Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MAKALAH

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KABUPATEN


JAYAPURA

Disusun oleh:

RAYNALDO EKO PRASETYO NUGROHO

E.2
BAB I

PENDAHULAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan adalah salah satu bentuk hak asasi manusia yang diwujudkan melalui
perlindungan hukum dan kebijakan pemerintah dengan upaya pemberian fasilitas pelayanan
kesehatan kepada seluruh lapisan masyarakat. Negara Indonesia hingga saat ini masih
menghadapi problematika kesehatan yang meberikan dampak sosial yang kompleks dan
menjadi kendala pembangunan yang harus segera diselesaikan. Masalah kesehatan yang masih
mengkhawatirkan yang ada di Indonesia bahkan negara-negara lain di dunia adalah fakta
berkembangnya epidemi yang disebabkan HIV/AIDS. AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome) merupakan kumpulan gejala dan penyakit yang diakibatkan oleh menurunnya
kekebalan tubuh yang disebabkan terinfeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus).
Virus tersebut masih belum ditemukan vaksin atau obat untuk menyembuhkan epidemi
sehingga HIV/AIDS menjadi fokus perhatian dunia sampai saat ini.

Penyakit Aquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah adalah sekumpulan


gejala penyakit yang disebabkan oleh menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia akibat
Infeksi virus Humman Immunedeficiency Virus (HIV) yang menyerang sel darah
putihmanusia. Penderita HIV/AIDS akan berkurang kekebalan tubuhnya dan rentan terkena
infeksi oportunistik. Penyebaran HIV/AIDS ditimbulkan melalui hubungan seks bebas,
transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi dan juga kontak lain dengan cairan tubuh.
HIV/AIDS menjadi salah satu penyakit dengan tingkat penyebaran cukup tinggi di
Indonesia. Kini permasalahan HIV/AIDS bukan sekedar pada penularan dan penyebarannya,
akan tetapi juga pada kehidupan sosial penderita HIV/AIDS. Hal inilah yang menjadi dasar
mengapa kasus HIV/AIDS menjadi masalah yang banyak dibahas di Indonesia.

Wilayah yang memasuki level menyeluruh dalam penyebaran HIV/AIDS adalah di


Provinsi Papua. Kasus HIV/AIDS di Papua pertama kali ditemukan pada tahun 1992. Menurut
catatan Departemen Kesehatan pada tahun 2017 Papua menempati posisi tertinggi ketiga
setelah DKI dan Jawa Timur dengan jumlah kasus penderita HIV/AIDS. Akan tetapi tingkat
penyebaran HIV/AIDS terus meningkat setiap tahunnya di Papua, pada tahun 2012 tercatat
3.028 orang terinfeksi HIV/AIDS di Papua. Hal ini menyebabkan Papua sebagai Provinsi
dengan kasus HIV/AIDS terbanyak ketiga setelah Jawa Timur.
Tabel 1. Jumlah Kumulatif Kasus HIV & AIDS Berdasarkan Provinsi

Di Kabupaten Jayapura sendiri pada Maret 2010 tercatat penderita HIV/AIDS sebanyak 477
orang, yaitu 199 orang berasal dari kalangan ibu rumah tangga, 102 orang dari kalangan
PSK. Munculnya kasus penyebaran HIV/AIDS di Jayapura sebagian besar disebabkan oleh
aktivitas seks bebas terutama yang dilakukan oleh Pekerja Seks Komersial (PSK) maupun
kehidupan seks bebas yang muncul di masyarakat.

Maraknya penyebaran HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura menjadi permasalahan publik


yang ditanggapi serius oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura. Dalam menanggapi kasus
penyebaran HIV/AIDS yang semakin marak tersebut, Pemerintah Kabupaten Jayapura
mengeluarkan Perda Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan
HIV/AIDS dan IMS. Peraturan daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Jayapura tersebut merupakan Perda pertama di Indonesia yang membahas tentang
penanggulangan HIV/AIDS. Peraturan Daerah yang dibuat tersebut telah dirumuskan dan
diimplementasikan. Akan tetapi pada praktiknya masih terdapat beberapa kendala dalam
proses implementasi kebijakannya.

Dalam makalah ini akan membahas analisis implementasi kebijakan penanggulangan


dan pencegahan HIV/AIDS yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura beserta para
stakeholder yang berada di dalam program tersebut. Analisis implementasi yang akan kami
sajikan menggunakan model analisis implementasi menurut Edward III, yang didalamnya
menitikberatkan pada sektor internal pelaksana program melalui empat indikator yaitu
komunikasi, struktur birokrasi, sumber daya, dan disposisi yang mempengaruhi berhasil atau
tidaknya implementasi kebijakan publik. Selain itu, juga akan di analisis menggunakan teori
kelayakan kebijakan David C. Korten.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :

1.Bagaimana implementasi kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura ?

2. Bagaimana peranan stakeholder dalam kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di


Kabupaten Jayapura ?

3. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam kebijakan penanggulangan HIV dan
AIDS di Kabupaten Jayapura ?

1.3 Tujuan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan dari penelitian ini antara lain :

1. Mendeskripsikan dan menganalisis implementasi kebijak-an penanggulangan HIV dan


AIDS di Kabupaten Jayapura

2. Mendeskripsikan dan menganalisis pemangku kepentingan (stake-holder) dan perannya


dalam kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Jayapura

3. Mendeskripsikan dan menganalisis faktor yang mendukung dan menghambat kebijakan


penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Jayapura
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Analisis Implementasi Kebijakan

HIV/AIDS merupakan isu kebijakan publik paling global. HIV/AIDS telah menyebar
ke seluruh dunia, sementara obat yang manjur untuk mencegah dan menyembuhkan HIV/AIDS
belum ditemukan. Saat ini HIV/AIDS bukan semata-mata masalah kesehatan, akan tetapi telah
memiliki implikasi politik, ekonomi, sosial, etika, agama, dan hukum (Haryanto,dkk. 2010).

Papua sebagai Provinsi yang berada paling timur di Indonesia merupakan Provinsi
dengan jumlah kasus HIV/AIDS tertinggi kedua di Indonesia. Tercatat hingga Juni 2014
jumlah penduduk yang terinfeksi HIV/AIDS mencapai 13.476 orang (sumber: Ditjen PP & PL
Kemenkes RI), akan tetapi menurut Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Dearah (KPAD)
Provinsi Papua dr. Constant Karma (2009) menyebutkan diperkirakan 29.000 orang Papua
hidup dengan HIV/AIDS dan diperkirakan sebagian besar merupakan bagian dari komunitas
yang tinggal di wilayah yang sulit diakses dan daerah pedalaman (Haryanto,dkk. 2010).

Menanggapi semakin parahnya kasus HIV/AIDS di Papua, pemerintah Kabupaten


Jayapura merespon dengan cepat melalui Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS. Langkah yang diambil Pemkab
Jayapura patut mendapat apresiasi, sebab Perda ini merupakan perda tentang HIV/AIDS
pertama di Indonesia. Walaupun pada awalnya ketersediaan dana sangat minim, namun dana
tersebut mampu menggerakkan implementasi Perda tersebut.

Secara normatif, tujuan dari Perda Nomor 20 tahun 2003 adalah menekan laju
HIV/AIDS di wilayah Kabupaten Jayapura. Tujuan ini sangat jelas, sehingga mampu menjadi
pedoman bagi para implementor dalam melaksanakan Perda tersebut. Jika ditelaah lebih jauh,
Perda ini sebenarnya bertujuan untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dalam
menanggulangi masalah HIV/AIDS di Jayapura. Melalui pemberdayaan masyarakat
diharapkan mampu menekan laju penyebaran penyakit HIV/AIDS, diantaranya dengan
mencegah terjadinya penularan kepada orang sehat, melibatkan peran serta LSM
yang concern pada masalah HIV/AIDS, dan juga meminimalisir stigma di masyarakat
mengenai HIV/AIDS, sehingga pengidap HIV/AIDS juga dapat hidup normal di dalam
masyarakat.

Adapun aktor yang terlibat dalam implementasi Perda Nomor 20 tahun 2003
diantaranya Dinas Kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Jayapura sebagai
representatif Pemerintah Kabupaten Jayapura, NGO/LSM, dan masyarakat. Selain itu,
pemerintah Kabupaten Jayapura memilih menerapkan instrumen penggunaan kondom saat
berhubungan seksual beresiko. Instrumen penggunaan kondom dipilih berdasarkan data yang
ada menunjukan bahwa 97% lebih kasus penyebaran HIV/AIDS di Papua menular melalui
hubungan seks bebas.
Implementasi kebijakan merupakan studi penting dari kajian ilmu administrasi publik,
khususnya ilmu kebijakan publik. Sebuah kebijakan tidak akan membawa manfaat bagi
masyarakat luas tanpa adanya implementasi. Budi Winarno (2008) menyatakan bahwa
implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik, dan
suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang
diinginkan.

Implementasi kebijakan publik dikatakan sebagai aktivitas yang rumit, sebab banyak
faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan. Kebijakan publik yang telah
direkomendasikan untuk dipilik oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan
tersebut pasti berhasil dalam implementasinya, sebab ada banyak variable yang mempengaruhi
keberhasilan implementasi kebijakan baik yang bersifat individual, kelompok atau institusi
(Subarsono, 2011).

Terkait dengan kasus HIV/AIDS di Jayapura, Pemerintah Kabupaten Jayapura


berupaya menanggulanginya dengan mengimplementasikan Peraturan Daerah Nomor 20 tahun
2003 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS. Sejak Perda ini
diimplementasikan hingga saat ini, justru jumlah orang yang terinfeksi HIV/AIDS semakin
bertambah. Meskipun demikian, fenomena tingginya kasus HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura,
tidak semata-mata dikarenakan kegagalan dalam mengimplementasikan kebijakan. Sebab
kasus HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura seperti ‘gunung es’,MKKKIKmpak, akan tetapi di
dalamnya sangat pesat penyebarannya. Oleh karena itu dibutuhkan waktu yang relatif lama dan
juga kegiatan yang bersifat kontinu dalam menanggulangi kasus HIV/AIDS di Kabupaten
Jayapura.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa keberhasilan implementasi kebijakan


sangat dipengaruhi oleh banyak variabel atau faktor, dan masing-masing varibel tersebut saling
berkaitan satu dengan yang lainnya. Maka untuk lebih memahami implementasi kebijakan
(Peraturan Daerah Nomor 20 tahun 2003 tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS
dan IMS) di Kabupaten Jayapura, harus terlebih dahulu dipahami berbagai variabel yang
mempengaruhinya. Dalam hal ini akan digunakan teori impelementasi dari George C. Edwards
III dan David C. Korten. Berikut ini pembahasannya:

1. Teori Implementasi George C. Edwards III

Model Implementasi kebijakan publik yang dikemukakan oleh Edward menunjuk empat
variabel yang berperan penting dalam pencapaian keberhasilan implementasi, empat variabel
tersebut adalah komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi (dalam Indiahono,
2009). Keempat variabel ini saling memiliki keterkaitan dan saling bersinergi satu dengan yang
lainnya.

a. Komunikasi

Setiap kebijakan akan dapat dilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi efektif antara
pelaksana program dengan kelompok sasaran. Selain itu, apa yang menjadi tujuan dan sasaran
kebijakan juga harus dipahami dengan baik oleh pelaksanan dan juga penerima/sasaran
program.

Pada kasus implementasi kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura, dapat


terlihat dengan jelas bahwa komunikasi tidak berjalan dengan baik antara pelaksana dan
penerima program. Hal ini terlihat dengan hanya menjadikan masyarakat, khusus pekerja seks
komersil sebagai objek kebijakan. Masyarakat tidak dilibatkan sebagai subjek kebijakan,
padahal dalam pasal 6 ayat 3 Peraturan Daerah Nomor 20 tahun 2003 tentang Pencagahan dan
Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS, disebutkan bahwa ‘Masyarakat dan LSM menjadi
pelaku utama, sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing dan
menciptakan suasana yang mendukung.’ Apa yang tertuang dalam pasal tersebut, mengarah
pada terwujudnya partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.

Padahal masyarakat, sangat membutuhkan informasi dan pendidikan mengenai HIV/AIDS.


Khusus untuk pekerja seks komersil, mereka sebenarnya memegang peranan penting dalam
penyebaran HIV/AIDS, oleh karena itu, mereka seharusnya diberikan pengetahuan
(komunikasi) yang baik mengenai HIV/AIDS, hal ini penting guna menghambat penyebaran
penyakit tersebut.

b. Sumber Daya

Sumber daya yang dimaksud disini adalah sumber daya manusia dan sumber daya finansial.
Berdasarkan hasil penelitian Haryanto, dkk (2010) disebutkan bahwa implementasi kebijakan
pencagahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura masih terkendala masalah
sumber daya manusia, baik secara kuantitas maupun kualitas. Ketersediaan tenaga kesehatan
di Kabupaten Jayapura khususnya untuk penanganan penderita HIV/AIDS masih sangat
kurang. Penderita HIV/AIDS memerlukan tenaga profesional tidak saja untuk pengobatan akan
tetapi juga dukungan psikologi dan sosial. Hal tersebut menyebabkan kesulitan pemberdayaan
penderita HIV/AIDS.

Selain sumber daya manusia, faktor finansial juga memegang peran penting dalam
keberhasilan implementasi kebijakan. Penderita HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura setiap
tahunnya terus meningkat, hal ini tentunya membawa konsekuensi semakin besarnya dana
yang harus disediakan tiap tahunnya. Pendanaan yang semakin besar mengingat penderita
HIV/AIDS harus mengkonsumsi ARV sepanjang hidupnya, selain itu pemerintah juga harus
memberikan dukungan kepada para penderita HIV/AIDS karena umumnya mereka
mendapatkan perlakuan diskriminatif di masyarakat.

Pemerintah Kabupaten Jayapura mengalami kesulitan pendanaan dalam pencegahan dan


penanggulangan HIV/AIDS, untuk mengatasi masalah pendanaan, pemerintah selama ini
tergantung kepada bantuan lembaga donor asing. Hal ini bisa dikatakan cukup baik, akan tetapi
perlu menjadi perhatian pemerintah adalah bantuan lembaga donor biasanya hanya bersifat
sementara, sedangkan kesuksesan penanggulangan HIV/AIDS membutuhakn kesinambungan
program-program.
c. Disposisi

Disposisi menunjukan karakteristik implementor kebijakan seperti komitmen, kejujuran, dan


demokratis. Dalam hal komitmen, pemerintah Kabupaten Jayapura seperti sangat serius dalam
penanggulangan HIV/AIDS. Terbukti dengan diterbitkannya Perda yang konsen dalam
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, sekaligus merupakan perda pertama di Indonesia
yang fokus pada masalah HIV/AIDS. Komitmen juga ditunjukan dengan sering terlibat
langsungnya kepada daerah dalam berbagai kegiatan pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS di lapangan.

Yang masih harus menjadi perhatian adalah faktor kejujuran dan demokratis. Belum
dilibatkannya masyarakat secara langsung dalam berbagai program pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS membuktikan belum demokratisnya pemerintah Kabupaten
Jayapura dalam implementasi kebijakan.

d. Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi pemerintah Kabupaten Jayapura dalam mengimplementasikan kebijakan


pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dikatakan cukup baik. Selama ini pemerintah
Kabupaten Jayapura cukup terbuka dalam membangun kerja sama dengan pemerintah provisi
dan pusat, membangun kemitraan bersama berbagai LSM yang ada di daerah, dan juga
menjalin kerja sama dengan lembaga donor asing.

Akan tetapi masih terdapat masalah dalam keterbatasan kapasitas birokrasi terkait sumber daya
manusia yang ada. Selain itu, berbagai bantuan dari lembaga donor dan juga kerja LSM kurang
terkoordinasi, sehingga yang terjadi seolah berjalan ‘sendiri-sendiri’, tanpa adanya sinergi.

2. Teori Model Kelayakan Kebijakan David C. Korten

Menurut Korten kebijakan dikatakan layak atau akan berjalan dengan baik apabila terjadi
sinergi antara kebijakan itu sendiri dengan pelaksanan kebijakan dan penerima kebijakan.
Ketiga variabel (kebijakan, pelaksana, dan sasaran) harus berada dalam kondisi yang
baik/layak.

a. Kebijakan

Komitmen pimpinan politik merupakan salah satu pendorong keberhasilan implementasi


kebijakan. Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pencagahan dan Penanggulangan
HIV/AIDS dan IMS merupakan salah satu komitmen politik pemerintah Kabupaten Jayapura
dalam menganggulangi kasus HIV/AIDS di Jayapura. Selain itu, Bupati sering terlihat
keikutsertaannya dalam aktivitas-aktivitas penanggulangan HIV/AIDS di daerah
(Haryanto,dkk. 2010).

Tidak semua daerah memiliki perda tentang HIV/AIDS. Kabupaten Jayapura merupakan
dearah pertama di Indonesia yang memiliki Perda yang concern pada pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS. Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pencagahan dan
Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS merupakan inisiatif pemerintah (top-down), namun pada
proses implementasinya melibatkan multi aktor, baik dari pemerintah, non pemerintah, dan
masyarakat.

Secara normatif, tujuan dari Perda Nomor 20 tahun 2003 adalah menekan laju HIV/AIDS di
wilayah Kabupaten Jayapura (Haryanto,dkk. 2010). Tujuan ini sangat jelas, sehingga mampu
menjadi pedoman bagi para implementor dalam melaksanakan Perda tersebut. Jika ditelaah
lebih jauh, Perda ini sebenarnya bertujuan untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dalam
menanggulangi masalah HIV/AIDS di Jayapura. Melalui pemberdayaan masyarakat
diharapkan mampu menekan laju penyebaran penyakit HIV/AIDS, diantaranya dengan
mencegah terjadinya penularan kepada orang sehat, melibatkan peran serta LSM
yang concern pada masalah HIV/AIDS, dan juga meminimalisir stigma di masyarakat
mengenai HIV/AIDS, sehingga pengidap HIV/AIDS juga dapat hidup normal di dalam
masyarakat.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka kebijakan pemerintah Kabupaten Jayapura, yakni


Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS
dan IMS, bisa dikata sudah cukup baik. Maka yang menjadi fokus selanjutnya adalah
bagaimana Perda itu diimplementasikan.

b. Pelaksanan Kebijakan

Aktor yang terlibat dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2003 terdiri dari
aktor pemerintah, aktor non pemerintah, aktor internasional, dan masyarakat. Hal ini
menunjukan implementasi Perda tersebut telah melibatkan multi-aktor.

Aktor pemerintah Kabupaten Jayapura sendiri terkendala baik secara kuantitas maupun
kualitas. Ketersediaan tenaga kesehatan di Kabupaten Jayapura khususnya untuk penanganan
penderita HIV/AIDS masih sangat kurang. Penderita HIV/AIDS memerlukan tenaga
profesional tidak saja untuk pengobatan akan tetapi juga dukungan psikologi dan sosial. Hal
tersebut menyebabkan kesulitan pemberdayaan penderita HIV/AIDS.

Aktor internasional bertindak bertindak sebagai lembaga donor dalam berbagai program
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Jayapura. Tetapi perlu menjadi perhatian
pemerintah Jayapura adalah bantuan lembaga donor asing biasanya hanya bersifat sementara,
sedangkan kesuksesan penanggulangan HIV/AIDS membutuhakn kesinambungan program-
program. Adapun peran LSM dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Jayapura
adalah sebagai mitra dari pemerintah. Sedangkan masyarakat hanya ditempatkan sebagai objek
kebijakan.

c. Sasaran Kebijakan

Ditengah gencarnya pemerintah dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di


Jayapura, masyarakan sebagai sasaran kebijakan hanya ditempatkan sebagai objek kebijakan.
Padahal dalam pasal 6 ayat 3 Peraturan Daerah Nomor 20 tahun 2003 tentang Pencagahan dan
Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS, disebutkan bahwa ‘Masyarakat dan LSM menjadi
pelaku utama, sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan,membimbing dan
menciptakan suasana yang mendukung.’

Padahal masyarakat, sangat membutuhkan informasi dan pendidikan mengenai HIV/AIDS.


Khusus untuk pekerja seks komersil, mereka sebenarnya memegang peranan penting dalam
penyebaran HIV/AIDS, oleh karena itu, mereka seharusnya diberikan pengetahuan
(komunikasi) yang baik mengenai HIV/AIDS, hal ini penting guna menghambat penyebaran
penyakit tersebut.

Penderita HIV/AIDS seharusnya tidak hanya menjadi objek, tetapi juga menjadi subjek
kebijakan. Keterlibatan penderita (pemberdayaan) dalam penanggulangan HIV/AIDS memiliki
banyak keuntungan diantaranya dapat sebagai efektive prevention,yaitu kesadaran untuk tidak
menularkan penyakit yang dideritanya kepada orang lain. Pada tingkat sosial, keterlibatan
mereka membantu mengurangi stigma dan diskriminasi (Haryanto,dkk. 2010).

2.2 Pemangku Kepentingan (Stakeholder) dalam Kebijakan Penanggulangan HIV dan


AIDS di Kabupaten Jayapura

2.2.1 Stakeholder Sekunder

1. Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Kabupaten Jayapura

Sesuai dengan amanat perda, KPA merupakan komisi bentukan pemerintah yang memiliki
tugas dan wewenang sekaligus fokus terhadap semua kegiatan yang bersinggungan dengan
pengendalian, penanggulangan, dan pencegahan HIV dan AIDS di Kabupaten Jayapura. Segala
bentuk kordinasi, arus informasi, dan program yang dilakukan dipimpin oleh komisi ini.

2. LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)

Lembaga Swadaya Masyarakat atau yang selama ini dikenal dengan LSM atau NGO adalah
organisasi di luar pemerintah yang memiliki misi untuk ikut serta dalam pembangunan dalam
bidang-bidang tertentu. Begitu halnya dengan di Kabupaten Jayapura dal-am rangka
mengurangi penyebaran AIDS yang masif, terdapat banyak LSM yang fokus dalam
pembangunan kesehatan khususnya pengendalian penanggulangan HIV dan AIDS. Dari
banyak LSM, salah satu LSM di Kabupaten Jayapura yang berperan aktif pendampingan
program pemerintah dalam kegiatan penang-gulangan HIV dan AIDS adalah LSM Paramitra,
berbagai bentuk programnya yang bertujuan penguatan masyarakat lapis bawah menuju
dimilikinya hakhak sosial, ekonomi, dan politik khususnya dalam bidang kesehatan merupakan
bentuk yang nyata dukungan LSM ini pada kebijakan pemerintah.

2.2.2 Stakeholder Primer

1. Orang-orang yang rentan (vulnerable people)

Orang-orang yang beresiko tertular adalah mereka yang berperilaku beresiko untuk tertular
HIV. Pencegahan untuk populasi ini ditujukan untuk mengubah perilaku berisiko menjadi
perilaku aman. Orang-orang yang rentan adalah orang-orang yang memiliki pekerjaan atau
penghasilan dalam suatu lingkungan, dan atau kesejahteraan keluarga secara perekonomian
yang rendah dan memiliki kondisi kesehatan yang labil, sehingga beresiko tertular dan
menularkan HIV seperti mereka yang memiliki profesi sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK),
Waria (Wanita Tapi Pria), Gay (Lelaki Suka Lelaki), serta pelanggan-pelanggan mereka yang
juga ikut andil dalam penularan ke masyarakat yang lebih luas.

2. Orang-orang terinfeksi (infected people)

Orang yang bisa dinyatakan sebagai stakeholder ini yakni orang sebagai penderita atau yang
sudah tertular HIV yang dikenal dengan sebutan ODHA (Orang dengan HIV AIDS). Dari data
yang diperoleh jumlah ODHA atau penderita di Kabupaten Jayapura cukup tinggi, jumlah yang
selama ini diketahui belum bisa dikatakan data final dalam arti masih banyak ODHA yang
belum terdeteksi jumlahnya karena belum sediaannya mereka mengikuti layanan kesehatan
yang disediakan Pemerintah seperti VCT-IMS yang disediakan oleh Pemerintah.

3. Masyarakat umum Masyarakat umum merupakan sasaran sekaligus stakeholder primer dari
kebijakan penanggulangan Aids di Kabupaten Jayapura, karena masyarakat merupakan
kelompok yang mempunyai keterikatan langsung terhadap kebijakan ini. Kebijakan ini
disamping untuk melindungi masyarakat dari tertularnya HIV dan AIDS, upaya
penanggulangan akan jauh lebih mudah apabila melibatkan masyarakat umum atau kelompok
yang lebih luas.

2.3 Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat

2.3.1 Faktor Pendukung dalam Kebijakan Penanggulangan AIDS di Kabupaten


Jayapura

Implementasi kebijakan kebijakan penanggulangan mendapat dukungan dari berbagai


macam institusi baik dari lembaga pemerintah maupun non pemerintah yang ter-gabung dalam
Kelompok kerja. Dukungan dari LSM yang telah lama mengawal per-kembangan HIV dan
AIDS di kabupaten Malang sangat membantu berbagai program pe-nanggulangan yang telah
digalakkan pemerintah.

Dalam hal kebutuhan akan pemetaan hotspot atau kelompok kunci dari daerah-daerah
atau titik yang diduga terdapat interaksi yang rentan beresiko adanya kegiatan penularan HIV
dan AIDS melalui transmisi seksual dibutuhkan jaringan sampai akar rumput. Adanya sebuah
jaringan yang terbangun oleh pokja sangat membantu program penanggulangan yang tengah
dilaksanakan oleh Pemeritah Kabupaten Jayapura. Sehingga pendampingan bisa dilakukan
pada kelompok-kelompok yang benar-benar menjadi sasaran kebijakan.

Sarana dan prasarana yang nota bene menjadi penunjang keberhasilan kebijakan secara
bertahap juga telah dipenuhi dengan baik. Hal tersebut bisa dilihat dari fasilitas-fasilitas yang
dikhususkan untuk pemeriksaan HIV dan AIDS telah mengalami perbaikan baik dari kualitas
maupun kuantitasnya. Kualitas yang dimaksud adalah bertambahnya praktisi dan ahli yang
terjun langsung dalam kegiatan penanggulangan seperti dokter, BNK, aktifis pegiat AIDS dll
baik dari kualitas dan kuantitas mengalami perbaikan. Begitu pula dengan infrastruktur seperti
fasilitas mobil klinik yang mengalami penambahan, obat-obatan yang notabene gratis, dan
fasilitas kesehatan VCT dan IMS yang diadakan hampir setiap rumah sakit dan sebagian
puskesmas di kabupaten Malang. Hal ini merupakan faktor pendukung kebijakan
penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Jayapura.

2.3.2 Faktor Penghambat Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten


Jayapura

Meskipun merupakan hal yang normatif, Kurangnya kordinasi antar stakeholder


menjadikan kurang maksimalnya realisasi prog-ram yang akan dilaksanakan. Hal ini
menjadikan penghambat yang hingga saat ini masih belum bisa ditemukan, sehingga banyak
ditemukan miss komunikasi dan pengertian khususnya pada tataran teknis, meski pada
hakikatnya stakeholder saling mendukung satu sama lain.

Faktor penghambat yang selanjutnya adalah tingkat pemahaman masyarakat resiko


maupun masyarakat umum terhadap IMS atau pendidikan kesehatan reproduksi yang masih
sangat minim. Oleh karena itu dibutuhakan variasi kegiatan kampanye dan penyuluhan agar
mampu menyentuh kelompok masyarakat yang lebih luas dan memahamkannya. Minimnya
penggunaan kondom khususnya pada kelompok-kelompok resiko dan populasi kunci seperti
pelanggan, WPS, PSK, Waria dan kelompok kunci lainnya merupakan hal yang menjadikan
HIV dan AIDS di kabupaten malang sulit ditekan.

Hal ini sangat sulit ditangani karena keterbatasan pelaksana kebijakan kecuali dengan
melakukan penyadaran dan pemaham kelompok tersebut untuk menggunakan kondom.
Mobilitas kelompok beresiko yang keluar masuk di Kabupaten Jayapura baik dari luar daerah
Malang maupun antar lokalisasi ke lokalisasi lainnya dalam kawasan Kabupaten Jayapura
menjadikan perhatian tertentu daripada pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS, karena
tinggi rendahnya tingkat mobilitas kelompok beresiko tertular dan menularkan HIV/AIDS atau
dalam hal ini dikatakan para pelaku prostitusi seperti PSK dan pelanggan menjadikan tantangan
sekaligus faktor penghambat penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura.

Terdeteksinya PSK oleh KPA dan LSM melalui Facebook dan jejaring sosial lainya
menyebabkan berkembangnya kegiatan prostitusi secara terselubung yang diketahui profesi
pelakunya juga bervariasi seperti ibu rumah tangga, penjaga toko, pemijat, ayam kampus, sales,
dan lain-lain. Banyaknya hotel dan losmen di Kabupaten Malang yang menyediakan kamar
tanpa harus menunjukkan Surat Nikah/KTP disertai alamatnya, sehingga pelanggan tidak perlu
ke lokalisasi yang berada di luar daerah, hal ini jelas menambah daftar panjang tingkat kesulitan
penjangkauan dan pendampingan untuk merubah perilaku seks resiko oleh KPA maupun
stakeholder yang lain.

2.4 Penilaian

Berdasarkan teori dari Edward dan Korten, terdapat tujuh variabel yang berpengaruh
terhadap keberhasilan implementasi kebijakan. Selanjutnya, penulis mencoba untuk
memberikan penilaian terhadap Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pencagahan
dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS di Jayapura terkait pemberdayaan masyarakat.
Penilaian ini berdasarkan pembahasan sebelumnya dengan menggunakan tujuh variabel.
Penilaiannya sebagai berikut :
Tabel 2. Penilaian Kebijakan

Variabel Penilaian

Baik Cukup Kurang

Kebijakan

Pelaksana

Sasaran

Komunikasi

Sumber Daya

Disposisi

Struktur Birokrasi

Berdasarkan penilaian di atas, terlihat bahwa implementasi Peraturan Daerah Nomor


20 Tahun 2003 tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS di Jayapura
kurang berjalan dengan baik. Namun bukan berarti Perda tersebut gagal begitu saja. Sebab
secara kebijakan, perda tersebut dapat dikatakan layak, yang perlu dilakukan pemerintah
Kabupaten Jayapura saat ini adalah bagaimana mengevaluasi dan membenahi berbagai
kekurangan yang ada. Selain itu, pemerintah juga harus lebih melakukan pemberdayaan
masyarakat dalam menganggulangi masalah HIV/AIDS, sebab masyarakat juga memegang
peranan yang sangat penting. Masyarakat jangan lagi hanya dijadikan objek kebijakan, akan
tetapi mereka juga harus dilibatkan sebagai subjek kebijakan.

Fenomena tingginya kasus HIV/AIDS di Kab. Jayapura bukan semata-mata merupakan


sebuah kegagalan implementasi kebijakan. Sebab untuk menunjukan gejala seseorang
terinfeksi memerlukan waktu yang lama, yakni dengan masa full-blown AIDS berkisar 5-10
tahun. Bertambahnya penderita HIV/AIDS tidak selamanya merupakan kegagalan program,
sebeb bisa juga merupakan keberhasilan pemerintah dalam melakukan pendataan masyarakat
yang terinfeksi HIV/AIDS, sehingga bisa dilakukan langkah-langkah selanjutnya guna
mencegah penyebaran yang lebih luas.

Masalah HIV/AIDS merupakan masalah yang sulit. Namun sudah menjadi tugas
pemerintah untuk melindungi masyarakatnya dari berbagai ancaman dalam berbagai bentuk,
termasuk HIV/AIDS.

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan Dan Saran

Implementasi Perda Nomor 20 Tahun 2003, belum optimal. Peraturan Daerah tentang
HIV dan AIDS di Kabupaten Jayapura, penanganan masih sebatas pengawasan terhadap para
pelaku seks di tempat prostitusi resmi dan tak resmi. Agar pelaksanaan Perda lebih maksimal
Pemerintah daerah Kabupaten Jayapura perlu mencontoh implementasi Perda pencegahan dan
penanggulangan HIV-AIDS Kabupaten Marauke. Implementasi Perdapencegahan dan
penanggulangan HIV-AIDS Kabupaten Marauke disertai dengan adanya sanksi yang tegas,
seperti apabila ada seseorang pekerja seks yang sampai tiga (3) kali ketahuan menderita IMS,
maka yang bersangkutan akan disidangkan secara tindak pidana ringan (Tipiring), dan yang
bersangkutan bisa dikenakan denda sebesar Rp. 1 juta.Sebenarnya Perda pencegahan dan
penanggulangan HIV-AIDS di Kabupaten Jayapura juga disertai dengan sanksi yang tegas,
hanya saja dalam implementasinya sanksi tersebut tidak diterapkan.

Maraknya minuman keras dan transaksi seksual yang sudah membudaya dimasyarakat
Jayapura merupakan salah satu faktor terbesar penyebaran HIV-AIDS. Dalam hal ini perlu
dilakukan dua pendekatan, yakni pendekatan pendidikan dan religi. Pemerintah bisa bekerja
sama dengan para tokoh agama untuk menyadarkan masyarakat bahwa apa yang mereka
lakukan saat ini adalah perbuatan dosa dan harus ditinggalkan.

Para pemilik modal dan pekerja seks juga diberdayakan dengan


dilatih keterampilanatau bidang kerja lainnya yang lebih baik, sehingga kemudian mereka
bisa dikembalikan ke masyarakat dan mencari uang secara baik. Pemerintah harus berani dan
tegas untuk mencabut izin usaha pengelola lokalisasi yang terbukti melanggar aturan. Tempat
lokalisasi ditutup dan diganti dengan rumah ibadah dan sarana pendidikan umum lainnya.
Sehingga, Peraturan daerah tidak hanya menjadi pajangan yang mengecoh (AIDS Watch
Indonesia; 08 Oktober 2012).

Implementasi Perda HIV-AIDS oleh Pemda Jayapura, perlu melihat apakah dari
masyarakat Jayapura sendiri mengetahui apa itu HIV-AIDS, akibatnya apapun usaha yang
dilakukan pemerintah tanpa memahami keterbatasan yang ada ditengah-tengah masyarakat
sama halnya usaha ‘menjaring angin’. Sehingga komunikasi dan pendidikan mengenai
HIV/AIDS perlu dilakukan oleh pemerintah dengan membangun kerja sama dengan berbagai
organisasi yang perduli terhadapa HIV/AIDS.

DAFTAR PUSTAKA

Ditjen PP & PL Kemenkes RI. 2014. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia.


Harahap, Syaiful W. 2012. Penanggulangan HIV/AIDS di Jayapura, Papua, Tidak
Konkret.http://regional.kompasiana.com/2012/01/28/penanggulangan-hivaids-di-kab-
jayapura-papua-tidak-konkret/, diakses 20 November 2012.

Haryanto,dkk. 2010. “Implementasi Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS


dan Infeksi Menular Seksual (IMS) di Kabupaten Jayapura”. Spirit Publik.Volume 7, Nomor
1: 67-85.

http://siha.depkes.go.id/portal/filesupload/Laporan_HIV_AIDS_TW_1_2017_rev.pdf

Anda mungkin juga menyukai