Anda di halaman 1dari 8

A.

Pengertian poligami
Kata poligami terdiri dari dua kata poli dan gami. Secara etimologi, poli artinya banyak
dan gami artinya istri. Jadi poligami itu artinya beristri banyak. Secara terminologi,
poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri. Atau, seorang laki-laki
beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang. Kata poligami
berasal dari bahasa Yunani , polus yang artinya banyak,dan gamein yang artinya kawin.
Jadi, poligami artinya kawin banyak atau suami beristri banyak pada saat yang sama.
Dalam bahasa arab poligami disebut dengan ta’did al-zawjah (berbilangnya pasangan).
Poligami adalah perkawinan yang dilakukan laki-laki kepada perempuan lebih dari
seorang, dan seorang perempuan memiliki suami lebih dari seorang. Adapun konsep
perkawinan yang dilakukan seorang laki-laki kepada perempuan lebih dari seorang
disebut poligini. Apabila perempuan bersuami lebih dari seorang disebut poliandri.
Menurut ajaran islam, yang kemudian disebut dengan syariat islam (hukum islam),
poligami ditetapkan sebagai perbuatan yang dibolehkan atau mubah.
B. Sejarah poligami
Banyak orang yang salah paham tentang poligami, mereka mengira poligami itu baru
dikenal setelah Islam. Mereka menganggap Islamlah yang membawa ajaran tentang
poligami, bahkan ada yang secara ekstrim berpendapat bahwa jika bukan karena Islam,
Poligami tidak dikenal dalam sejarah manusia. Pendapat demikian sungguh keliru, yang
benar adalah berabad-abad sebelum Islam diwahyukan, masyrakat manusia di berbagai
belahan dunia telah mengenal dan mempraktekkan poligami. Bahkan Musthafa al-
Shiba’i mengatakan bahwa di kalangan masyarakat bangsa-bangsa yang hidup di zaman
purba, pada bangsa Yunani, Cina, India, Babylonia, Asyria, dan Mesir telah terjadi
praktek poligami. Pada saat itu, praktek poligami tidak terbatas jumlah istrinya, sehingga
mencapai ratusan orang istri dalam satu waktu ( tanpa cerai dan tanpa faktor kematian)
bagi satu laki-laki (suami). Nabi-nabi yang namanya disebutkan dalam taurat, juga
melakukan praktek poligami.
Pada bangsa Arab sendiri sebagai ruang sosial di mana Nabi Muhammad dilahirkan dan
kelak menjadi tempat awal Islam disebarluaskan jauh sebelum Islam masyarakatnya
telah mempraktekkan poligami, malahan poligami yang tidak terbatas. Sejumlah riwayat
menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku ketika itu memiliki puluhan istri, bahkan
tidak sedikit kepala suku yang mempunyai ratusan istri.
Perkembangan poligami dalam sejarah manusia mengikuti pola pandangan masayarakat
terhadap kaum perempuan. Ketika masyarakat memandang kedudukan dan derajat
perempuan hina, poligami menjadi subur, sebaliknya pada masyarakat yang memandang
kedudukan dan derajat perempuan terhormat, poligami pun berkurang. Jadi
perkembangan poligami mengalami pasang surut mengikuti tinggi rendahnya kedudukan
dan derajat perempuan di mata masyarakat.
Dan setelah Islam datang, praktik poligami yang sudah ada sebelum Islam terus berlanjut
pada masa Islam. Para sahabat Nabi Saw banyak yang mempunyai Istri lebih dari satu
orang . Sayangnya, banyak orang yang di kemudian hari salah paham tentang praktek
poligami ini. Mereka mengira bahwa poligami merupakan praktek yang baru dikenal
setelah hadirnya Islam. Bahkan menganggap bahwa Islamlah yang mengajarkan dan
melegalisasikan praktek poligami, dengan satu dasar Nabi Muhammad Saw menikahi
banyak perempuan dalam satu waktu, dan Nabi Saw adalah sebagai figur yang memberi
teladan baik yang musti di contoh oleh semua umat Islam. Maka demikian pendukung
poligami berargumentasi, “ Barang siapa menentang poligami berarti menentang syariat
Islam, dan menentang syariat Islam berarti menentang Allah swt”, hal ini termasuk
dalam khiyal yaitu mengatasnamakan syariat untuk kepentingan pribadi. Karena alasan
berpoligaminya laki-laki pada masa sekarang, sebagaimana kata Muhammad Abduh
perkembangan poligami sekarang menjadi praktek pemuasan syahwat yang tidak
terkendali, tanpa rasa keadilan dan kesamaan, sehingga tidak lagi kondusif bagi
kesejahteraan masyarakat. Berbeda dengan praktek poligami yang dilakukan oleh
Rasullulah Saw dan para sahabat bahkan Salafus shaleh.(fotnot jurnaluin)
C. Dasar hukum poligami
1. Qs. An-Nisa ayat 3
‫وانخفتم أل تقسطوا في اليتمي فانكحوا ماطاب لكم من النساء مثني وثلث وربع‬.
.‫خفتم ال تعدلوا فواحدة اوما ملگت ايمنكم ذلك ادني ال تعولوا‬ ‫فان‬
‫ا‬.
Berdasarkan ayat di atas, pada dasarnya hukum poligami adalah mubah dan hukum
mubah tersebut bisa berbeda pada setiap orang yang akan melaksanakannya sesuai
kondisi masing-masing, yaitu mashlahah (mengambil mamfaat dan menolak
mafsadah). Prinsip yang harus diterapkan dalam penerapan maslahah adalah
menolak mafsadah lebih diutamakan dari pada mengambil manfaat, prinsip ini telah
dirumuskan dalam qaidah ‫درء المفاسد أولي علي جلب المصالح‬yang artinya:
”Menolak mafsadah lebih diutamakan dari mengambil maslahah".
Secara umum maslahah yang dapat diperoleh dengan poligami adalah terpeliharanya
suami dari perzinaan. Sedangkan mafsadah yang akan muncul jika pintu poligami
ditutup adalah perzinaan dan monogami serial.
Namun akibat perkawinan poligami yang dapat diasumsikan sebagai sisi negatif
(mafsadah), diantaranya adalah: poligami mengakibatkan permusuhan di antara para
isteri sehingga suasana rumah tangga tidak harmonis, perselisihan antara isteri yang
dimadu sering merambat kepada anak, sehingga kebahagiaan rumah tangga jadi
terganggu, adanya tekanan isteri pertama yang merasa diduakan cintanya, dan
tekanan secara sosial, karena asumsi masyarakat yang selalu mempermasalahkan
pihak perempuan sebagai biang keladi dari praktek poligami, dan berbagai asumsi-
asumsi lainya dianggap akan terjadi apabila praktek poligami terjadi dikalangan
mayarakat.
Atas dasar pertimbangan maslahah di atas hukum poligami bisa meliputi semua
hukum taklify yaitu wajib, sunnat, mubah, haram, dan makruh. Poligami menjadi
wajib apabila kebutuhan sangat mendesak, misalnya dalam kondisi suami
mempunyai dorongan seks yang luar biasa, sehingga akan mengakibatkan terjadinya
perzinaan. Di sisi lain suami juga dapat berbuat adil kepada isterinya, baik dari aspek
materi dan biologis. Poligami menjadi sunnah hukumnya apabila suami mempunyai
dorongan seks yang luar biasa, apabila tidak malakukan poligami akan menyebabkan
ia terjerumus pada perzinahan, dan suami tersebut juga berpotensi untuk mempnyai
keturunan. Dari sisi lain suami tersebut juga dapat berbuat adil kepada isteri-
isterinya dan anak-anaknya, baik dari aspek materi maupun bathiny. Poligami
menjadi haram hukumnya apabila suami melakukan poligami hanya berorientasi
pada pelampiasan syahwat belaka dan tidak memperhatikan kondisi dan
kemampuan mental dan materi. Ia tidak yakun bahwa dirinya bahwa dirinya dapat
berbuat adil kepada istri-istrinya.
Apabila suami yakin dirinya tidak mampu untuk memenuhi hak-hak istri, apalagi
sampai menyakiti atau mencelakai maka poligami hukumnya haram. (fotnote
alaudin)
2. Makna mufrodat
a. Tuqsithu, artinya bersikap adil dan tidak berbuat dzalim, artinya menempatkan
sesuatu sesuai dengan tempatnya sesuai hak dan kewajiban
b. Ma Thoba lakum, artinya perempuan-perempuan yang kamu sukai, yang hatimu
tertarik padanya
c. Matsna wa stulasta wa ruba', artinya dua tiga sampai mksimal empat orang
perempuan
d. Fa in khiftum al-la ta'dilu, artinya jika kamu takut akan tidak dapat berlaku adil,
kepada para istri dalam masalah giliran menginap dan menggauli
e. Fa waahidatan, artinya menikahilah hanya satu perempuan saja
f. Au maa malakat aimanukum, artinya atau budak-budak yang kamu miliki, maka

cukupkan dengan budak perempuan yang kamu miliki, karena terhadap mereka ini
tidak terdapat kewajiban untuk berbuat adil seperti suami terhadap istri (perempuan
merdeka)
g. Dzalika, maksudnya menikahi empat perempuan saja, atau satu istri, atau

bersenang-senang dengan budak perempuan, akan lebih menjauhkan dari perbuatan


zina
3. Tafsir Qs. An-Nisa ayat 3 menurut Wahbah al-Zuhaili
Al-Zuhaili menjelaskan tafsir surat al-Nisa' ayat 3-4 bahwa dua ayat ini memiliki
batasan tema mengenai menikahi perempuan bukan yatim yang menjadi tanggung
jawab seseorang atau bersikap adil terhadap istri-istri, jika tidak mampu berbuat adil
maka lebih baik memiliki satu istri saja. Beliau juga menjelaskan makna "al-Khauf”
dalam ayat ini, bahwa yang dimaksud kalimat “al-khauf” adalah memahami dan
merasa akan berbuat kezaliman dengan menikahi anak yatim dengan tidak
memberinya mahar atau memakan hartanya maka jangan menikahi anak yatim
tersebut dan menikah lah dengan perempuan lain satu, dua, tiga atau empat akan
tetapi jangan melebihi jumlah tersebut.
Sebab jumlah terakhir (empat) merupakan tingkatan tertinggi kehalalannya dengan
disertai bertindak adil. Begitu juga menjelaskan kalimat fi'il amar "fankihu"
menunjukkan kebolehan menikah dengan jumlah tersebut. Artinya, menikah dengan
bilangan dua, tiga dan empat merupakan hal yang boleh bukan wajib.
Kaitannya dengan definisi 'adil, menurut al-Zuhaili, merupakan hal yang sulit untuk
direalisasikan namun masih bisa diupayakan. Beliau kemudian mengutip firman Allah
swt dalam surat al-Nisa' ayat 129 yaitu
“dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-
katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Ayat tersebut, menurut al-Zuhaili, memberikan indikasi bahwa berlaku adil
tergantung dengan hati seorang suami. Jika seorang suami mampu mengendalikan
kecenderungan dalam segala hal terhadap istri-istrinya maka ia dapat dikatakan telah
berlaku adil namun jika sebaliknya maka ia telah berlaku tidak adil. Sebagian besar
masyarakat memandang bahwa ayat tersebut merupakan indikasi ketidakmampuan
seseorang berbuat adil adalah tidak tepat. Karena jika pandangan itu dibenarkan
maka al-Qur’an tidak akan menganjurkan untuk menikahi perempuan dua, tiga dan
empat.
Namun, al-Zuhaili memberikan anjuran dengan mengutip tafsirnya imam al-Syafi’i
terkait tafsir ayat tersebut, bahwa kalimat “an la ta’ulu” maksudnya adalah jangan
memperbanyak keturunan (dengan menikahi banyak istri). Al-Zuhaili juga mengutip
tafsirannya al-Kisa'i, al-Asma'i dan al-Azhari terkait ayat tersebut dengan ucapan ahli
fusha bahasa Arab “’ala ya’ul: idza kathurat ‘ayaluhu.
Ringkasnya, untuk menjauhi kehancuran maka menikah satu istri saja. Keadilan yang
dimaksud dalam ayat tersebut adalah memiliki dua makna, pertama adalah keadilan
materi seperti pembagian giliran menginap, kesetaraan nafkah kehidupan meliputi
makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Kedua adalah keadilan maknawi, yakni
kecenderungan hati yang perlu disetarakan terhadap istri-istrinya.
Ketika merasa takut tidak berbuat adil terhadap istri-istrinya maka haram hukumnya
poligami. Dan ketika menikah seharusnya memberikan mahar sesuai dengan
keinginan dan kesukaan calon istri untuk menunjukkan rasa cinta kasih dan
memuliakan perempuan(fotnote wahbah)
D. Praktek poligami Rasulullah Saw
Banyak orang yang keliru memahami praktek poligami Rasulullah Saw, termasuk kaum
muslim sendiri. Ada anggapan Rasulullah Saw melakukan poligami dengan tujuan
sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang, yakni memenuhi tuntutan biologis atau
hanya untuk memuaskan hasrat seksualnya. Pada umumya memang poligami dilakukan
untuk tujuan-tujaun biologis semata. Kekeliruan paham ini perlu diluruskan, terutama
karena praktek poligami Rasullulah Saw seringkali dijadikan dalil pembenaran bagi
kebolehan poligami dalam masyarakat muslim.
Jika ditelusuri satu per satu motif perkawinan Nabi dengan istri-istrinya yang berjumlah
sebelas itu, yang mengemuka adalah motif dakwah atau kepentingan penyiaran Islam.
Bukan karena dorongan untuk memuaskan nafsu belaka, dari sebelas wanita yang
dinikahi Rasulullah hanya aisyah lah satu-satunya istri beliu yang masih perawan dan
berusia muda, sedangkan yang lain rata-rata telah berumur, punya anak, dan
kebanyakan janda dari para sahabat yang terbunuh dalm peperangan membela Islam.
Dan dari kesebelas istri tersebut Rasulullah tidak lagi dikarunia anak. Jadi dapat diambil
kesimpulan bahwa alasan Rasullulah berpoligami sangat jauh dari tuntutan memenuhi
kebutuhan biologis sebagai mana yag selama ini dituduhkan banyak orang.
Dan yang sangat perlu untuk direnungkan berkaitan dengan praktek poligami Nabi,
bahwa Nabi melakukan poligami sama sekali tidak didasarkan pada kepentingan biologis
atau untuk mendapat keturunan. Dan Nabi melakukan poligami bukan dalam situasi dan
kondisi kehidupan yang normal, melainkan dalam kondisi dan suasana kehidupan yang
penuh aktivitas pengabdian, perjuangan, perang jihad demi menegakkan syiar Islam
menuju terbentuknya masyarakat Madani yang didambakan.(fotnote Gusmian)
E. Implikasi sosio-psikologis
Sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa rata-rata istri begitu mengetahui suaminya
menikah lagi, spontan dia mengalami depresi, stress berkepanjangan, kecewa dan benci,
karena merasa cinta dan kesetiaanya telah dikhianati. Mereka bukan hanya merasa
dikhianati tetapi juga merasa malu dengan saudara, tetangga, teman dekat, teman
bekerja dan bahkan juga malu kepada anak-anaknya. “Ma.., mengapa ayah menikah
lagi?” Suatu pertanyaan yang tidak mudah dijawab seorang ibu kepada anak-anaknya.
Implikasi selanjutnya, terjadinya konflik internal keluarga, baik antara istri, antara istri
dan anak tiri, atau antara anak-anak yang berlainan ibu. Dan hubungan antara keluarga
besar dari istri yang pertama dengan keluaga besar suami akan terganggu demikian juga
sebaliknya. Ini terjadi karena hakikatnya pernikahan juga merupakan pertemuan
keluarga besar si istri dan si suami. Pada saat suami melakukan poligami tentu keluarga si
istri tidak akan menerimanya.
Perkawinan poligami juga akan berdampak buruk bagi perkembangan jiwa anak,
terutama anak perempauan. Mereka merasa malu melihat ayahnya tukang kawin,
kolektor perempuan, minder dan mengasingkan diri dari pergaulan teman-temannya.
Kondisi Psikologis ini ditambah kurangnya waktu untuk bertemu, berkumpul dan
mendidik bagi seorang ayah kepada anak-anaknya, karena terbagi untuk istri lain dan
anak-anaknya.
Kesimpulan

hukum poligami bisa meliputi semua hukum taklify yaitu wajib, sunnat, mubah,
haram, dan makruh. Poligami menjadi wajib apabila kebutuhan sangat mendesak,
misalnya dalam kondisi suami mempunyai dorongan seks yang luar biasa, sehingga
akan mengakibatkan terjadinya perzinaan. Di sisi lain suami juga dapat berbuat adil
kepada isterinya, baik dari aspek materi dan biologis. Poligami menjadi sunnah
hukumnya apabila suami mempunyai dorongan seks yang luar biasa, apabila tidak
malakukan poligami akan menyebabkan ia terjerumus pada perzinahan, dan suami
tersebut juga berpotensi untuk mempnyai keturunan. Dari sisi lain suami tersebut
juga dapat berbuat adil kepada isteri-isterinya dan anak-anaknya, baik dari aspek
materi maupun bathiny. Poligami menjadi haram hukumnya apabila suami
melakukan poligami hanya berorientasi pada pelampiasan syahwat belaka dan tidak
memperhatikan kondisi dan kemampuan mental dan materi. Ia tidak yakun bahwa
dirinya bahwa dirinya dapat berbuat adil kepada istri-istrinya.
Implikasi dari poligami yaitu, terjadinya konflik internal keluarga, baik antara istri,
antara istri dan anak tiri, atau antara anak-anak yang berlainan ibu. Dan hubungan
antara keluarga besar dari istri yang pertama dengan keluaga besar suami akan
terganggu demikian juga sebaliknya. Ini terjadi karena hakikatnya pernikahan juga
merupakan pertemuan keluarga besar si istri dan si suami. Pada saat suami
melakukan poligami tentu keluarga si istri tidak akan menerimanya

Daftar Pustaka

Gusmian Islah, Mengapa Nabi Muhammad berpoligami?, Yogyakarta:

Pustaka Marwa, 2007.

Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fî al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa al-Manhaj, jld. 4, 234-236

http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/al-qadau/article/view/7108

http://ejournal.uin-suka.ac.id/ushuluddin/alquran/article/download/1459/1204

https://risalahmuslim.id/quran/an-nisaa/4-3/

Anda mungkin juga menyukai