactorius memberikan sel-sel reseptor untuk penciuman. Proses penciuman : pusat penciuman pada
gyrus frontalis, menembus lamina cribrosa ethmoidalis ke traktus olfactorius, bulbus olfactorius, serabut n. olfactorius
pada mucusa atas depan cavum nasi.
Perdarahan Hidung
Berasal dari cabang arteri carotis interna dan arteri carotis eksterna.
Arteri carotis interna mempercabangkan arteria opthalmica. Selanjuntnya arteria opthalmica mempercabangkan
arteri :
1. Arteri ethmoidalis dengan cabang-cabang : arteri nasalis externa dan lateralis, arteri septalis anterior
2. Arteri ethmoidalis posterior dengan cabang-cabang : arteri nasalis posterior, lateralis dan septal, arteri
palatinus majus
Arteri carotis eksterna mempercabangkan dulu A. Maxillaris. Arteri maxillaris baru mempercabangkan
Arteri Sphenopalatinum.
Ketiga pembuluh tersebut membentuk anyaman kapiler pembuluh darah yang dinamakan Plexus Kisselbach.
Plexus ini mudah pecah oleh trauma/infeksi sehingga sering menjadi sumber epistaxis pada anak. Bila Plexus
Kisselbach pecah, maka akan terjadi epistaxis.
2) FARING
Pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan oesopagus pada ketinggian
tulang rawan Krikoid. Maka letaknya di belakang larinx (larinx-faringeal). Faring terbagi menjadi 3, yaitu
1. Nasofaring terdapat Pharyngeal Tonsil, Tuba Eustachius, torus tubarius dan
2. Orofaring merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring, terdapat pangkal lidah, gabungan sistem respirasi
dan pencernaan
3. Laringofaring terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran makanan.
3) LARING
Laring adalah organ yang berfungsi sebagai spincter pelindung pada sistem respirasi dan berperan dalam
pembentukan suara. Terletak setinggi vertebrae cervicalis 4,5 dan 6 di bawah lidah dan tulang os hyoid, dibagian
depan terdapat otot-otot dan bagian lateral ditutupi kelenjer tiroid.
Rangka laring terbentuk dari tulang rawan dan tulang. Laring adalah bagian terbawah dari saluran napas atas.
1. Berbentuk tulang adalah os hyoid
2. Berbentuk tulang rawan adalah : tyroid 1 buah, arytenoid 2 buah, epiglotis 1 buah. Pada arytenoid bagian ujung
ada tulang rawan kecil cartilago cornuculata dan cuneiforme.
3. Tulang rawan dan ototnya berasal dari mesenkim lengkung faring ke – 4 dan ke – 6. Mesenkin berproliferasi
dengan cepat, aditus laringis berubah bentuk dari celah sagital menjadi lubang bentuk T. mesenkin kedua
lengkung faring menjadi kartilago tiroidea, krikoidea serta antenoidea. Epitel laring berproliferasi dengan cepat.
Vakuolisasi dan rekanalisasi terbentuk sepasang resesus lateral, berdiferensiasi menjadi pita suara palsu dan sejati.
Os hyoid : mempunyai 2 buah cornu, cornu majus dan minus. Berfungsi untuk perlekatan otot mulut dan cartilago
thyroid
Cartilago thyroid : terletak di bagian depan dan dapat diraba tonjolan yang disebut promines’s laryngis atau
lebih disebut jakun pada laki-laki. Jaringan ikatnya adalah membrana thyrohyoid. Mempunyai cornu superior dan
inferior. Pendarahan dari a. Thyroidea superior dan inferior.
Cartilago arytenoid : mempunyai bentuk seperti burung penguin. Ada cartilago corniculata dan cuneiforme.
Kedua arytenoid dihubungkan m.arytenoideus transversus.
Epiglotis : tulang rawan berbentuk sendok. Melekat di antara cartilago arytenoid. Berfungsi untuk membuka dan
menutup aditus laryngis. Saat menelan epiglotis menutup aditus laryngis supaya makanan tidak masuk ke laring.
Cartilago cricoid : batas bawah adalah cincin pertama trakea. Berhubungan dengan thyroid dengan ligamentum
cricothyroid dan m.cricothyroid medial lateral.
Dalam cavum laryngis terdapat, plica vocalis, yaitu pita suara asli sedangkan plica vestibularis adalah pita
suara palsu. Antara plica vocalis kiri dan kanan terdapat rima glottidis sedangkan antara plica vestibularis terdapat
rima vestibuli. Persyarafan daerah laring adalah serabut nervus vagus dengan cabang ke laring sebagai N.laryngis
superior dan n. recurrent.
1) Hidung
Epitel olfaktorius terletak di atap rongga hidung dan di kedua sisi concha superior
Mengandung sel penyokong, basal, dan olfaktorius, neuron bipolar sensorik, tanpa sel goblet
Sel olfaktorius terentang di seluruh ketebalan epitel dan tersebar di bagian tengah epitel
Permukaan sel memperlihatkan vesikel olfaktorius bulat yang kecil dengan silia olfaktorius nonmotil
Silia olfaktorius mengandung reseptor pengikat bau yang dirangsang oleh molekul bau
Di bawah epitel terdapat kelenjar olfaktorius serosa yang membasahi silia olfaktorius dan merupakan pelarut
molekul bau
Saraf olfaktorius di lamina propria meninggalkan sel olfaktorius dan berlanjut ke dalam rongga tengkorak
Sel penyokong memberi penunjang mekanis; sel basal berfungsi sebagai sel induk untuk epitel
Transisi dari epitel olfaktorius menjadi epitel respiratorik terjadi secara tiba-tiba
Vestibulum : Pada permukaan dalam nares, terdapat Kelenjar sebasea, kelenjar keringat dan rambut tebal
pendek / vibrissa
Fosa Nasal
a. Konka media dan konka inferior ditutupi oleh epitel respirasi
b. Konka superior epitel olfaktorius (bertingkat silindris)
c. Epitel olfaktorius disusun oleh :
1. sel penyokong
2. sel basal
3. sel olfaktorius
d. Di dalam lamina propria konka terdapat pleksus venosa besar yang dikenal sebagai badan pengembang
(Suell Bodies). Reaksi alergi dan inflamasi dapat menyebabkan pengembangan badan-badan
pengembang secara abnormal dalam kedua fosa dan berakibat sangat menghambataliran udara
Sinus paranasalis
a. Sinus paranasal adalah rongga buntu dalam tulang frontal, maksila, etmoid dan sfenoid
b. Mereka dilapisi oleh epitel respirasi yang lebih tipis dan mengandung sel goblet (sedikit)
c. Mukus yang dihasilkan mengalir ke dalam saluran nasal sebagai akibat aktivitas sel2 epitel bersilia
d. Sinusitis adalah proses radang dari sinus dalam waktu lama terutama pada sumbatan lubang keluarnya.
Sinusitis menahun /kronik adalah komponen sindrom silia imotil yang ditandai oleh gangguan kerja
dari silia
2) Faring
4) Larynx
Plica vocalis palsu, seperti di epiglottis bagian posterior, dilapisi oleh epitel bertingkat semu silindris bersilia
Di lamina propria terdapat kelenjar campuran seromukosa, pembuluh darah, nodulus limfoid, dan sel
adipose
Ventrikulus, suatu lekukan dalam, memisahkan plica vocalis palsu dari plica vocalis sejati
Plica vocalis sejati dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk
Ligamentum vocalis terletak di apeks plica vokalis sejati dan di dekatnya terdapat otot rangka vocalis
Laring ditunjang oleh tulang rawan hiallin tiroid dan tulang rawan cricoid
Epitel di laring bagian bawah berubah kembali menjadi bertingkat semu silindris bersilia
2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Saluran Nafas Atas
Alat pernapasan atas manusia terdiri atas hidung, faring, dan laring. Setiap alat tersebut memiliki fungsi
spesifik dalam proses inspirasi dan ekspirasi. Adapun fungsi dari setiap alat tersebut yaitu:
1) Hidung
Bulu hidung menyaring debu dan mikroorganisme dari udara yang masuk dan ditangkap lapisan mukus.
Persediaan darah yang banyak ke membran mukusmembantu menyamakan suhu udara yang masuk menjadi hampir
sama dengansuhu badan serta melembabkannya. Selain itu, hidung juga berfungsi sebagaiorgan pembau (reseptor bau
terletak di mukosa bagian atas hidung) sertamembantu menghasilkan dengungan (fonasi).
2) Faring
Faring digunakan sebagai alat pernafasan dan pencernaan. Pada manusiafaring juga digunakan sebagai alat
artikulasi bunyi.
3) Laring
Laring berfungsi untuk mengatur tingkat ketegangan dari pita suara yangselanjutnya mengatur suara. Selain
itu, laring juga menerima udara dari faring,meneruskannya ke trakea, dan mencegah makanan dan air masuk ke dalam
trakea
Mekanisme Pernafasan
Proses dari sistem pernafasan/respirasi berlangsung beberapa tahap :
1. Ventilasi
Ventilasi adalah pertukaran udara ke dalam dan keluar paru-paru. Ventilasi terjadi karena adanya perubahan
tekanan intra pulmonal, pada saat inspirasi tekanan intra pulmonal lebih rendah dari tekanan atmosfer sehingga udara
dari atmosfer akan terhisap ke dalam paru-paru. Sebaliknya pada saat ekspirasi tekanan intrapulmonal menjadi lebih
tinggi dari atmosfer sehingga udara akan tertiup keluar dari paru-paru. Perubahan tekanan intrapulmonal tersebut
disebabkan karena perubahan volume thorax akibat kerja dari otot-otot pernafasan dan diafragma.
Ventilasi dipengaruhi oleh :
Kadar oksigen pada atmosfer
Kebersihan jalan nafas
Daya recoil & complience (kembang kempis) dari paru-paru
Pusat pernafasan
2. Difusi
Difusi dalam respirasi merupakan proses pertukaran gas antara alveoli dengan darah pada kapiler paru. Proses
difusi terjadi karena perbedaan tekanan, gas berdifusi dari tekanan tinggi ke tekanan rendah. Salah satu ukuran difusi
adalah tekanan parsial.
Volume gas yang berdifusi melalui membran respirasi per menit untuk setiap perbedaan tekanan sebesar 1
mmHg disebut kapasitas difusi. Kapasitas difusi oksigen dalam keadaan istirahat sekitar 230 ml/menit.
Difusi dipengaruhi oleh :
Ketebalan membran respirasi
Koefisien difusi
Luas permukaan membran respirasi
Perbedaan tekanan parsial
Transportasi
3. Transportasi
Transportasi oksigen ke sel-sel yang membutuhkan melalui darah dan pengangkutan karbondioksida sebagai
sisa metabolisme ke kapiler paru.
Transportasi gas dipengaruhi oleh :
Cardiac Output
Jumlah eritrosit
Aktivitas
Hematokrit darah
Mekanisme Bersin
Reflek bersin mirip dengan reflek batuk kecuali bahwa refleks ini berlangsung pada saluran hidung, bukan pada
saluran pernapasan bagian bawah. Rangsangan awal menimbulkan refleks bersin adalah iritasi dalam saluran hidung,
impuls saraf aferen berjalan dalam nervus ke lima menuju medulla tempat refleks ini dicetuskan. Terjadi serangkaian
reaksi yang mirip dengan refleks batuk tetapi uvula ditekan, sehingga sejumlah besar udara dengan cepat melalui
hidung, dengan demikian membantu membersihkan saluran hidung dari benda asing.
a. Fungsi mukosa serta aktivitas cilia
Permukaan seluruh saluran pernafasan (dari hidung hingga ke bronchiolus terminalis), dijaga agar sebisa mungkin
lembab. Kelembaban ini dijaga oleh mukosa yang melapisi seluruh permukaannya. Mukosa ini dihasilkan sebagian
oleh sel goblet pada sel-sel epitel saluran pernafasan, dan juga oleh glandula submucosa. Selain itu, untuk selalu
menjaga agar saluran pernafasan tetap lembab, ada mekanisme yang menyebabkan terperangkapnya partikel-partikel
kecil yang terbawa oleh udara. Fungsi ini bermanfaat agar partikel tersebut tidak masuk hingga alveoli. Mukosa, dalam
kasus ini, berperan untuk mengeluarkan partikel tersebut dengan cara sebagai berikut:
Seluruh permukaan saluran pernafasan, baik dari hidung hingga bronchiolus terminalis, dilapisi oleh epitel bersilia
(dengan 200 cilia per 1 sel epitel). Cilia ini terus menerus bergerak sebanyak 10-20 kali per detik, dan arah gerakannya
adalah menuju faring. Oleh karena itu, sifat gerakan cilia dari paru adalah ke atas, sementara gerakan cilia dari hidung
adalah ke bawah. Pergerakan yang terus menerus ini menyebabkan mukosa untuk mengalir secara perlahan, dengan
kecepatan beberapa milimeter per menit menuju faring. Kemudian, mukosa dan partikel-partikel yg terlarut bisa
tertelan, ataupun keluar karena mekanisme batuk.
(Hall, 2006)
b. Mekanisme refleks batuk
Broncus dan trakea sangat sensitif terhadap sentuhan yang sangat halus, bahkan benda-benda asing yang sangat kecil
sekalipun dapat menyebabkan iritasi sehingga menyebabkan batuk. Laring dan carina (tempat bercabangnya trakea
menjadi bronchi) adalah bagian tersensitif, sementara bronchiolus terminalis hingga ke alveolus sangat sensitif
terhadap zat korosif, misalnya sulfur dioxide atau gas chlorine. Impuls saraf aferen dari saluran pernafasan umumnya
melalui nervus vagus, yang diteruskan ke medulla otak. Oleh karena itu, beberapa urutan kejadian ‘mekanisme batuk’
dipicu oleh rangkaian neuron yang ada di medulla otak, dengan urutan sebagai berikut:
(1) sebanyak 2.5 liter udara secara cepat diinspirasi.
(2) Epiglottis menutup, dan pita suara menutup secara erat untuk menahan udara agar tidak keluar dari paru-
paru.
(3) Otot-otot abdominal berkontraksi secara kuat, sehingga dapat mendorong diafragma; bersamaan dengan itu,
otot-otot ekspirasi (misalnya m. intercostalis interna) juga berkontraksi secara kuat. Akibatnya, tekanan di dalam paru-
paru meningkat secara drastis, hingga pada tekanan 100 mmHg atau lebih.
(4) Pita suara dan epiglottis secara cepat membuka, menyebabkan udara yang bertekanan tinggi dari paru-paru
‘meledak’ ke luar.
Oleh karena itu, kadang-kadang udara dapat dikeluarkan dari paru secepat 75-100 mph karena mekanisme batuk ini.
Kompresi yang kuat oleh paru-paru ini menyebabkan kolapsnya bronchi dan trachea, akibatnya, struktur non-kartilago
yang mereka miliki menjadi cekung ke dalam. Udara yang keluar secara cepat ini biasanya juga mengandung benda-
benda asing yang ada di bronchi ataupun trachea.
(Hall, 2006)
c. Respon refleks bersin
Mekanisme terjadinya refleks bersin sebetulnya mirip dengan batuk, namun pada bersin, mekanisme utama terjadi
pada rongga hidung. Stimulus yang merangsang terjadinya bersin mengiritasi bagian nasal; impuls aferen dihantarkan
melalui nervus V menuju medulla, tempat di mana reflex dapat dipicu. Serangkaian mekanisme selanjutnya sama
dengan batuk, namun pada bersin, terjadi depresi pada uvula, sehingga banyak udara yang keluar melalui hidung; hal
ini dapat membersihkan saluran hidung dari benda asing.
(Hall, 2006)
Sisa partikelnya, dengan ukuran antara 1-5 µm dapat bersarang di bronchiolus (akibat dari gravitational
precipitation). Contohnya, orang-orang yang bekerja sebagai penambang batubara dapat mengalami gangguan
bronchiolus akibat dari penumpukan partikel-partikel debu halus. Beberapa partikel yang lebih kecil lagi (ukurannya
di bawah 1 µm) dapat berdifusi dengan dinding alveoli dan beradhesi ke cairan alveolar. Partikel yang lebih kecil dari
0,5 µm dapat bertahan di udara alveolus, dan dapat dikeluarkan dengan cara ekspirasi. Misalnya saja, partikel rokok
dengan ukuran 0,3 µm sebetulnya tidak dapat terpresipitasi sebelum masuk ke alveolus. Namun, sebanyak 1/3 dari
partikel tersebut dapat berdifusi dengan alveoli.
Partikel-partikel yang terperangkap di alveoli dapat dihilangkan oleh makrofag alveolus, dan sebagiannya lagi dapat
dibawa oleh saluran limfatik yang ada di paru-paru.
(Hall, 2006)
Vokalisasi
Mekanisme ‘berbicara’ tidak hanya melibatkan sistem respirasi, tetapi juga melibatkan (1) Pusat saraf pengatur
berbicara di cortex cerebral, (2) Pusat pengatur respirasi di otak dan (3) Struktur artikulasi dan resonansi mulut dan
saluran hidung. Secara mekanis, berbicara melibatkan 2 fungsi, yaitu (1) Fonasi, yang dapat dilakukan oleh laring,
dan (2) Artikulasi, yang dapat dilakukan oleh struktur mulut.
(Hall, 2006)
Fonasi
Laring merupakan tempat yang sudah beradaptasi menjadi vibrator. Elemen getar pada laring adalah plica vocalis,
atau lebih sering dikenal sebagai pita suara. Pada gambar B, terlihat bentuk-bentuk bukaan pita suara apabila dilihat
dengan menggunakan larngoscope. Pada saat pernafasan biasa, pita suara ini terbuka lebar agar udara lebih mudah
masuk. Pada saat fonasi, kedua pitanya bergerak mendekat sehingga terdapat celah yang dilewati udara dan
menimbulkan getaran. Nada yang dihasilkan oleh vibrasi ini ditentukan oleh seberapa meregangnya pita suara, dan
juga ditentukan oleh seberapa dekatnya jarak celah antara satu pita suara dengan pita suara lainnya.
(Hall, 2006)
Gambar 11. (A) Anatomi laring; (B) Fungsi fonasi dari laring, menunjukkan posisi dari pita suara pada keadaan
fonasi yang berbeda-beda (Hall, 2006)
Artikulasi dan Resonansi
Tiga organ utama yang terkait dengan artikulasi adalah bibir, lidah, dan palatum. Pergerakan dari ketiga organ
tersebut dapat mengubah artikulasi. Sementara resonansi dapat dipengaruhi oleh mulut, hidung, sinus nasalis, dan juga
fraing, serta rongga dada. Misalnya saja, pada saat orang terkena flu (dan biasanya mengalami blokade hidung karena
pilek), suaranya menjadi berubah, hal ini akibat dari berubahnya resonansi yang terjadi di bagian hidung.
(Guyton & Hall, 2006)
Beberapa substansi yang ada di sekresi hidung dapat membantu mengendalikan populasi bakteri maupun virus.
Substansi yang dimaksud terutama adalah lysozyme dan immunoglobulin (secretory IgA yang membasahi permukaan
mucosa saluran pernafasan). Sekresi nasal kaya akan IgA, di mana imunoglobulin tipe ini disintesis secara lokal di
bagian sel plasma submucosa. Selain IgA, terdapat juga imunoglobulin tipe lain seperti IgG, namun dalam jumlah
yang lebih sedikit. IgE secara normal tidak diproduksi, terutama pada orang yang tidak mengalami atopy (nonatopic).
Meski demikian, IgE memiliki peranan yang penting pada penderita rhinitis alergi.
(Fishman, et. al., 2008)
Rinitis Alergi melibatkan membran mukosa hidung, mata, tuba eustachii, telinga tengah, sinus dan faring. Hidung
selalu terlibat, dan organ-organ lain dipengaruhi secara individual. Peradangan dari mukosa membran ditandai
dengan interaksi kompleks mediator inflamasi namun pada akhirnya dicetuskan oleh IgE yang diperantarai oleh
respon protein ekstrinsik.
Kecenderungan munculnya alergi, atau diperantarai IgE, reaksi-reaksi pada alergen ekstrinsik (protein yang mampu
menimbulkan reaksi alergi) memiliki komponen genetik. Pada individu yang rentan, terpapar pada protein asing
tertentu mengarah pada sensitisasi alergi, yang ditandai dengan
pembentukan IgE spesifik untuk melawan protein-protein tersebut. IgE
khusus ini menyelubungi permukaan sel mast, yang muncul pada mukosa
hidung. Ketika protein spesifik (misal biji serbuksari khusus) terhirup ke
dalam hidung, protein dapat berikatan dengan IgE pada sel mast, yang
menyebabkan pelepasan segera dan lambat dari sejumlah mediator.
Mediator-mediator yang dilepaskan segera termasuk histamin, triptase,
kimase, kinin dan heparin. Sel mast dengan cepat mensitesis mediator-
mediator lain, termasuk leukotrien dan prostaglandin D2. Mediator-
mediator ini, melalui interaksi beragam, pada akhirnya menimbulkan
gejala rinore (termasuk hidung tersumbat, bersin-bersin, gatal,
kemerahan, menangis, pembengkakan, tekanan telinga dan post nasal
drip). Kelenjar mukosa dirangsang, menyebabkan peningkatan sekresi.
Permeabilitas vaskuler meningkat, menimbulkan eksudasi plasma.
Terjadi vasodilatasi yang menyebabkan kongesti dan tekanan. Persarafan
sensoris terangsang yang menyebabkan bersin dan gatal. Semua hal tersebut dapat muncul dalam hitungan menit;
karenanya reaksi ini dikenal dengan fase reaksi awal atau segera.
Pada anamnesis, perlu ditanyakan riwayat penyakit pasien maupun keluarga terkait dengan alergi, karena dapat
memunculkan beberapa petunjuk penting. Faktor genetik menyebabkan individu lebih mudah tersensitasi dan
memproduksi antibodi IgE. Riwayat keluarga yang positif menderita alergi, eczema, ataupun asma dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya rhinitis alergi. Anak dengan kedua orangtua yang menderita alergi,
memiliki kemungkinan >50% menderita alergi. Apabila hanya salah satu orangtua yang menderita, maka
kemungkinannya lebih kecil, namun tetap signifikan.
Pasien perlu ditanyakan mengenai onset, durasi, tipe, progresi, dan juga derajat gejala yang dialami. Hal ini berguna
untuk menetukan klasifikasi rhinitis alergi yang dideritanya. Selain itu, perlu ditanyakan juga bagaimana rhinitis
yang dialami dapat memengaruhi kualitas hidupnya. Karena dengan diagnosis yang tepat, dan juga terapi yang
tepat, maka kualitas hidup pasien dapat ditingkatkan.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk kasus rhinitis alergi meliputi inspeksi bagian telinga, tenggorokan, dan saluran hidung
(inspeksi juga perlu dilakukan setelah pemberian decongestan topikal). Beberapa kondisi yang umum ditemui
antara lain conchae yang berwarna kebiruan, pucat, dan lembab. Mucosa hidung terlihat basah dan bengkak, serta
terjadi kongesti hidung dengan obstruksi nasal. Pada alergi perennial, kongesti nasal merupakan tanda utama.
Abnormalitas anatomi, misalnya deviasi septum nasal, bullosa concha, dan polip dapat ditemukan. Kelainan
anatomi ini perlu diperhatikan, apakah abnormalitas ini menjadi penyebab utama ataupun menjadi faktor
kontribusi dari gejala yang dialami pasien. Apabila terdapat polip nasal, maka perlu dilakukan endoskopi nasal.
Beberapa temuan lainnya antara lain conjunctivitis, eczema, dan wheezing asma.
Pada anak-anak, dapat terlihat ‘shiners’ (lingkar hitam pada bagian bawah mata), pernafasan mulut, dan nasal salute
(menggaruk-garuk bagian ujung hidung secara konstan).
(Lalwani, 2008)
Pemeriksaan Penunjang
a. Tes Alergi (epikutan dan intradermal)(in vivo)
Prick Test merupakan tes alergi epikutan yang paling umum dilakukan. Tes ini sifatnya cepat, spesifik, aman, dan
ekonomis. Namun apabila hasil tes tidak memberikan petunjuk, maka perlu dilakukan pemeriksaan intradermal.
Pemeriksaan intradermal, yaitu dengan menggunakan dilusi 1:5 kuantitatif. Metode ini digunakan oleh hampir seluruh
klinisi alergi THT.
In vivo
Alergen penyebab bisa dicari dengan pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau
berseri (Skin End point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam
berbagai konsentrasi. Keuntungan SET adalah selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui. Pada alergi makanan, uji kulit yang akhir ini banyak digunakan adalah intracutaneus
provocative dilutional food test (IPDFT), tapi sebagai baku emas bisa dilakukan diet eleminasi dan Challenge test.
Alergen ingestan akan lenyap dalam 5 hari secara tuntas. Pada challenge test, makanan yang dicurigai diberikan pada
pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis menu makanan
dihilangkan, gejala juga menghilang.
b. Pemeriksaan in vitro
Pada serum, terdapat IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, dan saat ini dapat diperiksa dengan akurat dan cepat.
Dengan peralatan yang modern, pemeriksaan in vitro kurang lebih ekuivalen dengan pemeriksaan kulit untuk
mendiagnosis alergi atopic. Pemeriksaan in vitro aman, spesifik, dan cost-effective, dan tidak ada interfensi dari
antihistamin yang sedang dikonsumsi.
Metodologi terbaru dapat menghitung IgE total pada serum. Jika dibandingkan dengan pemeriksaan kulit,
pemeriksaan IgE total kurang sensitif, namun lebih spesifik. Penghitungan protein IgE total dalam serum dapat
mendiagnosis berbagai macam penyakit terkait alergi, dan juga dapat digunakan sebagai faktor prediktif bagi bayi
maupun anak-anak.
(McPherson & Pincus, 2011; Lalwani, 2008; Fauci, 2008)
Differential Diagnosis
Beberapa diganosis banding yang perlu diperhatikan antara lain:
(1) rhinitis infeksi (akut atau kronis),
(2) rhinitis nonalergic (vasomotor rhinitis),
(3) iritan atau polutan,
(4) rhinitis hormonal (pada saat kehamilan atau hypotiroid),
(5) rhinitis medicamentosa,
(6) deformitas anatomi,
(7) tumor atau badan asing.
(Lalwani, 2008)
B. Penatalaksanaan Farmakologi
1. Antihistamin
Suatu zat atau obat untuk menekan reaksi histamin sebagai faktor alergen bagi tubuh. Mekanisme : Menahan aktifitas
sel mast untuk tidak mengalami degranulasi
Antihistamin 1 (AH1)
Farmakodinamik Farmakokinetik Indikasi: Efek samping
Antagonisme terhadap Setelah pemberian oral atau AH1 berguna untuk Vertigo, tinitus, lelah, penat,
histamine. parenteral, AH1 diabsorpsi pengobatan simtomatik inkoordinasi, insomnia,
AH1 menghambat efek secara baik. Kadar tertinggi berbagai alergi, mencegah tremor, mulut kering,
histamine pada pembuluh terdapat pada paru-paru atau mengobati mabuk disuria, palpitasi, hipotensi,
darah, bronkus dan sedangkan pada limpa, perjalanan, untuk asma sakit kepala, rasa berat,
bermacam-macam otot ginjal, otak, otot, dan kulit berbagai profilaksis. lemah pada tangan. Efek
polos. Selain itu AH1 kadarnya lebih rendah. samping akan berkurang
bermanfaat untuk Tempat utama bila AH1 diberikan
mengobati reaksi biotransformasi AH1 sewaktu makan.
hipersensitivitas atau adalah hati, tetapi dapat
keadaan lain yang disertai juga pada paru-paru dan
pengelepasan histamin ginjal.
endogen berlebihan.
Table Intensitas efek beberapa antihistamin
Sd=sampai dengan, - =tidak ada, +sd++++ = menggambarkan tingginya intensitasefek secara relative
:
2. Dekongestan.
Dekongestan nasal, alfa agonis yang banyak digunakan pada pasien rhinitis alergika atau rhinitis vasomotor dan pada
pasien ISPA dengan rinitis akut. Obat ini menyebabkan venokonstriksi dalam mukosa hidung melalui reseptor
alfa 1 sehingga mengurangi volume mukosa dan dengan demikian mengurangi penyumbatan hidung.
Obat golongan ini disebut obat adrenergik atau obat simptomimetik, karena obat ini merangsang saraf simpatis. Kerja
obat ini digolongkan 7 jenis :
1. Perangsangan organ perifer : otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa, misal : vasokontriksi mukosa
hidung sehingga menghilangkan pembengkakan mukosa pada konka.
2. Penghambatan organ perifer : otot polos usus dan bronkus, misal : bronkodilatasi
3. Perangsangan jantung : peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi.
4. Perangsangan Sistem Saraf Pusat : perangsangan pernapasan dan aktivitas psikomotor.
5. Efek metabolik : peningkatan glikogenolisis dan lipolisis.
6. Efe endokrin : modulasi sekresi insulin, renin, dan hormon hipofisis.
7. Efek prasipnatik : peningkatan pelepasan neurotransmiter.
Dekongestan Oral
1. Efedrin
Efektif pada pemberian oral, masa kerja panjang, efek sentralnya kuat. Bekerja pada reseptor alfa, beta 1 dan beta.
EFEK
FARMAKODINAMIK FARMAKOKINETIK KONTRAINDIKASI INDIKASI DOSIS
SAMPING
Merupakan adrenergic Absorbsi peroral baik Takikardi, Hipertensi dan penyakit Asma Dewasa
yang bekerja tidak sakit jantung brokial,
langsung Dapat melewati BBB kepala,rasa COPD 60
melayang, mg/4-
Efeknya mirip epinefrin tremor, 6 jam
tetapi lebih lambat dan peningkatan
lama(10x epinefrin) tekanan Anak-
darah anak
Efek sentral : insomnia, 6-12
sering terjadi pada tahun :
pengobatan kronik yang 30
dapat diatasi dengan mg/4-
pemberian sedatif. 6 jam
Dekongestan Topikal
Derivat imidazolin (nafazolin, tetrahidrozolin, oksimetazolin, dan xilometazolin). Dalam bentuk spray atau inhalan.
Terutama untuk rhinitis akut, karena tempat kerjanya lebih selektif. Tapi jika digunakan secara berlebihan akan
menimbulkan penyumbatan berlebihan disebut rebound congestion. Bila terlalu banyak terabsorpsi dapat
menimbulkan depresi Sistem Saraf Pusat dengan akibat koma dan penurunan suhu tubuh yang hebat, terutama pada
bayi. Maka tidak boleh diberikan pada bayi dan anak kecil.
3. Kortikosteroid.
Kortikosteroid Inhalasi
Kortikosteroid terdapat dalam beberapa bentuk sediaan antara lain oral, parenteral, dan inhalasi. Ditemukannya
kortikosteroid yang larut lemak (lipid-soluble) seperti beclomethasone, budesonide, flunisolide, fluticasone, and
triamcinolone, memungkinkan untuk mengantarkan kortikosteroid ini ke saluran pernafasan dengan absorbsi
sistemik yang minim. Pemberian kortikosteroid secara inhalasi memiliki keuntungan yaitu diberikan dalam dosis
kecil secara langsung ke saluran pernafasan (efek lokal), sehingga tidak menimbulkan efek samping sistemik yang
serius.
Jika penggunaan secara inhalasi tidak mencukupi barulah kortikosteroid diberikan secara oral, atau diberikan bersama
dengan obat lain (kombinasi, misalnya dengan bronkodilator). Kortikosteroid inhalasi tidak dapat menyembuhkan
asma. Pada kebanyakan pasien, asma akan kembali kambuh beberapa minggu setelah berhenti menggunakan
kortikosteroid inhalasi, walaupun pasien telah menggunakan kortikosteroid inhalasi dengan dosis tinggi selama 2
tahun atau lebih. Kortikosteroid inhalasi tunggal juga tidak efektif untuk pertolongan pertama pada serangan akut
yang parah.
Hindari penggunaan kortikosteroid pada ibu hamil, karena bersifat teratogenik. Berikut ini contoh
kortikosteroid inhalasi yang tersedia di Indonesia antara lain:
“Bersin itu dari Allah dan menguap itu dar isyaithon. Jika salah seorang diantara kalian menguap, hendaknya dia
menutup dengan tangannya. Jika ia mengatakan, “aah…” berarti syaithon sedang tertawa di dalam perutnya.
Sesungguhnya Allah menyukai perbuatan bersin dan membenci menguap.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 2746;
al-Hakim, IV/264; Ibnu Khuzaimah, no. 921 dan Ibnu Sunni dalam kitab‘AmalulYaumwal Lailah, no. 2666. Hadits
ini dini laishohih oleh al-Albani dalam Shohiih al-Jaami’, no. 4009).
Salah satu akhlaq mulia yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam ketika bersin adalah menutup mulut
dengan tangan atau baju. Hal ini sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Rasullullah shallallahu ‘alaihiwasallam
tatkala beliau bersin.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan, “Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam bersin, beliau
meletakkan tangan atau bajunya ke mulut dan mengecilkan suaranya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5029 ;
at-Tirmidzi, no. 2745 dan beliau menshohihkannya. Diriwayatkan pula oleh al-Hakim, IV/293, beliau
menshohikannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi).
“Apabila salah seorang dari kalian bersin hendaklah ia meletakkan tangannya kewajahnya dan mengecilkan
suaranya.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim, IV/264 dan beliau menshohihkannya. Disepakati pula oleh adz-Dzahabi,
dan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 9353. Hadits ini dinilai hasan oleh al-Albani dalam Shohiih al-Jaami’, no. 685)
Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam memerintahkan umatnya untuk mengucapkan tahmid tatkala bersin. Beliau
shallallahu ‘alaihiwasallam bersabda:
“Jika salah seorang di antara kalian bersin, hendaklah ia mengucapkan Alhamdulillah, jika ia mengatakannya maka
hendaklah saudaranya atau temannya membalas: yarhamukalloh (semoga Allah merahmatimu). Dan jika temannya
berkata yarhamukallah, maka ucapkanlah: yahdikumullohwayushlihubaalakum (semoga Allah memberimu petunjuk
dan memperbaiki keadaanmu).” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhori, no. 6224 dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu)
d. Keempat : Mengingatkan Orang Yang Bersin Agar Mengcapkan Tahmid Jika Ia Lupa
Jika kita mendapati orang yang bersin namun tidak memuji Allah Ta’ala, hendaklah kita mengingatkannya. Ini
termasuk bagian dari nasihat.
‘Abdullah bin al-Mubarak melihat orang lain bersin tapi tidak mengucapkan Alhamdulillah, maka beliau berkata
kepadanya, “Apa yang seharusnya diucapkan seseorang jika ia bersin?” Orang itu mengatakan, “Alhamdulillah.”
Maka Ibnul Mubarak menjawab, “Yarhamukalloh.”
e. Kelima : Tidak Perlu Mendo’akan Orang Yang Sudah Bersin Tiga Kali Berturut-Turut
Demikianlah sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alihiwasallam. Beliau bersabda:
“Jika salah seorang dari kalian bersin, hendaklah orang yang ada di dekatnya mendo’akannya. Dan jika (ia bersin)
lebih dari tiga kali berarti ia sakit. Janganlah kalian men-tasymit bersinnya setelah tiga kali.” (Diriwayatkan oleh
Abu Dawud, no. 5034; Ibnus Sunni, no. 251; dan Ibnu ‘Asakir, 8/257. Hadits ini dinilai shohi holeh al-Albani dalam
Shohiih al-Jaami’, no. 684)
f. Keenam : Tidak Mengucapkan Tasymit Terhadap Orang Kafir Yang Bersin Meskipun Ia Mengucapkan
Alhamdulillah
Dahulu orang Yahudi sengaja bersin di dekat Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam dengan harapan Nabi
mengatakan, “yarhamukumulloh (semoga Allah merahmatimu)” tetapi Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam
mengatakan: “Yahdikumullohwayushlihubaalakum (semoga Allah memberimu petunjuk dan memperbaiki
keadaanmu).” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5038 dan At-Tirmidzi, no. 2739. Imam at-Tirmidzi mengatakan
bahwa hadits ini hasan shohih).
ETIKA
a. Tutup hidung dan mulut dengan tisu,sapu tangan atau kain. Jika tidak ada jangan tutup menggunakan tangan
melainkan gunakan lengan dalam baju.
b. Segera buang tisu yang sudah dipakai kedalam tempat sampah.
c. Cuci tangan dengan menggunakan sabun atau pencuci tangan berbasis alcohol.
d. Gunakan masker jika sedang sakit atau ada yang sakit disekitar kita.
e. Tidak sembarangan membuang dahak atau pun ludah setelah batuk