Anda di halaman 1dari 17

Konteks Hubungan Filsafat Barat dan Filsafat Islam

Oleh: Zaimul Am

Abstract
In the context of the relationship between Islamic philosophy and Greek
philosophy, there are three pieces of domains those surfaced. First, the realm of
acculturation, that is when two different cultures face each other. Second, the
realm of integration, that is when the recognition of the meaningfulness of other
culture appear and then the aspects of difference between the two are tried to be
eliminated. Third, the realm of preservation, that is when a certain element in a
foreign culture is not only absorbed but also conserved through the establishment
of a new theory.
01. Pendahuluan
Secara historis, hubungan filsafat Barat dan filsafat Islam terbentuk sebagai
akibat perluasan hegemoni politik kaum Muslimin ke kawasan Eropa. Penaklukan
besar-besaran ini telah membuat kaum Muslimin berhadapan secara frontal
dengan budaya maupun warisan budaya Barat. Secara politik, ekspansi kaum
Muslimin konon diuntungkan oleh berbagai macam keadaan. Persia dan Kerajaan
Timur, misalnya, tercabik oleh peperangan yang berlarut-larut. Orang Syria yang
mayoritas merupakan kaum Nestorian tengah ditindas oleh orang Katolik,
sedangkan kaum Muslimin memberikan toleransi terhadap sekte-sekte di dalam
Kristen karena mereka membayar pajak kepada kaum Muslimin. Di Afrika, kaum
Muslimin berhasil menghimpun kekuatan dari kaum Barbar—sesuatu yang gagal
dilakukan oleh orang Romawi—untuk kemudian menaklukkan Spanyol.1
Ciri khas kebudayaan dunia Islam kemudian—meski ia berawal dari Syria—
berkembang sangat pesat di titik ekstrem Timur dan Barat. Orang Syria, pada
awal penaklukan, adalah pemuja Aristoteles sedangkan kaum Nestorian di
kawasan itu lebih menyukai Plato. Kaum Muslimin pertama kali memperoleh

1
Bertrand Russel, The History of Western Philosophy, (New York: Simon and Schuster Inc.,
1975), 420—421
pengetahuan tentang filsafat Yunani melalui orang Syria dan karena itu, sejak
awalnya mereka memandang Aristoteles lebih utama daripada Plato. Al-Kindi,
filsuf pertama yang menulis filsafat dalam bahasa Arab, menerjemahkan bagian-
bagian Enneads karya Plotinus namun menerbitkannya dengan judul The
Theology of Aristotle. Ini menimbulkan kerancuan dalam gagasan kaum Muslimin
tentang Aristoteles dan kerancuan ini baru dapat diatasi berabad-abad kemudian
dalam sejarah filsafat Islam.2
02. Filsafat Islam dan Filsafat Barat: Sebuah Proses Akulturasi
Filsafat Islam berawal pada peralihan abad kedua dan abad ketiga Hijrah atau
sekitar abad kesembilan dan kesepuluh Masehi, yakni pada masa pemerintahan
Bani Abbas. Seperti halnya Bani Umayyah, Bani Abbas juga merupakan orang
Arab. Tetapi Bani Abbas dibantu oleh kekuatan-kekuatan Timur, yakni orang
Persia dan kaum Muslim Syiah. Ibukota simbolik kerajaan berpindah dari
Damaskus ke Baghdad, yang dibangun pada 145 H/762 M oleh Khalifah kedua
Bani Abbas, al-Manshur. Kini kekuasaan Islam telah membentang dari Atlantik
hingga Asia Tengah. Damaskus dan Baghdad menjadi kawasan yang telah
didominasi oleh helenisme selama satu milenium dan tempat Byzantium dan
Persia saling berhadapan. Kini kaum Muslimin telah mengalahkan keduanya
dengan menaklukkan kaum Sasan—yang telah dipukul mundur oleh Byzantium
ke timur—dan merebut dari Byzantium bukan hanya Mesir namun juga seluruh
propinsinya di Asia. Semua penaklukan ini terjadi antara tahun 634 M dan 650 M
(yakni dekade kedua dan ketiga Hijrah). Keadaan historis ini telah mencuatkan
tiga ciri khas filsafat Islam. Pertama, adanya jurang waktu antara masa turunnya
Al-Quran di kawasan yang steril dari pengaruh budaya Yunani dan munculnya
filsafat Islam. Kedua, munculnya filsafat Islam bertepatan dengan perubahan pada
kekhalifahan yang terjadi berkat bantuan orang non-Arab: aspek-aspek politik,
keagamaan dan kesusasteraan pada perubahan ini kelak berkembang pada abad ke
3 H/9 M menjadi gerakan yang disebut sebagai gerakan al-syu‘u<biyyah. Ketiga,
filsafat Islam berkembang pada sebuah miliu yang dihubungkan dengan erat—

2
Ibid, 423
dalam bahasa, budaya dan agama—oleh ikatan-ikatan lama baik bagi Yunani
maupun bagi Asia.3
Konteks hubungan filsafat Islam dan filsafat Barat dapat dibagi ke dalam tiga
ranah. Pertama, ranah akulturasi yakni ketika dua budaya yang berbeda saling
berhadapan. Kedua, ranah integrasi yakni ketika muncul pengakuan terhadap
kebermaknaan suatu budaya oleh budaya lain lalu aspek-aspek perbedaan antara
keduanya coba dihilangkan. Ketiga, ranah pelestarian yakni ketika unsur tertentu
dalam budaya asing bukan hanya diserap namun juga dikekalkan melalui
pembentukan teori baru.
a) Ranah Akulturasi
Ranah akulturasi dalam konteks hubungan filsafat Islam dan filsafat Barat
sesungguhnya dimulai melalui aktivitas penerjemahan karya-karya filsafat Yunani
kuno ke dalam bahasa Arab. Proses ini dapat pula didefinisikan sebagai asimilasi
oleh Islam—pusat baru kehidupan spiritual umat manusia—terhadap semua
kontribusi budaya yang sudah ada sebelumnya baik di Timur maupun di Barat.
Islam kemudian menerima warisan Yunani, yang mencakup karya-karya autentik
maupun pseudepigrafik, lalu mentransmisikannya ke Barat pada abad kedua belas
Masehi, melalui upaya-upaya para penerjemah di Toledo. Ruang lingkup dan
konsekuensi penerjemahan dari bahasa Yunani ke bahasa Suryani dan kemudian
dari bahasa Suryani ke bahasa Arab lalu dari bahasa Arab ke bahasa Latin dapat
disejajarkan dengan penerjemahan kaidah hukum Budha Mahayana dari bahasa
Sankrit ke dalam bahasa Cina atau penerjemahan dari bahasa Sankrit ke dalam
bahasa Persia yang dilaksanakan pada abad ke 16 dan ke 17 M sebagai
konsekuensi dari gerakan reformasi Syah Akbar.4
Proses asimilasi ini dilakukan pada dua fron. Pertama, melalui karya-karya
pemikir Syria yang memang sudah ada dan dipelajari oleh para penduduk Aramea
di sebelah barat dan selatan kerajaan Sasan-Iran. Filsafat dan ilmu kedokteran
menjadi topik utama. Tetapi pandangan kaum Nestorian mengenai kristologi dan

3
Jean Jolivet, “From Beginning to Avicenna”, dalam Routledge History of Philosophy, Vol.
III, 29—30
4
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, (London: Kegan Paul International, 1962),
Vol. I, 14
ilmu tafsir tak dapat diabaikan ketika, misalnya, seseorang tertarik kepada
persoalan keimaman (imamology) dalam Syiah. Kedua, melalui tradisi Greeco-
Oriental di sebelah utara dan timur kerajaan Sasan. Di sini yang menjadi fokus
adalah kimia, astronomi, filsafat dan ilmu alam.5 Didirikannya Bayt al-h{ikmah
pada 217 H/832 M oleh khalifah al-Ma’mun telah menjadi momen spektakuler
bagi semakin pesatnya perkembangan pengaruh Yunani terhadap filsafat dan sains
Islam. Institusi ini bukan hanya mencakup lembaga pengkajian namun juga
perpustakaan dengan sebuah tim penerjemah yang diarahkan untuk
mentransmisikan teks-teks Yunani asli ke dalam bahasa Arab.6 Bayt al-hikmah
pada saat berdirinya dipimpin oleh Yuh{anna ibn Masawayh. Yuhanna kemudian
digantikan oleh muridnya, H{unayn ibn Ish{aq (194 H/809 M—260 H/873 M).
Penerjemah lainnya adalah Yah{ya ibn al-Bitriq, ‘Abd al-Masih ibn Abd Allah
ibn Na‘imah al-Himsi al-Himsi bekerjasama dengan al-Kindi dalam
menerjemahkan karya Aristoteles, Shopistic Elenchi, Physics dan Theology yang
dinisbatkan kepada Aristoteles. Penerjemah lainnya pada abad ke 10 M adalah
Abu Biysr Matta (w. 940 M), Yah{ya ibn Adi (w. 974 M) dan muridnya Abu al-
Khayr ibn al-Khammar (l. 942 H) dan sebagainya. Proses asimilasi ini bukan
hanya telah berhasil memperkenalkan pemikiran para filsuf Yunani kuno, namun
juga memiliki pengaruh yang kuat terhadap konstelasi pemikiran teologis,
filosofis maupun yurisprudensial dalam Islam.7
b) Ranah Integrasi
Salah satu bukti atas kuatnya pengaruh filsafat Yunani terhadap pemikiran
Islam tercermin pada ranah integrasi, yakni ketika para filsuf Muslim berusaha
memadukan agama dan filsafat. Al-Kindi (803—873 M), yang konon memiliki
kecenderungan kepada sinkretisme, berupaya memadukan agama dan filsafat
atau—seperti yang dikatakannya sendiri—antara akal dan kenabian. Menurut al-
Kindi, akal dan kenabian adalah sama pentingnya dan keduanya merupakan
sumber paling berharga bagi pengetahuan mengenai hakikat tertinggi. Oleh karena

5
Ibid., p. 15
6
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, (New York: Cambridge
University, 2004), 6
7
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, op. cit., Vol. I, 18—19
itu sangatlah disayangkan jika hanya berpegang kepada salah satunya saja.
Melalui kajian atas perbandingan agama, al-Kindi bertambah yakin bahwa baik
agama maupun filsafat sesungguhnya merujuk pada hakikat yang sama: Sebab
Pertama, yang menurut para filsuf bersifat esa lagi kekal dan yang tak lain adalah
Tuhan bagi para nabi. Menurut al-Kindi, seorang filsuf sejati akan bersaksi kepada
kebenaran wahyu para nabi.8
Menanggapi tudingan para fukaha bahwa belajar filsafat haram hukumnya,
Al-Kindi menyatakan bahwa filsafat merupakan pengetahuan mengenai hakikat
segala sesuatu termasuk pula di dalamnya ilmu ketuhanan, akhlak dan ilmu-ilmu
yang bermanfaat lainnya dan pengetahuan semacam inilah yang dibawa oleh para
rasul. Al-Kindi kemudian balik bertanya, bagaimana agama mengharamkan
filsafat padahal filsafat bertujuan untuk meneguhkan keimanan kepada Tuhan?
Ibn Rusyd menyatakan bahwa belajar filsafat bukan hanya halal, namun bahkan
dianjurkan oleh agama Islam. Sebab, filsafat mengkaji semua wujud terutama
dalam kaitannya dengan bukti adanya Sang Pencipta. Bagi Ibn Rusyd,
pengetahuan yang sempurna mengenai segala yang ada akan membawa
kesempurnaan pula kepada pengetahuan tentang Khalik.9 Al-Farabi mengatakan
bahwa nabi dan filsuf mengambil pengetahuan dari sumber yang sama yakni akal
aktif (al-‘aql al-fa‘âl). Tak ada perbedaan dalam jenis maupun kuantitas
pengetahuan pada keduanya. Perbedaan hanya terletak pada cara mencapai akal
aktif dan cara menjelaskan pengetahuan itu kepada orang lain.10 Dalam roman
Hayy ibn Yaqzhân, Ibn Thufayl menyimpulkan bahwa filsafat dan agama
merupakan dua bentuk dari kebenaran yang sama kecuali bahwa pada bentuk yang
pertama kebenaran itu agak samar.11
Secara tegas, al-Kindi menyatakan bahwa kaum Muslim tidak boleh alergi
terhadap kebenaran yang bersumber dari budaya asing. Menurut al-Kindi, orang-
orang yang memusuhi filsafat adalah orang bodoh yang telah menjual agama dan

8
M. Saeed Sheikh, Islamic Philodophy, (London: Octagon Press, 1982), 43
9
Ali Abu al-Mulhim, al-Falsafah al-‘Arabiyyah, musykilât wa Hulul, (Beirut: Mu’assasah
“izz al-Din, 1994), 43
10
Ibid., 45
11
T.J. De Boer, The History of Philosophy in Islam, (New York: Dover Publication Inc.,
1967), 143
penjual agama berarti tak memiliki agama. Orang yang menentang atau
mengkafirkan pengetahuan mengenai hakikat segala sesuatu, yakni filsafat, berarti
telah berbuat buruk kepada agama dan menghalang-halangi jalan menuju
keteguhan dalil ketuhanan. Ibn Rusyd mengatakan bahwa bantuan pihak lain
dibutuhkan dalam mencapai ilmu. Ibn Rusyd mengakui kepeloporan Yunani
dalam bidang filsafat dan logika atau dalam mengkaji wujud dengan segala ruang
lingkupnya. Oleh karena itu kaum Muslimin sebenarnya diwajibkan untuk
mempelajari filsafat atau mengkritisinya. Bagian yang benar dari filsafat Yunani
diambil sedangkan yang salah dibuang.12 Ibn Rusyd—yang meyakini apa yang
dapat disebut sebagai paritas kebenaran—menegaskan bahwa perbedaan-
perbedaan yang ada di antara agama dan filsafat masih merupakan perbedaan
yang dapat diatasi, jika sebagai langkah pertama setiap orang merujuk kepada QS
Ali ‘Imrân[3]: 5-6 demi secara jelas memilah antara ayat-ayat yang bersifat tegas
kandungan hukumnya (muhkamât) dan ayat-ayat yang disebut sebagai ayat-ayat
ambigu (mutasyâbihât). Pertentangan abadi antara para teolog dan para filsuf
sebenarnya, menurut Ibn Rusyd, disebabkan oleh perbedaan pemahaman terhadap
ayat-ayat mutasyâbihât ini. Kaum awam memahami ayat-ayat ini sebatas apa yang
tersurat. Bahkan kaum Asy‘ariyah sendiri cenderung kepada interpretasi harfiah
sebagaimana tersirat melalui teori “bi lâ kayfa” (tanpa deskripsi mengenai cara)
mereka. Solusi untuk mengentaskan pertentangan di atas, menurut al-Farabi,
adalah sama-sama menaati kaidah-kaidah penafsiran sebagaimana dianjurkan oleh
Al-Quran dan diamalkan oleh salaf al-shâlih dalam bidang ilmu fiqh. Ibn Rusyd
juga menekankan bahwa Al-Quran telah mewajibkan kaum Muslimin untuk
merenungkan entitas-entitas yang ada di dalam alam semesta dan perenungan
terhadap hal ini merupakan bagian dari filsafat. Ini berarti bahwa filsafat tidak
bertentangan dengan Al-Quran.13
Salah satu metode yang digunakan para filsuf Muslim untuk mengupayakan
integrasi filsafat Yunani adalah dengan menafsirkan ajaran Islam agar sejalan
dengan filsafat. Banyak ajaran agama yang masuk ke dalam ranah tradisional (al-

Ali Abu al-Mulhim, al-Falsafah al-‘Arabiyyah, musykilât wa Hulul, op. cit., 44


12
13
Madjid Fakhry, Islamic Philosophy, Theology and Mysticism A Short Introduction, 95
sam‘iyyat) yang tak dapat dibuktikan oleh akal, seperti mukjizat dan hari kiamat.
Beriman kepada hal-hal yang bersifat al-sam‘iyyat ini merupakan sendi agama.
Orang yang beriman wajib menerima hal ini. Tetapi cukup banyak pemikir yang
berupaya memberikan penjelasan rasional telah menafsirkan mukjizat dan hari
kiamat sedemikian rupa atau mereduksinya menjadi setara dengan hukum alam.
Al-Farabi menempuh cara penafsiran yang berbeda. Al-Farabi mengakui validitas
mukjizat karena ia memang menjadi bukti kebenaran para nabi. Tetapi al-Farabi
berpendapat bahwa meski mukjizat terkesan bersifat supernatural namun ia
tidaklah bertentangan dengan hukum alam. Sebab sumber kedua hukum itu
terdapat di alam langit yang menata alam bumi. Jika seseorang dapat mencapai
alam langit, maka hal-hal yang bersifat luar biasa akan terjadi pada orang itu.
Seorang nabi memiliki kekuatan spiritual yang akan memampukannya mencapai
alam langit dan dengannya dia dapat menurunkan hujan, membelah bulan menjadi
dua bagian, mengubah tongkat menjadi ular atau menyembuhkan orang buta agar
dapat melihat kembali. Dengan cara ini, al-Farabi berupaya—seperti yang pernah
dilakukan oleh kaum Stoa—untuk mereduksi hal-hal yang berada di luar
kebiasaan atau bahkan bertentangan dengannya kepada hukum sebab akibat
(kausalitas).al-Quran sering menyebutkan al-sam‘iyyât seperti al-lawh (lembaran)
dan al-qalam (pena). Al-Farabi berpendapat bahwa keduanya tidak boleh
dipahami secara harfiah, sebab yang dimaksud dengan pena dalam hal ini
bukanlah alat untuk menulis dan lembaran bukanlah tempat untuk mencatat.
Namun keduanya tentulah merupakan simbol bagi ketepatan dan pemeliharaan.14
c) Ranah Pelestarian
Dalam ranah pelestarian, terlihat upaya keras para filsuf Muslim untuk
melanggengkan pengaruh filsafat Yunani dalam konstalasi pemikiran Islam. Ada
beberapa bagian yang dapat dijadikan contoh dalam hal ini.
Bagian pertama, filsafat ketuhanan yang mencerminkan tekad para filsuf
Muslim untuk mensintesiskan ajaran Islam dengan teori-teori ketuhanan filsafat
Yunani. Tujuan utama kinerja ini adalah meneguhkan keyakinan atas keberadaan

14
Ibrahim Madkour, “Al-Farabi”, dalam MM. Sharif (ed), A History of Muslim Philosophy,
(Wiesbaden: Otto Harrasaoit, 1963), 466—467.
Tuhan melalui dalil akal atau meningkatkan rasionalitas keimanan kepada
keberadaan Tuhan. Al-Kindi, misalnya, mengakui bahwa dirinya rela menjadi
perawi dan penerjemah warisan budaya Yunani. Dalam al-Magest karya Ptolemy,
Tuhan dijelaskan sebagai memiliki sifat tetap, sederhana, tak dapat dibagi dan
menjadi sebab sejati bagi gerak. Al-Kindi juga mengemukakan gagasan yang
sama. Al-Kindi menyifati Tuhan sebagai sebab bagi gerak dan Dia kekal (qadîm).
Dia tak dapat dilihat dan tidak bergerak. Dia menyebabkan gerak tanpa
menggerakkan diri-Nya sendiri. Dia sederhana karena Dia tak dapat dibagi
menjadi sesuatu yang lebih sederhana. Dia tidak dapat dibagi karena Dia tidak
tersusun dan Dia Mahasuci dari ketersusunan. Dialah penyebab gerak bagi jisim
yang kasat mata.15 Dalam filsafat ketuhanan, al-Farabi memadukan metafisika
kausalitas Aristotelian dengan emanasionisme Plotinian yang diletakkan di dalam
tatanan planet yang diambil dari astronomi Ptolemaik. Al-Farabi mengemukakan
enam prinsip wujud di dalam sistem itu: 1). Sebab Pertama, 2). Sebab Sekunder,
yakni akal-akal imaterial, 3). Akal Aktif yang menata alam di bawah bulan
(sublunar world), 4). Jiwa, 5). Bentuk, dan 6). Materi. Skema emanasionistik yang
disajikan al-Farabi bersifat hierarkis, yang bermula dari Sebab Pertama lalu turun
kepada sebab sekunder atau akal-akal yang dikaitkan dengan sembilan lapis langit
hingga akal kesepuluh yang menata alam di bawah bulan. Mengenai Sebab
Pertama itu, al-Farabi mengatakan dengan tegas bahwa itulah Tuhan.16
Dapatlah dikatakan bahwa filsafat ketuhanan yang digagas oleh Ibn Sina
merupakan konsekuensi penerapan teleologi Aristotelian. Tujuan teori emanasi
adalah menemukan hubungan antara Sebab Pertama, penggerak-penggerak langit
dan alam fisik yang hilang dalam sistem Aristoteles. Kata penciptaan yang
dipahami sebagai sebab-akibat yang efisien tampaknya menyiratkan adanya
kesenjangan waktu antara sebab dan akibat. Tetapi ini tidaklah berarti bahwa
gagasan mengenai emanasi tak dapat diselaraskan dengan transendensi Sebab
Pertama. Ibn Sina memandang Tuhan sebagai Sebab Pertama yang menyebabkan

15
Ahmed Fuad El-Ehwany, “Al-Kindi”, dalam MM. Sharif (ed), A History of Muslim
Philosophy, 428
16
David C. Reisman, “Al-Farabi and The Philosophical Curriculum”, dalam Peter Adamson
and Richard C. Taylor (ed), Arabic Philosophy, 56—57
eksistensi segala wujud.17 Al-Razi menyifati Tuhan dengan segala kesempurnaan.
Tuhan menciptakan segala sesuatu. Tuhan mengetahui segala sesuatu dengan
sempurna. Tuhanlah yang memberikan akal dan persepsi bagi jiwa.18
Dari keterangan singkat ini jelas bahwa al-Razi sangat dipengaruhi oleh
rasionalitas filsafat Yunani. Pada kesempatan lain, al-Razi mengatakan bahwa
akal sudah cukup untuk mengetahui kebenaran dan karena itu sebenarnya tidak
diperlukan lagi adanya para nabi. Ini tak lain karena al-Razi berkeyakinan bahwa
pengetahuan yang diberikan langsung oleh Tuhan melalui akal manusia adalah
lebih berfaedah.19 Ibn Rusyd mengkonsepsikan Penggerak Pertama atau Tuhan
sebagai substansi imaterial yang Mahaaktual dan sekaligus pula menjadi prinsip
dasar aktualitas. Sifat aktual seluruh wujud bersumber dari-Nya. Dengan
demikian, selain merupakan prinsip dasar wujud, Tuhan menjadi penyebab semua
perubahan yang terjadi di dalam alam. Setiap susbtansi di dalam alam, menurut
pendapat Ibn Ruysd, dipandang sebagai produk prinsip formal dan material wujud
kekal ini, dan setiap substansi berada dalam sifat potensial dan aktual. Secara
ekstrem tak ada eksistensi yang secara mutlak terpisah, materi pertama (prime
matter) tak mungkin ada tanpa ‘bentuk material’ yang saling berhubungan.
Eksistensi Tuhan hanya dapat terbukti di dalam hubungan dengan gerak langit,
sebab dalam hal ini Tuhan merupakan sebab pertama yang bersifat mutlak. Ibn
Rusyd mengambil pandangan ini dari Aristoteles, bersama dengan konseptualisasi
Aristoteles atas penggerak pertama sebagai wujud yang bersifat imaterial dan
berkecerdasan.20
Bagian kedua, teori emanasi yang bersumber dari Plotinus. Al-Kindi
menerima doktrin Neoplatonik mengenai emanasi seraya menisbatkannya kepada
Aristoteles karena masalah tersebut dibahas dalam “Theology of Aristotle.”
Menurut teori Neoplatonik, Tuhan tidak menciptakan alam. Sebab dalam kata

17
Charles Genequand, “Metaphysics”, dalam Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman (ed),
History of Islamic Philosphy, Vol. I, (London: Routledge, 1996), 793
18
Abdul Rahman Badawi, “Muhammad ibn Zakariya al-Razi”, dalam MM. Sharif (ed), A
History of Muslim Philosophy, 443
19
Abdul Rahman Badawi, “Muhammad ibn Zakariya al-Razi”, dalam MM. Sharif (ed), A
History of Muslim Philosophy, 446
20
Alfred Ivry, “Ibn Rusyd”, dalam John Marenbon, Medieval Philosophy, (New York:
Routledge, 2004), 53
penciptaan tersirat adanya pemikiran dan kehendak yang merupakan keterbatasan
jika dikaitkan dengan Yang Mahamutlak. Kata mengetahui juga menyiratkan
adanya sebuah objek di luar yang mengetahui. Kehendak menyiratkan hasrat dan
kemauan yang belum tentu terwujud atau tujuan yang harus dicapai. Tetapi Tuhan
Mahasuci dari sifat kekurangan tersebut. Dengan demikian, kehendak tidak dapat
dinisbatkan kepadanya. Al-Kindi percaya bahwa alam semesta memancar dari
Tuhan, sebuah pemancaran tak terhindarkan dari wujud-Nya yang tak terbatas
atau hasil niscaya dari kreativitas-Nya. Alam memancar dari Tuhan seperti cahaya
memancar dari matahari. Tetapi alam tidak memancar langsung dari Tuhan
melainkan melalui agen-agen spiritual yang—dari sudut pandang teologis—
adalah para malaikat. Agen-agen spiritual ini terdiri dari berbagai tingkatan: agen
yang lebih rendah memancar dari agen yang lebih tinggi dan dari agen yang lebih
rendah ini memancar agen lain yang berada pada tingkatan lebih rendah lagi. Di
antara bagian akhir rangkaian agen-agen spiritual dan alam materi terdapat alam
ruh sebagai satu-satunya garis penghubung.21 Al-Farabi menggunakan teori
emanasi Neoplatonik dengan alasan yang berbeda yakni mengenai hubungan
antara Tuhan dan alam atau antara Yang Esa dan yang banyak. Bagi al-Farabi,
seperti halnya al-Kindi, alam memancar dari Tuhan secara tidak langsung
melainkan melalui sejumlah agen perantara. Teori al-Farabi menempatkan, di
antara Tuhan dan alam, akal dan ruh kawasan langit yang berisi planet-planet
yang tertata menurut sistem Ptolemaik.22
Menurut Ibn Sina, Wâjib al-Wujud adalah Akal yang berpikir tentang diri-
Nya. Pemikiran itu merupakan sebuah wujud yang produktif. Wujud pertama
yang dihasilkan dengan cara ini ada secara mutlak namun pada hakikatnya
merupakan Mumkin al-Wujud (contingent). Ia juga merupakan Akal (Akal
Pertama) yang (1) berpikir tentang Wâjib al-Wujûd dan berpikir tentang dirinya
sendiri dalam dua aspek: a) wujudnya sendiri yang bersifat niscaya (necessary)
dan b) hakikatnya sendiri yang merupakan Mumkin Wujûd (contingent). Dari
Pemikiran Akal Pertama memancar Akal Kedua yang langsung berada di bawah

21
M. Saeed Sheikh, Islamic Philodophy, 45—46.
22
M. Saeed Sheikh, Islamic Philodophy, 63—64
Akal Pertama; sedangkan dari Pemikiran Kedua memancar bentuk dan dari
Pemikiran Ketiga memancar materi, yang juga merupakan jiwa dan jisim langit
Akal Pertama. Akal Kedua menghasilkan jiwa dan jisim bagi langitnya sendiri
dan Akal Ketiga. Proses ini berlanjut hingga Akal Kesepuluh, yakni yang
menghasilkan langit bulan. Dari sana memancar ke dalam alam bawah bulan
(sublunary world) bentuk-bentuk yang diterima akal dengan cara yang berbeda
dan materi yang telah “dipersiapkan” untuk menerima bentuk itu. Gagasan yang
diimplikasikan skema emanasi kosmik ini menjadi inti metafisika Ibn Sina.23
Bagian ketiga mengenai epistemologi atau filsafat pengetahuan. Pada bagian
ini terlihat juga dengan jelas pengaruh filsafat Yunani terhadap para filsuf
Muslim. Ada dua contoh penting dalam hal ini, yaitu epistemologi al-Farabi dan
epistemologi Ibn Sina. Dalam banyak hal, epistemologi Ibn Sina lebih dekat
kepada kalam, sedangkan epistemologi al-Farabi lebih dekat kepada sistem
Neoplatonik, yakni tatanan epistemik yang mencerminkan atau berhubungan
dengan tatanan ontologik. Alam dengan tegas dijelaskan menurut sebuah tatanan
kebumian dan di luar kebumian. Tatanan di luar kebumian terdiri dari sebuah
ontologi jisim-jisim dan akal-akal langit yang bergerak naik kepada puncaknya
yaitu Penggerak Pertama atau Tuhan. Tatanan bawah bulan terdiri dari ontologi
makhluk hidup dan benda mati yang bergerak turun hingga serendah empat unsur
penting. Pada puncak tatatan ontologik bawah bulan ada manusia, sedangkan pada
awal tatanan luar bumi ada bulan yang menyatu dengan Akal Aktif, penghubung
Tuhan dengan alam kebumian. Segala sesuatu yang ada di bumi tersusun dari
bentuk dan materi, esensi dan makna setiap objek ada pada bentuknya. Bentuk-
bentuk kebumian bersumber dari Akal Aktif dan berada di sana secara kekal
sebab di sana tak ada perbedaan epistemik antara keseluruhan bentuk yang
bersumber dari Akal Aktif sebagai objek pengetahuan dan Akal Aktif itu sendiri
sebagai subjek yang aktif memahami secara kekal. Seraya berada pada puncak

23
Jean Jolivet, “From Beginning to Avicenna”, dalam Routledge History of Philosophy, Vol.
III, 42
piramid kebumian, manusia berjuang dan dapat mencapai kesempurnaan
(kebahagiaan, keabadian) melalui pencapaian pengetahuan.24
Bagi al-Kindi, pengetahuan identik dengan persepsi. Ada dua jenis persepsi,
yakni persepsi melalui indera dan persepsi melalui akal. Persepsi indera
mengimplikasikan konsepsi (tashawwur) dan persepsi akal mengimplikasikan
putusan (tashdîq). Pandangan al-Kindi mengenai pengetahuan dapat diringkas ke
dalam empat gagasan. Pertama, pengelompokan pengetahuan hanya ke dalam dua
kategori yakni pengetahuan yang diperoleh melalui indera dan pengetahuan yang
diperoleh melalui akal. Kedua, pembedaan antara konsepsi dan putusan. Konsepsi
adalah persepsi mengenai objek-objek indera melalui panca indera dan putusan
adalah persepsi mengenai kategori-kategori (al-ma‘qûlât) seperti jenis dan spesis
melalui akal. Ketiga, pembedaan antara subjek yang mengetahui dan objek
pengetahuan. Keempat, pembatasan cara pencapaian dan metode pengetahuan. Al-
Farabi menambahkan unsur lain dalam mencapai pengetahuan, yakni imajinasi
(al-mutakhayyilah) yang berkaitan dengan mimpi dan wahyu. Al-Farabi, seperti
halnya Aristoteles, membagi akal ke dalam dua bagian. Pertama, akal teoretis dan
akal praktik. Akal teoretis berpikir mengenai kategori-kategori dan akal praktik
berpikir mengenai hal-hal partikular (al-juz’iyyât) yang diperoleh melalui indera.25
Ibn Sina, seperti halnya al-Kindi dan al-Farabi, membatasi pengetahuan kepada
persepsi. Dengan persepsi, manusia mengetahui realitas sesuatu. Bagi Ibn Sina,
pengetahuan mencakup unsur subjek yang mengetahui atau manusia, objek
pengetahuan, dan hubungan antara keduanya yakni aktivitas konseptualisasi atau
perseptualisasi.26 Ibn Sina juga menambahkan daya lain pada manusia yang
memungkinkannya mencapai pengetahuan tertentu, yakni daya intuisi. Dalam hal
ini, Ibn Sina membedakan antara pikiran dan intuisi. Pikiran, bagi Ibn Sina,
merupakan pergerakan niat pada otak karena rasa ingin tahu (harakah al-ma‘âni fi

24
Sari Nuseibeh, “Epistemology”, dalam Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman (ed),
History of Islamic Philosphy, Vol. I, 835
25
Ali Abu al-Mulh{im, al-Falsafah al-‘Arabiyyah, 171—174
26
Pandangan Ibn Sina ini dapat pula digolongkan ke dalam realisme naïf, seperti halnya
pandangan Aristoteles dan para pengulasnya yang berpegang pada pandangan representasional
persepsi. Untuk penjelasan mengenai hal ini, lihat Fazlur Rahman, “Ibn Sina”, dalam MM. Sharif
(ed), A History of Muslim Philosophy, 493
al-dzihn thalaban li’l-‘ilm). Ada kalanya rasa ingin tahu itu terpuaskan dan ada
kalanya tidak. Sedangkan intuisi mencapai pengetahuan secara sekaligus tanpa
ada dorongan rasa ingin tahu. Tetapi di atas intuisi ini ada daya suci (al-quwwah
al-qudsiyyah). Menurut Ibn Sina, manusia terbagi ke dalam tiga golongan.
Pertama, manusia yang memiliki kecerdasan sehingga dia dapat berpikir dengan
baik. Kedua, manusia yang mampu mencapai pengetahuan yang benar dengan
intuisinya. Ketiga, manusia yang memiliki daya suci sehingga dengannya dia
dapat mengetahui banyak hal tanpa perlu belajar atau berpikir.27
Bagian keempat mengenai filsafat etika. Pada bagian ini, pengaruh filsafat
Yunani terhadap para filsuf Muslim dapat dibuktikan melalui adanya dua corak
pemikiran etika dalam Islam. Pertama, sistem etika asketik yang diwarnai oleh
ajaran-ajaran Phitagorean-Platonik. Banyak kalangan ortodoks dan beberapa filsuf
Muslim yang dipengaruhi oleh corak ini. Kedua, corak Aristotelian yang lebih
dekat kepada semangat ajaran Islam yakni bahwa kebaikan berada pada titik
tengah di antara dua ujung ekstrem.28 Dalam karyanya, On the Number of
Aristotle’s Book, al-Kindi mengatakan bahwa filsafat Aristoteles tidak
memberikan pedoman yang memadai dalam mencapai tujuan manusia, yakni
kebaikan manusia. Dia juga mengatakan bahwa ajaran-ajaran praktik Aristoteles
terlalu bergantung pada pengetahuan mengenai metafisika sehingga menimbulkan
keragu-raguan apakah pengetahuan semacam itu bisa diraih oleh manusia. Bagi
al-Kindi, etika harus dibangun atas dasar fenomena kemanusiaan dari perspektif
segala sesuatu yang dapat diketahui oleh semua manusia dan pernah diobservasi
atau bahkan dialami oleh manusia. Oleh karena itu, al-Kindi bersandar pada
pengalaman dalam merumuskan ajarannya tentang hakikat rasa sedih (sorrow).
Meski al-Kindi menganjurkan pembacanya untuk memperhatikan perbuatan Sang
Pencipta atau berhibur diri dengan ajaran mengenai adanya kehidupan akhirat,
namun dia melakukan itu lebih atas dasar pendapat umum daripada berdasarkan
teks-teks kitab suci. Kemudian bahwa asketisme yang dianjurkannya didasarkan

27
Ali Abu al- Mulh{im, al-Falsafah al-‘Arabiyyah, 183
28
T.J. De Boer, The History of Philosophy in Islam, 40
atas argumen-argumen akal sehat (common sense) mengenai kebutuhan manusia,
bukan atas orientasi kepada tujuan-tujuan keakhiratan.29
Al-Kindi mengawali filsafat etikanya dengan menjelaskan definisi kesedihan
dan menyatakan bahwa seseorang tak dapat menyembuhkan penyakit atau
menghilangkan penderitaan tanpa mengetahui sebab bagi penyakit dan
penderitaan itu. Menurut al-Kindi, jawabannya sangatlah sederhana yakni bahwa
kesedihan adalah penderitaan pada jiwa karena hilangnya sesuatu yang dicintai
atau kegagalan dalam memiliki sesuatu yang diinginkan. Karena sudah jelas
bahwa tak seorang pun dapat memperoleh semua yang diinginkannya, maka satu-
satunya cara untuk menghindarkan kesedihan adalah membebaskan diri dari
semua belenggu ini. Al-Kindi kemudian menjelaskan mengapa orang dapat
bersedih dan bagaimana mereka bisa membebaskan diri dari rasa sedih ini, yaitu
dengan mengubah kebiasaan dan perspektif mereka tentang dunia atau
mengurangi perhatian terhadap segala sesuatu yang dipuji oleh sesama manusia
untuk memusatkan perhatian kepada apa yang paling penting bagi manusia yang
mengarah kepada nilai-nilai spiritual.30
Bagi al-Farabi, ada dua prinsip etika yakni kehendak dan tabiat. Kehendak
adalah kecondongan kepada apa yang dicapai dan berkaitan dengan apa yang
dicapai baik melalui indera, imajinasi atau pikiran. Kehendak juga berkaitan
dengan putusan untuk mengambil atau meninggalkan sesuatu. Kecondongan
mungkin saja ada kaitannya dengan pengetahuan atau dengan perbuatan tertentu.
Dalam hal tabiat, manusia memiliki tingkatan yang berbeda satu sama lain sesuai
dengan perilaku dan pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing orang.
Artinya adalah bahwa tabiat merupakan prinsip etika yang paling kuat sebab daya
akal membutuhkan tabiat untuk mencapai kebahagiaan. Berdasarkan hal ini, al-
Farabi membagi perbuatan ke dalam dua kategori; perbuatan yang muncul karena
tabiat dan perbuatan yang muncul karena kehendak. Tetapi bagi al-Farabi, yang
pertama dipengaruhi oleh planet-planet (al-ajsâm al-samâwiyyah) sedangkan yang

29
Charles E. Butterworth, “Ethical and Political Philosophy”, Peter Adamson and Richard C.
Taylor (ed), Arabic Philosophy, 268
30
Charles E. Butterworth, “Ethical and Political Philosophy”, Peter Adamson and Richard C.
Taylor (ed), Arabic Philosophy, 269
kedua dipengaruhi oleh Akal Aktif (al-‘aql al-fa‘âl). Planet-planet memiliki
pengaruh yang independen dan tak ada kaitannya dengan tujuan menentang Akal
Aktif atau membantunya. Selain itu, pengaruh planet-planet tak berorientasi
kepada apa yang berfaedah atau bermanfaat menurut perspektif Akal Aktif dan
datang begitu saja ketika tabiat material menyediakan wahana baginya. Dengan
demikian, pengaruh planet-planet tersebut bisa saja bersesuaian dengan tujuan
Akal Aktif dan bisa juga bertentangan.31
Muhammad ibn Zakariya al-Razi (925 M), tokoh yang sezaman dengan al-
Farabi, menjadikan akal sebagai parameter etika. Bagi al-Razi, perbedaan antara
manusia dan hewan adalah bahwa hewan dikuasai oleh watak dan manusia
dibimbing oleh akal. Watak atau nafsu hanya mengutamakan kesenangan instan
tanpa memperhatikan akibat-akibatnya. Menurut al-Razi, manusia, berbeda dari
hewan, memiliki kebebasan berkehendak, dalam menuruti hawa nafsu atau
menentangnya. Al-Razi yakin terhadap kemampuan akal menaklukkan hawa
nafsu dan ini bisa dicapai melalui pengajaran (al-ta‘lîm) dan pendidikan (al-
ta’dîb).32
Sedangkan Miskawayh, yang mengikuti Plato, menarik garis paralel antara
tiga daya jiwa dan tiga jenis kebaikan (virtues) yang berkaitan. Jiwa memiliki
daya rasional, keberanian, dan nafsu. Sementara itu ada pula tiga kebaikan; sifat
bijaksana (wisdom), sifat pemberani dan sif tenang. Dengan menyelaraskan tiga
hal ini muncul sifat yang keempat, yakni sifat adil. Tetapi bagian penting etika
Miskawayh berawal pada bab tiga Tahdzib al-akhlaq. Miskawayh menempatkan
Aristoteles sebagai tokoh paling utama. Namun tampaknya Miskawayh sangat
bergantung pada ulasan Porphyry atas Nichomachean Ethics karya Aristoteles,
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ishaq ibn Hunayn. Seraya
mengikuti Aristoteles, Miskawayh mengatakan bahwa kebaikan terletak pada
tujuan segala sesuatu. Definisi ini, yang kemungkinan merupakan definisi
Eudoxus (25 SM), disebutkan pada bagian paling awal Nichomachean.
Miskawayh selanjutnya menyatakan bahwa apa yang berfaedah bagi pencapaian

31
Ali Abu al-Mulhim, al-Falsafah al-‘Arabiyyah, 295—297
32
Ali Abu al- Mulhim, al-Falsafah al-‘Arabiyyah, 297—298
tujuan ini juga dapat disebut sebagai kebaikan—dalam hal ini sarana maupun
tujuan, dapat disebut sebagai kebaikan. Tetapi kebahagiaan dan kekayaan
merupakan kebaikan yang relatif—yakni baik bagi seseorang tertentu. Ia hanyalah
satu jenis kebaikan dan tak memiliki esensi khas atau otonom. Miskawayh, seperti
halnya Aristoteles, membuat sebuah pengelompokan kebahagiaan. Tapi
Miskawayh menambahkan lebih banyak perincian yang mungkin dikutipnya dari
Porphyry. Pengelompokan ini mencakup: 1) kesehatan, 2) kekayaan, 3) ketenaran
dan kewibawaan, 4) keberhasilan, dan 5) pikiran yang baik.33
03. Penutup
Paparan di atas menunjukkan bagaimana para filsuf Muslim berupaya
melestarikan filsafat Yunani di dalam pemikiran maupun karya mereka dan
sekaligus pula membuktikan kuatnya pengaruh filsafat Yunani terhadap pemikiran
para filsuf Muslim
Daftar Pustaka
Adamson, Peter, and Richard C. Taylor (ed), Arabic Philosophy, Cambridge:
Cambridge University Press, 2005

Corbin, Henry, History of Islamic Philosophy, Vol. I, London: Kegan Paul


International, 1962

De Boer, TJ., The History of Philosophy in Islam, New York: Dover Publication
Inc., 1967

Fakhry, Madjid, A History of Islamic Philosophy, New York: Columbia


University Press, 2004
--------------, Islamic Philosophy, Theology and Mysticism A Short Introduction,
Oxford: Oneworld Publications, 1997

Leaman, Oliver, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, New York:


Cambridge University, 2004

Marenbon, John, Medieval Philosophy, New York: Routledge, 2004


Mulhim, Ali Abu, al-Falsafah al-‘Arabiyyah, Musykilât wa Halûl, Beirut:
Mu’assasah ‘Izz al-Di<n, 1994

33
Abdurrahman Badawi, “Miskawayh”, dalam MM. Sharif (ed), A History of Muslim
Philosophy, 474—476.
Nasr, Seyyed Hossein, and Oliver Leaman (ed), History of Islamic Philosophy,
Vol. I, London: Routledge, 1996

Routledge Team, Routledge History of Philosophy, Volume II, III, V, X, New


York: Routledge, 1999

Russel, Bertrand, The History of Western Philosophy, New York: Simon and
Schuster Inc., 1975

Sharif, MM. (ed), A History of Muslim Philosophy, Wiesbaden: Otto Harrasaoit,


1963

Sheikh, M. Saeed, Islamic Philosophy, London: Octagon Press, 1982

Anda mungkin juga menyukai