Dipeluk lara
Tanahku bukan keluarga cemara
Apalagi cendana
Hayatku penuh nestapa
Yang kusebut keluarga ribut bercanda
Aku Pertiwi
Bolehkah aku merintih atas sesak sukmaku?
Dahulu banyak cinta tumpah ruah menyesaki sanubari ahli warisku
Dahulu tabiat keluargaku akrab dengan kesantunan
Itu dahulu.
Aku pertiwi
Bisakah aku mengurai bendungan air di sudut gelap mataku?
Anak-anak Pertiwi riuh berlakon
Kekasih, Saudara
Dan para Budiman sibuk berebut sari pati alam
Sedangkan sisanya, asyik menuding sembari merapikan jubah kebencian
Aku Pertiwi
Izinkan aku melepas takhta dari liarnya kompetisi keluargaku sendiri?
Yang dulu jelita, kini menjelata
Yang menjelata, kian melata
Kala kucari damai
Tubuhkulah damai itu
Kuberpikir tentang rindu
Kekasihku dulu bilang, ”Jangan memikirkan dan merindukan apa-apa,
tetapi berdoalah untuk kami jika terjadi apa-apa.”
Cukup, cukup!
Aku terus berdoa
Doaku belum mau berpulang ketubuhku sendiri
Doaku mati, keluargaku ingkar janji
Lihatlah lautan terus berombak, namun belum tampak kearifan dari
kekasihku
Lihatlah burung-burung tetap mengumpulkan biji-bijiannya sendiri,
namun belum tampak kedewasaan dari anak-anakku
Lihatlah Sang Pencipta tak pernah kehabisan cara mengokohkan bumi
agar tetap berputar diporosnya, namun belum tampak kesyukuran dari
saudaraku