Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi umum (general anesthesia) adalah suatu keadaan yang didapatkan


ketika agen obat-obatan anestetik mencapai konsentrasi tertentu untuk
memberikan efeknya secara reversibel pada sistem saraf pusat, dimana keadaan
tidak sadar (unconsciousness), amnesia, analgesik, immobilisasi, dan melemahnya
respon autonom pada stimulasi berbahaya telah dicapai.1
Obat-obatan dan alat pemantau perubahan fisiologis tubuh mengalami suatu
kemajuan yang semakin baik untuk menurunkan risiko kematian akibat tindakan
anestesi dalam suatu prosedur bedah menjadi kurang dari 1:100000 kejadian.
Komplikasi minim yang seringkali timbul pada pasien sehat sebelumnya sebagai
gejala pada 24 jam pertama pasca operasi yaitu, keluhan muntah sebanyak 10-
20%, mual 10-40%, sakit tenggorokan 25%, dan nyeri pada lokasi operasi 30%.2
Tujuan anestesi dilakukan secara umum adalah untuk menciptakan
ketidaksadaran yang aman dan reversibel, mengoptimalisasi respon fisiologis, dan
menciptakan keadaan operasi yang kondusif. Anestesi umum memiliki tiga
komponen penting, yaitu hilangnya kesadaran, analgesik, dan relaksasi otot. 3
Laparoskopi secara umum dianggap sebagai tes definitif faktor tuba. Hal-hal
mengenai penjadwalan, penggunaan antibiotik, dan risiko infeksi sama dengan
HSG. Laparoskopi diagnositik umumnya dilakukan dengan anestesi umum,
namun dapat saja dilakukan dengan sedasi dalam dan anestesi lokal. Laparoskopi
operatif untuk pengobatan penyakit umumnya memerlukan anestesi umum.
Dengan pengecualian tertentu, inspeksi panggul yang sistematik dan menyeluruh
dapat menentukan lokasi dan derajat penyakit.3

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. M
Umur : 50 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : RT 13 Pematang Kandis, Bangko
No. RM : 901501
Ruangan : Kelas III (Bangsal Kebidanan)
TB/BB : 145 cm / 51 kg
Gol. Darah : AB
Diagnosis : Fistula Vesico Vaginalis
Tindakan : Laparoskopi Operatif

2.2 ANAMNESIS (Autoanamnesis 25 Desember 2018)


Keluhan Utama :
Buang air kecil yang keluar sedikit demi sedikit dan terus menerus

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan BAK yang keluar sedikit demi sedikit dan terus
menerus yang telah dirasakan sejak 5 bulan SMRS. Keluhan tidak disertai dengan
nyeri. Keluhan tidak disertai dengan perdarahan. Sebelumnya pasien menjalani
oprasi histerektomi pada bulan Juli 2018 di RS Bangko. Setelah oprasi tersebut
keluhan seperti ini muncul dan BAK keluar sedikit demi sedikit tanpa ada rasa
ingin BAK. Sebelumnya pasien sudah berobat dan telah menjalani oprasi di RS
M Djamil padang pada bulan September 2018, namun keluhan tidak berkurang.

Riwayat penyakit dahulu :


 Riwayat Hipertensi : tidak ada
 Riwayat Asma : tidak ada

2
 Riwayat DM : tidak ada
 Riwayat Batuk Lama : tidak ada
 Riwayat Operasi : tidak ada
 Riwayat Alergi Obat : tidak ada
 Riwayat Penyakit Lain : tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa seperti yang dialami
oleh pasien. Riwayat DM, Hipertensi, Asma, pada keluarga tidak ada.

Riwayat Kebiasaan
 Merokok (-)

2.3 PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 26 November 2018)


- Kesadaran : Compos mentis
- Vital Sign : TD: 120/80 mmHg
Nadi: 86 x/menit
RR: 18 x/m
T: 36.7 ºC
- BB : 51 kg
- TB : 145 cm
- IMT : 24,2 ( Berat badan lebih)

Status General:
Kepala : Normocephali
Mata : CA -/-, SI -/-, Pupil Isokor, RC +/+
THT : discharge (-), dbn
Mulut : Mukosa tidak anemis, lidah kotor (-), Mallampati 1
Leher : JVP 5-2 cmH2O, KGB tidak teraba membesar, struma (-)

3
Paru:
- Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-)
- Palpasi : Vokal Fremitus normal, kanan dan kiri sama
- Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
- Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung:
- Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
- Palpasi : Thrill tidak teraba, ictus cordis teraba 2 jari
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultasi : BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
- Inspeksi : Datar, terdapat luka bekas oprasi histerektomi di bawah
umbilicus
- Auskultasi : BU (+) N
- Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), Hepar lien dan ginjal tidak teraba
- Perkusi : Timpani 4 kuadran
Ekstremitas:
Superior : akral hangat, CRT <2 detik, sianosis (-/-), edema (-/-)
Inferior : akral hangat, CRT <2 detik, sianosis (-/-), edema (-/-)

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Laboratorium
a. Darah rutin (14 Desember 2018)
 WBC : 14,54 103/mm3 (4-10 109/L)
 RBC : 3,88 106/mm3 (3,5-55, 1012/L)
 HGB : 12,2 g/dl (11-16 g/dl)
 HCT : 35,8 % (35-50%)
 PLT : 362 103/mm3 (100-300 109/L)
 Ct/Bt : 4’/1’
 GDS : 170 mg/dl ( < 200)

4
b. Kimia Darah Lengkap ( 14 Desember 2018)
 Faal Hati
Protein Total : 8,0 g/dl (6,4-8,4)
Albumin : 4,2 g/dl (3,5-5,0)
Globulin : 3,8 g/dl (3,0-3,6)
SGOT : 43 U/L (<40)
SGPT : 54 U/L (<41)
 Faal Ginjal
Ureum : 16 mg/dl (15-39)
Kreatinin : 0,5 mg/dl (0,6-1,1)
 Analisa Urine
Warna : Kuning muda keruh
BJ : 1015
PH :6
Albumin :-
Glukosa :-
PP :+
Bakteri :+
Sel Lekosit : 2-3 /LPB
Sel Eritrosit : 2-3 / LPB
Epithel : 0-1 / LPK
2. Radiologi
 X-Ray Thorax
Cor dan pulmo dalam batas normal

3. Lain-lain
 EKG : Sinus Rhythm
USG : VVF post repair gagal

2.5 DIAGNOSIS KERJA PRE-OP:


Fistula Vesico Vaginalis

5
BAB III
LAPORAN ANESTESI

PRA ANASTESI
Penentuan Status Fisik ASA : 1 / 2 / 3 / 4 / 5 EMG/Non EMG
Persiapan Pra Anestesi :
a. Pasien telah diberikan Informed Consent
b. Pasien dirawat 1 hari sebelum tindakan operasi
c. Periksa laboratorium
d. Puasa 6 jam sebelum tindakan operasi

LAPORAN ANESTESI
Tanggal : 26 Desember 2018
Pasien : Ny. M (50 th)
Diagnosis : Fistula Vesico Vaginalis
Tindakan : Laparoskopi Operatif
Ahli Bedah : dr.Paryanto, Sp.OG
Ahli Anestesi : dr.Sulistiyowaty, Sp.An

Tindakan Anestesi
1. Metode : General Anestesi (Intubasi)
2. Premedikasi : Ondansentron 4 mg, Ranitidin 50 mg, Dexametason 10
mg,
3. Induksi : Recofol 100 mg
4. Analgetik : Fentanyl 100 mcg
5. Relaksasi : Atrakurium 30 mg
6. Intubasi : Insersi ETT No.7,0
7. Maintenance : Sevoflurans 2vol% + N2O (2L) : O2 (2L)
8. Intra Operasi :-
9. Respirasi : Nafas kendali dengan ventilator.

6
10. Ekstubasi : Setelah pasien sadar penuh.

Keadaan Selama Operasi


1. Posisi Penderita : Lithotomi
2. Penyulit waktu anestesi : Tidak ada
3. Lama Anestesi : 6 jam
4. Jumlah Cairan
Input :
 RL 500 ml
 RL 500 ml
 RL 500 ml
Total = 1500 ml

Output :
 Urine : ± 600 ml
 Perdarahan: Suction = 100 cc
Total = 700 ml

Kebutuhan cairan pasien ini;


BB = 51 Kg
 Maintenance (M) = 2 cc/kgBB
= 2 cc x 51
= 102 cc
 Pengganti Puasa (P)
P = 8 x M Pasien puasa dari jam 24.00, operasi pukul 09.00 WIB
= 8 x 102 cc
= 816 cc
 Stress Operasi (O)
O = BB x 6 cc (Operasi Sedang)
= 51 x 6 cc
= 306 cc

7
 EBV = 65 x BB
= 65 x 51  3315 cc
 EBL = 20% x EBV
= 20% x 3315 cc  663 cc

Kebutuhan cairan selama operasi


Jam I = ½ (P) + M + O
= ½ (816) + 102 + 306
= 842 cc
Jam II = ¼ (P) + M + O
= ¼ (816) + 102 + 306
= 612 cc
Jam III = ¼ (P) + M + O
= ¼ (816) + 102 + 306
= 612 cc
Jam IV= M +O
= 102 + 306
= 408 cc
Jam V= M +O
= 102 + 306
= 408 cc
Jam VI= M +O
= 102 + 306
= 408 cc
Total cairan : 3290 cc

8
Monitoring Peri Operatif:
Jam TD Nadi RR
WIB (mmHg) (x/m) (x/mnt)
Pasien masuk ke kamar operasi, dan
08.30
dipindahkan ke meja operasi
Pemasangan monitoring tekanan darah, nadi,
08.45 130/90 72 18
saturasi O2 dan urin bag dikosongkan.
Diberikan cairan RL (1 kolf) & obat
08.50 122/78 74 19
premedikasi
Pasien mulai dilakukan general anestesi,
Pemberian Analgesia Fentanyl 100 mcg,
09.00 Pemberian induksi IV Recofol 100 mg, 110/70 66 18
Tes bulu mata,
Pemberian muscle relaxan Atrakurium 30 mg
Melakukan intubasi
09.05 108/68 64 18
Pasien diposisikan lithotomi
09.15 Operasi dimulai 110/66 70 17
11.10 Diberikan RL 500 ml (1 kolf) 102/68 64 17
13.45 Diberikan RL 500 ml ( 1 kolf) 100/65 60 16
Operasi Selesai
15.10 Posisi pasien di luruskan kembali keadaan 112/78 68 19
telentang
Gas N2O dan sevoflurane dimatikan, gas O2
dinaikkan dgn menggunakan ETT
Pasien sadar & nafas spontan, dilakukan
15.30 122/78 74 20
ekstubasi
Pelepasan alat monitoring
Pasien dipindahkan ke ruang RR

5. Ruang Pemulihan (RR)


a. Masuk Jam : 15.35 WIB
b. Keadaan Umum : Kesadaran CM, GCS:15
c. Tanda Vital : TD (120/80 mmHg), N (76x/i), RR (19x/i), SpO2 (99%)
d. Pernafasan : Baik

9
e. Skoring Alderate : Aktifitas :2
Pernafasan : 2
Warna Kulit : 2 Jumlah = 10
Sirkulasi :2
Kesadaran : 2

6. Instruksi Post Operasi :


 Observasi keadaan umum, tanda vital dan perdarahan tiap 15 menit 24 jam
 Tirah baring tanpa bantal dalam 24 jam
 Puasa sampai sadar penuh dan bising usus (+)
 Terapi sesuai instruksi dr.Paryanto, Sp.OG

2.9. DIAGNOSA POST OP


Post Laparoskopi a.i Fistula Vesico Vaginalis

2.10. PROGNOSIS :
Quoad vitam : Dubia ad bonam
Quoad functionam : Dubia ad bonam
Quoad sanationam : Dubia ad bonam

10
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Anestesi Umum


4.1.1 Definisi
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum memiliki
karakteristik menyebabkan amnesia bagi pasien yang bersifat anterogardyaitu
hilang ingatan kedepan dimana pasien tidak akan bisa ingat apa yang telah terjadi
saat dia dianestesi/operasi, Karakteristik selanjutnya adalah reversible yang berarti
anestesi umum akan menyebabkan pasien bangun kembali tanpa efek samping.1,2

4.1.2 Komponen dalam Anestesi Umum


Dahulu dikenal istilah “Trias Anetesia” yaitu hipnosi, analgesia, dan arefleksia.
Namun, sekarang anestesi umum tidak hanya mempunyai tiga komponen itu saja.
Secara umum komponen yang ada dalam anestesi umum yaitu:3
1. Hipnosis (hilangnya kesadaran)
2. Analgesia (hilangnya nyeri)
3. Arefleksia (hilangnya refleks-refleks motorik tubuh, memungkinkan
imobilisasi pasien)
4. Relaksasi otot, memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi
intubasi trakeal
5. Amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalani prosedur)

4.1.3 Keuntungan dan Kerugian Anestesia Umum


Tidak semua pasien atau prosedur medis ideal untuk dijalani di bawah anestisia
umum. Semua teknik anastesia harus dapat sewaktu-waktu dikonversikan menjadi
anestesia umum.3
Keuntungan anestesia umum
a. Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis
berlangsung.

11
b. Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat ansietas
dan berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan trauma
psikologis.
c. Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama.
d. Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien. 1,2

Kerugian anestesia umum


a. Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi
tumpul dibawah anestesia umum.
b. Memerlukan pemantauan yang lebih holostik dan rumit.
c. Tidak dapat mendeteksi gangguan SSP, misalnya perubahan kesadaran.
d. Risiko komplikasi pascabedah lebih besar.
e. Memerlukan persiapan pasien yang lebih lama.1,2

4.1.4 Persiapan pra anestesi


Pasien yang akan menjalani operasi harus disiapkan dengan baik. Kunjungan pra
anestesi pada bedah elektif dilakukan 2-1 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah
darurat sesingkat mungkin. Tujuan dari kunjungan pra anestesi ini yakni
mempersiapkan baik fisik maupun mental pasien, serta merencanakan teknik dan
obat-obatan apa saja yang digunakan.4

Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya sangatlah
penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian
khusus, misalnya alergi, muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak pasca bedah,
sehingga kita dapat merancang anestesia selanjutnya. Beberapa peneliti
menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya
janga digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu 3
bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan
diulang.Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya utnuk
eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan beberapa
hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan nafas dan 1-2 minggu untuk mengurangi

12
produksi sputum. Kebiasaan minum alkohol juga patut dicurigai akan adanya
penyakit hepar.4

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi.
Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan
rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan
seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi semua sistem organ tubuh
pasien.4

Pemeriksaan Laboratorium
Sebaiknya tepat indikasi, sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai.
Pada usia pasien diatas 50 tahun dianjurkan pemeriksaan EKG dan foto thoraks.4

Kebugaran untuk Anestesia


Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar
pasien dalam keadaaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak
perlu harus dihindari.4

Klasifikasi Status Fisik


Untuk menilai kebugaran seseorang sesuai The American Society of
Anesthesiologists (ASA) yaitu:4
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atas sedang, tanpa
pembatasan aktivitas.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

13
Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung
dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko utama pada pasien-
pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus
dipantangkan dari masukan oral selama periode tertentu sebelum induksi
anestesi.Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi
3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia.
Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum
obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi.4

Premedikasi
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia, diantaranya: 4
a. Meredakan kecemasan
b. Memperlancar induksi anestesi
c. Mengurangi seksresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat-obat anestetik
e. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
f. Menciptakan amnesia
g. Mengurangi isi cairan lambung
h. Mengurangi refleks yang berlebihan

4.1.5 Induksi anestesi


Induksi anesthesia adalah tindakan yang bertujuan membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehinggga memungkinkan dimulainya anesthesia dan
pembedahan.4,5

Persiapan pada anestesi meliputi kata STATICS


 Scope : laryngoscope dan stethoscope
 Tube : pipa trakea disesuaikan dengan ukuran pasien sesuai umur
 Airway : orothracheal airway, untuk menahan lidah pasien disaat

14
pasien tidak sadar, untuk menjaga agar lidah tidak
menutupi jalan napas
 Tape : plaster untuk memfiksasi orothrakeal airway
 Introducer : mandarin atau silet dari kawat untuk memandu agar pipa
trakea mudah untuk di masukkan
 Conector : penyambung antara pipa dan alat anesthesia
 Suction : penyedot lender

Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena
hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali.
Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama
induksi anestesia, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan
selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang
kooperatif.Anestesi intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk
rumatan anestesi, tambahan pada analgesia regional atau untuk membantu
prosedur diagnostik misalnya tiopental, ketamin dan profopol. Untuk anestesia
intravena total biasanya menggunakan profopol.4

Anestetik Inhalasi
Obat anestetik inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan untuk
membantu pembedahan ialah N2O. Kemudian menyusul eter, kloroform, etil-
klorida, etilen, divinil-eter, siklosporin, triklor-etilen, iso-propenil-vinil-eter,
propenil-metil-eter, fluoroksan, etil-vinil-eter, halotan, metoksi-fluran, enfluran,
isofluran, desfluran dan sevofluran.Dalam dunia modern, anestetik inhalasi yang
umum digunakan untuk praktek klinik ialah N2O, halotan, enfluran, isofluran,
desfluran, dan sevofluran. Obat-obat lain ditinggalkan karena efek samping yang
tidak dikehendaki. Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditetukan oleh
sifat fisiknya: 4
1. Ambilan oleh paru

15
2. Difusi gas dari paru ke darah
3. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya
Hiperventilasi akan menaikkan ambilan alveolus dan hipoventilasi akan
menurunkan ambilan alveolus. Dalam praktek kelarutan zat inhalasi dalam darah
adalahfaktor utama yang penting dalam menentukan kecepatan induksi dan
pemulihannya.Induksi dan pemulihan berlangsung cepat pada zat yang tidak larut
dan lambat padayang larut.Kadar alveolus minimal ( KAM ) atau MAC (minimum
alveolar concentration) ialah kadar minimal zat tersebut dalam alveolus pada
tekanan satu atmosfir yangdiperlukan untuk mencegah gerakan pada 50 % pasien
yang dilakukan insisi standar.Pada umumnya immobilisasi tercapai pada 95 %
pasien, jika kadarnya dinaikkan diatas30 % nilai KAM. Dalam keadaan seimbang,
tekanan parsial zat anestetik dalam alveolisama dengan tekanan zat dalam darah
dan otak tempat kerja obat.4
Konsentrasi uap anestetik dalam alveoli selama induksi ditentukan oleh:
1. Konsentrasi inspirasi. Teoritis kalau saturasi uap anestetik di dalam jaringan
sudah penuh, makaambilan paru berhenti dan konsentrasi uap inpirasi sama
dengan alveoli. Halini dalam praktek tak pernah terjadi. Induksi makin cepat
kalau konsentrasi makin tinggi, asalkan tak terjadi depresi napas atau kejang
laring. Induksimakin cepat jika disertai oleh N2O (efek gas kedua).
2. Ventilasi alveolar. Ventilasi alveolar meningkat, konsentrasi alveolar makin
tinggi dan sebaliknya.
3. Koefisien darah/gas. Makin tinggi angkanya, makin cepat larut dalam darah,
makin rendah konsentrasi dalam alveoli dan sebaliknya.
4. Curah jantung atau aliran darah paru
Makin tinggi curah jantung makin cepat uap diambil
5. Hubungan ventilasi perfusi
Gangguan hubungan ini memperlambat ambilan gas anestetik. Jumlah
uapdalam mesin anestesi bukan merupakan gambaran yang sebenarnya,
karenasebagian uap tersebut hilang dalam tabung sirkuit anestesi atau ke
atmosfir sekitar sebelum mencapai pernafasan.4

16
Sebagian besar gas anestesi dikeluarkan lagi oleh badan lewat paru.
Sebagianlagi dimetabolisir oleh hepar dengan sistem oksidasi sitokrom P450.
Sisa metabolismeyang larut dalam air dikeluarkan melalui ginjal.4

N2O
N2O (gas gelak,laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monooksida)
diperolehdengan memanaskan amonium nitrat sampai 240ºC. NH4NO3 --240 ºC -
--- 2H2O + N2O. N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak
iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Zat ini dikemas dalam
bentuk cair dalamsilinder warna biru 9000 liter atau 1800 liter dengan tekanan
750 psi atau 50 atm.Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal
25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesianya kuat, sehingga sering
digunakan untuk menguranginyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi
jarang digunakan sendirian, tetapidikombinasi dengan salah satu cairan anestesi
lain seperti halotan dan sebagainya. Pada akhir anestesi setelah N2O dihentikan,
maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,sehingga terjadi pengenceran O2 dan
terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindariterjadinya hipoksia difusi, berikan
O2 100% selama 5-10 menit.4

Halotan
Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan. Baunya yang
enak dan tidak merangsang jalan napas, maka sering digunakan sebagai induksi
anestesi kombinasi dengan N2O. Halotan harus disimpan dalam botol gelap
(coklat tua) supayatidak dirusak oleh cahaya dan diawetkan oleh timol 0,01%.
Selain untuk induksi dapat juga untuk laringoskopi intubasi, asalkan anestesinya
cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan dierikan analgesi semprot lidokain 4%
atau10% sekitar faring laring. Setelah beberapa menit lidokain kerja, umumnya
laringoskop intubasi dapat dikerjakan dengan mudah, karena relaksasi otot cukup
baik.Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada napas
kendalisektar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien.
Halotanmenyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah otak yang

17
sulitdikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai
untuk bedah otak. Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya
tonus simpatis,depresi miokard dan inhibisi refleks baroreseptor. Kebalikan dari
N2O, halotananalgesinya lemah, anestesinya kuat, sehingga kombinasi keduanya
ideal sepanjangtidak ada indikasi kontra. Kombinasi dengan adrenalin sering
menyebabkan disritmia, sehingga penggunaan adrenalin harus dibatasi. Adrenalin
dianjurkan dengan pengenceran1:200.000 (5 µg/kg).Pada bedah sesar, halotan
dibatasi maksimal 1 vol%, karena relaksasi uterusakan menimbulkan perdarahan.
Halotan menghambat pelepasan insulin, meninggikan kadar gula darah.Kira-kira
20% halotan dimetabolisir terutama di hepar secara oksidatif menjadikomponen
bromin, klorin, dan asam trikloro asetat. Secara reduktif menjadi
komponenfluorida dan produk non-volatil yang dikeluarkan lewat urin.
Metabolisme reduktif inimenyebabkan hepar kerja keras, sehingga merupakan
indikasi kontra pada penderita gangguan hepar, pernah dapat halotan dalam waktu
kurang tiga bulan atau pasienkegemukan. Pasca pemberian halotan sering
menyebabkan pasien menggigil.4

Enfluran
Enfluran (etran, aliran) merupakan halogenisasi eter dan cepat populer
setelahada kecuriagan gangguan fungsi hepar oleh halotan pada pengguanan
berulang. PadaEEG menunjukkan tanda-tanda epileptik, apalagi disertai
hipokapnia, karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan riwayat
epilepsi, walaupun ada yang beranggapan bukan indikasi kontra untuk dpakai
pada kasus dengan riwayat epilepsi. Kombinasidengan adrenalin lebih aman 3 kali
dibanding halotan.Enfluran yang dimetabolisme hanya 2-8% oleh hepar menjadi
produk non-volatil yang dikeluarkan lewat urin. Ssisanya dikeluarkan lewat paru
dalam bentuk asli.Induksi dan pulih dari anestesia lebih cepat dibanding halotan.
Vasodlatasi serebralantara halotan dan isofluran.Efek depresi napas lebih kuat
dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap
sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, depresilebih jarang menimbulkan aritmia.
Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan

18
Isofluran
Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang pada dosis
anestetik atau subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen,
tetapimeninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Peninggian aliran
darah otak dan tekanan intrakranial ini dapat dikurangi dengan teknik anestesi
hiperventilasi,sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek
terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemariuntuk
anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan
gangguankoroner. Isofluran dengan konsentrasi > 1% terhadap uterus hamil
menyebabkanrelaksasi dan kurang responsif jika diantisipasi dengan oksitosin,
sehingga dapatmenyebabkan perdarahan pasca persalinan. Dosis pelumpuh otot
dapat dikurangisampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran.4

Desfluran
Desfluran (suprane) merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan
efek klinisnya mirip isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan
dengananestetik volatil lainnya, sehingga perlu menggunakan vaporizer khusus
(TEC-6). Titik didihnya mendekati suhu ruangan (23.5ºC). potensinya rendah
(MAC 6.0%). Ia bersifatsimpatomimetik menyebabkan takikardia dan hipertensi.
Efek depres napasnya sepertiisofluran dan etran. Desfluran merangsang jalan
napas atas, sehingga tidak digunakanuntuk induksi anestesia.4

Sevofluran
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari
anestesilebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disampinghalotan.Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang mnyebabkan
aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan
toksik terhadaphepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan
oleh badan.Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda lime, baralime), tetapi belum
ada laporan membahayakan terhadap tubuh manusia.4

19
4.1.6 Rumatan anestesi
Rumatan anastesia dapat dikerjakan secara intravena atau dengan inhalasi atau
dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anastesia biasanya mengacu pada
trias anastesia yaitu hipnosis, analgesia cukup, dan selama dibedah pasien tidak
menimbulkna nyeri, dan relaksasi otot lurik yang cukup.Rumatan inhalasi
biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol%
atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran 2-4 vol%, atau sevofluran 2-4 vol%
bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted), atau dikendalikan
(controlled).4

4.1.7 Pengakhiran Anestesi Umum


Pemulihan dari anestesi umum ataupun regional adalah saat terjadinya stress
fisiologis yang besar bagi banyak pasien. Pengakhiran anestesi umum idealnya
haruslah mulus dan bangun secara bertahap dalam suasana yang terkendalli.
Sayangnya, seringkali bermula di kamar operasi atau selama perjalanan ke ruang
pemulihan dan sering ditandai oleh obstruksi jalan nafas, menggigil, agitasi,
delirium, nyeri, mual dan muntah, hipotermia, dan labilitas otonom. Bahkan
pasien yang mendapat anestesi spinal atau epidural dapat menunjukkkan
penurunan tekanan darah yang nyata selama perjalanan atau pemulihan; efek
simpatolitik blok regional mencegah refleks vasokonstriksi kompensasi saat
pasien dipindahkan atau saat duduk.4 Setelah anestesi berbasis inhalasi, kecepatan
pengakhiran berbanding lurus terhaddap ventilasi alveolus tetapi berbanding
terbalik terhadap kelarutan gas dalam darah. Bila durasi anesthesia meningkat,
pengakhiran juga semakin bergantung kepada ambilan jaringan total, yakni fungsi
kelarutan gas, rata-rata konsentrasi yang dipakai, dan lamanya terpapar anestesi.
Pemulihan lebih cepat dengan desflurane dan nitro oksida dan lebih lambat bila
anestesi dalam dengan halothane dan enflurane. Hipoventilasi memperlambat
pengakhiran anestesi inhalasi.4 Pengakhiran anestesi intravena bergantung pada
farmakokinetiknya. Pemulihan dari kebanyakan obat anestesi intravena lebih
bergantung pada redistribusi daripada waktu paruh eliminasinya. Bila total dosis

20
yang diberikan meningkat, efek kumulatif tampak dalam akhir anestesi yang
berkepanjangan; akhir kerja menjadi lebih bergantung pada eliminasi atau waktu
paruh metabolik. Dalam kondisi seperti ini, usia tua atau penyakit renal atau hati
dapat memperpanjang pengakhiran. Penggunaan obat-obat anestetik kerja singkat
dan sangat singkat seperti propofol dan remifentanil secara nyata memperpendek
pengakhiran, waktu untuk bangun, dan pengeluaran pasien. Terlebih lagi,
penggunaan Bispectral Index Scale (BIS) (dan mungkin juga patient state index
[PSI]) mengurangi dosis obat total dan memperpendek pemulihan dan waktu
untuk memindahkan pasien. Penggunaan LMA dapat juga membolehkan level
anesthesia yang lebih dangkal yang dapat mempercepat pengakhiran.4 Kecepatan
pengakhiran juga dipengaruhi oleh obat-obat pra bedah. Premedikasi dengan obat-
obat yang waktu kerjanya lebih lama daripada prosedur mungkin menyebabkan
pengakhiran yang berkepanjangan. Durasi pendek midazolam membuatnya cocok
untuk obat premedikasi untuk prosedur yang singkat. Efek obat tidur pra bedah
atau minum obat (alkohol, sedatif) dapat menambah efek zat-zat anestetik dan
memperpanjang pengakhiran.4

4.1.8 Oral dan Nasal Airway


Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas (misalnya kelemahan dari otot
genioglosus) pada pasien yang dianestesi menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh
kebelakang kearah dinding posterior faring. Mengubah posisi kepala atau jaw
thrust merupakan teknik yang disukai untuk membebaskan jalan nafas. Untuk
mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas buatan (artificial airway) dapat
dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk menimbulkan adanya aliran udara
antara lidah dengan dinding faring bagian posterior (Gambar 5-4). Pasien yang
sadar atau dalam anestesi ringan dapat terjadi batuk atau spasme laring pada saat
memasang jalan nafas artifisial bila refleks laring masih intact. Pemasangan oral
airway kadang-kadang difasilitasi dengan penekanan refleks jalan nafas dan
kadang-kadang dengan menekan lidah dengan spatel lidah. Oral airway dewasa
umumnya berukuran kecil (80 mm/Guedel No 3), medium (90 mm/Guedel no 4),
dan besar (100 mm/Guedel no 5). Panjang nasal airway dapat diperkirakan

21
sebagai jarak antara lubang hidung ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih
panjang dari oral airway. Disebabkan adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak
boleh digunakan pada pasien yang diberi antikoagulan atau anak dengan adenoid.
Juga, nasal airway jangan digunakan pada pasien dengan fraktur basis cranii.
Setiap pipa yang dimasukkan melalui hidung (nasal airway, pipa nasogastrik, pipa
nasotrakheal) harus dilubrikasi. Nasal airway lebih ditoleransi daripada oral
airway pada pasien dengan anestesi ringan.5

Face Mask Design dan Teknik


Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas
anestesi dari sistem breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan
rapat. Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka pasien.
Orifisium face mask dapat disambungkan ke sirkuit mesin anestesi melalui
konektor. Tersedia berbagai disain face mask. Face mask yang transparan dapat
mengobservasi uap gas ekspirasi dan muntahan. Facemask yang dibuat dari karet
berwarna hitam cukup lunak untuk menyesuaikan dengan bentuk muka yang tidak
umum. Retaining hook dipakai untuk mengkaitkan head scrap sehingga face mask
tidak perlu terus dipegang. Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang
bebas dan face mask yang rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang
tidak tepat dapat menyebabkan reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup,
hal ini menunjukkan adanya kebocoran sekeliling face mask. Sebaliknya, tekanan
sirkuit breathing yang tinggi dengan pergerakan dada dan suara pernafasan yang
minimal menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.5 Bila face mask dipegang
dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan untuk melakukan ventilasi dengan
tekanan positif dengan memeras breathing bag. Face mask dipasang dimuka
pasien dan sedikit ditekan pada badan face mask dengan ibu jari dan telunjuk. Jari
tengah dan jari manis menarik mandibula untuk ekstensi joint atlantooccipital.
Tekanan jari-jari harus pada mandibula, jangan pada jaringan lunak yang
menopang dasar lidah karena dapat terjadi obstruksi jalan nafas. Jari kelingking
ditempatkan dibawah sudut jaw dan digunakan untuk jaw thrust manuver yang
paling penting untuk dapat melakukan ventilasi pasien. Pada situasi yang sulit,

22
diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw thrust yang adekuat dan face mask
yang rapat. Karena itu diperlukan seorang asisten untuk memompa bag (gambar
5-8). Obstruksi selama ekspirasi dapat disebabkan karena tekanan kuat dari face
mask atau efek ball-valve dari jaw thrust. Kadang-kadang sulit memasang face
maks rapat kemuka. Membiarkan gigi palsu pada tempatnya (tapi tidak
dianjurkan) atau memasukkan gulungan kasa ke rongga mulut mungkin dapat
menolong mengatasi kesulitan ini. Ventilasi tekanan normalnya jangan melebihi
20 cm H2O untuk mencegah masuknya udara ke lambung. Kebanyakan jalan
nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask dan oral atau nasal airway.
Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat menimbulkan cedera akibat
tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial. Disebabkan tidak adanya
tekanan positif pada jalan nafas selama nafas spontan, hanya diperlukan tekanan
minimal pada face mask supaya tidak bocor. Bila face mask dan ikatan mask
digunakan dalam jangka lama maka posisi harus sering dirubah untuk
menghindari cedera. Hindari tekanan pada mata, dan mata harus diplester untuk
menghindari resiko aberasi kornea.5

Teknik dan Bentuk Laryngeal Mask Airway (LMA)


Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face mask dan TT
selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasangan TT
pada pasien dengan difficult airway, dan untuk membantu ventilasi selama
bronchoscopy fiberoptic, juga pemasangan bronkhoskop. LMA memiliki
kelebihan istimewa dalam menentukan penanganan kesulitan jalan nafas
dibandingkan combitube. Ada 4 tipe LMA yang biasa digunakan: LMA yang
dapat dipakai ulang, LMA yang tidak dapat dipakai ulang, ProSeal LMA yang
memiliki lubang untuk memasukkan pipa nasogastrik dan dapat digunakan
ventilasi tekanan positif, dan Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi
bagi pasien dengan jalan nafas yang sulit. 8 LMA terdiri dari pipa dengan lubang
yang besar, yang di akhir bagian proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas
dengan konektor berukuran 15 mm, dan dibagian distal terdapat balon berbentuk
elips yang dapat dikembangkan lewat pipa. Balon dikempiskan dulu, kemudian

23
diberi pelumas dan masukan secara membuta ke hipofaring, sekali telah
dikembangkan, balon dengan tekanan rendah ada di muara laring.Pemasangannya
memerlukan anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk memasukan oral
airway. Walaupun pemasangannya relatif mudah perhatian yang detil akan
memperbaiki keberhasilan. Posisi ideal dari balon adalah dasar lidah di bagian
superior, sinus pyriforme dilateral, dan spincter oesopagus bagian atas di inferior.8
Jika esophagus terletak di rim balon, distensi lambung atau regurgitasi masih
mungkin terjadi. Variasi anatomi mencegah fungsi LMA yang adekuat pada
beberapa pasien. Akan tetapi, jika LMA tidak berfungsi semestinya dan setelah
mencoba memperbaiki masih tidak baik, kebanyakan klinisi mencoba dengan
LMA lain yang ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Karena penutupan oleh
epiglotis atau ujung balon merupakan penyebab kegagalan terbanyak, maka
memasukkan LMA dengan penglihatan secara langsung dengan laringoskop atau
bronchoskop fiberoptik (FOB) menguntungkan pada kasus yang sulit. Demikian
juga, sebagian balon digembungkan sebelum insersi dapat sangat membantu. Pipa
di plester seperti halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak
terhadap regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada
tempatnya sampai reflek jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai
dengan batuk atau membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang dapat
dipakai lagi, dapat di autoklaf, dibuat dari karet silikon (bebas latek) dan tersedia
dalam berbagai ukuran.5

Esophageal – Tracheal Combitube (ETC)


Pipa kombinasi esophagus – tracheal (ETC) terbuat dari gabungan 2 pipa, masing-
masing dengan konektor 15 mm pada ujung proksimalnya. Pipa biru yang lebih
panjang ujung distalnya ditutup. Pipa yang transparant berukuran yang lebih
pendek punya ujung distal terbuka dan tidak ada sisi yang perporasi. ETC ini
biasanya dipasangkan secara buta melalui mulut dan dimasukkan sampai 2
lingkaran hitam pada batang batas antara gigi atas dan bawah. ETC mempunyai 2
balon untuk digembungkan, 100 ml untuk balon proksimal dan 15 ml untuk balon
distal, keduanya harus dikembungkan secara penuh setelah pemasangan. Pipa

24
yang bening yang lebih pendek dapat digunakan untuk dekompresi lambung.
Pilihan lain, jika ETC masuk ke dalam trakhea, ventilasi melalui pipa yang bening
akan langsung gas ke trachea. Meskipun pipa kombinasi masih terdaftar sebagai
pilihan untuk penanganan jalan nafas yang sulit dalam algoritma Advanced
Cardiac Life Support, biasanya jarang digunakan oleh dokter anestesi yang lebih
suka memakai LMA atau alat lain untuk penanganan pasien dengan jalan nafas
yang sulit.5

Pipa Trakea (TT)


TT digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung ke dalam trakea dan
mengijinkan untuk kontrol ventilasi dan oksigenasi. Pabrik menentukan standar
TT (American National Standards for Anesthetic Equipment; ANSI Z-79). TT
kebanyakan terbuat dari polyvinylchloride. Pada masa lalu, TT diberi tanda “IT”
atau “Z-79” untuk indikasi ini telah dicoba untuk memastikan tidak beracun.
Bentuk dan kekakuan dari TT dapat dirubah dengan pemasangan mandren. Ujung
pipa diruncingkan untuk membantu penglihatan dan pemasangan melalui pita
suara. Pipa Murphy memiliki sebuah lubang (mata Murphy) untuk mengurangi
resiko sumbatan pada bagian distal tube bila menempel dengan carina atau
trakea.5 Tahanan aliran udara terutama tergantung dari diameter pipa, tapi ini juga
dipengaruhi oleh panjang pipa dan lengkungannya. Ukuran TT biasanya dipola
dalam milimeter untuk diameter internal atau yang tidak umum dalam skala
Prancis (diameter external dalam milimeter dikalikan dengan 3). Pemilihan pipa
selalu hasil kompromi antara memaksimalkan aliran dengan pipa ukuran besar
dan meminimalkan trauma jalan nafas dengan ukuran pipa yang kecil.5
Kebanyakan TT dewasa memiliki sistem pengembungan balon yang terdiri dari
katup, balon petunjuk (pilot balloon), pipa pengembangkan balon, dan balon
(cuff). Katup mencegah udara keluar setelah balon dikembungkan. Balon petunjuk
memberikan petunjuk kasar dari balon yang digembungkan. Inflating tube
dihubungkan dengan klep. Dengan membuat trakea yang rapat, balon TT
mengijinkan dilakukannya ventilasi tekanan positif dan mengurangi kemungkinan
aspirasi. Pipa yang tidak berbalon biasanya digunakan untuk anak-anak untuk

25
meminimalkan resiko dari cedera karena tekanan dan post intubasi croup.5 Ada 2
tipe balon TT yaitu balon dengan tekanan tinggi volume rendah dan tekanan
rendah volume tinggi. Balon tekanan tinggi dikaitkan dengan besarnya iskhemia
mukosa trachea dan kurang nyaman untuk intubasi pada waktu lama. Balon
tekanan rendah dapat meningkatkan kemungkinan nyeri tenggorokan (luas area
kontak mukosa), aspirasi, ekstubasi spontan, dan pemasangan yang sulit ( karena
adanya floppy cuff). Meskipun demikian, karena insidensi rendah dari kerusakan
mukosa, balon tekanan rendah lebih dianjurkan. Tekanan balon tergantung dari
beberapa faktor: volume pengembangan, diameter balon yang berhubungan
dengan trakea, trakea dan komplians balon, dan tekanan intratorak (tekanan balon
dapat meningkat pada saat batuk). Tekanan balon dapat menaik selama anetesi
umum sebagai hasil dari difusi dari N2O dari mukosa trakeal ke balon TT.5 TT
telah dimodifikasi untuk berbagai penggunaan khusus. Pipa yang lentur, spiral,
wire – reinforced TT (armored tubes), TT tidak kinking dipakai pada operasi
kepala dan leher, atau pada pasien dengan posisi telungkup. Jika pipa lapis baja
menjadi kinking akibat tekanan yang ekstrim ( contoh pasien bangun dan
menggigit pipa), lumen pipa akan tetutup dan pipa TT harus diganti. Pipa khusus
lainnya termasuk pipa mikrolaringeal, RAE tube, dan lubang pipa ganda (double
lumen tube). Semua TT memiliki garis yang dilekatkan dan bersifat radio opak
yang mengijinkan dapat dilihatnya ETT pada trakea.5

Rigid Laryngoscope
Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas
intubasi trakea. Handle biasanya berisi baterai untuk cahaya bola lampu pada
ujung blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung blade.
Cahaya dari bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar. Laringoskop
dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan diruang MRI. Blade
Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk lurus. Pemilihan dari
blade tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi pasien. Disebabkan karena
tidak ada blade yang cocok untuk semua situasi, klinisi harus familier dan ahli
dengan bentuk blade yang beragam.5

26
Teknik Laringoskopi dan Intubasi
Indikasi Intubasi
Pamasangan TT merupakan bagian rutin dari pemberian anestasi umum. Intubasi
bukan prosedur bebas resiko, bagaimanapun, tidak semua pasien dengan anestesi
umum memerlukan intubasi, tetapi TT dipasang untuk proteksi, dan untuk akses
jalan nafas. Secara umum, intubasi adalah indikasi untuk pasien yang memiliki
resiko untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi meliputi rongga perut atau kepala
dan leher. Ventilasi dengan face mask atau LMA biasanya digunakan untuk
prosedur operasi pendek seperti cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi,
perbaikan hernia inguinal dan lain lan.5

Persiapan Untuk Rigid Laringoskopi


Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan dan posisi pasien. TT
harus diperiksa. Sistem inflasi cuff pipa dapat ditest dengan menggembungkan
balon dengan menggunakan spuit 10 ml. Pemeliharaan tekanan balon menjamin
balon tidak mengalami kebocoran dan katup berfungsi. Beberapa dokter anestesi
memotong TT untuk mengurangi panjangnya dengan tujuan untuk mengurangi
resiko dari intubasi bronkial atau sumbatan akibat dari pipa kinking. Konektor
harus ditekan sedalam mungkin untuk menurunkan kemungkinan terlepas, jika
mandren digunakan ini harus dimasukan ke dalam TT dan ini ditekuk menyerupai
stik hoki. Bentuk ini untuk intubasi dengan posisi laring ke anterior. Blade harus
terkunci di atas handle laringoskop dan bola lampu dicoba berfungsi atau tidak.
Intensitas cahanya harus tetap walaupun bola lampu bergoyang. Sinyal cahaya
yang berkedap kedip karena lemahnya hubungan listrik, perlu diingat untuk
mengganti baterai. Extra blade, handle, TT ( 1 ukuran lebih kecil atau lebih besar)
dan mandren harus disediakan. Suction diperlukan untuk membersihkan jalan
nafas pada kasus dimana sekresi jalan nafas tidak diinginkan, darah, atau muntah.5
Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala pasien
harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk mencegah
ketegangan bagian belakang yang tidak perlu selama laringoskopi. Rigid

27
laringoskop memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis langsung
untuk melihat dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang (sekitar 5-
10 cm diatas meja operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito joint menempatkan
pasien pada posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari tulang leher
adalah fleksi dengan menempatkan kepala diatas bantal. Persiapan untuk induksi
dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin. Preoksigenasi dengan beberapa ( 4
dari total kapasitas paru paru) kali nafas dalam dengan 100% oksigen memberikan
ekstra margin of safety pada pasien yang tidak mudah diventilasi setelah induksi.
Preoksigenasi dapat dihilangkan pada pasien yang akan di face mask, yang bebas
dari penyakit paru, dan yang tidak memiliki jalan nafas yang sulit. Setelah induksi
anestesi umum, dokter anestesi menjadi pelindung pasien. Karena anestesi umum
menghilangkan reflek proteksi kornea, perlindungan harus dilakukan selama
periode ini, tidak boleh ada cedera pada mata pasien dengan terjadi abrasi kornea
tanpa disengaja. Oleh karena itu mata rutin direkat dengan plester, walaupun telah
diberi petrolum atau salep mata.5

Intubasi Orotrakeal
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar, blade
dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk menghindari gigi.
Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir blade.
Ujung dari blade melengkung dimasukkan ke valekula, dan ujung blade lurus
menutupi epiglotis.Handle diangkat menjauhi pasien secara tegak lurus dari
mandibula pasien untuk melihat pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan
blade serta pengungkitan dari gigi harus dihindari. TT diambil dengan tangan
kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi). Balon
TT harus berada dalam trakea bagian atas tapi dibawah laring. Langingoskop
ditarik dengan hati-hati untuk menghindari kerusakan gigi. Balon dikembungkan
dengan sedikit udara yang dibutuhkan agar tidak ada kebocoran selama ventilasi
tekanan positif, untuk meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada mukosa
trakea. Merasakan pilot balon bukan metode yang dapat dipercaya untuk
menentukan tekanan balon yang adekuat. Setelah intubasi, dada dan epigastrium

28
dengan segera diauskultasi dan capnograf dimonitor untuk memastikan TT ada di
intratrakeal. Jika ada keragu-raguan tentang apakah pipa dalam esophagus atau
trakea, cabut lagi TT dan ventilasi pasien dengan face mask. Sebaliknya, jika
sudah yakin, pipa dapat diplester atau diikat untuk mengamankan posisi.
Walaupun deteksi kadar CO2 dengan capnograf merupakan konfirmasi terbaik
untuk menentukan letak TT di trakea, kita tetap tidak dapat mengabaikan
terjadinya intubasi bronkial. Manifestasi dini dari intubasi bronkial adalah
peningkatan tekanan respirasi puncak. Lokasi pipa yang tepat dapat dikonfirmasi
dengan palpasi balon pada sternal notch sambil menekan pilot balon dengan
tangan lainnya. Balon jangan ada diatas level kartilago krikoid, karena lokasi
intralaringeal yang lama dapat menyebabkan suara serak pada post operasi dan
meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi pipa dapat dilihat
dengan radiografi dada, tapi ini jarang diperlukan kecuali dalam ICU.5 Hal yang
diuraikan diatas diambil dari pasien tidak sadar. Intubasi lewat mulut ini biasanya
kurang ditoleran pada pasien yang sadar. Jika perlu, dalam kasus terakhir, sedasi
intravena, penggunaan lokal anestetik spray dalam orofaring, regional blok saraf
akan memperbaiki penerimaan pasien. Kegagalan intubasi jangan diikuti dengan
pengulangan intubasi kembali karena hasilnya akan sama. Perubahan harus
dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan, seperti mengatur kembali posisi
pasien, penurunan ukuran pipa, pemasangan mandrin, memilih blade yang
berbeda, mencoba lewat hidung atau meminta bantuan dokter anestesi lainnya.
Jika pasien juga sulit untuk ventilasi dengan face mask, pilihan pengelolaan jalan
nafas yang lain (contoh LMA, combitube, krikotirotomi dengan jet ventilasi,
trakeostomi). Petunjuk yang dikembangkan oleh ASA untuk penanganan jalan
nafas yang sulit, termasuk algoritma rencana terapi.5

Komplikasi Laringoskopi dan Intubasi


Komplikasi laringoskopi dan intubasi termasuk hipoksia, hiperkarbia, trauma gigi
dan jalan nafas, posisi ETT yang salah, respons fisiologi, atau malfungsi ETT.
Komplikasi-komplikasi ini dapat terjadi selama laringoskopi atau intubasi, saat
ETT dimasukkan, dan setelah ekstubasi.5

29
Trauma Jalan Napas
Instrumentasi blade laringoskop berbahan metal dan insersi TT yang kaku sering
menyebabkan trauma pada selaput saluran napas. Meskipun trauma gigi ialah
malpraktik terbanyak yang diklaim terhadap anestesiologis, laringoskopi dan
intubasi dapat menyebabkan berbagai komplikasi, mulai dari sakit tenggorokan
sampai stenosis trakea. Hal ini paling banyak disebabkan karena terlalu lamanya
tekanan eksternal pada struktur saluran napas yang sensitif. Ketika tekanan TT
melebihi tekanan arteriolar-kapiler (kurang lebih 30 mmHg), iskemia jaringan
dapat mengakibatkan inflamasi, ulserasi, granulasi, dan stenosis. Pengembangan
balon TT pada tekanan minimum yang membentuk segel selama ventilasi tekanan
positif (biasanya minimal 20 mmHg), mengurangi aliran darah trakea sampai 75%
pada trakea bagian balon.5 Croup post intubasi, disebabkan oleh edema glotis,
laring, trakea, merupakan komplikasi yang serius pada anak-anak. Efektivitas
kortikosteroid (deksametason 0,2 mg/kg, maksimum 12 mg) dalam mencegah
edema jalan napas post ekstubasi masih menjadi kontroversi ; namun daripada itu,
kortiokosteroid telah diuji coba memang efektif pada anak dengan cropu akibat
penyebab lain. Paralisis pita suara akibat kompresi balon atau trauma lain pada
saraf rekuren laringeal, dapat menyebabkan serak dan meningkatnya risiko
aspirasi. Beberapa komplikasi ini dapat dicegah dengan menggunakan bentuk TT
jenis tertentu untuk menyesuaikan anatomi jalan napas (contohnya, Lindholm
Anatomial Tracheal Tube). Insidensi serak post operasi meningkat dengan adanya
obesitas, intubasi sulit, dan durasi lama obat anestesi. Menaruh lubrikan yang larut
air atau anestesi mengandung gel pada ujung atau balon TT tidak menurunkan
insidens sakit tenggorokan atau serak post operasi. TT yang lebih kecil (ukuran
6,5 pada wanita dan ukuran 7,0 pada laki-laki) berhubungan dengan keluhan sakit
teinggorokan post operasi yang lebih sedikit. 5

Respon Fisiologis pada Instrumentasi Jalan Napas


Laringoskopi dan intubasi trakea mengganggu refleks protektif jalan napas dan
mencetuskan hipertensi dan takikardia. Insersi LMA menimbulkan lebih sedikit
perubahan hemodinamik. Perubahan hemodinamik ini dapat dikurangi dengan

30
administrasi obat intravena – lidokain (1,5 mg/kg) 1-2 menit, remifentanil (1,0
mikrogram/kg) 1 menit, alfentanil (10-20 mikrogram/kg) 2-3 menit, atau fentanil
(0,5-1,0 mikrogram/kg) 4-5 menit sebelum laringoskopi. Agen hipotensi,
termasuk sodium nitroprusid, nitrogliserin, hidralazin, beta bloker, dan kalsium
channel bloker, dapat mengurangi respon hipertensi yang berhubungan dengan
laringoskopi dan intubasi secara efektif. Disritmia jantung –terutama bigeminus
ventrikular- tidak sering terjadi selama intubasi dan biasanya mengindikasikan
anestesia ringan.8 Laringospasme ialah spasme involunter pada otot laring yang
disebabkan oleh stimulasi sensori pada saraf laringeal superior. Hal-hal yang
mencetuskan termasuk sekresi faringeal atau memasukkan TT melewati laring
selama ekstubasi. Laringospasme biasanya dicegah dengan ekstubasi pasien dalam
keadaan tidur dalam atau bangun sepenuhnya, meski dapat juga terjadi, meskipun
jarang pada pasien yang sadar. Pengobatan laringospasme yaitu melakukan
ventilasi tekanan positif dengan kantong dan masker anestesi menggunakan 100%
oksigen atau penambahan lidokain intravena (1-1,5 mg/kg). Jika laringospasme
menetap dan terjadi hipoksia, suksinilkolin (0,25-1 mg/kg {biasa menggunakan
dosis yang lebih rendah}) harus diberikan untuk merelaksasi otot laring dan dapat
terjadi ventilasi terkontrol. Tekanan intratorak negatif yang besar oleh usaha
pasien selama laringospasme dapat menyebabkan terjadinya edema pulmo
tekanan negatif, bahkan pada dewasa muda yang sehat.5 Dimana laringospasme
menunjukkan adanya refleks kesensitivan yang abnormal, aspirasi dapat terjadi
akibat depresi refleks laring saat intubasi dan anestesia umum. Bronkospasme
merupakan respon refleks lainnya dari intubasi dan paling sering terjadi pada
pasien asma. Bronkospasme dapat menunjukkan adanya intubasi bronkus. Efek
patofisiologis lainnya termasuk meningkatnya tekanan intrakranial dan
intraokular.5

Malfungsi TT
TT tidak selalu dapat berfungsi sebagaimana mestinnya. Kerusakan katup atau
balon sering terjadi dan harus dieksklusi sebelum intubasi. Obstruksi TT dapat
terjadi dari kinking, aspirasi benda asing, atau dari sekresi kental pada lumen.5

31
4.2 Fistula Vesico Vaginalis
4.2.1 Pengertian
Fistula genitourinaria adalah terbentuknya hubungan antara traktus
genitalis dan traktus urinarius. Bentuk yang tersering adalah fistula
vesikovaginal dan fistula ureterovaginal.
Fistula vesikovaginal yaitu terbentuknya fistel atau lubang pada dinding
vagina yang menghubungkan kandung kemih dengan vagina, akibatnya urine
keluar melalui saluran vagina tanpa disadari. 6

4.2.2 Etiologi
Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya Fistula Vesiko Vagina
antara lain :
1. Komplikasi Obstetrik, yaitu terjadi karena persalinan.
a. Karena robekan oleh forceps, alat-alat yang meleset atau karena
sectio sesare
b. Karena nekrosis tekanan, dimana jaringan tertekan lama antara
kepala anak dan sympisis seperti pada persalinan dengan panggul
sempit, hydrocepalus atau kelainan letak. Kalau pembukaan belum
lengkap dapat terjadi fistula cervicalis atau fistel ureter, sedangkan
pada pembukaan lengkap biasanya terjadi fistula vesico vaginalis.
Pengawasan kehamilan yang baik disertai pimpinan dan penanganan
persalinan yang baik pula akan mengurangi jumlah fistel akibat
persalinan.Fistel karena perlukaan atau robekan terjadi segera setelah
partus, sedangkan fistel karena nekrosis (partus lama) terjadi 4-7 hari
post partum.
2. Operasi Ginekologi, terjadi pada :
a. Karsinoma, terutama karsinoma servisis uteri
b. Karena penyinaran : baru timbul 2-5 tahun setelah penyinaran
c. Karena operasi ginekologis : pada histerektomi abdominal dan
vaginal atau operasi untuk prolaps dapat terjadi perlukaan vesika

32
urinaria. Pada histerektomi totalis dapat terjadi lesi dari ureter atau
kandung kemih.
3. Fistula Traumatik, terjadi pada:
a. Pada abortus kriminalis
b. Perlukaan oleh benda-benda runcing, misalnya karena terjatuh pada
benda yang runcing.
c. Karena alat-alat : kateter, sonde, kuret
4. Penyebab lain yang jarang ditemukan seperti kondisi peradangan saluran
pencernaan, penyakit chronis, trauma yang berasal dari benda asing dan
kelainan kongenital. 6,7

4.2.3 Faktor Resiko


Faktor resiko terjadinya fistula vesikovaginalis adalah:
a. Persalinan lama
b. Operasi pelvis
c. Riwayat pelvic inflamatory disease
d. Keganasan pelvis
e. Endometriosis
f. Infeksi
g. Diabetes
h. Perubahan anatomi pelvis. 6,7
4.3.4 Klasifikasi
Terdapat 2 jenis fistula vesikovaginalis, yaitu :
1. Simple vesicovaginal fistulae
a. Ukuran fistula < 2-3 cm dan terletak supratrigonal
b. Tidak ada riwayat radiasi atau keganasan
c. Panjang vagina normal
2. Complicated vesicovaginal fistulae
a. Mempunyai riwayat radiasi sebelumnya
b. Terdapat keganasan pelvis
c. Vagina pendek

33
d. Ukuran fistula > 3 cm
e. Mengenai trigonum vesika urinaria. 7

4.2.3 Manifestasi klinis


Secara klinis gejala Fistula Vesiko Vagina mengalami inkontinen urine
dan tidak ada rasa nyeri. Komplikasi yang sering terjadi yaitu adanya iritasi
pada daerah perineum dan paha atas, dermatitis kronis, infeksi saluran
kemih serta penumpukkan kristal (Calculi pada buli-buli), amenorrhoe
sekunder sebagai akibat sentral oleh karena depresi berat dan endometritis.
Juga dapat terjadi striktura / stenosis vagina yang merupakan gejala yang
sering bersamaan dengan fistula.
Fistula sebagai akibat trauma obstetrik dapat timbul segera setelah
persalinan atau beberapa lama setelah persalinan, sedangkan fistula akibat
tindakan operasi ginekologi 5 - 14 hari pasca bedah.
Pada fistula yang kecil urine dapat merembes sedikit. Gejala paling
sering dari Fistula Vesiko Vagina adalah inkontinensia total involunter yaitu
adanya iritasi daerah vulva dan seringnya terjadi ISK. Trias gejala yang
timbul setelah tindakan pembedahan : sekret air kencing, nyeri perut dan
kenaikan suhu badan dapat dipastikan adanya Fistula Vesiko Vagina. 7,8

4.2.4 Penegakkan Diagnosis


Pada Fistula yang besar untuk membuat diagnosis tidaklah sulit oleh
karena dengan mudah dapat dilihat dan diraba, akan tetapi Fistula yang kecil
sangat sulit. Untuk itu diperlukan pemeriksaan tambahan antara lain :
1. Tes pewarnaan Urine (Test Metilen Biru)
Dilakukan jika dengan pemeriksaan Spekulum lokasi Fistel sukar
ditentukan. Beberapa kasa diletakkan dalam vagina, kemudian kandung
kemih diisi dengan metilen biru melalui kateter sebanyak 30-50 cc. Setelah
3 – 5 menit kasa dalam vagina dikeluarkan satu per satu dengan mudah
dapat terlihat adanya cairan metilen biru dan sekaligus dapat mengetahui
lokasi Fistula Vesiko Vagina.
2. Cara lain yang hampir sama yaitu ( Test Tampon Moir )

34
Disini digunakan untuk membedakan antara Fistula Utero Vagina yang
kecil dan Fistula Vesiko Vagina.
Caranya : 150 – 200 cc larutan metilen biru dimasukkan dalam kandung
kemih, sebelumnya sudah dimasukkan 3 tampon dalam vagina. Pasien
kemudian disuruh jalan-jalan selama 10-15 menit, kemudian tampon
dikeluarkan. Jika tampon bagian bawah basah dan berwarna biru maka
kebocoran dari urethra. Jika bagian tengah basah dan berwarna kebiruan
berarti dari Fistula Vesiko Vagina. Jika bagian atas yang basah tetapi tidak
berwarna biru berarti dari ureter.
3. Endoskopi ( Cystoscopy )
Dapat membedakan lokasi dan ukuran Fistel serta derajat reaksi radang
sekitar Fistel. Banyak Fistel yang terjadi sesudah tindakan histerektomi
dan lokasi biasanya dibelakang cela intra uterin dan berhubungan dengan
dinding anterior vagina.
4. Pemeriksaan Radiologis
IVP dilakukan untuk membedakan Fistula Vesiko Vagina atau Obstruksi
Ureter dengan retrograde Pyelogram paling bermakna untuk menentukan
adanya Fistula Vesiko Vagina. Retrograde Pyelogram dilakukan jika pada
IVP ditemukan keadaan yang abnormal atau lokasi Fistula sukar
ditentukan. 7,8

4.2.5 Penatalaksanaan
Suatu fistula yang diketahui 3 – 7 hari sesudah operasi dapat diperbaiki
segera secara transabdominal atau transvaginal. Tetapi fistula yang diketahui
sesudah 7 – 10 hari postoperasi akan diobservasi sampai proses radang dan
indurasi hilang.
Suatu fistula postoperasi yang kecil dalam keadaan yang tenang dapat
sembuh, dengan drainase buli-buli selama 2-3 minggu. Ketika didiagnosis
adanya fistula vesikovaginal postoperasi, stent ureter segera dimasukkan dan
dipasang selama 2 minggu. Karena oedema, pemasangan ini bisa gagal dan

35
diulangi minggu berikutnya. Penyembuhan spontan fistula ureterovaginal
dapat terjadi dimana kontinuitas lumen ureter dan infralesi ureter normal.
Fistula yang kecil, berukuran < 2 mm, dahulu dilakukan fulgurasi atau
kauterisasi kimia dengan drainase buli-buli. Cara ini memiliki angka
kegagalan tinggi dengan tambahan perlukaan serta kerusakan pada jaringan
sekitar. Penanganan modern fistula persisten dengan pembedahan meskipun
fistula tersebut berukuran sangat kecil.
Tidak ada penanganan medikal yang dapat mengkoreksi fistula
vesikovaginal dan fistula ureterovaginal dengan memuaskan. Meskipun
estrogen conjugated (oral atau transvaginal) dapat memperbaiki jaringan
vagina menjadi lebih lunak dan lembut untuk persiapan reparasi fistula. Hal
ini penting untuk wanita postmenopause dan wanita dengan vaginitis atropik.
Dapat juga diberikan estrogen vaginal cream pada pasien hipoestrogenik.
Estrogen vaginal cream diberikan selama 4 – 6 minggu, dosis 2 – 4 gr saat
tidur sekali per minggu.
Untuk mengurangi risiko cystitis, produksi mukus yang banyak, dan
terbentuknya batu buli-buli, maka urine diasamkan dengan diberikan Vitamin
C oral 3 x 500 mg per hari. Untuk higiene pribadi dan perawatan kulit, maka
rendam duduk dengan kalium permanganat. Untuk fistula yang kecil, dapat
dilakukan pemasangan katheter selama 4 – 6 minggu. Meskipun drainase
dengan katheter atau fulgurasi pada pinggir fistula jarang berhasil sebagai
pengobatan fistula.
Prinsip Perbaikan dengan Pembedahan:
1. Waktu. Dianjurkan menunggu selama 3-6 bulan sampai infeksi dan
udem hilang. Penutupan dini saat diagnosis ditegakkan merupakan
alternatif, bilamana jaringan sekitar kering dan bebas infeksi. Fistula
akibat radiasi penutupan dilakukan sesudah 12 bulan.
2. Posisi yang tepat sangat diperlukan, dengan pasien biasa pada posisi
litotomi dorsal sedikit Trendelenburg’s. Sebagian besar fistula nampak
pada posisi ini. Pada beberapa kasus dengan posisi knee-chest,
terutama untuk lesi vaginal anterior dengan tarikan pada bagian

36
belakang pubis. Asisten pada kedua sisi diperlukan, dan paparan yang
bagus didapat dengan menggunakan retraktor Sims, Breisky, atau
Wertheim .
3. Mobilisasi dan diseksi saluran fistula dan jaringan sekitar sangat
penting. Dianjurkan mengeksisi seluruh mukosa vagina untuk
menutup saluran fistula.
4. Penutupan dengan pembedahan dilakukan tanpa tekanan dan
sebaiknya diperhatikan kedua sisinya agar tidak terjadi tumpang
tindih. Jika kemudian tidak bisa dilakukan, interposisi jaringan flap
mungkin dapat dikerjakan. Penutupan buli-buli harus kuat, dan ini
bisa diuji dengan memasukkan larutan metilen biru atau susu steril ke
dalam buli-buli.
5. Drainase buli-buli postoperasi lebih baik dipasang katheter suprapubis
selama 10-14 hari, dan keuntungan pemasangan katheter suprapubis
dibanding katheter uretra terutama pada penurunan risiko infeksi
saluran kencing, pasien lebih nyaman, dan pengosongan dini
6. Materi dan instrumen
Penggunaan lampu penerang, instrumen dan materi yang memadai
sangat dianjurkan. Instrumen yang diperlukan gunting Kelly, Allis
forsep, pengait, retraktor Sims, alat penghisap ukuran kecil dan bisturi
dengan pegangan panjang. Benang yang dipakai ukuran 3-0 atau 4-0
yang diserap tubuh dengan jarum atraumatik. Gunakan jahitan
interupted karena lebih hemostatik, dan dijahit 2 lapis.
Macam-macam benang yang diserap (absorbable) :
Catgut : diabsorbsi lengkap dalam 2 – 3 minggu
Polyglactin 910 (Vicryl) : diabsorbsi lengkap dalam 60 – 90 hari
Polyglycolic acid (Dexon) : diabsorbsi lengkap dalam 90 – 120 hari
Polydioxanone (PDS II) : diabsorbsi lengkap dalam 180 hari. 7,8

37
4.3 Laparaskopi

4.3.1 Definisi Laparaskopi

Laparoskopi adalah sebuah prosedur pembedahan minimally invasive


dengan memasukkan gas CO2 ke dalam rongga peritoneum untuk membuat ruang
antara dinding depan perut dan organ viscera, sehingga memberikan akses
endoskopi ke dalam rongga peritoneum tersebut.

Keuntungan Prosedur Laparoskopi

Dibandingkan dengan bedah terbuka, laparoskopi lebih menguntungkan


karena insisi yang kecil dan nyeri pasca operasi yang lebih ringan. Fungsi paru
pasca operasi tidak terganggu dan sedikit kemungkinan terjadi atelektasis setelah
prosedur laparoskopi. Setelah operasi fungsi pencernaan pasien pulih lebih cepat,
masa rawat inap rumah sakit pendek, serta lebih cepat kembali beraktivitas.
Keuntungan ini bervariasi tergantung pasien dan tipe prosedur.

Kerugian Prosedur Laparoskopi

Komplikasi selama prosedur laparoskopi dapat terjadi secara langsung


maupun tidak langsung karena kebutuhan insuflasi CO2 untuk membuat ruang
operasi. CO2 masuk kedalam pembuluh darah secara cepat. Gas yang tidak larut
terakumulasi didalam jantung kanan menyebabkan hipotensi dan cardiac arrest.
Emboli CO2 yang masif bisa dideteksi dengan murmur precordial, transesofugeal
echocardiografi, dan end tidal CO2 monitoring (CO2 meningkat secara sementara
kemudian turun kembali). Pengobatan dilakukan dengan menghentikan insuflasi
CO2, hiperventilasi dengan 100% O2 dan resusitasi cairan, merubah posisi pasien
right side up dan memasang kateter vena central untuk aspirasi gas.

Jika gas yang ditujukan untuk membuat pneumoperitoneum keluar atau


prosedur laparoskopi meliputi insuflasi ekstra peritoneal (prosedur untuk
adrenalectomy atau perbaikan hernia) emfisema subkutan bisa terjadi, volume

38
tidal CO2 akhir (end tidal CO2) meningkat mencapai level tinggi dan terdapat
krepitus yang biasanya dapat sembuh tanpa intervensi. Hal serius lain adalah
pneumothorak, jika gas masuk ke dalam rongga thorax melalui luka atau insisi
yang dibuat sewaktu pembedahan atau dari jaringan cervikal subkutan. Intervensi
tidak selalu harus, karena pneumothorax biasanya pulih jika insuflasi dihentikan.

4.3.2 Efek Fiosologis Pada Laparaskopi

Dampak fisiologi laparoskopi berkaitan dengan kombinasi beberapa efek


meliputi insuflasi karbon dioksida (CO2) intra peritoneum yang menimbulkan
pneumoperitonium, perubahan posisi pasien, efek absorpsi sistemik CO2 dan juga
pengaruh refleks peningkatan tonus vagus yang dapat berkembang menjadi
aritmia. Efek fisiologi dari laparoskopi ini meliputi:

Efek Kardiovaskular 9,10


Prinsip terjadinya respon fisiologis ini adalah peningkatan resistensi
vaskular sistemik (SVR), tekanan pengisian miokardium, bersama – sama dengan
penurunan awal cardiac index (CI), dengan perubahan yang kecil dari frekuensi
denyut jantung (HR).
Karakteristik respons hemodinamik dijelaskan sebagai berikut : diawali
dengan terjadinya penurunan cardiac index setelah insuflasi gas CO2 intra
peritoneum dan selanjutnya diikuti dengan pemulihan. Joris dkk. menemukan
penurunan yang signifikan dari cardiac index (30 – 40%) setelah induksi anestesi
dan kebalikan posisi trendelenburg (head-up position), selanjutnya terjadinya
penurunan cardiac index sampai 50% setelah insuflasi intra peritoneum.
Kembalinya cardiac index secara bertahap setelah terjadinya penurunan SVR.
Fraksi ventrikel kiri menurun sesaat setelah insuflasi intraperitoneum dan kembali
ke nilai awal setelah 30 menit pneumoperitoneum.
Respon hemodinamik terhadap insuflasi intraperitoneum tergantung pada interaksi
beberapa faktor :
1. Faktor penderita

39
Faktor yang berasal dari penderita yang mempengaruhi hemodinamik adalah
ststus kardiorespirasi pasien yang ada dan kondisi intravaskular sebelum
dimulainya prosedur laparoskopi.
Pada pasien penyakit jantung yang menjalani laparoskopi, pneumoperitoneum
menyebabkan perubahan hemodinamik yang lebih besar karena meningkatnya
SVR sehingga meningkatkan afterload, akhirnya akan menurunkan cardiac
output yang lebih besar.
Pada pasien dengan penyakit paru berat terjadi gangguan ventilasi – difusi,
dengan adanya pneumoperitoneum CO2 akan menyebabkan penurunan cardiac
output. Pasien ini juga membutuhkan ventilasi semenit yang lebih besar dan
peak airway pressure yang lebih tinggi untuk mencapai normokarbia sehingga
akan menyebabkan penurunan cardiac output yang lebih besar.
Pada pasien dengan volume intravaskular yang kurang (hipovolemik) sebelum
pneumoperitoneum memiliki cardiac output yang sudah kecil dan SVR yang
tinggi serta tekanan arteri rata – rata (MAP) yang tinggi. Dengan
pneumoperitoneum akan terjadi peningkatan SVR dan penurunan cardiac
output yang lebih besar.
2. Tekanan intra abdomen (pneumoperitoneum). 10
Insuflasi ruang intra peritoneum dengan dengan gas CO2 menghasilkan
pneumoperitoneum, efek sistemik dari absorbsi CO2 dan peningkatan refleks
tonus vagal yang bisa berkembang menjadi aritmia.
Peningkatan tekanan intra abdomen berhubungan dengan penekanan pembuluh
darah vena yang awalnya menyebabkan peningkatan preload sesaat diikuti
secara perlahan dengan penurunan preload. Penekanan pembuluh darah arteri
meningkatkan afterload dan biasanya secara nyata mengakibatkan peningkatan
SVR. Cardiac Index biasanya menurun dan besarnya penurunan ini sebanding
dengan besarnya tekanan intraabdominal. Pada pasien sehat yang akan
menjalani laparoskopi kolesistektomi, Dexter dkk. dengan menggunakan
Doppler transesophagus menemukan bahwa cardiac output menurun maksimal
yaitu 28% saat tekanan insuflasi peritoneum 15 mmHg tetapi dapat dipelihara
pada tekanan insuflasi 7 mmHg. Sebagian besar peneliti mendapatkan

40
terjadinya penurunan cardiac output sebesar 10 – 30% selama insuflasi
peritoneum baik pada posisi head down atau head up. Ishizaki dkk.
merekomendasikan batas tekanan intraabdomen selama insuflasi oleh
CO2 dengan efek hemodinamik yang minimal adalah ≤ 12 mmHg.
Pada tekanan insuflasi sedang biasanya frekuensi denyut jantung, tekanan vena
sentral, dan cardiac output tidak berubah atau hanya meningkat ringan. Hal ini
diakibatkan oleh peningkatan pengisian jantung, karena darah cenderung
dipaksa keluar dari abdomen masuk kedalam thoraks.
Tekanan insuflasi yang lebih tinggi (>25 cmH2O/18 mmHg) cenderung
membuat kolaps vena besar abdomen (khususnya vena cava inferior) yang
akan menurunkan aliran darah balik vena dan menyebabkan penurunan cepat
preload dan cardiac output pada beberapa pasien.
Penurunan venous return dan cardiac output dapat dikurangi dengan cara
meningkatkan volume sirkulasi sebelum dilakukan pneumoperitoneum.
Peningkatan tekanan pengisian dapat dicapai dengan pemberian cairan atau
memposisikan pasien sedikit head down sebelum insuflasi peritoneum, dengan
mencegah pengumpulan darah dengan pneumatic compression device, atau
dengan pembalutan kaki dengan elastic bandages. Fraksi ejeksi ventrikel kiri
tidak mengalami penurunan yang signifikan ketika tekanan intraabdomen
meningkat sampai 15 mmHg. Peningkatan SVR bisa dikoreksi dengan
pemakaian obat anestesi yang menyebabkan vasodilatasi seperti isofluran atau
obat vasodilatasi langsung seperti nitrogliserin atau nikardipin.
Penggunaan agonis α2-adrenergik seperti klonidin dan deksmedetomidin dan
obat penghambat β mengurangi perubahan hemodinamik dan kebutuhan obat
anestesi secara signifikan. Pengunaan dosis tinggi remifentanil hampir secara
komplit bisa mencegah perubahan hemodinamik.
3. Efek dari posisi pasien. 10,11
Insuflasi intra peritoneum dengan gas CO2 pada laparoskopi kolesistektomi
dilakukan dengan pasien pada posisi horizontal atau 15 - 20º trendelenburg.
Posisi pasien kemudian berubah keposisi kebalikan posisi trendelenburg (head
up position) dengan ditekan kelateral kiri untuk memfasilitasi retraksi fundus

41
kandung empedu dan meminimalkan disfungsi diafragma. Perubahan posisi
pada pasien dengan pneumoperitonium menyebabkan perubahan hemodinamik
yang signifikan.
Pada posisi anti trendelenburg (head up position) terjadi penurunan tekanan
akhir diastolic ventrikel kiri, hal ini menunjukkan adanya penurunan aliran
darah balik vena (venous return) atau preload, cardiac output, dan tekanan
arteri rata – rata. Fraksi ejeksi ventrikel kiri tetap terpelihara pada pasien sehat.
Pola perubahan cardiac output dan tekanan arteri pada pasien dengan penyakit
jantung ringan sampai berat mirip dengan pasien sehat. Namun secara
kuantitatif perubahan ini tampak lebih jelas. Peningkatan tekanan
intraabdomen dan posisi head-up mengakibatkan penurunan aliran darah vena
femoralis, stasis pada vena – vena tungkai bawah, diperburuk dengan posisi
litotomi dengan fleksi pada lutut merupakan predisposisi terjadinya
tromboemboli.
Walaupun posisi trendelenburg meningkatkan tekanan vena sentral (preload),
namun MAP dan cardiac output tidak berubah atau menurun. Hal ini
merupakan respon paradoksikal yang dijelaskan dengan mediasi refleks karotis
dan baroreseptor aortic yang menyebabkan vasodilatasi sistemik dan
bradikardia. Perubahan volume vena sentral dan perubahan tekanan yang lebih
besar pada pasien dengan penyakit arteri koroner (CAD), khususnya yang
disertai dengan fungsi ventrikel yang jelek menyebabkan perburukan secara
potensial dan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Posisi
trendelenburg ini juga mempengaruhi sirkulasi serebral, khususnya pada pasien
dengan komplians intrakranial yang rendah dan mengakibatkan peningkatan
tekanan intraokular yang bisa menyebabkan perburukan pada pasien dengan
glaucoma akut.
4. Efek Absorbsi Sistemik gas CO2. 9,10,11
Hiperkapni dan asidosis yang terjadi selama laparoskopi karena absorbs CO2.
Hiperkapni menyebabkan penurunan kontraktilitas miokardium dan
menurunkan nilai ambang aritmia. Efek antisipasi langsung vaskular terhadap
hiperkapni adalah terjadinya dilatasi arterioler dan penurunan SVR, yang

42
dimodulasi oleh respon mekanik dan neuro humoral dengan pengeluaran
katekolamin.
Hiperkarbia akan menstimulasi system syaraf simpatis yang akan
menyebabkan peningkatan tekanan darah, frekuensi denyut jantung, dan resiko
aritmia. Usaha untuk mengkompensasi dengan meningkatkan volume tidal atau
frekuensi nafas akan meningkatkan tekanan intrathoraks, selanjutnya
menurunkan aliran darah balik vena dan peningkatan tekanan rata – rata arteri
pulmonalis. Efek ini merupakan kendala pada pasien dengan penyakit restriktif
paru,gangguan fungsi jantung dan kurangnya volume intravaskular.
5. Respon neurohumoral 10,11
Mediator – mediator potensial yang dapat meningkatkan SVR selama
pneumoperitoneum adalah vassopresin dan katekolamin. Hiperkapnea dan
pneumoperitoneum dapat menyebabkan stimulasi system syaraf simpatis dan
menstimulasi pengeluaran katekolamin. Beberapa penelitian melaporkan
adanya aktivasi system renin angiotensin dengan produksi vasopressin. Joris
dkk. menemukan menemukan peningkatan vassopresin plasma segera setelah
insuflasi peritoneum. Peningkatan 4 kali lipat pada konsentrasi rennin dan
aldosteron berhubungan dengan peningkatan MAP.
Katekolamin, system renin angiotensin dan khususnya vasopressin semua
dikeluarkan selama pneumoperitoneum dan mempunyai andil dalam
meningkatkan afterload. Stimulasi mekanik reseptor peritoneum juga
mengakibatkan peningkatan pengeluaran vasopressin.

Efek Respirasi 11
1. Efek Mekanik
Insuflasi intraperitoneum oleh CO2 untuk membuat pneumoperitoneum pada
laparoskopi, mengakibatkan perubahan pada ventilasi dan respirasi yang dapat
menyebabkan 4 komplikasi respirasi : empisema subkutis CO2,
pneumothoraks, intubasi endobronkial, dan emboli gas.
Perubahan fungsi paru selama insuflasi abdomen meliputi penurunan volume
paru, penurunan komplian paru, dan peningkatan tekanan puncak jalan nafas

43
(peak airway pressure). Komplian paru menurun 30 – 50% pada pasien sehat,
obesitas, dan ASA III – IV. Penurunan kapasitas residu fungsional (FRC) dan
koplian paru yang berhubungan dengan posisi terlentang dan induksi anestesi
yang selanjutnya diperberat oleh insuflasi CO2 dan perpindahan ke sefalad
diafragma selama posisi trendelenberg dan perubahan distribusi ventilasi dan
perfusi paru yang disebabkan oleh peningkatan tekanan jalan nafas (airway
pressure).
Hipoksemia oleh karena penurunan FRC pada pasien yang sehat sangat jarang
selama laparoskopi. Penurunan oksigenasi arteri (hipoksemia) disebabkan
penurunan FRC, atelektasis, gangguan ventilasi perfusi, dan pintasan
intrapulmoner pada pasien obesitas dengan riwayat merokok yang lama atau
pasien dengan penyakit paru.
Posisi trendelenburg menyebabkan perpindahan organ visceral dan diafragma.
FRC, volume total paru, dan komplians paru akan menurun, bahkan bisa
berkembang menjadi atelektasis. Perubahan ini biasanya dapat ditoleransi
dengan baik oleh pasien sehat, namun pada pasien obesitas, pasien tua, dan
pasien dengan penyakit paru meningkatkan resiko hipoksemia. Posisi
trendelenburg cenderung menyebabkan pergeseran trakea ke atas, sehingga
pipa endotrakea yang terfiksasi dimulut bisa bermigrasi kedalam bronkus
utama kanan. Pergeseran trakeobronkial ini diperbesar oleh insuflasi abdomen.
2. Efek Pertukaran Gas – Absorbsi CO2. 10,11
CO2 adalah pilihan gas untuk insuflasi pada bedah laparoskopi. CO2 tidak
mudah terbakarseperti N2O, sehingga dapat digunakan secara aman untuk
diatermi. Dibandingkan dengan helium, kelarutan CO2 darah lebih tinggi dan
ekskresinya lewat paru menurunkan resiko efek samping emboli gas,CO2juga
mudah di eliminasi, dan dosis letal lima kali dari udara. Insuflasi CO2 kedalam
ruang peritonem meningkatkan CO2 arteri (PaCO2), yang akan dikompensasi
dengan peningkatan ventilasi semenit.
Absorbsi gas dari ruang peritoneum tergantung pada kemampuan difusinya,
luas daerah absorbsinya, dan vaskularisasi atau perfusi dinding insuflasi.
Karena difusi CO2 tinggi, maka terjadi absorbsi CO2 dalam jumlah besar

44
kedalam darah yang ditandai dengan peningkatan PaCO2. Absorbsi gas
CO2 lebih besar pada insuflasi ekstraperitoneum (pelvis) daripada innsuflasi
intraperitoneum. Dampak dari peningkatan PaCO2 tidak dapat diprediksi,
khususnya pada pasien dengan penyakit paru berat. Wittgen dkk. meneliti
terjadinya penurunan pH darah dan peningkatan PaCO2 pada pasien ASA III
selama pneumoperitoneum dan pasien ini membutuhkan ventilasi semenit yang
lebih tinggi dan airway pressure yang juga lebih tinggi. Nilai ETCO2 tidak
berkorelasi dengan konsentrasi CO2 arteri pada pasien ini. Gradient
PETCO2 masih stabil selama laparoskopi pasien ASA III. ETCO2 merupakan
nilai yang tidak dapat dipercaya untuk mengetahui PaCO2 selama insuflasi
CO2 pada pasien dengan penyakit paru berat.
Kelarutan CO2 yang tinggi meningkatkan absorbsi sistemik oleh pembuluh
darah peritoneum, ditambah dengan volume tidal yang lebih rendah karena
rendahnya komplian paru menyebabkan peningkatan kadar CO2 arteri dan
penurunan pH.
Peningkatan PaCO2 yang progresif mencapai kondisi konstan 15 – 30 menit
setelah mulainya insuflasi CO2 pada pasien dengan kontrol ventilasi mekanik
selama laparoskopi ginekologi dengan posisi trendelenburg atau laparoskopi
kolesistektomi pada posisi head up. Peningkatan PaCO2 tergantung pada
tekanan intra abdomen. Selama laparoskopi dengan anestesi lokal, PaCO2 tetap
tidak berubah namun ventilasi semenit meningkat. Pada anestesi umum dengan
nafas spontan kompensasi hiperventilasi tidak mencukupi untuk menghindari
hiperkapnea karena anestesi menginduksi depresi ventilasi dan peningkatan
kerja pernafasan yang disebabkan oleh penurunan komplian torakopulmonal.
Oleh karena hal ini terjadi dalam waktu 15 – 30 menit untuk mencapai
PaCO2 konstan, teknik anestesi dengan menggunakan nafas spontan harus
dibatasi untuk prosedur operasi yang pendek pada tekanan intraabdomen yang
rendah.
Penyebab peningkatan PaCO2 saat pneumoperitoneum adalah multifaktorial
yaitu :

45
1. Absorbsi CO2 dari ruang peritoneum.
2. Gangguan ventilasi dan perfusi oleh faktor – faktor mekanik seperti
distensi abdomen, posisi pasien, dan kontrol ventilasi mekanik, penurunan
cardiac output.
3. Depresi ventilasi yang disebabkan oleh obat – obat premedikasi
dan anestesi yang terjadi pada pasien dengan nafas spontan.
4. Peningkatan metabolisme (anestesi yang kurang dalam).
5. Kejadian yang tidak diinginkan, seperti emfisema CO2 subkutis
atau dalam ruang tubuh, kapnothorak, emboli CO2, intubasi bronkus.
Mekanisme utama peningkatan PaCO2 pada pasien sehat selama
pneumoperitoneum CO2lebih disebabkan oleh absorbsi CO2 daripada efek
ventilasi mekanik akibat peningkatan tekanan intraabdomen. Tetapi pada
pasien dengan masalah kardiorespirasi, perubahan ventilasi juga bertanggung
jawab meningkatkan PaCO2. PaCO2 harus dipertahankan dalam rentang
fisiologis dengan menyesuaikan kontrol ventilasi mekanik, kecuali pada
kondisi khusus seperti emfisema subkutis CO2, koreksi peningkatan
PaCO2 bisa dengan mudah dicapai dengan peningkatan 10 – 25% ventilasi
alveolar.

Efek Pada Sistem Lain. 9,10,11


Sistem Gastrointestinal
Pasien-pasien yang menjalani laparoskopi biasanya dianggap beresiko tinggi
untuk terjadinya sindrom aspirasi asam lambung karena regurgitasi gaster akibat
peningkatan tekanan intragastrik karena peningkatan IAP. Namun, selama
pneumoperitoneum, tonus sfinkter esophagus inferior jauh lebih kuat daripada
tekanan intragastrik dan peningkatan tekanan ini membatasi insidensi regurgitasi.

Sirkulasi Mesenterik
Pembuluh darah visceral adalah yang pertama-tama mengalami kompresi pada
peningkatan IAP, sehingga mengakibatkan disfungsi organ karena kolapsnya

46
pembuluh darah kapiler dan vena-vena kecil. Hiperkapnia akibat simpatotonia,
kompresi mekanis organ-organ abdominal, posisi reverse Trendelenberg, dan
pelepasan vasopressin adalah beberapa faktor yang turut mengakibatkan
menurunnya sirkulasi mesenterik.

Sirkulasi Hepatoportal
Peningkatan IAP (>20 mmHg) mengakibatkan peningkatan tahanan dan aliran
balik pada pembuluh darah abdominal. Pelepasan hormon (katekolamin,
angiotensin, dan vasopressin) selama pneumoperitoneum akan semakin
meningkatkan tahanan vaskuler mesenteric sehingga mengakibatkan penurunan
yang berarti pada volume darah hepatic dan splanknik. IAP > 20 mmHg
menyebabkan penurunan 60% pada aliran darah vena porta sehingga
mengakibatkan disfungsi hepar, yang akan menetap lebih lama pada periode
postoperative. Terdapat penurunan suplai darah secara menyeluruh ke semua
organ, kecuali glandula adrenal.

Fungsi Ginjal
Peningkatan IAP mempengaruhi hemodinamik ginjal melalui perubahan pada
curah jantung dan efek langsung aliran darah ginjal. Obstruksi mekanis aliran
darah vena renalis yang disertai peningkatan aktivitas simpatis, peningkatan ADH
plasma dan peningkatan aktivitas rennin-angiotensin plasma akan meningkatkan
resistensi vaskuler ginjal sehingga mengakibatkan penurunan tekanan filtrasi dan
produksi urine.

Tekanan Intrakranial dan Tekanan Intraokuler


Peningkatan IAP akan menekan vena cava inferior dan meningkatkan tekanan
spinal lumbal dengan menurunkan drainase dari pleksus lumbalis, sehingga
meningkatkan tekanan intracranial dan intraokuler. Hiperkapnia menyebabkan
intrac vasodilatasi pada intrac saraf pusat dan hal ini juga turut meningkatkan
tekanan intracranial.

47
Manajemen Intraoperatif. 10,11

Pasien biasanya menjalani prosedur laparoskopi dengan anestesi umum


dengan menggunakan monitor standar. Pengukuran tekanan darah noninvasive
dan kapnografi penting untuk mengikuti efek hemodinamik dan
pneumoperitoneum pada respirasi dan perubahan posisi. Dalam situasi tertentu,
monitor pengukuran tekanan arteri sebaiknya dilakukan. Indikasi tindakan
monitor tekanan arteri secara invasif antara lain: penyakit paru berat, end tidal
CO2. arteri yang sangat tinggi, dan fungsi ventrikel yang menurun. Sama halnya
dengan monitor pengukuran tekanan vena sentral, pemasangan kateter arteri paru
atau transesofageal echocardiografi bisa berguna untuk pasien dengan gangguan
fungsi jantung atau hipertensi paru.

Akses untuk memasukkan obat secara intravena harus memadai pada


prosedur laparoskopi, seperti pada keadaan kehilangan darah. Akses untuk
memasukkan obat secara intravena yang adekuat adalah kunci dari resusitasi
cairan yang tepat untuk keadaan pendarahan yang tidak terkontrol atau emboli
gas. Akses ke vena sentral harus dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan
vena perifer.

Untuk mencegah aspirasi paru dan menjaga jalan nafas, perlu pemasangan
pipa endotrakeal. Pemasangan sebuah pipa orogastrik atau nasogastrik setelah
jalan nafas dikuasai dapat mengurangi tekanan udara lambung, menurunkan
resiko kerusakan gaster, dan memperbaiki visualisasi selama operasi. Pada saat
tekanan intraabdomen meningkat karena pneumoperitoneum, pipa endotracheal
dapat digunakan untuk memberikan tekanan ventilasi yang positif untuk
mencegah hipoksemia dan untuk mengekskresikan kelebihan CO2 yang
diabsorbsi. Pneumoperitoneum dapat menyebabkan perubahan posisi pipa
endotrakeal pada pasien dengan trakea yang pendek, dimana ketika carina
bergerak ke atas pipa endotrakeal bisa masuk ke salah satu bronkus, sehingga
memasang pipa endotrakeal sebaiknya pada pertengahan trakea dan disarankan
untuk lebih sering mengecek posisi pipa endotrakeal pada pasien.

48
Obat anestesi yang digunakan biasanya berupa volatile agent, opioid
intravena, dan obat pelumpuh otot. Ada studi yang mengatakan bahwa N2O
sebaiknya dihindari selama prosedur laparoskopi karena ini akan meningkatkan
pelebaran usus dan resiko mual pasca operasi. Penggunaan klinis N2O ini masih
menjadi perdebatkan.

Selama prosedur laparoskopi, pasien biasanya diposisikan Trendelenburg


atau Reverse Trendelenburg. Trauma saraf pada pasien sebaiknya dihindari
dengan mengamankan dan membantali seluruh ekstremitas. Tekanan pernafasan
bisa meningkat dengan perubahan posisi dan ventilasi, biasanya butuh
penyesuaian.

Dua tujuan utama selama pemeliharaan pasien selama bedah laparoskopi


dengan anestesi umum adalah menjaga agar tetap normokapnia dan mencegah
ketidakseimbangan hemodinamik. Hiperkapnia biasanya berawal beberapa menit
setelah insuflasi CO2.. Untuk menormalkan kembali CO2 ini, ventilasi
ditingkatkan biasanya dengan meningkatkan RR (respiratory rate) dengan volume
tidal yang tetap. Jika hiperkapnia memburuk, misalnya pada kasus sulit prosedur
bedah diubah menjadi prosedur bedah terbuka.

Perubahan hemodinamik harus diantisipasi dan dimanajemen selama


prosedur laparoskopi. Jika tekanan darah meningkat maka pemberian kadar obat
anestesi inhalasi dapat ditingkatkan dan dapat ditambahkan dengan pemberian
obat seperti nitropusside (nitropusside menyebabkan reflek tackikardi, berpotensi
untuk menimbulkan keracunan sianida), esmolol, atau calcium channel blocker.
Pengobatan dengan alpha agonist seperti clonidine atau dexmedetomidine adalah
strategy lain (alpha agonist dapat menyebabkan penurunan MAC untuk anestesi
inhalasi, berpotensi menjadi bradikardi). Walaupun pasien yang sehat dapat
mentoleransi perubahan hemodinamik, namun pasien dengan fungsi jantung yang
buruk bisa dipengaruhi menjadi lebih buruk. Hal ini dapat dicegah dengan
penggunaan monitor secara invasif (arterial line, central line, transesofageal
ochocardiografi) selama prosedur berlangsung.

49
Manajemen Pasca oprasi 11

Pada ruang pemulihan pasca anestesi, hiperkapnia bisa tetap terjadi selama
45 menit setelah prosedur selesai. Insiden mual muntah pasca operasi laparoskopi
dilaporkan cukup tinggi yaitu mencapai 42%. Mual muntah pasca operasi setelah
prosedur laparoskopi dipengaruhi oleh tipe dari prosedur, sisa dari
pneumoperitoneum, dan karakteristik pasien. Beberapa obat baik itu tunggal
maupun dalam kombinasi untuk mencegah dan mengobati komplikasi ini meliputi
metoclopramide, ondansentron, dan dexamethasone. Untuk menurunkan insiden
mual dan muntah pasca operasi dapat dilakukan dengan meminimalkan dosis
opioid dan mempertimbangkan pemberian propofol untuk anestesi. Karena
banyak prosedur laparoskopi direncanakan pada pasien rawat jalan, evaluasi pada
saat pasien akan pulang juga diperlukan.

Penggunaan analgetik setelah prosedur laparoskopi umumnya lebih sedikit


dibandingkan dengan sesudah bedah terbuka. Modalitas penggunaan analgesik
harus menghilangkan nyeri yang bisa terjadi karena insisi, visceral, atau akibat gas
residu dan pneumoperitoneum. Manajemen nyeri diawali sebelum atau selama
prosedure pembedahan. Pemberian opioid intravena (fentanyl, morfine) dalam
kombinasi dengan NSAID intravena membantu agar pasien nyaman pada akhir
dari prosedur. Infiltrasi dari anestesi lokal, seperti bupivacaine pada port sites
kulit dan peritoneum memblock nyeri somatik dan visceral.

50
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien Ny.M perempuan berusia 50 tahun datang dengan keluhan BAK


yang keluar sedikit sedikit namun sering tanpa disertai rasa ingin miksi. Keluhan
tanpa adanya nyeri. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 5 bulan SMRS setelah
sebelumnya pasien melakukan oprasi Histerektomi di RS Bangko. Setelah oprasi
tersebut keluhan seperti ini muncul dan BAK keluar sedikit demi sedikit tanpa ada
rasa ingin BAK. Sebelumnya pasien sudah berobat dan telah menjalani oprasi di
RS M Djamil padang pada bulan September 2018, namun keluhan tidak
berkurang. Keluhan mual (-), muntah (-), demam(-), nafsu makan menurun (-),
BB menurun (-) dan BAB tidak ada keluhan.
Berdasarkan teori, gejala klinis yang terdapat pada pasien sudah sesuai
dimana pada teori didapatkan inkontinen urine dan tidak ada rasa nyeri.
Berdasarkan etiologi juga sesuai dengan teori dimana pada pasien ini fistula
vesiko vaginalis didapatkan merupakan akibat oprasi histerektomi yang dilakukan
pasien pada bulan september 2018.
Pada pasien ini dilakukan tindakan laparoskopi operatif sebagai tindakan
diagnostik sekaligus terapeutik. Berdasarkan teori, laparoskopi dapat memberikan
gambaran panoramik terhadap anatomi reproduktif panggul, pembesaran dan
permukaan uterus, ovarium, tuba, dan peritoneum. Oleh karenanya, laparoskopi
dapat mengidentifikasi lokasi fistula vesiko vaginalis pada pasien dan sebagai
tindakan terapeutik untuk menutup fistula tersebut.
Pada saat kunjungan pra anestesi (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang), tidak didapatkan keluhan atau riwayat sakit lain selain
sakit yang diderita saat ini. Keadaan umum pasien baik, tidak ada keterbatasan
aktivitas fisik. Dari pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak didapatkan
konjungtiva anemis dan Hb pasien 12,2 gr/dL sehingga status fisik pada pasien
ini adalah ASA I. Hal ini sesuai teori bahwa ASA I adalah dimana pasien sehat
organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.4

51
Sebagai obat premedikasi pada pasien ini yaitu: Dexametason 10 mg;
Ondansetron 4 mg; Ranitidin 50 mg, dan Fentanyl 100 mg. Pada pasien ini
diberikan obat premedikasi sekitar 15 menit sebelum dilakukan operasi.
Berdasarkan teori, tindakan premedikasi yaitu pemberian obat 1-2 jam sebelum
induksi bertujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia
diantaranya untuk meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi
anestesia, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah
obat anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah, menciptakan amnesia,
mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks yang membahayakan.4
Tindakan anestesia pada kasus ini adalah dengan menggunakan general
anestesi menggunakan teknik anestesia secara induksi intravena dan rumatan
inhalasi. Induksi pada pasien ini dengan injeksi Propofol 100 mg dan Atrakurium
30 mg, serta pemasangan ETT no 7.0 dengan dosis pemeliharaan menggunakan
anestesi inhalasi: sevoflurans + N2O: O2.
Berdasarkan teori, induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya
anestesi. Obat-obatan yang sering digunakan untuk induksi antar lain tiopental,
propofol dan ketamin. Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat, yang
didistribusikan dan dieliminasikan dengan cepat. Propofol diberikan dengan dosis
bolus untuk induksi 2-2,5mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12
mg/Kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/Kg. Pada pasien ini
diberikan propofol 100 mg, jumlah dosis tersebut belum mencukupi dosis
propofol pada pasien ini seharusna berada pada rentang 102 mg – 127,5 mg. Efek
samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernapasan, apneu,
bronkospasme, dan laringospasme. Pada susunan saraf pusat adanya sakit kepala,
pusing, euforia, kebingungan, gerakan klonik-mioklonik, epistotonus, mual,
muntah. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri. 4
Pada pasien ini diberikan muscle relaxan Atrakurium 30 mg IV, yang
Merupakan obat pelumpuh otot golongan non-depolarisasi turunan aminosteroid,
dengan efek utamanya pada post-junctional dan selektifitas yang tinggi pada
reseptor sambungan saraf-otot. Paralisis otot dihasilkan oleh karena terjadinya

52
antagonis kompetitif pada reseptor kolinergik nikotinik otot rangka. Atrakurium
tidak menghasilkan blok pada ganglia otonom, mempunyai onset kerja cepat,
masa kerja sedang, pemulihan cepat dan kumulasi minimal, juga mempunyai
tendensi yang rendah untuk melepaskan histamin. Pada pasien ini dosis
atracurium yang diberikan sudah tepat sebanyak 30 mg, dngan dosis intubasi 0,5
mg/KgBB iv, jadi dosis yang di butuhkan sebanyak 25,5 mg. 4
Pada pasien ini diberikan maintenance O2 + N2O + sevoflurans. Oksigen
diberikan untuk mencukupi oksigen jaringan. Pemberian anestesi dengan N2O
harus disertai O2 minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik lemah tetapi
analgetiknya kuat. Sevoflurane merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih
anestesi lebih cepat dibandingkan isoflurane. Efek terhadap kardiovaskular cukup
stabil, jarang menyebabkan aritmia. Setelah pemberian dihentikan, sevoflurane
cepat dikeluarkan oleh tubuh.4
Kebutuhan total cairan pada pasien ini, yaitu 3290 cc selama operasi,
terdiri dari jumlah cairan pengganti puasa 768 cc, maintenance 102 cc, stress
operasi 282 cc. pada jam I dibutuhkan 842 cc, jam II dan III 612 cc, dan untuk
jam ke IV,V,VI dibutuhkan cairan 408 cc tiap jamnya. Cairan yang telah masuk
RL sebesar 1500 cc. Kebutuhan cairan pada pasien ini belum terpenuhi, karena
selama operasi hanya diberikan 1500 cc atau 3 kolf. Seharusnya diberikan 3290
cc .
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Pada saat
di RR, dilakukan monitoring seperti di ruang operasi, yaitu meliputi tekanan
darah, saturasi oksigen, EKG, denyut nadi hingga kondisi stabil. Bila pasien
gelisah harus diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (TD turun,
nadi cepat, misalnya karena hipovolemik). Oksigen selalu diberikan sebelum
pasien sadar penuh. Pasien hendaknya jangan dikirim ke ruangan sebelum sadar,
tenang, reflek jalan nafas sudah aktif, tekanan darah, nadi dalam batas normal.
Pasien dapat keluar dari RR apabila sudah mencapai skor Aldrete lebih dari 8.
Sedangkan pada pasien ini, didapatkan skornya 10 sehingga dapat keluar dari
ruang RR. Pasien pindah dan dibawa ke kelas III kebidanan jam 15.40 WIB.

53
BAB VI
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anastesi memegang peranan penting pada setiap operasi


yang melibatkan anastesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita
mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul
sehingga dapat mengantisipasinya.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anastesi umum pada
operasi laparaskopi pada pasien wanita 50 tahun, status fisik ASA 1 dengan
diagnosis kista fistula vesico vaginalis.
Pasien bernama Ny. M usia 50 tahun dengan diagnosa Fistula vesico
vaginalis . Pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang saat pra anestesi
didapatkan pasien termasuk ASA I dengan menggunaan teknik general anastesi
dengan ET no. 7,0, respirasi terkontrol.
Untuk mencapai hasil maksimal dari anastesi seharusnya permasalahan
yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya
komplikasi anastesi dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam kasus ini selama
operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anastesi
maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi
hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi dan
penanganan anastesi berlangsung dengan baik.

54
DAFTAR PUSTAKA

1. Crowder, M. S. et al. 2014. Mechanism of Anesthesia and Consciousness.


Dalam Clinical Anesthesia 7th Edition, Paul G Barash et al (editor). USA :
Lipincott Williams and Wilkins.
2. Garden, O. James et al. 2012. Principles and Practice of Surgery: With
Student Consult. USA: Elsevier Health Sciences. Hlm. 75.
3. Jenkins, K dan Baker AB. 2003. Consent and Aneaesthetic Risk. Original
Article. Anaesthesia (10). Hlm. 962-984.
4. Latief, S.A., Suryadi, K.A. & Dachlan, M.R. Eds. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. 2nd ed. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
Jakarta; 2009.
5. Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange
Medical Book. 2006.
6. Santoso BI. 2002. Fistula Urogenital, Urogenikologi I, Uroginikologi
Rekonstruksi Obstet dan ginekol FK-UI : Jakarta
7. Junizaf. 2002. Fistula Vesiko Vagina, Urogenikologi I, Uroginikologi
Rekontruksi obstet dan genekol. FK-UI : Jakarta
8. Josoprawiro M.J. 2002. Penanganan Fistula Urogenital dengan pendekatan
transvagina. urogeniklogi I. Rekonstruksi obstet dan genikol. FK-UI: Jakarta
9. Adnyana IGN, Pryambodo. Anestesia pada Prosedur Laparoskopi. Majalah
Anestesi dan Critical Care 2008; 26; 2; 225 – 39.
10. Cunningham A.J., Nolan C. Anesthesia for Minimally Invasif
Procedures. Clinical Anesthesia, 5th Edition 2006;38;2204-28

11. Morgan GE, et al. Laparoscopic Surgery. Lange Clinical Anesthesia third
Edition 2002;23;522 – 24

55

Anda mungkin juga menyukai