Anda di halaman 1dari 20

1.

Memahami dan Menjelaskan Anatomi Saluran Nafas Atas


1.1 Anatomi Makroskopis

Berdasarkan anatomi saluran pernafasan atas terdiri dari mulai nares anterior hidung sampai cartilago cricoid
larynx.
1) HIDUNG
Organ hidung merupakan organ yang pertama berfungsi dalam saluran napas. Terbentuk oleh tulang (os
nasal), tulang rawan (cartilago) dan otot.
Bagian penting yang terdapat pada hidung adalah sbb:
a. Nares anterior = apertura nasalis anterior (lubang hidung)
b. Vestebulum nasi bagian hidung → tempat muara nares anterior (batas epitel kulit dengan mucosa hidung).
Terdapat silia yang kasar yang berfungsi sebagai saringan udara yang masuk waktu inspirasi.
c. Cavum nasi (rongga), yakni bagian dalam rongga hidung yang berbentuk terowongan, mulai dari nares
anterior sampai ke nares posterior → keluar pada nares posterior yang dikenal dengan Choana → dilanjutkan
ke daerah nasopharynx
d. Conchae nasalis yaitu tonjolan yang terbentuk dari tulang tipis dan ditutupi mucosa yang dapat mengeluarkan
lendir. Dalam cavum nasi ada 3 buah concha nasalis yaitu:
 Concha nasalis superior
 Concha nasalis media
 Concha nasalis inferior
e. Saluran keluar cairan melalui hidung yaitu:
 Meatus nasalis superior (antara concha nasalis superior dan media)
 Meatus nasalis media (antara concha media dan inferior)
 Meatus nasalis inferior (antara concha nasalis inferior dan donding atas maxilla).
f. Septum nasi (sekat), yakni sekat yang berasal dari tulang dan tulang rawan serta jaringan mucosa, sbb:
 Cartilago septi nasi
 Os Vomer
 Lamina parpendicularis os ethmoidalis
Pada sudut mata medial terdapat hubungan hidung dan mata melalui "ductus nasolacrimalis" tempat
keluarnya air mata ke hidung melalui meatus inferior. Pada nasopharynx terdapat hubungan antara hidung dengan
rongga telinga melalui O.P.T.A. (Osteum Pharyngeum Tuba Auditiva) yang dikenal dengan Eustachii.
Pada tulang neurocranium dan splachnocranium terdapat rongga-rongga yang disebut dengan sinus. Sinus-
sinus berhubungan dengan cavum nasi dikenal dengan Sinus-sinus Paranasalis, antara lain:
a. Sinus sphenodalis, mergeluarkan sekresinya melalu meatus superior
b. Sinus frontalis, ke meatus media
c. Sinus maxillaris ke meatus media
d. Sinus ethmoidalis ke meatus superior dan media
Bila terdapat infeksi pada sinus dinamakan dengan: sinusitis yang sering terjadi pada komplikasi penderita
infeksi rongga hidung dan sakit gigi (rhinitis chronis) yaitu sinus maxilaris.

Persarafan Hidung
1. Bagian depan dan atas Cavum Nasi mendapat persarafan sensoris dari nervus nasalis, nervus ethmoidalis
anterior  semuanya dari cabang N. Opthalmicus
2. Bagian bawah belakang termasuk mucosa conchae nasalis depan di persarafi oleh rami nasalis posterior
cabang dari N. Maxillaris
3. Daerah nasofaring dan conchae nasalis belakang mendapat persarafan sensorik dari cabang ganglion
pterygopalatinum.
Nervus olfactorius memberikan sel-sel reseptor untuk penciuman. Proses penciuman : pusat penciuman pada
gyrus frontalis, menembus lamina cribrosa ethmoidalis ke traktus olfactorius, bulbus olfactorius, serabut n. olfactorius
pada mucusa atas depan cavum nasi.
Perdarahan Hidung

Berasal dari cabang arteri carotis interna dan arteri carotis eksterna.
Arteri carotis interna mempercabangkan arteria opthalmica. Selanjuntnya arteria opthalmica mempercabangkan
arteri :
1. Arteri ethmoidalis dengan cabang-cabang : arteri nasalis externa dan lateralis, arteri septalis anterior
2. Arteri ethmoidalis posterior dengan cabang-cabang : arteri nasalis posterior, lateralis dan septal, arteri
palatinus majus
Arteri carotis eksterna mempercabangkan dulu A. Maxillaris. Arteri maxillaris baru mempercabangkan
Arteri Sphenopalatinum.
Ketiga pembuluh tersebut membentuk anyaman kapiler pembuluh darah yang dinamakan Plexus Kisselbach.
Plexus ini mudah pecah oleh trauma/infeksi sehingga sering menjadi sumber epistaxis pada anak. Bila Plexus
Kisselbach pecah, maka akan terjadi epistaxis.

2) FARING
Pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan oesopagus pada ketinggian
tulang rawan Krikoid. Maka letaknya di belakang larinx (larinx-faringeal). Faring terbagi menjadi 3, yaitu
1. Nasofaring terdapat Pharyngeal Tonsil, Tuba Eustachius, torus tubarius dan
2. Orofaring merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring, terdapat pangkal lidah, gabungan sistem respirasi
dan pencernaan
3. Laringofaring terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran makanan.

3) LARING

Laring adalah organ yang berfungsi sebagai spincter pelindung pada sistem respirasi dan berperan dalam
pembentukan suara. Terletak setinggi vertebrae cervicalis 4,5 dan 6 di bawah lidah dan tulang os hyoid, dibagian
depan terdapat otot-otot dan bagian lateral ditutupi kelenjer tiroid.
Rangka laring terbentuk dari tulang rawan dan tulang. Laring adalah bagian terbawah dari saluran napas atas.
1. Berbentuk tulang adalah os hyoid
2. Berbentuk tulang rawan adalah : tyroid 1 buah, arytenoid 2 buah, epiglotis 1 buah. Pada arytenoid bagian ujung
ada tulang rawan kecil cartilago cornuculata dan cuneiforme.
3. Tulang rawan dan ototnya berasal dari mesenkim lengkung faring ke – 4 dan ke – 6. Mesenkin berproliferasi
dengan cepat, aditus laringis berubah bentuk dari celah sagital menjadi lubang bentuk T. mesenkin kedua
lengkung faring menjadi kartilago tiroidea, krikoidea serta antenoidea. Epitel laring berproliferasi dengan cepat.
Vakuolisasi dan rekanalisasi terbentuk sepasang resesus lateral, berdiferensiasi menjadi pita suara palsu dan sejati.

 Os hyoid : mempunyai 2 buah cornu, cornu majus dan minus. Berfungsi untuk perlekatan otot mulut dan cartilago
thyroid
 Cartilago thyroid : terletak di bagian depan dan dapat diraba tonjolan yang disebut promines’s laryngis atau
lebih disebut jakun pada laki-laki. Jaringan ikatnya adalah membrana thyrohyoid. Mempunyai cornu superior dan
inferior. Pendarahan dari a. Thyroidea superior dan inferior.
 Cartilago arytenoid : mempunyai bentuk seperti burung penguin. Ada cartilago corniculata dan cuneiforme.
Kedua arytenoid dihubungkan m.arytenoideus transversus.
 Epiglotis : tulang rawan berbentuk sendok. Melekat di antara cartilago arytenoid. Berfungsi untuk membuka dan
menutup aditus laryngis. Saat menelan epiglotis menutup aditus laryngis supaya makanan tidak masuk ke laring.
 Cartilago cricoid : batas bawah adalah cincin pertama trakea. Berhubungan dengan thyroid dengan ligamentum
cricothyroid dan m.cricothyroid medial lateral.

Otot - otot laring


1. Otot extrinsik laring : berfungsi menarik larik keatas dan kebawah selama proses menelan.
 Otot elevator: M. digastricus, M. stylohyoideus, M. mylohyoideus
 Otot depressor: M. sternotryroideus M. sternohyoideus dan M. omohyoideus
2. Otot intrinsik laring
 M. cricotyroideus, untuk menegangkan pita suara
 M.cricoarytenoideus posterior yang membuka(abduksi) plica vocalis. Jika terdapat gangguan pada otot ini
maka bisa menyebabkan orang tercekik dan meninggal karena rima glottidis tertutup. Otot ini disebut juga
safety muscle of larynx.
 M. cricoarytenoid lateralis yang menutup(adduksi) plica vocalis dan menutup rima glottdis
 M. arytenoid transversus dan obliq
 M.vocalis
 M. aryepiglotica
 M. thyroarytenoid

Dalam cavum laryngis terdapat, plica vocalis, yaitu pita suara asli sedangkan plica vestibularis adalah pita
suara palsu. Antara plica vocalis kiri dan kanan terdapat rima glottidis sedangkan antara plica vestibularis terdapat
rima vestibuli. Persyarafan daerah laring adalah serabut nervus vagus dengan cabang ke laring sebagai N.laryngis
superior dan n. recurrent.

1.2 Anatomi Mikroskopis


Sistem pernapasan biasanya dibagi menjadi 2 daerah utama, yaitu :
1. Bagian konduksi, meliputi rongga hidung, nasofaring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus, dan bronkiolus
terminalis.
2. Bagian respirasi, meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan alveolus.
Sebagian besar bagian konduksi dilapisi oleh epitel respirasi, yaitu epitel bertingkat silindris bersilia dengan
sel goblet. Dengan menggunakan mikroskop electron, dapat dilihat ada 5 macam sel epitel respirasi, yaitu sel silindris
bersilia, sel goblet mukosa, sel sikat (brush cell), sel basal, dan sel granul kecil.

1) Hidung
 Epitel olfaktorius terletak di atap rongga hidung dan di kedua sisi concha superior
 Mengandung sel penyokong, basal, dan olfaktorius, neuron bipolar sensorik, tanpa sel goblet
 Sel olfaktorius terentang di seluruh ketebalan epitel dan tersebar di bagian tengah epitel
 Permukaan sel memperlihatkan vesikel olfaktorius bulat yang kecil dengan silia olfaktorius nonmotil
 Silia olfaktorius mengandung reseptor pengikat bau yang dirangsang oleh molekul bau
 Di bawah epitel terdapat kelenjar olfaktorius serosa yang membasahi silia olfaktorius dan merupakan pelarut
molekul bau
 Saraf olfaktorius di lamina propria meninggalkan sel olfaktorius dan berlanjut ke dalam rongga tengkorak
 Sel penyokong memberi penunjang mekanis; sel basal berfungsi sebagai sel induk untuk epitel
 Transisi dari epitel olfaktorius menjadi epitel respiratorik terjadi secara tiba-tiba
 Vestibulum : Pada permukaan dalam nares, terdapat Kelenjar sebasea, kelenjar keringat dan rambut tebal
pendek / vibrissa
 Fosa Nasal
a. Konka media dan konka inferior ditutupi oleh epitel respirasi
b. Konka superior  epitel olfaktorius (bertingkat silindris)
c. Epitel olfaktorius disusun oleh :
1. sel penyokong
2. sel basal
3. sel olfaktorius
d. Di dalam lamina propria konka terdapat pleksus venosa besar yang dikenal sebagai badan pengembang
(Suell Bodies). Reaksi alergi dan inflamasi dapat menyebabkan pengembangan badan-badan
pengembang secara abnormal dalam kedua fosa dan berakibat sangat menghambataliran udara
 Sinus paranasalis
a. Sinus paranasal adalah rongga buntu dalam tulang frontal, maksila, etmoid dan sfenoid
b. Mereka dilapisi oleh epitel respirasi yang lebih tipis dan mengandung sel goblet (sedikit)
c. Mukus yang dihasilkan mengalir ke dalam saluran nasal sebagai akibat aktivitas sel2 epitel bersilia
d. Sinusitis adalah proses radang dari sinus dalam waktu lama terutama pada sumbatan lubang keluarnya.
Sinusitis menahun /kronik adalah komponen sindrom silia imotil yang ditandai oleh gangguan kerja
dari silia

2) Faring

Faring terbagi menjadi 3, yaitu :


a. Nasofaring yang terletak di bawah dasar tengkorak (epitel bertingkat toraks bersilia dengan sel goblet).
b. Orofaring , belakang rongga mulut dan permukaan belakang lidah (epitel berlapis gepeng dengan lapisan
tanduk)
c. Laringofaring, belakang laring (epitel bervariasi)
Epitel yang membatasi nasofaring bisa merupakan epitel bertingkat silindris bersilia dengan sel goblet atau
epitel berlapis gepeng. Di dalam lamina propria terdapat kelenjar, terutama kelenjar mukosa. Tapi dapat juga
terdapat kelenjar serosa dan kelenjar campur.
3) Epiglotis
 Bagian superior laring yang menonjol ke atas dari dinding laring
 Bagian tengah epiglotis dibentuk oleh tulang rawan elastic
 Epitel berlapis gepeng melapisi permukaan lingualis (anterior) dan sebagian permukaan laryngeal (posterior)
 Permukaan laringeal dilapisi oleh epitel bertingkat torak dengan silia dan sel goblet sama seperti epitel saluran
pernafasan lainnya. Sedangkan permukaan lingual dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk,
yang merupakan kelanjutan dari epitel rongga mulut. Dibawah epitel terdapat lamina propria yang terisi oleh
kelenjer campur.

4) Larynx
 Plica vocalis palsu, seperti di epiglottis bagian posterior, dilapisi oleh epitel bertingkat semu silindris bersilia
 Di lamina propria terdapat kelenjar campuran seromukosa, pembuluh darah, nodulus limfoid, dan sel
adipose
 Ventrikulus, suatu lekukan dalam, memisahkan plica vocalis palsu dari plica vocalis sejati
 Plica vocalis sejati dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk
 Ligamentum vocalis terletak di apeks plica vokalis sejati dan di dekatnya terdapat otot rangka vocalis
 Laring ditunjang oleh tulang rawan hiallin tiroid dan tulang rawan cricoid
 Epitel di laring bagian bawah berubah kembali menjadi bertingkat semu silindris bersilia
2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Saluran Nafas Atas
Alat pernapasan atas manusia terdiri atas hidung, faring, dan laring. Setiap alat tersebut memiliki fungsi
spesifik dalam proses inspirasi dan ekspirasi. Adapun fungsi dari setiap alat tersebut yaitu:
1) Hidung
Bulu hidung menyaring debu dan mikroorganisme dari udara yang masuk dan ditangkap lapisan mukus.
Persediaan darah yang banyak ke membran mukusmembantu menyamakan suhu udara yang masuk menjadi hampir
sama dengansuhu badan serta melembabkannya. Selain itu, hidung juga berfungsi sebagaiorgan pembau (reseptor bau
terletak di mukosa bagian atas hidung) sertamembantu menghasilkan dengungan (fonasi).

2) Faring
Faring digunakan sebagai alat pernafasan dan pencernaan. Pada manusiafaring juga digunakan sebagai alat
artikulasi bunyi.

3) Laring
Laring berfungsi untuk mengatur tingkat ketegangan dari pita suara yangselanjutnya mengatur suara. Selain
itu, laring juga menerima udara dari faring,meneruskannya ke trakea, dan mencegah makanan dan air masuk ke dalam
trakea

Mekanisme Pernafasan
Proses dari sistem pernafasan/respirasi berlangsung beberapa tahap :
1. Ventilasi
Ventilasi adalah pertukaran udara ke dalam dan keluar paru-paru. Ventilasi terjadi karena adanya perubahan
tekanan intra pulmonal, pada saat inspirasi tekanan intra pulmonal lebih rendah dari tekanan atmosfer sehingga udara
dari atmosfer akan terhisap ke dalam paru-paru. Sebaliknya pada saat ekspirasi tekanan intrapulmonal menjadi lebih
tinggi dari atmosfer sehingga udara akan tertiup keluar dari paru-paru. Perubahan tekanan intrapulmonal tersebut
disebabkan karena perubahan volume thorax akibat kerja dari otot-otot pernafasan dan diafragma.
Ventilasi dipengaruhi oleh :
 Kadar oksigen pada atmosfer
 Kebersihan jalan nafas
 Daya recoil & complience (kembang kempis) dari paru-paru
 Pusat pernafasan
2. Difusi
Difusi dalam respirasi merupakan proses pertukaran gas antara alveoli dengan darah pada kapiler paru. Proses
difusi terjadi karena perbedaan tekanan, gas berdifusi dari tekanan tinggi ke tekanan rendah. Salah satu ukuran difusi
adalah tekanan parsial.
Volume gas yang berdifusi melalui membran respirasi per menit untuk setiap perbedaan tekanan sebesar 1
mmHg disebut kapasitas difusi. Kapasitas difusi oksigen dalam keadaan istirahat sekitar 230 ml/menit.
Difusi dipengaruhi oleh :
 Ketebalan membran respirasi
 Koefisien difusi
 Luas permukaan membran respirasi
 Perbedaan tekanan parsial
 Transportasi
3. Transportasi
Transportasi oksigen ke sel-sel yang membutuhkan melalui darah dan pengangkutan karbondioksida sebagai
sisa metabolisme ke kapiler paru.
Transportasi gas dipengaruhi oleh :
 Cardiac Output
 Jumlah eritrosit
 Aktivitas
 Hematokrit darah

Proses terjadinya pernafasan terbagi menjadi 2 bagian,yaitu :


a. Menarik nafas ( inspirasi)
b. Menghembus nafas ( ekspirasi)
Bernafas berarti melakukan inspirasi dan ekspirasi secara bergantian,teratur,berirama,dan terus-
menerus.bernafas merupakan gerakan reflex yang terjadi pada otot-otot pernafasan. Reflex bernafas ini diatur oleh
pusat pernafasan yang terletak di medulla oblongata. Oleh karena seseorang dapat menahan,mempercepat,atau
memperlambat nafasnya,ini berarti bahwa reflex nafas juga dibawah pengaruh korteks serebri. Pusat pernafasan sangat
peka terhadap kelebihan kadar c02 dalam darah dan kekurangan 02 dalam darah.
Inspirasi dan Ekspirasi
Inspirasi merupakan proses aktif,disini kontraksi otot-otot inspirasi akanmeningkatkan tekanan di dalam ruang antara
paru-paru dan dinding dada (tekanan intrakranial). Inspirasi terjadi bila m.diafragma telah mendapat rangsangan dari
n.prenikus sehingga m.diafragma mendjadi datar (berkontraksi) m. Intercostalis juga berkonstraksi setelah mendapat
rangsangan sehingga jarak antarasternum dan vertebra semakin luas dan lebar dan rongga dada membesar-pleura akan
tertarik-menarik paru-paru-tekanan di dalam paru-paru rendah-udara dari luar masuk ke paru-paru
Ekspirasi merupakan proses pasif yang tidak memerlukan otot untuk menurunkan inrtrakranial. Ekspirasi terjadi
apabila pada saat otot diafragma dan m.intercostalis berelaksasi-rongga dada kembali ke ukuran awal-udara di dorong
keluar.
Mekanisme Sistem Pernpasan terhadap Benda Asing
Sebagai pertahanan terhadap benda-benda asing dan makanan yang masuk ke dalam saluran pernapasan, tubuh
mempunyai respon-respon seperti :
1) Batuk
Inspirasi dalam, diikuti ekspirasi kuat melawan glotis yang tertutup.Peningkatan tekanan intrapleura
100mmHg atau lebih. Glotis tiba-tibaterbuka mengakibatkan redakan aliran udara ke luar dengan kecepatan965km
atau (600mil)/jam.
2) Bersin
Reflek bersin mirip dengan reflek batuk kecuali bahwa refleks iniberlangsung pada saluran hidung, bukan
pada saluran pernapasan bagianbawah. Rangsangan awal menimbulkan refleks bersin adalah iritasi dalamsaluran
hidung, impuls saraf aferen berjalan dalam nervus ke lima menujumedulla tempat refleks ini dicetuskan. Terjadi
serangkaian reaksi yangmirip dengan refleks batuk tetapi uvula ditekan, sehingga sejumlah besarudara dengan cepat
melalui hidung, dengan demikian membantumembersihkan saluran hidung dari benda asing.
1. Mekanisme yang berkaitan dengan faktor fisik, anatomik, dan fisiologik,
a. Deposisi partikel
Perjalanan udara pernapasan mulai dari hidung sampai ke parenkim paru melalui struktur yang berbelok-belok
sehingga memungkinkan terjadinya proses deposisi partikel. Partikel berukuran > 10 µm tertangkap di dalam rongga
hidung, antara 5-10 µm tertangkap di dalam bronkus dan percabangannya, sedangkan yang berukuran < 3 µm dapat
masuk ke dalam alveoli. Tertengkapnya partikel disebabkan karena partikel tersebut menabrak dinding saluran
pernapasan dan adanya kecenderungan partikel untuk mengendap.Pada daerah yang mempunyai aliran udara turbulen,
partikel besar terlempar keluar dari jalur aslinya sehingga menabrak dinding jalan napas dan menempel pada mucus.
Kecepatan aliran udara bronkiolus berkurang sehingga partikel kecil yang masuk sampai ke alveoli dapat dipengaruhi
oleh gaya gravitasi dan sedimentasi sehingga partikel tersebut mengendap. Partikel yang sangat kecil menabrak
dinding karena adanya gerak Brown.
b. Refleks batuk dan reflex tekak (Gag Reflex)
Berfungsi agar jalan napas tetap terbuka (patent) dengan cara menyingkirkan hasil sekresi, selain itu juga untuk
menghalau benda asing (corpus alienum) yang akan masuk ke dalam system pernapasan.
2. Mekanisme eskalasi mucus dan mucus blanket,
Eskalasi mukosiliar melibatkan peran silia dan mucus.Silia terdapat pada dinding saluran pernapasan mulai dari
laring sampai bronkiolus terminalis. Semakin ke arah cephalad, jumlah silia akan bertambah padat. Silia bergerak 14
kali per detik. Mukus yang lengkat dan berbentuk gel yang mengapung di atas mucus yang lebih encer, terdorong kea
rah cephalad karena gerak silia. Partikel menempel pada mucus sehingga partikel juga keluar bersama mucus.
Jumlah silia dan aktivitasnya dipengaruhi oleh asap rokok, toksin, dan asidosis; ketiganya menurunkan jumlah silia
dan aktivitasnya. Gerak silia ditingkatkan oleh β-agonis, kecepatan mucociliary clearance dipercepat oleh metilxantin,
dan oleh bahan kolinergik.Atropin menurunkan kecepatan mucociliary clearance.
3. Mekanisme fagositik dan inflamasi, dan
Partikel dan mikroorganisme yang terdeposisi akan difagosit oleh sel yang bertugas mempertahankan system
pernapasan. Sel sel tersebut adalah sel makrofag alveolar (pulmonary alveolar macrophage) dan sel polimorfonuklear
(PMN).Di dalam sitoplasma makrofag terdapat bermacam-macam bentuk granula yang berisi berbagai enzim untuk
mencerna partikel dan mikroorganisme yang difagositosis. Makrofag mampu mengeluarkan substansi antigenic
Sel PMN berperan ketika melawan mikroorganisme yang menginfeksi paru terutama di distal paru.Dalam keadaan
normal, ada beberapa PMN di saluran pernapasan dan alveoli. Jika mikroorganisme yang masuk tidak dapat diatasi
oleh makrofag, mikroorganisme ini akan berkembang biak di alveoli dan menyebabkan pneumonia dan proses
inflamasi. Berbagai macam komponen inflamasi yang dikeluarkan oleh makrofag, seperti komplemen aktivatif dan
faktor kemotaktik, akan menarik PMN untuk datang dan segera memfagositosis serta membunuh mikroorganisme.
Jika makrofag terpajan partikel atau mikroorganisme, materi asing dari partikel atau mikroorganisme tersebut akan
menempel pada dinding makrofag (yang berupa membran). Membran ini akan melakukan invaginasi dan membentuk
cekungan untuk menelan benda asing. Pada beberapa keadaan terdapat opsonin (protein) yang terlebih dahulu
membungkus benda asing sebelum menempel pada sel yang memfagositosis benda asing ini.Opsonin menyebabkan
benda asing lebih adhesif terhadap makrofag. IgG merupakan salah satu bentuk opsonin. Makrofag tidak selalu
berhasil membunuh atau mengisolasi benda asing, misalnya ketika memfagositosis partikel siliaka, makrofag akan
mati karena toksisitas substansi yang dikeluarkannya sendiri.
4. Mekanisme respon imun.
Ada dua macam komponen di dalam system imun, yaitu:
a. Mekanisme respon imun humoral yang melibatkan limfosit B
Mekanisme imun humoral di dalam system pernapasan tampak dalam dua bentuk antibodi berupa IgA dan
IgG.Antibodi ini terutama IgA, penting sebagai pertahanan di nasofaring dan saluran pernapasan bagian
atas.Sedangkan IgG banyak ditemukan di bagian distal paru. IgG berperan dalam menggumpalkan partikel,
menetralkan toksin, dan melisiskan bakteri gram negatif.
b. Mekanisme respon imun selular yang melibatkan limfosit T
Mekanisme imu selular diperankan oleh sel T (CD4+ dan CD8+) Sensitisasi terhadap limfosit T menyebabkan
limfosit T menghasilkan berbagai mediator yang dapat larut yang disebut limfokin, yaitu suatu zat yang dapat menarik
dan mengaktifkan sel pertahanan tubuh yang lain terutama makrofag. Limfosit T juga dapat berinteraksi dengan
system imun humoral dalam memodifikasi produksi antibody.Peran system imun selular yang sangat penting adalah
untuk melindungi tubuh melawan bakteri yang tumbuh secara intaselular, seperti kuman Mycobacterium tuberculosis.
Mekanisme respons imun humoral memerlukan aktivitas limfosit B dan antibody yang diproduksi oleh sel
plasma.Mekanisme respon imun selular memerlukan aktivitas limfosit T yang mampu mengeluarkan limfokin.
Limfosit T dan limfosit B mempunyai ketergantungan satu sama lain ketika sedang bekerja. Ada limfosit yang tidak
dapat ditentukan jenisnya, digolongkan sebagai sel natural killer (NK cell).Sel ini dapat membunuh baik
mikroorganisme ataupun sel tumor tanpa melalui sensitisasi terlebih dahulu.Sel NK distimulasi oleh limfokin tertentu
yang dihasilkan oleh limfosit T.
Mekanisme batuk dibagi menjadi 3 fase:
Fase 1 (Inspirasi), paru-paru memasukan kurang lebih 2,5 liter udara, oesofagus dan pita suara menutup, sehingga
udara terjerat dalam paru-paru.
Fase 2 (Kompresi), otot perut berkontraksi, diafragma naik dan menekan paru-paru, diikuti pula dengan kontraksi
intercosta internus. Pada akhirnya akan menyebabkan tekanan pada paru-paru meningkat hingga 100mm/hg.
Fase 3 (Ekspirasi), Spontan oesofagus dan pita suara terbuka dan udara meledak keluar dari paru

Mekanisme Bersin
Reflek bersin mirip dengan reflek batuk kecuali bahwa refleks ini berlangsung pada saluran hidung, bukan pada
saluran pernapasan bagian bawah. Rangsangan awal menimbulkan refleks bersin adalah iritasi dalam saluran hidung,
impuls saraf aferen berjalan dalam nervus ke lima menuju medulla tempat refleks ini dicetuskan. Terjadi serangkaian
reaksi yang mirip dengan refleks batuk tetapi uvula ditekan, sehingga sejumlah besar udara dengan cepat melalui
hidung, dengan demikian membantu membersihkan saluran hidung dari benda asing.
a. Fungsi mukosa serta aktivitas cilia
Permukaan seluruh saluran pernafasan (dari hidung hingga ke bronchiolus terminalis), dijaga agar sebisa mungkin
lembab. Kelembaban ini dijaga oleh mukosa yang melapisi seluruh permukaannya. Mukosa ini dihasilkan sebagian
oleh sel goblet pada sel-sel epitel saluran pernafasan, dan juga oleh glandula submucosa. Selain itu, untuk selalu
menjaga agar saluran pernafasan tetap lembab, ada mekanisme yang menyebabkan terperangkapnya partikel-partikel
kecil yang terbawa oleh udara. Fungsi ini bermanfaat agar partikel tersebut tidak masuk hingga alveoli. Mukosa, dalam
kasus ini, berperan untuk mengeluarkan partikel tersebut dengan cara sebagai berikut:

Seluruh permukaan saluran pernafasan, baik dari hidung hingga bronchiolus terminalis, dilapisi oleh epitel bersilia
(dengan 200 cilia per 1 sel epitel). Cilia ini terus menerus bergerak sebanyak 10-20 kali per detik, dan arah gerakannya
adalah menuju faring. Oleh karena itu, sifat gerakan cilia dari paru adalah ke atas, sementara gerakan cilia dari hidung
adalah ke bawah. Pergerakan yang terus menerus ini menyebabkan mukosa untuk mengalir secara perlahan, dengan
kecepatan beberapa milimeter per menit menuju faring. Kemudian, mukosa dan partikel-partikel yg terlarut bisa
tertelan, ataupun keluar karena mekanisme batuk.
(Hall, 2006)
b. Mekanisme refleks batuk
Broncus dan trakea sangat sensitif terhadap sentuhan yang sangat halus, bahkan benda-benda asing yang sangat kecil
sekalipun dapat menyebabkan iritasi sehingga menyebabkan batuk. Laring dan carina (tempat bercabangnya trakea
menjadi bronchi) adalah bagian tersensitif, sementara bronchiolus terminalis hingga ke alveolus sangat sensitif
terhadap zat korosif, misalnya sulfur dioxide atau gas chlorine. Impuls saraf aferen dari saluran pernafasan umumnya
melalui nervus vagus, yang diteruskan ke medulla otak. Oleh karena itu, beberapa urutan kejadian ‘mekanisme batuk’
dipicu oleh rangkaian neuron yang ada di medulla otak, dengan urutan sebagai berikut:
(1) sebanyak 2.5 liter udara secara cepat diinspirasi.
(2) Epiglottis menutup, dan pita suara menutup secara erat untuk menahan udara agar tidak keluar dari paru-
paru.
(3) Otot-otot abdominal berkontraksi secara kuat, sehingga dapat mendorong diafragma; bersamaan dengan itu,
otot-otot ekspirasi (misalnya m. intercostalis interna) juga berkontraksi secara kuat. Akibatnya, tekanan di dalam paru-
paru meningkat secara drastis, hingga pada tekanan 100 mmHg atau lebih.
(4) Pita suara dan epiglottis secara cepat membuka, menyebabkan udara yang bertekanan tinggi dari paru-paru
‘meledak’ ke luar.
Oleh karena itu, kadang-kadang udara dapat dikeluarkan dari paru secepat 75-100 mph karena mekanisme batuk ini.
Kompresi yang kuat oleh paru-paru ini menyebabkan kolapsnya bronchi dan trachea, akibatnya, struktur non-kartilago
yang mereka miliki menjadi cekung ke dalam. Udara yang keluar secara cepat ini biasanya juga mengandung benda-
benda asing yang ada di bronchi ataupun trachea.
(Hall, 2006)
c. Respon refleks bersin
Mekanisme terjadinya refleks bersin sebetulnya mirip dengan batuk, namun pada bersin, mekanisme utama terjadi
pada rongga hidung. Stimulus yang merangsang terjadinya bersin mengiritasi bagian nasal; impuls aferen dihantarkan
melalui nervus V menuju medulla, tempat di mana reflex dapat dipicu. Serangkaian mekanisme selanjutnya sama
dengan batuk, namun pada bersin, terjadi depresi pada uvula, sehingga banyak udara yang keluar melalui hidung; hal
ini dapat membersihkan saluran hidung dari benda asing.
(Hall, 2006)

Fungsi Respiratori Normal Hidung


Ketika udara masuk melalui hidung, terdapat 3 fungsi utama yang terjadi pada hidung, yaitu (1) Udara dihangatkan
oleh permukaan conchae dan septum; luas permukaan yang dapat menghangatkan udara ini kurang lebih 160 cm2. (2)
Udara dilembabkan sebelum masuk bagian lebih dalam lagi dari hidung. (3) Udara disaring secara partial. Ketiga
fungsi ini dinamakan fungsi ‘air conditioning’ saluran nafas atas. Biasanya, temperatur udara yang diinspirasi naik
hingga suhunya menjadi 0,5°C lebih dingin atau hangat dari suhu tubuh. Ketika seseorang bernafas secara langsung
dari trachea (misalnya pada tracheostomy), dinginnya udara (dan keringnya udara) yang dihirup dapat menyebabkan
kerusakan serius pada paru-paru karena dapat menyebabkan crusting dan infeksi.

Ukuran Partikel yang Terperangkap di Saluran Pernafasan


Turbulensi pada hidung memiliki fungsi untuk memisahkan partikel-partikel dari udara. Mekanisme ini cukup
efektif karena partikel dengan ukuran lebih dari 6 µm dapat tersaring, sehingga tidak masuk hingga ke paru-paru.
Ukuran ini sebetulnya lebih kecil dari satu sel darah merah.

Sisa partikelnya, dengan ukuran antara 1-5 µm dapat bersarang di bronchiolus (akibat dari gravitational
precipitation). Contohnya, orang-orang yang bekerja sebagai penambang batubara dapat mengalami gangguan
bronchiolus akibat dari penumpukan partikel-partikel debu halus. Beberapa partikel yang lebih kecil lagi (ukurannya
di bawah 1 µm) dapat berdifusi dengan dinding alveoli dan beradhesi ke cairan alveolar. Partikel yang lebih kecil dari
0,5 µm dapat bertahan di udara alveolus, dan dapat dikeluarkan dengan cara ekspirasi. Misalnya saja, partikel rokok
dengan ukuran 0,3 µm sebetulnya tidak dapat terpresipitasi sebelum masuk ke alveolus. Namun, sebanyak 1/3 dari
partikel tersebut dapat berdifusi dengan alveoli.

Partikel-partikel yang terperangkap di alveoli dapat dihilangkan oleh makrofag alveolus, dan sebagiannya lagi dapat
dibawa oleh saluran limfatik yang ada di paru-paru.
(Hall, 2006)
Vokalisasi
Mekanisme ‘berbicara’ tidak hanya melibatkan sistem respirasi, tetapi juga melibatkan (1) Pusat saraf pengatur
berbicara di cortex cerebral, (2) Pusat pengatur respirasi di otak dan (3) Struktur artikulasi dan resonansi mulut dan
saluran hidung. Secara mekanis, berbicara melibatkan 2 fungsi, yaitu (1) Fonasi, yang dapat dilakukan oleh laring,
dan (2) Artikulasi, yang dapat dilakukan oleh struktur mulut.
(Hall, 2006)
Fonasi
Laring merupakan tempat yang sudah beradaptasi menjadi vibrator. Elemen getar pada laring adalah plica vocalis,
atau lebih sering dikenal sebagai pita suara. Pada gambar B, terlihat bentuk-bentuk bukaan pita suara apabila dilihat
dengan menggunakan larngoscope. Pada saat pernafasan biasa, pita suara ini terbuka lebar agar udara lebih mudah
masuk. Pada saat fonasi, kedua pitanya bergerak mendekat sehingga terdapat celah yang dilewati udara dan
menimbulkan getaran. Nada yang dihasilkan oleh vibrasi ini ditentukan oleh seberapa meregangnya pita suara, dan
juga ditentukan oleh seberapa dekatnya jarak celah antara satu pita suara dengan pita suara lainnya.
(Hall, 2006)

Gambar 11. (A) Anatomi laring; (B) Fungsi fonasi dari laring, menunjukkan posisi dari pita suara pada keadaan
fonasi yang berbeda-beda (Hall, 2006)
Artikulasi dan Resonansi
Tiga organ utama yang terkait dengan artikulasi adalah bibir, lidah, dan palatum. Pergerakan dari ketiga organ
tersebut dapat mengubah artikulasi. Sementara resonansi dapat dipengaruhi oleh mulut, hidung, sinus nasalis, dan juga
fraing, serta rongga dada. Misalnya saja, pada saat orang terkena flu (dan biasanya mengalami blokade hidung karena
pilek), suaranya menjadi berubah, hal ini akibat dari berubahnya resonansi yang terjadi di bagian hidung.
(Guyton & Hall, 2006)

Sistem Pertahanan di Hidung dan Oropharynx


Udara yang dihirup masuk melalui hidung atau mulut dan diteruskan ke bagian glotis, kemudian ke bagian
extrathorax sebelum masuk ke thorax. Apabila bernafas dengan menggunakan hidung, udara disaring dan
dilembabkan serta suhunya disesuaikan dengan suhu tubuh oleh turbinat (conchae) dan mucosa faring posterior.
Apabila terjadi obstruksi nasal, ataupun kebutuhan pernafasan yang melebihi 20-30 L/menit, maka diperlukan
pernafasan dari mulut. Udara yang dihirup dari mulut dapat masuk ke trakea tanpa dikondisikan (tanpa disaring dan
disesuaikan suhunya).

Beberapa substansi yang ada di sekresi hidung dapat membantu mengendalikan populasi bakteri maupun virus.
Substansi yang dimaksud terutama adalah lysozyme dan immunoglobulin (secretory IgA yang membasahi permukaan
mucosa saluran pernafasan). Sekresi nasal kaya akan IgA, di mana imunoglobulin tipe ini disintesis secara lokal di
bagian sel plasma submucosa. Selain IgA, terdapat juga imunoglobulin tipe lain seperti IgG, namun dalam jumlah
yang lebih sedikit. IgE secara normal tidak diproduksi, terutama pada orang yang tidak mengalami atopy (nonatopic).
Meski demikian, IgE memiliki peranan yang penting pada penderita rhinitis alergi.
(Fishman, et. al., 2008)

Gambar 12. Komponen lumen mucosal saluran pernafasan. Sel epitel


silindris berlapis dengan cilia dilapisi oleh mucus (diproduksi oleh sel
goblet dan glandula bronchialis), dan juga cairan yang mengandung
berbagai macam protein, termasuk immunoglobulin dan komponen
sekretori. Beberapa sel juga dapat ditemukan di permukaannya,
misalnya limfosit dan makrofag. Pada lapisan submucosa di bawah
membrana basalis, terdapat sel plasma dan sel mast; sel plasma
menghasilkan immunoglobulin A sementara sel mast menghasilkan
mediator alergi, misalnya histamine. (Fishman, et. al., 2008)
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang
diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi
alergi terdiri dari 2 fase yaitu :
1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase
Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1
jam setelahnya. Munculnya segera dalam 5-30 menit, setelah terpapar dengan alergen spesifik dan gejalanya
terdiri dari bersin-bersin, rinore karena hambatan hidung dan atau bronkospasme. Hal ini berhubungan dengan
pelepasan amin vasoaktif seperti histamin.
2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak
6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Muncul dalam 2-8
jam setelah terpapar alergen tanpa pemaparan tambahan. Hal ini berhubungan dengan infiltrasi sel-sel
peradangan, eosinofil, neutrofil, basofil, monosit dan CD4 + sel T pada tempat deposisi antigen yang
menyebabkan pembengkakan, kongesti dan sekret kental.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai
APC akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Kompleks antigen yang telah diproses
dipresentasikan pada sel T helper (Th0). APC melepaskan sitokin seperti IL1 yang akan mengaktifkan Th0 ubtuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan IL13. IL4 dan IL13 dapat
diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE.
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk terutama histamin.

Rinitis Alergi melibatkan membran mukosa hidung, mata, tuba eustachii, telinga tengah, sinus dan faring. Hidung
selalu terlibat, dan organ-organ lain dipengaruhi secara individual. Peradangan dari mukosa membran ditandai
dengan interaksi kompleks mediator inflamasi namun pada akhirnya dicetuskan oleh IgE yang diperantarai oleh
respon protein ekstrinsik.

Kecenderungan munculnya alergi, atau diperantarai IgE, reaksi-reaksi pada alergen ekstrinsik (protein yang mampu
menimbulkan reaksi alergi) memiliki komponen genetik. Pada individu yang rentan, terpapar pada protein asing
tertentu mengarah pada sensitisasi alergi, yang ditandai dengan
pembentukan IgE spesifik untuk melawan protein-protein tersebut. IgE
khusus ini menyelubungi permukaan sel mast, yang muncul pada mukosa
hidung. Ketika protein spesifik (misal biji serbuksari khusus) terhirup ke
dalam hidung, protein dapat berikatan dengan IgE pada sel mast, yang
menyebabkan pelepasan segera dan lambat dari sejumlah mediator.
Mediator-mediator yang dilepaskan segera termasuk histamin, triptase,
kimase, kinin dan heparin. Sel mast dengan cepat mensitesis mediator-
mediator lain, termasuk leukotrien dan prostaglandin D2. Mediator-
mediator ini, melalui interaksi beragam, pada akhirnya menimbulkan
gejala rinore (termasuk hidung tersumbat, bersin-bersin, gatal,
kemerahan, menangis, pembengkakan, tekanan telinga dan post nasal
drip). Kelenjar mukosa dirangsang, menyebabkan peningkatan sekresi.
Permeabilitas vaskuler meningkat, menimbulkan eksudasi plasma.
Terjadi vasodilatasi yang menyebabkan kongesti dan tekanan. Persarafan
sensoris terangsang yang menyebabkan bersin dan gatal. Semua hal tersebut dapat muncul dalam hitungan menit;
karenanya reaksi ini dikenal dengan fase reaksi awal atau segera.

Setelah 4-8 jam, mediator-mediator ini, melalui kompetisi interaksi


kompleks, menyebabkan pengambilan sel-sel peradangan lain ke mukosa,
seperti neutrofil, eosinofil, limfosit dan makrofag. Hasil pada peradangan lanjut,
disebut respon fase lambat. Gejala-gejala pada respon fase lambat mirip dengan
gejala pada respon fase awal, namun bersin dan gatal berkurang, rasa tersumbat
bertambah dan produksi mukus mulai muncul. Respon fase lambat ini dapat
bertahan selama beberapa jam sampai beberapa hari.

Sebagai ringkasan, pada rinitis alergi, antigen merangsang epitel


respirasi hidung yang sensitif, dan merangsang produksi antibodi yaitu IgE.
Sintesis IgE terjadi dalam jaringan limfoid dan dihasilkan oleh sel plasma.
Interaksi antibodi IgE dan antigen ini terjadi pada sel mast dan menyebabkan pelepasan mediator farmakologi yang
menimbulkan dilatasi vaskular, sekresi kelenjar dan kontraksi otot polos.

1.1. Diagnosis dan diagnosis banding


Anamnesis
Diagnosis dari rhinitis alergi perlu ditegakkan dengan benar agar jelas apabila pasien mengalami atopic, dan untuk
mengetahui alergen kausatifnya. Untuk mendiagnosis, perlu dilakukan anamnesis (umumnya menanyakan riwayat
alergi pasien), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Pada anamnesis, perlu ditanyakan riwayat penyakit pasien maupun keluarga terkait dengan alergi, karena dapat
memunculkan beberapa petunjuk penting. Faktor genetik menyebabkan individu lebih mudah tersensitasi dan
memproduksi antibodi IgE. Riwayat keluarga yang positif menderita alergi, eczema, ataupun asma dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya rhinitis alergi. Anak dengan kedua orangtua yang menderita alergi,
memiliki kemungkinan >50% menderita alergi. Apabila hanya salah satu orangtua yang menderita, maka
kemungkinannya lebih kecil, namun tetap signifikan.

Pasien perlu ditanyakan mengenai onset, durasi, tipe, progresi, dan juga derajat gejala yang dialami. Hal ini berguna
untuk menetukan klasifikasi rhinitis alergi yang dideritanya. Selain itu, perlu ditanyakan juga bagaimana rhinitis
yang dialami dapat memengaruhi kualitas hidupnya. Karena dengan diagnosis yang tepat, dan juga terapi yang
tepat, maka kualitas hidup pasien dapat ditingkatkan.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk kasus rhinitis alergi meliputi inspeksi bagian telinga, tenggorokan, dan saluran hidung
(inspeksi juga perlu dilakukan setelah pemberian decongestan topikal). Beberapa kondisi yang umum ditemui
antara lain conchae yang berwarna kebiruan, pucat, dan lembab. Mucosa hidung terlihat basah dan bengkak, serta
terjadi kongesti hidung dengan obstruksi nasal. Pada alergi perennial, kongesti nasal merupakan tanda utama.
Abnormalitas anatomi, misalnya deviasi septum nasal, bullosa concha, dan polip dapat ditemukan. Kelainan
anatomi ini perlu diperhatikan, apakah abnormalitas ini menjadi penyebab utama ataupun menjadi faktor
kontribusi dari gejala yang dialami pasien. Apabila terdapat polip nasal, maka perlu dilakukan endoskopi nasal.
Beberapa temuan lainnya antara lain conjunctivitis, eczema, dan wheezing asma.

Pada anak-anak, dapat terlihat ‘shiners’ (lingkar hitam pada bagian bawah mata), pernafasan mulut, dan nasal salute
(menggaruk-garuk bagian ujung hidung secara konstan).
(Lalwani, 2008)

Pemeriksaan Penunjang
a. Tes Alergi (epikutan dan intradermal)(in vivo)
Prick Test merupakan tes alergi epikutan yang paling umum dilakukan. Tes ini sifatnya cepat, spesifik, aman, dan
ekonomis. Namun apabila hasil tes tidak memberikan petunjuk, maka perlu dilakukan pemeriksaan intradermal.

Pemeriksaan intradermal, yaitu dengan menggunakan dilusi 1:5 kuantitatif. Metode ini digunakan oleh hampir seluruh
klinisi alergi THT.
In vivo
Alergen penyebab bisa dicari dengan pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau
berseri (Skin End point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam
berbagai konsentrasi. Keuntungan SET adalah selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui. Pada alergi makanan, uji kulit yang akhir ini banyak digunakan adalah intracutaneus
provocative dilutional food test (IPDFT), tapi sebagai baku emas bisa dilakukan diet eleminasi dan Challenge test.
Alergen ingestan akan lenyap dalam 5 hari secara tuntas. Pada challenge test, makanan yang dicurigai diberikan pada
pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis menu makanan
dihilangkan, gejala juga menghilang.

b. Pemeriksaan in vitro
Pada serum, terdapat IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, dan saat ini dapat diperiksa dengan akurat dan cepat.
Dengan peralatan yang modern, pemeriksaan in vitro kurang lebih ekuivalen dengan pemeriksaan kulit untuk
mendiagnosis alergi atopic. Pemeriksaan in vitro aman, spesifik, dan cost-effective, dan tidak ada interfensi dari
antihistamin yang sedang dikonsumsi.

Metodologi terbaru dapat menghitung IgE total pada serum. Jika dibandingkan dengan pemeriksaan kulit,
pemeriksaan IgE total kurang sensitif, namun lebih spesifik. Penghitungan protein IgE total dalam serum dapat
mendiagnosis berbagai macam penyakit terkait alergi, dan juga dapat digunakan sebagai faktor prediktif bagi bayi
maupun anak-anak.
(McPherson & Pincus, 2011; Lalwani, 2008; Fauci, 2008)

Tabel 2. Nilai normal IgE serum berdasarkan usia (McPherson &


Pincus, 2011)

Differential Diagnosis
Beberapa diganosis banding yang perlu diperhatikan antara lain:
(1) rhinitis infeksi (akut atau kronis),
(2) rhinitis nonalergic (vasomotor rhinitis),
(3) iritan atau polutan,
(4) rhinitis hormonal (pada saat kehamilan atau hypotiroid),
(5) rhinitis medicamentosa,
(6) deformitas anatomi,
(7) tumor atau badan asing.
(Lalwani, 2008)

Tipe-tipe rhinitis non alergi :


a. Rhinitis vasomotor
Akibat tergangguanya keseimbangan sistem parasimpatis dan simpatis. Parasimpatis jadi lebih dominan kemudian
terjadi pelebaran dan pembengkakan pembuluh darah di hidung. Gejala yang timbul hidung tersumbat, bersin-
bersin dan hidung berair. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung
temporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembabab udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dll.
b. Rhinitis infeksiosa
Terjadi karena infeksi saluran pernapasan bagian atas, baik bakteri maupun virus. Ciri khasnya biasanya hidung
bernanah, nyeri, dan tekanan pada wajah, penurunan indera penciuman dan batuk.
c. Rhinitis Medikamentosa
Suatu kelainan hidung, gangguan respon normal vasomotor akibat pemakaian vasokonstriktor topikal (lama&
berlebihan), sumbatan hidung yang menetap.
Rhinitis alergi Rhinitis vasomotor Rhinitis infeksiosa Rhinitis medikamentosa
-Bersin berulang -bersin -hidung bernanah -edema konka
-Rinorrea -hidung berair -nyeri -hidung tersumbat
-Hidung gatal -hidung tersumbat -tekanan pada wajah -terjadi vasokontriksi
-Mata merah dan berair -adanya gangguan saraf -hipertropi konka topikal
-Akibat allergen simpatis dan inferior
-Keadaan eosinophil parasimpatis -karena infeksi bakteri
meningkat -akibat hormonal atau virus
-Kadar IgE meningkat -terjadi eosinophil -pengobatan dengan di
sindrom tambah antibiotik
-dilakukan tindakan
operatif

A. Penatalaksanaan Non Farmakologi


Pengelolaan rhinitis alergi terdiri dari 3 kategori utama dari pengobatan, (1) langkah-langkah pengendalian lingkungan
dan menghindari alergen, (2) manajemen farmakologis, dan (3) imunoterapi.
1. Langkah-langkah Pengendalian Lingkungan dan Menghindari Alergen
 Menghindari pencetus (alergen). Amati benda-benda apa yang menjadi pencetus (debu, serbuk sari, bulu binatang,
dll)
 Jika perlu, pastikan dengan skin test
 Jaga kebersihan rumah, jendela ditutup, hindari kegiatan berkebun. Jika harus berkebun, gunakan masker wajah
2. Menggunakan obat untuk mengurangi gejala
 Antihistamin
 Dekongestan
 Kortikosteroid nasal
 Sodium kromolin
 Ipratropium bromida
 Leukotriene antagonis
3. Imunoterapi
Imunoterapi dengan alergen spesifik digunakan bila upaya penghindaran alergen dan terapi medikamentosa gagal
dalam mengatasi gejala klinis rinitis alergi. Terdapat beberapa cara pemberian imunoterapi seperti injeksi subkutan,
pernasal, sub lingual, oral dan lokal. Pemberian imunoterapi dengan menggunakan ekstrak alergen standar selama 3
tahun, terbukti memiliki efek preventif pada anak penderita asma yang disertai seasonal rhinoconjunctivitis
mencapai 7 tahun setelah imunoterapi dihentikan

B. Penatalaksanaan Farmakologi
1. Antihistamin
Suatu zat atau obat untuk menekan reaksi histamin sebagai faktor alergen bagi tubuh. Mekanisme : Menahan aktifitas
sel mast untuk tidak mengalami degranulasi

Antihistamin 1 (AH1)
Farmakodinamik Farmakokinetik Indikasi: Efek samping

Antagonisme terhadap Setelah pemberian oral atau AH1 berguna untuk Vertigo, tinitus, lelah, penat,
histamine. parenteral, AH1 diabsorpsi pengobatan simtomatik inkoordinasi, insomnia,
AH1 menghambat efek secara baik. Kadar tertinggi berbagai alergi, mencegah tremor, mulut kering,
histamine pada pembuluh terdapat pada paru-paru atau mengobati mabuk disuria, palpitasi, hipotensi,
darah, bronkus dan sedangkan pada limpa, perjalanan, untuk asma sakit kepala, rasa berat,
bermacam-macam otot ginjal, otak, otot, dan kulit berbagai profilaksis. lemah pada tangan. Efek
polos. Selain itu AH1 kadarnya lebih rendah. samping akan berkurang
bermanfaat untuk Tempat utama bila AH1 diberikan
mengobati reaksi biotransformasi AH1 sewaktu makan.
hipersensitivitas atau adalah hati, tetapi dapat
keadaan lain yang disertai juga pada paru-paru dan
pengelepasan histamin ginjal.
endogen berlebihan.
Table Intensitas efek beberapa antihistamin
Sd=sampai dengan, - =tidak ada, +sd++++ = menggambarkan tingginya intensitasefek secara relative

Penggolongan AH1, dosis, masa kerja, aktivitas antikolinergiknya

:
2. Dekongestan.
Dekongestan nasal, alfa agonis yang banyak digunakan pada pasien rhinitis alergika atau rhinitis vasomotor dan pada
pasien ISPA dengan rinitis akut. Obat ini menyebabkan venokonstriksi dalam mukosa hidung melalui reseptor
alfa 1 sehingga mengurangi volume mukosa dan dengan demikian mengurangi penyumbatan hidung.
Obat golongan ini disebut obat adrenergik atau obat simptomimetik, karena obat ini merangsang saraf simpatis. Kerja
obat ini digolongkan 7 jenis :
1. Perangsangan organ perifer : otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa, misal : vasokontriksi mukosa
hidung sehingga menghilangkan pembengkakan mukosa pada konka.
2. Penghambatan organ perifer : otot polos usus dan bronkus, misal : bronkodilatasi
3. Perangsangan jantung : peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi.
4. Perangsangan Sistem Saraf Pusat : perangsangan pernapasan dan aktivitas psikomotor.
5. Efek metabolik : peningkatan glikogenolisis dan lipolisis.
6. Efe endokrin : modulasi sekresi insulin, renin, dan hormon hipofisis.
7. Efek prasipnatik : peningkatan pelepasan neurotransmiter.
Dekongestan Oral
1. Efedrin
Efektif pada pemberian oral, masa kerja panjang, efek sentralnya kuat. Bekerja pada reseptor alfa, beta 1 dan beta.

EFEK
FARMAKODINAMIK FARMAKOKINETIK KONTRAINDIKASI INDIKASI DOSIS
SAMPING
Merupakan adrenergic Absorbsi peroral baik Takikardi, Hipertensi dan penyakit Asma Dewasa
yang bekerja tidak sakit jantung brokial,
langsung Dapat melewati BBB kepala,rasa COPD 60
melayang, mg/4-
Efeknya mirip epinefrin tremor, 6 jam
tetapi lebih lambat dan peningkatan
lama(10x epinefrin) tekanan Anak-
darah anak
Efek sentral : insomnia, 6-12
sering terjadi pada tahun :
pengobatan kronik yang 30
dapat diatasi dengan mg/4-
pemberian sedatif. 6 jam

Efek bronkodilatornya Anak-


lebih kecil di banding anak
epinefrin 2-5
tahun:
Merupakan stimulasi 15
ringan mg/4-
6 jam
2. Fenilpropanolamin
Dekongestan nasal yang efektif pada pemberian oral. Selain menimbulkan konstriksi pembuluh darah mukosa hidung,
juga menimbulkan konstriksi pembuluh darah lain sehingga dapat meningkatkan tekanan darah dan menimbulkan
stimulasi jantung.
Efek farmakodinamiknya menyerupai efedrin tapi kurang menimbulkan efek SSP. Harus digunakan sangat hati-hati
pada pasien hipertensi dan pada pria dengan hipertrofi prostat.
Kombinasi obat ini dengan penghambat MAO adalah kontraindikasi. Obat ini jika digunakan dalam dosis besar (>75
mg/hari) pada orang yang obesitas akan meningkatkan kejadian stroke, sehingga hanya boleh digunakan dalam dosis
maksimal 75 mg/hari sebagai dekongestan.
Dosis. Dewasa : 25 mg/4 jam
Anak-anak 6-12 tahun : 12,5 mg/4 jam
Anak-anak 2-5 tahun : 6,25 mg/4 jam
3. Fenilefrin
Agonis selektif reseptor alfa 1 dan hanya sedikit mempengaruhi reseptor beta. Hanya sedikit mempengaruhi jantung
secara langsung dan tidak merelaksasi bronkus. Menyebabkan konstriksi pembuluh darah kulit dan daerah
splanknikus sehingga menaikkan tekanan darah.

Dekongestan Topikal
Derivat imidazolin (nafazolin, tetrahidrozolin, oksimetazolin, dan xilometazolin). Dalam bentuk spray atau inhalan.
Terutama untuk rhinitis akut, karena tempat kerjanya lebih selektif. Tapi jika digunakan secara berlebihan akan
menimbulkan penyumbatan berlebihan disebut rebound congestion. Bila terlalu banyak terabsorpsi dapat
menimbulkan depresi Sistem Saraf Pusat dengan akibat koma dan penurunan suhu tubuh yang hebat, terutama pada
bayi. Maka tidak boleh diberikan pada bayi dan anak kecil.

3. Kortikosteroid.
Kortikosteroid Inhalasi
Kortikosteroid terdapat dalam beberapa bentuk sediaan antara lain oral, parenteral, dan inhalasi. Ditemukannya
kortikosteroid yang larut lemak (lipid-soluble) seperti beclomethasone, budesonide, flunisolide, fluticasone, and
triamcinolone, memungkinkan untuk mengantarkan kortikosteroid ini ke saluran pernafasan dengan absorbsi
sistemik yang minim. Pemberian kortikosteroid secara inhalasi memiliki keuntungan yaitu diberikan dalam dosis
kecil secara langsung ke saluran pernafasan (efek lokal), sehingga tidak menimbulkan efek samping sistemik yang
serius.
Jika penggunaan secara inhalasi tidak mencukupi barulah kortikosteroid diberikan secara oral, atau diberikan bersama
dengan obat lain (kombinasi, misalnya dengan bronkodilator). Kortikosteroid inhalasi tidak dapat menyembuhkan
asma. Pada kebanyakan pasien, asma akan kembali kambuh beberapa minggu setelah berhenti menggunakan
kortikosteroid inhalasi, walaupun pasien telah menggunakan kortikosteroid inhalasi dengan dosis tinggi selama 2
tahun atau lebih. Kortikosteroid inhalasi tunggal juga tidak efektif untuk pertolongan pertama pada serangan akut
yang parah.
Hindari penggunaan kortikosteroid pada ibu hamil, karena bersifat teratogenik. Berikut ini contoh
kortikosteroid inhalasi yang tersedia di Indonesia antara lain:

DOSIS INDIKASI KONTRAINDIKASI EFEK SAMPING RISIKO KHUSUS


Untuk masing- Kortikosteroid Kontraindikasi bagi pasien Pada pemberian Pada anak-anak,
masing individu inhalasi secara yang hipersensitifitas secara oral dapat penggunaan
pasien dapat teratur digunakan terhadap kortikosteroid. menimbulkan kortikosteroid
berbeda, sehingga untuk mengontrol katarak, inhalasi dosis
harus dan mencegah osteoporosis, tinggi
dikonsultasikan gejala asma menghambat menunjukkan
lebih lanjut dengan pertumbuhan, pertumbuhan anak
dokter, dan jangan berefek pada yang sedikit
menghentikan susunan saraf pusat lambat, namun
penggunaan dan gangguan asma sendiri juga
kortikosteroid mental, serta dapat menunda
secara langsung, meningkatkan pubertas, dan tidak
harus secara resiko terkena ada bukti bahwa
bertahap dengan infeksi. Efek kortikosteriod
pengurangan dosis. samping sistemik inhalasi dapat
(tapering off) dapat terjadi pada mempengaruhi
penggunaan tinggi badan orang
kortikosteroid dewasa.
inhalasi dosis tinggi
yaitu pertumbuhan
yang terhambat pada
anak-anak,
osteoporosis, dan
karatak

 Kortikosteroid (nasal corticosteroid spray) paling efektif untuk rhinitis alergi.


1. Tidakan operatif. Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti, inferior
turbinoplasty perlu dipikirkan jika konka inferior hipertrofi berat dan tidak bisa dikecilkan dengan kauterisasi
memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
2. Imunoterapi
Tujuan : penurunan Ig E dan pembentukan IgG blockin antibody. Yang umum digunakan adalah intradermal dan
sublingual.
Nama generik Nama dagang di Bentuk Sediaan Dosis dan Aturan pakai
Indonesia
Beclomethasone Becloment Inhalasi aerosol Inhalasi aerosol: 200μg
dipropionate (beclomethasone , 2 kali seharianak:
dipropionate 200μg/ 50-100 μg 2 kali
dosis) sehari
Budesonide Pulmicort (budesonide Inhalasi aerosol Inhalasi aerosol: 200
Serbuk inhalasi μg, 2 kali
100 μg, 200 μg, 400 μg / sehariSerbuk
dosis) inhalasi: 200-1600
μg / hari dalam dosis
terbagianak: 200-800
μg/ hari dalam dosis
terbagi
Fluticasone Flixotide (flutikason Inhalasi aerosol Dewasa dan anak > 16
propionate50 μg , 125 tahun: 100-250 μg, 2
μg /dosis) kali sehariAnak 4-16
tahun; 50-100 μg, 2
kali sehari

“Bersin itu dari Allah dan menguap itu dar isyaithon. Jika salah seorang diantara kalian menguap, hendaknya dia
menutup dengan tangannya. Jika ia mengatakan, “aah…” berarti syaithon sedang tertawa di dalam perutnya.
Sesungguhnya Allah menyukai perbuatan bersin dan membenci menguap.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 2746;
al-Hakim, IV/264; Ibnu Khuzaimah, no. 921 dan Ibnu Sunni dalam kitab‘AmalulYaumwal Lailah, no. 2666. Hadits
ini dini laishohih oleh al-Albani dalam Shohiih al-Jaami’, no. 4009).

a. Pertama : Meletakkan Tangan Atau Baju ke Mulut Ketika Bersin

Salah satu akhlaq mulia yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam ketika bersin adalah menutup mulut
dengan tangan atau baju. Hal ini sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Rasullullah shallallahu ‘alaihiwasallam
tatkala beliau bersin.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan, “Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam bersin, beliau
meletakkan tangan atau bajunya ke mulut dan mengecilkan suaranya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5029 ;
at-Tirmidzi, no. 2745 dan beliau menshohihkannya. Diriwayatkan pula oleh al-Hakim, IV/293, beliau
menshohikannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi).

b. Kedua : Mengecilkan Suara Ketika Bersin

“Apabila salah seorang dari kalian bersin hendaklah ia meletakkan tangannya kewajahnya dan mengecilkan
suaranya.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim, IV/264 dan beliau menshohihkannya. Disepakati pula oleh adz-Dzahabi,
dan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 9353. Hadits ini dinilai hasan oleh al-Albani dalam Shohiih al-Jaami’, no. 685)

c. Ketiga : Memuji Allah Ta’ala Ketika Bersin

Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam memerintahkan umatnya untuk mengucapkan tahmid tatkala bersin. Beliau
shallallahu ‘alaihiwasallam bersabda:

“Jika salah seorang di antara kalian bersin, hendaklah ia mengucapkan Alhamdulillah, jika ia mengatakannya maka
hendaklah saudaranya atau temannya membalas: yarhamukalloh (semoga Allah merahmatimu). Dan jika temannya
berkata yarhamukallah, maka ucapkanlah: yahdikumullohwayushlihubaalakum (semoga Allah memberimu petunjuk
dan memperbaiki keadaanmu).” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhori, no. 6224 dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu)

d. Keempat : Mengingatkan Orang Yang Bersin Agar Mengcapkan Tahmid Jika Ia Lupa

Jika kita mendapati orang yang bersin namun tidak memuji Allah Ta’ala, hendaklah kita mengingatkannya. Ini
termasuk bagian dari nasihat.

‘Abdullah bin al-Mubarak melihat orang lain bersin tapi tidak mengucapkan Alhamdulillah, maka beliau berkata
kepadanya, “Apa yang seharusnya diucapkan seseorang jika ia bersin?” Orang itu mengatakan, “Alhamdulillah.”
Maka Ibnul Mubarak menjawab, “Yarhamukalloh.”

e. Kelima : Tidak Perlu Mendo’akan Orang Yang Sudah Bersin Tiga Kali Berturut-Turut

Demikianlah sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alihiwasallam. Beliau bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian bersin, hendaklah orang yang ada di dekatnya mendo’akannya. Dan jika (ia bersin)
lebih dari tiga kali berarti ia sakit. Janganlah kalian men-tasymit bersinnya setelah tiga kali.” (Diriwayatkan oleh
Abu Dawud, no. 5034; Ibnus Sunni, no. 251; dan Ibnu ‘Asakir, 8/257. Hadits ini dinilai shohi holeh al-Albani dalam
Shohiih al-Jaami’, no. 684)

f. Keenam : Tidak Mengucapkan Tasymit Terhadap Orang Kafir Yang Bersin Meskipun Ia Mengucapkan
Alhamdulillah

Dahulu orang Yahudi sengaja bersin di dekat Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam dengan harapan Nabi
mengatakan, “yarhamukumulloh (semoga Allah merahmatimu)” tetapi Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam
mengatakan: “Yahdikumullohwayushlihubaalakum (semoga Allah memberimu petunjuk dan memperbaiki
keadaanmu).” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5038 dan At-Tirmidzi, no. 2739. Imam at-Tirmidzi mengatakan
bahwa hadits ini hasan shohih).
ETIKA
a. Tutup hidung dan mulut dengan tisu,sapu tangan atau kain. Jika tidak ada jangan tutup menggunakan tangan
melainkan gunakan lengan dalam baju.
b. Segera buang tisu yang sudah dipakai kedalam tempat sampah.
c. Cuci tangan dengan menggunakan sabun atau pencuci tangan berbasis alcohol.
d. Gunakan masker jika sedang sakit atau ada yang sakit disekitar kita.
e. Tidak sembarangan membuang dahak atau pun ludah setelah batuk

Anda mungkin juga menyukai