Anda di halaman 1dari 8

Pendidikan dan pengajaran merupakan dua istilah yang sangat popular digunakan di lembaga-

lembaga pendidikan, terutama di lembaga pendidikan tinggi yang mempersiapkan tenaga guru
untuk mengajar pada jenjang sekolah dasar dan menengah, atau menjadi guru program
pendidikan pra-sekolah, pendidikan luar biasa, dan berbagai program pendidikan non-formal
serta informal. Kedua istilah ini digunakan untuk sebuah konteks pekerjaan yang sama, dan
secara pragmatis difahami sama, seperti seorang guru akan tetap dipanggil guru walaupun
sedang belanja di swalayan, padahal dia tidak sedang melaksanakan proses pembelajaran di
dalam kelas. Oleh sebab itu, secara konsepsional, pendidikan itu berlangsung di semua waktu,
semua konteks pekerjaan dan semua tempat, serta berlangsung sepanjang kehidupan. Seorang
guru, tidak bisa membatasi waktu keguruannya dalam rentang jam 07.30 pagi sampai jam 16.00
sore sepanjang Senin hingga Jum’at. Waktu-waktu kegiatan pada jam 17.00 sampai jam
21.00 setiap hari, dan di semua waktu di hari Sabtu dan Minggu, adalah juga waktu-waktu bagi
guru untuk tetap menjadi guru yang akan diteladani oleh para siswa mereka.
Pendidikan merupakan proses holistik. Ia bukan hanya proses interaksi menyampaikan materi
pelajaran, memberikan penjelasan materi yang sukar dipahami, atau pun memberikan jawaban
atas berbagai pertanyaan siswa. Lebih dari itu, pendidikan juga mencakup bimbingan, arahan
dan petunjuk yang diberikan guru bagi para siswa sehingga mereka bisa bertindak dan
berperilaku dalam kehidupan di luar kelas sesuai dengan norma-norma kebaikan yang dipelajari
di dalam kelas. Dalam konteks yang lebih luas, guru tetap guru walaupun sekolah sudah usai di
sore hari, dan tetap dituntut oleh siswa serta orang tua siswa dan masyarakat luas, agar bisa
memberikan bimbingan, arahan serta petunjuk bagi mereka melalui tindakan dan perilaku yang
baik dan benar dalam jam-jam sosial tersebut, baik melalui ucapan maupun perbuatan. Guru
adalah pendidik, yang tidak hanya bertugas menyampaikan bahan-bahan ajar di dalam kelas,
tapi membentuk sikap dan perilaku siswa agar sesuai dengan ilmu pengetahuan yang mereka
pelajari. Tindakan guru, di luar kelas dan di luar sekolah, akan berpengaruh positif atau negatif
terhadap proses pembentukan sikap dan perilaku siswa, hanya dengan menyaksikan
perbuatannya itu, atau hanya dengan mendengar informasinya saja. Itulah beratnya atau
enaknya menjadi guru sebagai pendidik yang harus tetap konsisten dalam kebaikan di
sepanjang waktu, dalam semua konteks kehidupan, di semua tempat dan sepanjang hayat.
Kendati secara pragmatis, istilah guru dipakai dalam semua konteks kehidupan mereka oleh
para siswa dan masyarakat, tapi secara akademis, kedua istilah tersebut diberi penjelasan
berbeda, walaupun istilah pendidik hampir-hampir tidak pernah digunakan dalam percakapan
harian.
Â
Pengertian
Pendidikan dan pembelajaran adalah dua istilah yang memiliki konteks berbeda dalam lingkup
pekerjaan yang sama. Perbedaan konotasi kedua istilah ini telah turut dijelaskan oleh banyak
ilmuwan lain di dunia. Dalam bahasa Inggris, misalnya, dibedakan makna
konotatif education and teaching. Begitu juga dalam bahasa Arab, para ahli pendidikan
membedakan antara al-tarbiyah wa al-ta’lim. Mahatma Ghandi, seorang tokoh pergerakan
India, memberikan perspektif, bahwa pendidikan tidak berakhir dengan kemampuan membaca,
menulis dan berhitung. Baginya, kemampuan membaca, menulis dan berhitung, bukan awal dari
sebuah pendidikan. Lebih dari itu, kata Ghandi, pendidikan merupakan proses pengembangan
dan pembinaan rasa percaya diri serta membina dan mengembangkan kemampuan untuk
menghidupi diri sendiri, mandiri dan kemampuan melepaskan diri dari ketergantungan ekonomi
pada orang lain. Untuk itu, pendidikan harus memberikan penekanan pada pembentukan
karakter, dan semua aspek perkembangan fisik, mental, sosial, moral, rasa keindahan, dan juga
agama. Dia berpandangan, bahwa pendidikan harus mampu membina anak untuk menjadi
anggota masyarakat yang ideal.[1] Oleh sebab itu, sekolah, menurutnya harus sudah sampai
pada tahap mengembangkan cara berpikir dan bertindak. Sekolah bukan sekedar untuk
mendengar, tapi menurutnya, sekolah harus mampu menghubungkan antara materi yang
dipelajari dengan realitas sosial kehidupan masyarakat. Belajar bukan semata akademik dan
pemahaman pengetahuan, tapi justru bisa membawa perubahan.
Mahatma Ghandi, melihat, bahwa pendidikan dan pembelajaran merupakan dua hal berbeda
tapi saling berkaitan. Pendidikan memberikan penekanan pada perubahan dan transformasi, tapi
perubahan akan terjadi jika didukung oleh pengetahuan dan pemahaman terhadap pengetahuan
baru. Adapun pemahaman akan pengetahuan baru hanya akan didapat melalui pembelajaran di
sekolah, di dalam kelas, melalui interaksi siswa dengan sumber belajar. Sementara perubahan
dan transformasi akan terjadi setelah adanya proses pemahaman. Dengan demikian, pendidikan
akan berhasil jika didukung oleh proses pembelajaran yang baik, salahsatunya interaksi siswa
dengan sumber belajar, apakah guru, buku atau sejawat siswa di dalam kelas. Dalam hal ini,
seluruh sumber belajar juga dituntut mampu mengkoneksikan ilmu pengetahuan dan berbagai
pemahaman baru dengan realitas kehidupan sosial untuk kemudian menjadi inspirasi perubahan
dan transformasi.
Sejalan dengan Mahatma Ghandi, tokoh awal India lainnya, Rabindranath Tagore berpendapat
bahwa pendidikan harus dilakukan terkoneksi dengan budaya dan realitas yang terjadi dalam
kehidupan sosial. Tagore berpendapat bahwa proses pembelajaran harus dilakukan dengan
menyenangkan dan dapat mempengaruhi perubahan individual dari setiap anak didik. Oleh
sebab itu, sekolah Shantiniketan yang didirikannya, dikembangkan di tengah-tengah
perkampungan masyarakat miskin, dan para siswa belajar di udara terbuka, terkoneksikan
dengan alam, di bawah-bawah pohon dan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Bagi
Tagore, pembelajaran bukan sebuah proses untuk menghasilkan pemahaman ilmu sebanyak-
banyaknya, tapi perubahan sikap dan tindakan untuk bisa hidup harmoni antara manusia dengan
alam.[2]Oleh sebab itu, bagi Tagore, pendidikan adalah sebuah kendaraan untuk bisa
mengapresiasi berbagai aspek yang sangat kaya dalam budaya masyarakat, dengan tetap
memelihara kekhasan budaya setiap individu. Untuk itu, ada tiga pilar utama pendidikan,
kebebasan, kreatifitas dan komunikasi secara aktif dengan alam dan manusia. Pendidikan harus
diarahkan untuk perubahan individual sebagaimana mereka inginkan, dan pendidikan harus
mampu merubah setiap individu untuk menjadi pribadi utuh, bersikap baik, penuh cinta kasih,
menyenangi kedamaian, dan mampu mengembangkan sikap empati pada semua orang.
Perubahan-perubahan individual secara komprehensif dan berkepribadian ideal, akan bisa
diperoleh setelah setiap individu mengetahui dan memahami pengetahuan baru, dan
mengetahui pula bagaimana menggunakan ilmunya itu untuk kehidupan. Dengan demikian,
perubahan-perubahan yang akan diperoleh sebagai hasil sebuah proses pendidikan, akan
diperoleh setiap individu setelah melalui proses tahu, paham dan tahu bagaimana implementasi
pegetahuannya dalam kehidupan. Tagore melihat, pembelajaran merupakan bagian integral dari
sebuah proses pendidikan. Tidak mungkin terjadi perubahan hasil pendidikan, tanpa didahului
dengan proses tahu, paham sesuatu ilmu, dan tahu pula bagaimana implementasi ilmu tersebut
untuk perubahan budaya yang dipenuhi rasa cinta kasih sesama, penuh kedamaian, dan bisa
membangun harmoni dalam kehidupan sosial.
Pemahaman yang sama juga terjadi dalam tradisi kajian pendidikan di kalangan ilmuwan
berbasis bahasa dan budaya Arab. Dalam salah satu tulisannya berjudul al-Farqu baina al-
Tarbiyah wa al-Ta’lim, Muhammad bin Salim al-Haraby menjelaskan, bahwa al-
Tarbiyah berbeda makna dengan al-Ta’lim. Lafal al-Tarbiyah, berkonotasi pertumbuhan
seluruh potensi yang dimiliki setiap individu melalui berbagai cara untuk menjadi individu yang
baik, mencakup seluruh aspek kemanusiaannya, jiwa, akal dan kemampuan berpikir, akhlak,
sosial, keindahan dan pertumbuhan fisiknya. Sedangkan lafal al-Ta’lim lebih spesifik pada
proses pembinaan potensi berpikir setiap individu untuk mengetahui sesuatu, dan memiliki
keterampilan tertentu yang diperlukan dalam kehidupan mereka, untuk melakukan sesuatu atau
untuk mengerjakan sesuatu yang diperlukan untuk pengembangan profesi.[3] Pendidikan yang
merupakan padanan lafal al-tarbiyah dalam bahasa Arab dan education dalam bahasa Ingris,
memiliki makna dan cakupan yang sangat luas. Ia mencakup proses perubahan dan
pertumbuhan semua aspek kemanusiaan, dari aspek jiwa, kecerdasan, keterampilan, akhlak,
keimanan, dan bahkan pertumbuhan fisik dan jiwa sosialnya. Sementara pembelajaran yang
merupakan padanan lafal al-ta’lim memiliki konotasi yang sangat spesifik yakni proses
interaksi antara siswa dengan gurunya untuk mempelajari, mengetahui, memahami dan dapat
melakukan sesuatu untuk bisa membina kehidupan profesi mereka. Akan tetapi, pembelajaran
juga menjadi sebuah proses untuk perubahan yang terjadi dalam proses pendidikan, sejauh
perubahan itu memerlukan pengetahuan dan pemahaman norma sosial, teori atau teknologi,
yang diperoleh lewat proses belajar. Akan tetapi, pengetahuan baru, tidak selalu diperoleh lewat
pembelajaran di dalam kelas, bisa juga melalui interaksi dengan lingkungan sosial, media cetak
atau media-media informasi lainnya.
Sementara itu, John Dewey, seorang pemikir pendidikan sekaligus yang mengenalkan teori
pendidikan pragmatis, menjelaskan bahwa pendidikan adalah proses dari kehidupan melalui
rekonstruksi pengalaman berkelanjutan. Pendidikan adalah proses pengembangan kapasitas
para siswa untuk bisa mengontrol lingkungan dan memenuhi seluruh kualifikasi yang mereka
butuhkan.[4] Bagi Dewey, pendidikan adalah proses pembentukan pemahaman, sikap, dan
perilaku demokrasi, menikmati demokratisasi dalam kehidupan sosial, proses pengembangan
kreatifitas dan inovasi dalam suasana demokratis, dan proses peningkatan pengetahuan dan
keterampilan serta keahlian untuk digunakan dalam kehidupan profesi mereka. Dengan
demikian, konsep pendidikan bagi Dewey adalah konsep holistik, komprehensif, tidak hanya
terjadi dalam kelas, tapi terus bergulir dalam kelas, di luar kelas, dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat, baik untuk konteks kehidupan profesi maupun sosial.
Sejalan dengan pandangan-pandangan di atas, Richard Stanley Peters (1919-2011) dalam
tulisannya What is an Educational Process yang dimuat dalam buku The Concept of
Education melihat, bahwa pendidikan selalu dikaitkan dengan tiga aspek,[5] yakni:
Pertama, bahwa hasil pendidikan akan selalu terlihat dalam bentuk kemampuan mengendalikan
diri dalam melakukan pekerjaan dan menetapkan sebuah keputusan, serta kemampuan
mengendalikan emosi dan perasaan.
Kedua, bahwa hasil proses pendidikan akan memperlihatkan bahwa seseorang tidak hanya
trampil atau tangkas melakukan sesuatu, tapi justru harus memperlihatkan kedewasaan berpikir
bahwa dia adalah orang terdidik, yang memahami ilmu dan pengetahuan serta aspek-aspek
prinsip dari pengetahuan tersebut. Pola hidupnya memperlihatkan penguasaan terhadap pola
pikir yang matang, dan tidak terganggu oleh tujuan-tujuan jangka pendek dari sebuah pekerjaan
vocasional.
Ketiga, bahwa pengetahuan dan pemahaman seorang berpendidikan akan mampu
mengendalikan padangan umumnya tentang dunia, bersikap atau bereaksi terhadap berbagai
perubahan yang terjadi dalam kehidupan ini.
Akan tetapi, Peters melihat, bahwa untuk mencapai idealitas hasil pendidikan tersebut diperlukan
lima upaya teknis,[6] yakni:
1. Training, atau pelatihan, yakni bahwa para siswa harus melakukan pelatihan untuk
mematangkan ketrampilan yang akan digunakan dalam pekerjaan profesional.
2. Instruction and learning by experience, yakni bahwa guru harus menyampaikan pengetahuan
dan melatihkan ketrampilan yang mereka punyai untuk para siswa, agar mereka lebih cepat
mahir. Di samping itu, para siswa juga harus terus berlatih dalam situasi yang sangat mirip
dengan kondisi yang sebenarnya dalam pekerjaan.
3. Teaching and the Learning of principles, guru mengajarkan tentang prinsip-prinsip dalam
bekerja, dalam mempraktikan keahlian dan keterampilannya, sehingga bekerja itu memiliki nilai
yang luhur.
4. The transmission of Critical thought, guru memberi penjelasan tentang cara berpikir kritis, yakni
mampu melakukan analisis terhadap kenyataan, kelemahan-kelemahan, dan solusi yang bisa
ditawarkan untuk kemajuan.
5. Coversation and the Whole Man, guru boleh melakukan obrolan santai di dalam kelas untuk
mematangkan dan memantapkan nilai-nilai positif yang sudah ditransformasikan untuk para
siswa.
Penjelasan Peters di atas semakin memperkuat bahwa pendidikan merupakan target ideal dari
sebuah proses pembelajaran, dibantu dengan penjelasan-penjelasan guru yang memberikan
keterangan mendalam tentang berbagai prinsip yang harus dijaga setiap siswa sebagai seorang
terpelajar. Jika disederhanakan, pendidikan itu digunakan untuk menjelaskan tentang usaha-
usaha yang dilakukan oleh orang dewasa untuk menghantarkan para siswa agar memiliki
kematangan berpikir, emosi, fisik, dan berkembangnya secara optimal seluruh unsur
kemanusiaan, agar menjadi warga negara yang produktif dan bisa diterima kelompoknya
secara reciprocal. Sementara pengajaran terbatas dengan proses transformasi pengetahuan dan
ketrampilan baik dilakukan secara instruksional maupun dengan cara siswa aktif didampingi oleh
guru sebagai tutornya. Pendidikan tidak sesempit pembelajaran yang hanya fokus pada
peningkatan pemahaman dan pembinaan ketrampilan vokasional. Lebih dari itu, ia juga terfokus
pada bagaimana terbentuknya jiwa yang matang, selalu berpikir rasional, tidak emosional, dan
dapat mengembangkan kehidupan harmonis dengan lingkungannya, memiliki sikap empati dan
cinta terhadap sesama, serta mampu mengembangkan kedamaian dalam kehidupan sosial.
Untuk capaian ideal tersebut, perlu didukung oleh proses pembelajaran yang komprehensif,
melatih skil vokasional, memberi penjelasan-penjelasan yang prinsipil tentang profesi yang akan
ditekuninya, serta dilatih untuk bisa mengapresiasi keragaman budaya dan mampu
mengembangkan kehidupan dalam keragaman tersebut. Dengan demikian, pendidikan juga
terjadi di luar kelas, dalam keluarga dan juga dalam masyarakat, yang mungkin tidak terjangkau
oleh bimbingan, arahan dan pengawasan guru. Untuk itu, secara teoretik, guru sekolah,
keluarga, dan tokoh-tokoh masyarakat adalah pendidik bagi para siswa, karena mereka akan
mempengaruhi perkembangan psikis dan moralitasnya.
Sejalan dengan itu Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara.[7] Sedangkan pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.[8] Persepsi Undang-Undang tentang pendidikan
dan pembelajaran tersebut, sudah sangat modern, mengikuti diskursus pendidikan terkini,
bahwa pendidikan lebih fokus pada kepribadian dan karakter setiap individu siswa, sementara
pembelajaran lebih memfokuskan pada interaksi guru dan siswa untuk meningkatkan
pemahaman pengetahuan baru yang mendukung pengembangan kepribadian dan karakter
tersebut, serta pelatihan ketrampilan agar menguasai dan mampu mengoperasikan teknologi
baru sehingga para siswa memiliki ketrampilan vokasional. Istilah pembelajaran
mengartikulasikan sebuah paradigma belajar yang harus dilakukan secara kolaboratif antara
siswa dengan guru, yang keduanya sama-sama sebagai pembelajar, guru pembelajar senior
sedangkan siswa pembelajar yunior. Dalam proses interaksi guru dengan siswa di kelas dan di
sekolah tidak boleh dikuasai oleh guru, dan guru juga tidak boleh membiarkan siswanya aktif,
sementara guru tidak melakukan aktifitas apa-apa. Baik guru maupun siswa harus sama-sama
aktif dalam proses pembelajaran di dalam kelas.
Berangkat dari pengertian di atas, maka pembinaan kepribadian dan karakter terjadi di sekolah,
keluarga dan masyarakat, akan terintervensi oleh berbagai media yang terakses oleh para siswa
berupa media cetak dan elektronik, terutama gadget yang sudah sangat mudah dimiliki dan
menyajikan berbagai informasi khas media sosial berupa message dan gambar. Dengan
demikian, pembinaan kepribadian dan karakter tersebut terjadi dalam durasi waktu panjang di
setiap harinya, tidak terbatas hanya di ruang kelas dan dalam lingkungan pagar sekolah. Dengan
demikian, tugas guru sebagai pendidik, tidak hanya antara jam 07.00 sampai pukul 14.00 di
sekolah, tapi juga menjangkau waktu-waktu di luar jam tugas formal sebagai seorang guru. Apa
yang harus mereka lakukan pada jam-jam keluarga dan waktu-waktu sosial tersebut, setidaknya
guru sebagai pendidik harus menjadi figur teladan cara berpikir, bertindak dan mengambil
keputusan saat berinteraksi dengan para siswa, dan dalam kehidupan sosial yang bisa terakses
oleh mereka. Kemudian, para pendidik juga harus mendedikasikan waktunya untuk siswa di saat
mereka membutuhkan layanan konsultatif, bimbingan dan bantuan. Terakhir, guru sebagai
pendidik juga sebaiknya bisa mengontrol keluarga dan masyarakat sebagai bagian dari program
pembinaan para siswa, sehingga intervensi nilai-nilai yang kontradiktif bisa diminimalkan.
Dalam hal pembinaan para siswa, teknik yang dianjurkan adalah parenting. Teknikini
memungkinkan adanya komunikasi terjadwal antara guru sebagai pendidik dengan orang tua
yang juga pendidik. Mereka harus menyepakati aspek-aspek yang sedang dan akan diterapkan
untuk para siswa, diawasi bersama dan semaksimal mungkin menjauhkan mereka dari intervensi
negatif terhadap perlakuan tersebut. Selain itu, mereka juga perlu menyepakati instrumen-
instrumen pengawasan dan evaluasi pencapaiannya. Sementara denganmasyarakat, sebaiknya
para guru sebagai pendidik berkomunikasi dengan tokoh-tokoh pimpinan daerah, agama, dan
media sebagai unsur-unsur berpengaruh terhadap budaya sosial dan kemasyarakatan. Selain
itu, mereka juga disarankan melakukan Focus Group Discussion FGD) dengan para unsur
tersebut untuk menyampaikan perlakuan sekolah pada para siswa, dan kebutuhan sekolah pada
mereka, sebagi wujud kebutuhan masyarakat terhadap sekolah secara resiprokal. Tanggung
jawab besar dari setiap guru sebagai tenaga pendidik, menuntut pemerintah memberikan
perhatian khusus. Oleh sebab itu, Indonesia mengatur kerja guru dan bahkan juga dosen (yang
keduanya merupakan pendidik di bangsa ini) dengan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005
tentang Guru dan Dosen. Atas kerja keras yang mereka lakukan, Negara juga memberikan
tunjangan sebagai bentuk apresias atas pelaksanaan tugas-tugas berat pendidik dalam waktu
yang tidak terbatas.
Pendidik dan Pengajar
Guru adalah pendidik, demikian pula dosen. Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen, misalnya, menjelaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah.[9] Undang-undang juga menegaskan bahwa guru adalah pendidik
professional dimana mereka harus bekerja dengan ilmu dan keahlian, bekerja dengan penuh
integritas. Oleh sebab itu, dalam regulasi tersebut ditegaskan tugas utama guru adalah
mendidik, yakni memberikan arah pada idealitas, memberi contoh pada siswa, memberikan
layanan kapan saja, dan siap memberikan bimbingan dan arahan pada anak-anak didiknya di
semua waktu. Di samping itu, mereka juga bertugas sebagai pengajar dengan
mentransformasikan ilmu, teknologi dan ketrampilan, agar para muridnya bisa masuk di pasar
kerja, atau bahkan berwirausaha.
Demikian pula dengan dosen. Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 menjelaskan, dosen
adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan,
mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui
pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.[10] Dosen dijelaskan berbeda,
karena tugas utamanya ada tiga, yakni mengajar, meneliti dan melakukan pengabdian pada
masyarakat yang populer disebut sebagai tridharma perguruan tinggi. Dosen adalah pendidik
profesional dan ilmuwan. Dosen dijelaskan berbeda dengan guru yang hanya bertugas mendidik
dan mengajar, sementara dosen bertugas mendidik, mengajar, melakukan penelitian dan
menerapkan ilmu hasil temuannya dalam kehidupan sosial, dengan program yang khusus, jelas
dan dapat diukur.
Guru sebagai pendidik profesional diatur kualifikasi, kompetensi dan bahkan tugas-tugas
utamanya. Begitu juga dengan dosen, kualifikasi, kompetensi, dan tugas-tugas utamanya
dijelaskan secara tegas. Undang Undang Nomor 14 menjelaskan bahwa profesi guru dan dosen
merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:[11]
1. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
2. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak
mulia;
3. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;
4. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;
5. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;
6. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
7. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan
belajar sepanjang hayat;
8. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan
9. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan tugas keprofesionalan guru.
Guru sebagai pendidik bertugas tidak hanya mendampingi para siswa belajar dan melatih
mereka untuk menguasai instrumen atau teknologi tertentu, melainkan juga harus melakukan
pembinaan para siswa di sekolah, dalam keluarga dan di masyarakat untuk menjadi anak
Indonesia yang mencintai negara dan bangsanya, mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan
sosial, membina dan mempertahankan keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia, memiliki rasa
cinta kasih pada sesama, dan berusaha mengembangkan suasana harmonis penuh kedamaian
dalam keluarga dan kehidupan masyarakat. Untuk itu, para guru harus menyediakan waktu
tambahan untuk terlibat dalam proses pembinaan cara berpikir, cara pandang, dan pola-pola
tindakan dan perilaku siswa dalam kehidupan kemasyarakatan. Pembinaan guru tersebut
dimulai di sekolah, dan kemudian dalam keluarga dan masyarakat. Guru harus mampu
memantau perkembangan cara pikir, tindakan dan perilaku para siswanya, di sekolah, keluarga
dan masyarakat. Oleh sebab itu, negara memberikan penghargaan pada mereka dengan
tunjangan profesi.
Lain halnya dengan dosen. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan. Sebagai pendidik,
dosen berkewajiban melakukan proses pembelajaran dengan para mahasiswanya, melakukan
pembinaan dan pendampingan pada mereka, sehingga menjadi anak bangsa yang beriman,
bertakwa dan berakhlak mulia, cinta bangsa, cerdas dan memiliki keahlian profesional untuk bisa
berperan baik dalam proses pemajuan bangsa dan negara. Selain itu, dosen juga adalah
ilmuwan. Untuk memenuhi tugas mulianya sebagai ilmuwan, setiap dosen harus melakukan
penelitian, melakukan publikasi hasil penelitiannya, serta menguji validitas teori temuannya
dalam sebuah seminar yang dihadiri para ilmuwan dan profesional lain yang berkepentingan
dengan teori dan teknologi temuannya. Untuk tugasnya yang mulia itu, dosen diberi tunjangan
profesi oleh pemerintah, sehingga mereka bisa fokus pada pekerjaan dan tugas-tugas mulianya
itu.
Jam wajib kerja guru, sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang pendidikan dalam
Permendiknas RI Nomor 15 tahun 2005 tentang StandarPelayanan Minimal Pendidikan Dasar di
Kabupaten Kota dalam pasal 2 ayat 2 butir 5 dinyatakan bahwa salah satu bentuk pelayanaan
minimal di tingkat satuan pendidikan adalah setiap guru tetap bekerja 37,5 jam per minggu di
satuan pendidikan. Jumlah jam ini termasuk di dalamnya merencanakan pembelajaran,
melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing atau melatih peserta
didik, dan melaksanakan tugas tambahan.[12] Waktu kerja resmi yang dibebankan pada guru
adalah sama dengan pegawai lainnya selama 37.5 jam seminggu, sementara kewajiban
mengajar hanya 24 jam perminggu. Dengan demikian, setidaknya mereka masih memiliki
beban kerja sebanyak 13.5 jam perminggu yang belum terpenuhi dengan tatap muka, apalagi
jika satuan waktu jam pelajaran di sekolah di bawah 60 menit, maka gap-nya masih besar. Oleh
sebab itu, masih ada dua pekerjaan utama yang harus dilakukan guru di sekolah, membuat
perencanaan pembelajaran dan melakukan evaluasi serta penilaian. Di luar itu, mereka tetap
guru yang berperan positif sebagai pendidik. Semua waktu guru adalah waktu sebagai pendidik.
Tidak mungkin seorang guru berperilaku negatif dalam kehidupan sosial di luar sekolah, karena
akan menjadi preseden yang tidak baik bagi para siswa. Sebagai pendidik, guru harus
mengembangkan sikap cinta kasih pada sesama, mengembangkan harmonisme dalam
kehidupan sosial, dan bahkan dia harus memperlihatkan kedewasaan berpikir dan bersikap,
agar menjadi contoh terbaik bagi para siswanya. Untuk itulah, negara membayar tunjangan
mereka sebagai pendidik profesional.
Demikian juga halnya dengan dosen. Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2009 tentang
Dosen menyatakan bahwa jam wajib dosen adalah 12 sampai dengan 16 SKS di perguruan
tinggi tempat mereka bertugas.[13] Permenristek Dikti Nomor 49 tahun 2016 tentang Standar
Nasional Pendidikan Tinggi mencatat, hitungan satuan tugas SKS dikonversi pada hitungan
waktu dalam skala menit, bahwa satu SKS pada proses pembelajaran berupa kuliah, responsi,
atau tutorial, terdiri atas:[14]
1. Kegiatan tatap muka 50 (lima puluh) menit per minggu per semester;
2. Kegiatan penugasan terstruktur 60 (enam puluh) menit per minggu per semester; dan
3. Kegiatan mandiri 60 (enam puluh) menit per minggu per semester.
Diketahui, dosen memiliki kewajiban melayani belajar para mahasiswa sebanyak 12-16 SKS
sepanjang 14-16 minggu persemester. Bila dihitung per menit, maka setiap dosen harus
mendedikasikan waktunya sebanyak 2 jam 50 menit untuk setiap SKS. Dengan demikian, jika
seorang dosen mengajar 12 SKS, ia memiliki kewajiban 34 jam perminggu, dengan rincian:
1. Tatap muka selama 10 jam;
2. Melayani tugas terstruktur, yakni memeriksa tugas mingguan mahasiswa sebanyak 12 jam;
3. Melayani konsultasi harian mahasiswa atas inisitaif mahasiswa sebanyak 12 jam.
Selanjutnya, dosen juga harus melakukan penelitian, mempersiapkan artikel untuk jurnal
internasional, dan melakukan community outreach. Jika mereka mengambil proporsi penelitian,
penulisan artikel dan community outreach dengan beban sebesar 4 SKS, maka waktu yang
harus mereka sediakan adalah 680 menit atau setara dengan 11 jam 20 menit per minggu. Hal
ini karena untuk penelitian dan pengabdian pada masyarakat, setiap satu SKS disetarakan
dengan 170 menit.[15]Dengan demikian, seorang dosen berkewajiban bekerja selama 45 jam 20
menit setiap minggunya. Oleh sebab itu, negara membayar mahal para dosen dengan tunjangan
profesi yang sangat signifikan.
Dengan demikian bisa disepakati bahwa guru dan dosen merupakan pendidik. Profesi mereka
dilekatkan pada tugas sebagai pendidik, bukan semata sebagai guru dan dosen yang dibatasi
dalam ruang kelas di dalam pagar kampus. Guru dan dosen sebagai pendidik memiliki tugas
besar mempersiapkan generasi yang akan datang yang jauh lebih baik dari generasi mereka
saat ini. Mereka harus menguasai ilmu dan teknologi untuk mengajar, bahkan untuk dosen harus
melakukan penelitian untuk penemuan ilmu baru, teknologi baru, dan atau instrumen-instruen
baru untuk melakukan perubahan dalam rangka memajukan peradaban umat manusia. Tapi
pada saat yang sama, mereka juga harus mempersiapkan anak didik mereka untuk menjadi
generasi bangsa ke depan yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, menghargai keragaman,
mengembangkan sikap harmonis dengan sesama manusia yang berbeda agama, ras, dan
budaya, bahkan harus harmonis dan ramah dengan alam dan lingkungan. Mereka harus menjadi
generasi bangsa yang berbudi luhur, berkarakter bangsa yang kuat, sebagai bangsa yang
agamis, patriotis dan cinta perubahan. Jam kerja guru dan dosen sebagai pendidik akhirnya
tidak terbatas hanya dalam hitungan waktu sesuai peraturan pemerintah. Mereka adalah orang-
orang yang harus selalu ideal di mata siswa dan para mahasiswanya dalam semua waktu dan
konteks kehidupan mereka. Wallahu a’lam bi al-shawab
Â
Bahan Bacaan
Â
Dewey, John,Democracyand Education, A Penn State Electronic Classics Series Publication,
dalam http://www.hn.psu.edu/faculty/jmanis/jimspdf.htm.
Â
Gupta, N. K.. Kalyan Banerjee, Shveta Uppal, Gautam Ganguly, Mathew John, Subodh
Srivastava, Basics in Education,National Council of Educational Research and Training,
SriAurobindo Marg, NewDelhi, 2014.
Â
Haraby, Muhammad bin salim al-, al-Farqu Baina al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, Muntadayat al-
Tarbawiyah al-Nabawiyah, Makalah di www.propheteducation.com., November 2010.
Peters, R.S.  “What is an educational process― ?, dalam R.S.Peters, The Concept of
Education, Routled and Kegan Paul Ltd. British, 1967,
Peratauran Pemerintah Nomor 37 tahun 2009 tentang Dosen
Permenristek Dikti Nomor 49 tahun 2016 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
[1] NK Gupta,N. K. Gupta, Kalyan Banerjee, Shveta Uppal, Gautam Ganguly, Mathew John,

Subodh Srivastava, Basics in Education,National Council of Educational Research and Training,


Sri Aurobindo Marg, New Delhi, 2014. h. 8
[2] Ibid., h. 12
[3]Muhammad bin salim al-Haraby, al-Farqu Baina al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, Muntadayat al-

Tarbawiyah al-Nabawiyah, Makalah di www.propheteducation.com., November 2010.


[4]John Dewey, Democracyand Education, A Penn State Electronic Classics Series Publication,

dalam http://www.hn.psu.edu/faculty/jmanis/jimspdf.htm. 14.


[5]
R.S.Peters, “What is an educational process― ?, dalam R.S.Peters, The Concept of
Education, New York: Routledge and Kegan Paul Ltd. British, 2010, p. 6
[6] Ibid., h. 10.
[7]
UU NO. 20 tahun 2003, Pasal 1 ayat 1
[8]
Ibid., ayat 20
[9]
Undang-Undang No. 14 tahun 2005, tentang guru dan dosen, pasal 1 ayat 1.
[10]
Ibid., ayat 2
[11]
Ibid., pasal 7 ayat 1
[12]
Permendiknas RI nomor 15 tahun 2005 tentang Standard Pelayanan Minimal (SPM)
Pendidikan dasar di kabupaten kota.
[13] PP NO. 37 tahun 2009, pasal 8 ayat 1 butir b-1.
[14]
Standar Nasional Pendidikan Tinggi, No. 49 tahun 2016, pasal 17, ayat 1, butir a, b dan c.
[15]
ibid., pasal 17 ayat 4
Views: 18.003

Anda mungkin juga menyukai