TERHADAP HUKUM
Diajukan untuk:
Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Nilai Tugas Mata Kuliah Filsafat
Hukum
Oleh:
Syifa Fauziah
0101 15 122
Semester 6 / Kelas 8 GH
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAKUAN
BOGOR
2017
KATA PENGANTAR
Segala puji saya panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya,
saya dapat mengerjakan tugas karya ilmiah ini. Saya menulis karya ilmiah ini sebagai
persyarakatn untuk memenuhi salah satu syarat dalam mendapatkan nilai tugas pada
mata kuliah Filsafat Hukum pada Fakultas Hukum, Universitas Pakuan Bogor.
Karya tulis ini, saya susun karena mendapatkan tugas dari dosen mata kuliah Filsafat
Hukum dengan tema “Tinjauan Filsafat Hukum” dan judul “Pandangan Brian Z.
Tamanaha Dalam Teori Tamanaha Terhadap Hukum”, yang juga menjadikan ini
sebagai ilmu pengetahuan untuk saya dan juga untuk mendapatkan nilai tugas
Demikian, karya tulis ini saya tulis untuk melengkapi tugas dari dosen matakuliah.
Mohon maaf apabila ada tulisan yang kurang berkenan dalam karya tulis ilmiah ini.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
dari salah satu putusan Mahkamah Agung yang menghukum Nenek Rasminah
(57 tahun) yang terbukti mencuri enam buah piring dan bahan baku sop buntut
milik majikannya dengan hukuman penjara selama 130 hari (melalui putusan
nomor 653K/PID/2011), dan kasus lainnya seperti kasus pencurian sendal jepit
dan kasus Mbok Minah yang mencuri kakao. Hal inipun menimbulkan banyak
keadilan.
sama. Hukum yang ia temui pada masyarakat Mikronesia sangat berbeda dengan
secara keseluruhan dari Amerika Serikat, tetapi kebiasaan dan nilai yang
Hal tersebutlah yang mendasari adanya penyusunan makalah ini dengan judul
B. Identifikasi Masalah
berikut:
1
Federasi Melanesia adalah negara kepulauan yang terletak di Samudera Pasifik, sebelah
barat Kepulauan Hawaii, Amerika Serikat. Sebelum menjadi negara berdaulat tahun 1986, Kepulauan
Mikronesia merupakan wilayah pewalian PBB dibawah Pemerintahan Amerika Serikat.
2
Brian Z. Tamanaha, A General Jurisprudence of Law dan Society, Oxford, New York,
2006, hlm. xi-xii.
1. Bagaimana pandangan Brian Z. Tamanaha terhadap hukum?
lain?
Dari uraian diatas dapat diidentifikasikan masalah yang akan diteliti, yaitu:
C. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
terhadap hukum;
PEMBAHASAN
Hukum
bukan hanya kumpulan norma atau uji coba pejabat negara, tetapi pengaturan
pada dunia peradilan sebagai fenomena sosial, dalam arti interaksi para pihak yang
sosial yang lebih luas. Proyek formalisme hukum adalah menelusuri bentuk-
bentuk argumentasi moral yang digunakan sebagai pembenaran oleh para pihak.
Unit dasar analisis para formalis adalah hubungan internal hukum, dalam arti
hukum terdiri dari elemen-elemen seperti konsep, prinsip, proses, agen, dan lain-
lain, yang mengambil peran secara bersama-sama ketika sebuah klaim hukum
ditegaskan.3
Realisme hukum adalah teori hukum dan peradilan yang berbasis pada apa
yang senyatanya dilakukan oleh hukum dalam memutus perkara. Kaum realis
fakta dipengaruhi baik secara sadar maupun tidak sadar oleh berbagai faktor
3
Ernest J. Weinrib, “Legal Formalism”, dalam Denis Patterson (ed.), A Companion to
Philosophy of Law and Legal Theory (Second Edition), Wiley-Blackwell, West Sussex, 2009, hlm. 327-
328.
seperti faktor psikologis, sosiologis, politis, dan sebagainya. Metode yang
digunakan oleh kaum realis adalah teori prediksi yang intinya adalah sebuah
norma disebut norma hukum jika norma tersebut mengkonstitusi prediksi yang
akurat tentang apa yang akan dilakukan oleh pengadilan. Kriteria legalitas
berdasarkan teori prediksi adalah apa yang dilakukan oleh pengadilan pada kasus
pendekatan ilmu sosial terhadap hukum dengan pendekatan ilmu sosial berarti
4
Brian Leiter, “American Legal Realism”, dalam Dennis Patterson (ed.), A Companion to
Phylosophy of Law and Legal Theory, Second Edition, Wiley Blackwell, West Sussex, hlm. 249-252.
Tabel 1
Formalisme Hukum5
5
Muji Kartika Rahayu, Sengketa Mahzab Hukum, 2018, hlm.63.
ketika gelombang protes tentang hak sipil dan
perang sangat menarik. Ini adalah masa puncak dari
pandangan skeptis terhadap hukum. kondisi tersebut
dimanfaatkan oleh kaum realis untuk
membangkitkan kembali gambaran tentang karakter
hukum formalis. (Tamanaha, 2010, hlm.61)
Klaim Penalaran Hukum: Tidak ada indikator yang jelas kapan putusan
Formalisme menalar hukum pengadilan disebut merefleksikan penalaran yang
secara ketat tanpa sesungguhnya dan kapan mencerminkan topeng
menghiraukan tujuan, pelindung manipulasi.
lingkungan, akibat maupun Formalisme merupakan sebutan ilmuwan politik
keadilan. terhadap pengadilan dan hakim yang menganut
Model penalaran ini pandangan politik konservatif. Formalisme juga
sebenarnya adalah tipuan diidentikkan dengan ideologi ekonomi pasar bebas
untuk memanipulasi hukum (laissez-faire) atau libertarian yang menentang
demi membenarkan tujuan kebijakan yang proburuh dan kesejahteraan sosial.
atau hasil yang diinginkan. Tamanaha mengajukan data legislasi dan putusan
Sayangnya, masyarakat pengadilan yang menyangkut isu perburuhan,
percaya bahwa para hakim kesejahteraan, dan lain-lain. Tamanaha juga
menalar secara deduktif dan mengajukan data legislasi yang menunjukkan
mekanis tanpa mereka tahu bahwa legislasi di Amerika Serikat tahun 1891
bahwa sesungguhnya hakim sudah mengatur isu sosial dan ekonomi, termasuk
dipandu oleh kepentingan batasan jam kerja, ketersediaan kamar mandi, hari
pribadi atau kelompok libur, bentuk-bentuk pembayaran, batas kerja anak,
tertentu. (Tamanaha, 2010, perlindungan serikat buruh, kebebasan berkontrak,
hlm.59) variasi pajak, larangan merokok, larangan judi,
larangan alkohol, pendidikan, asuransi kesehatan,
perbankan, batasan harga, dan batasan operasi bagi
korporasi tertentu.
Klaim Ilmu Hukum: Banyak ahli hukum yang berpandangan bahwa
Ilmu hukum adalah ilmu hukum adalah ilmu eksak, tetapi tidak secara
eksak. Hukum mengandung pesimistis dan peyoratif. Dari cara penyampaian
kepastian. yang optimis tersebut, hukum sebagai ilmu
mencakup empat pengertian: (1) pengetahuan
sistematis; (2) filosofis; (3) sosiologis; (4)
honorofic, yaitu terminologi tanpa substansi riil.
(Tamanaha, 2010, hlm. 28 dan 30)
Ada banyak ahli hukum yang memberi kesaksian
bahwa pada era formalisme ada banyak produk
hukum (putusan pengadilan maupun regulasi) yang
tidak berwatak pasti, yang ditandai dengan redaksi
buruk, tidak mencerminkan keteraturan,
terfragmentasi, membingungkan, tumpang tindih,
dan bertele-tele.
Klaim tentang Hakim dan Tamanaha mengajukan laporan penelitian tentang
Penghakiman: hubungan antara cara hakim mengambil putusan
Formalisme berarti hakim dan cara hakim memperlakukan hukum. Dari riset
sebagai penafsir peraturan tersebut, Tamanaha berkesimpulan bahwa asumsi
sehingga selalu mengikuti tentang hakim selalu mengadopsi template yang
peraturan. Realisme berarti sama adalah kesimpulan yang salah dan tidak
hakim sebagai pembuat terverifikasi secara faktual. Adanya persamaan
peraturan sehingga selalu orientasi dalam pengambilan putusan, meskipun ada
membuat pilihan. berbagai perbedaan dibalik proses tersebut,
Hakim liberal akan merujuk merupakan hal yang biasa diantara hakim.
pada peraturan liberal, (Tamanaha, 2010, hlm. 133-135)
sebaliknya hakim konservatif Tamanaha mengajukan penelitian tentang tujuan
akan merujuk pada peraturan hakim dalam mengambil keputusan dan hubungan
konservatif. antara preferensi politik dan metode mengadopsi
Perbedaan pendapat peraturan. Dari riset tersebut, Tamanaha
(dissenting opinion) berkesimpulan bahwa: (1) hakim sama seperti
merupakan turunan dari pelaku profesi lainnya memiliki beberapa tujuan
perbedaan ideologi, yang kadang-kadang berkonflik dan mereka bisa
kolegialitas panel hakim. menilai tinggi sesuatu yang tidak dianggap penting
oleh orang luar. Banyaknya hakim yang lebih
mengutamakan putusan cepat daripada putusan adil
dilatarbelakangi oleh banyaknya jumlah perkara dan
pihak berperkara. Meski demikian, tujuan
menghasilkan putusan secara cepat tetap sejalan
dengan tujuan menghasilkan putusan benar secara
hukum; (2) ketidakpastian hukum dalam putusan
pengadilan mengundang isu kecurigaan secara
politik; (3) konteks politik berpengaruh pada saat
sebuah kasus dibuka secara hukum, bukan pada saat
membuat pertimbangan putusan. (Tamanaha, 2010,
hlm.136-137)
Tamanaha meminjam beberapa hasil penelitian
tentang dissenting opinion, yang menunjukkan
bahwa: (1) perbedaan atau persamaan pendapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk
signifikasi kasus, keberadaan hukum yang ambigu,
pendapat ahli tentang sebuah hukum, antisipasi
penilaian oleh Mahkamah Agung; (2) tidak ada
hubungan yang signifikan antara preferensi politik
dan tingkat perbedaan internal panel hakim; (3)
pengaruh ideologi muncul, tetapi dampaknya pada
putusan sangat kecil; (4) ideologi, gender,
kesejahteraan, identitas para pihak yang berperkara,
komposisi panel hakim ditemukan berhubungan
dengan putusan pada beberapa kasus, tetapi
pengaruhnya bukan pada tataran substansi.
Bertolak dari kritik terhadap realisme tersebut, Tamanaha mengajukan
konsep baru yang diberi nama "realisme berimbang" (balanced realism). Ada
formalisme maupun era realisme, bahkan hingga saat ini. Kedua, apresiasi
terhadap kontribusi kaum realis dan temuan-temuannya membuktikan bahwa
hakim dan penghakiman adalah politis. Ketiga, perlu ada upaya memaknai
kembali formalisme hukum yang selama ini didefinisikan secara peyoratif dan
yaitu:
lainnya.
willful judging) maupun tidak sadar (yang disebut kerangka pikir atau
cognitive framing).6
mesin atau komputer, melainkan subjek yang terikat pada kerangka pikir,
penghakirnan.7
putusan/aturan yang buruk atau dampak yang tidak sesuai dengan tujuan,
6
Brian Z. Tamanaha, Beyond the Formulist-Realist Divide, The Role Of Politics in Judging,
2010, New Jersey: Priceton University Press, hlm.187.
7
Ibid, hlm.194.
tetapi sebagai persoalan yang tidak terhindarkan akibat adanya
sendiri.
sosial masuk melalui bahasa dan kerangka pikir hakim. Hal ini dilakukan
dengan cara hakim secara implisit maupun eksplisit merujuk pada tujuan
pilihan antara dua tafsir hukum atau dua preseden. Pengaruh sosial
8
Ibid, hlm. 190.
diperlukan terutama ketika hakim menangani kasus sulit dan hakim
percaya bahwa putusannya tidak akan adil atau merugikan secara sosial
jika dia hanya merujuk pada dasar hukum yang sudah usang. Kedua,
secara otomatis, baik secara sadar atau tidak sadar, tidak bisa dihindari
penerapan hukum. Hal ini karena hakim direkrut dan disaring melalui
indikator faktor sosial. Pada tataran ini, bahkan yang berperan adalah
lebih tinggi, menghadapi tatapan mata para pihak dan pengacara yang
realistis
9
Ibid, hlm. 193.
personal bersama dengan peraturan perundangan. Tidak realistis dalam
hukum.
Untuk itu, "realisme berimbang" tidak melihat keduanya sebagai hal yang
tidak terhindarkan, melainkan sebagai ha] Yang melekat pada hukum dan
peradilan. Lugasnya, putuskan apa yang kamu pikir benar! Artinya, hakim
berorientasi pada dampak yang mereka inginkan dan bisa memanipulasi aturan
yang bisa diterima secara konvensional, proses itu disebut pengambilan putusan
pengaruh hukum. Yang membuat sistem persidangan tetap efektif di tengah situasi
keterbatasan hukum dan hakim adalah komitmen sebagian hakim untuk tetap
Peradilan akan mengikat secara hukum hanya jika hakim berkomitmen untuk
sebagai hakim, keberadaan sistem peradilan yang berbasis hukum juga akan
semakin turun.10
Positivisme Hukum
pendekatan ilmu sosial. Dia mengambil sampel konsep hukum H.L.A. Hart yang
akan dibaca dengan tiga teori sosial, yaitu konvensionalisme, fungsionalisme, dan
10
Ibid, hlm.198-199.
negara untuk mendapatkan konsep hukum), menggunakan kendaraan lain (ilmu
sosial, bukan ilmu hukum), dan menemukan celah pada pendekatan Hart yang bisa
ditutupi oleh pendekatan ilmu sosial. Terakhir, Tamanaha membuat argumen baru
tentang konsep hukum yang mengakomodasi pendekatan ilmu hukum dan ilmu
sosial.
dan "nomoi" yang merujuk adat-istiadat, konsep moral, dan way of life. Begitu
pula kata "ius" (Latin), "recht" German dan Belanda), "droit" (Francis) dan
disederhanakan menjadi dua tesis, yaitu hukum sebagai cermin masyarakat (the
mirror thesis] dan hukum berfungsi untuk menjaga keteraturan masyarakat ( the
social order thesis]. Kedua tesis tersebut sangat berhubungan sehingga menjadi
satu rumusan, yaitu hukum adalah cermin masyarakat, yang berfungsi untuk
menakutkan.
11
Brian Z. Tamanaha, A General Jurisprudence of Law and Society, 2001, hlm.8.
Cara lain untuk mendeflnisikan hukum adalah dengan cara menguraikan
Kebiasaan di sini merujuk pada tradisi dan praktik sosial yang sudah ada dan terus
sejarah, salah satu pendekatan ilmu hukum yang berkembang pada abad ke-19.
pada aturan yang dibuat dan ditegakkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan.
Positivisme hukum dikaitkan dengan tradisi analitis yang berkembang pada abad
antara lain H.L.A. Hart. Hart menyebut bahwa hukum di setiap negara modern
dipengaruhi oleh moralitas sosial yang diterima dan gagasan moral yang lebih
luas. Lawrence M. Friedman menyebut bahwa sistem hukum tidak bebas dari
konteks sosial pada ruang dan waktu tertentu, serta pasti merefleksikan apa yang
12
Ibid, hlm.4-9.
13
Ibid, hlm.2.
Sedangkan filsuf yang berpandangan bahwa hukum berfungsi untuk menjaga
mengatakan bahwa di mana tidak ada hukum, tidak ada keteraturan, sejauh
melainkan bilateral, antara kebiasaan dan moral dengan hukum positif. Hubungan
keduanya tidak lain adalah hubungan antara hukum dan masyarakat atau hubungan
antara ilmu hukum dan ilmu sosial. Ringkasnya, hubungan tersebut adalah bahwa
baik kebiasaan maupun moral menjadi sumber substansi hukum positif, menjadi
pengawas hukum positif, menjadi dasar legitimasi, kekuatan dan otoritas hukum
positif. Dengan rumusan sebaliknya. hukum positif disebut hukum jika bersumber
Tamanaha semakin yakin bahwa pertanyaan hukum (apa deflnisi hukum?) bisa
14
Ibid, hlm.2-3.
dengan meminjam konsep hukum Hart dan teori konvensionalisme, esensialisme,
Tamanaha, konsep hukum yang dihasilkan oleh Hart sudah tepat secara substansi,
dengan identifikasi bahwa hukum terdiri dari norma primer dan sekunder. Namun,
metode abstraksi yang hanya bertolak dari hukum negara itu terlalu membatasi
diri. Akibatnya, konsep hukum yang dihasilkan tidak cukup general dan tidak
yang terjadi pada waktu dan budaya yang berbeda, serta tidak bebas nilai.18
15
Konvensionalisme berarti mendefinisikan sesuatu (hukum) berdasarkan apa yang biasa
disebut sebagai sesuatu (hukum). Esensialisme berarti mendefinisikan sesuatu (hukum) dengan cara
menyebutkan ciri khusus yang berbeda dengan “yang lain” (yang bukan hukum). Sedangkan
fungsionalisme berarti mendefinisikan sesuatu (hukum) dengan menyebutkan fungsinya (fungsi
hukum didalam kehidupan sosial)..
16
Pendapat Hart bahwa hukum terdiri atas norma primer dan sekunder menunjukkan
bahwa Hart sedang menyasar elemen dasar yag mengkonstitusi hukum. Dalam perkembangan
pemikiran hukum, konsep hukum Hart bertahan cukup lama (sekitar 40 tahun), dalam arti tidak ada
yang menolak. Pendapat-pendapat yang berkembang hanya penghalusan dan modifikasi konsep
hukum Hart tersebut (Tamanaha, 2001, hlm.134)
17
Ibid, hlm. 134-135.
18
Ibid, hlm 134.
19
Melalui esensialisme, Hart memilah praktik-praktik sosial yang bisa dikategorikan
sebagai hukum dan bukan hukum. standar pemilahannya adalah sistem hukum negara.
fungsionalisme,20 dan konvensionalisme.21 Permasalahan muncul karena konsep
langsung.
menjaga keteraturan sosial, tetapi tidak disebut hukum, misalnya bahasa, tradisi,
norma sekunder. Namun, ada syarat bagi norma sekunder agar bisa disebut hukum,
kehidupan komunal, kemudian norma primer tersebut yang akan menjadi hukum
baru, menggantikan hukum yang lama. Syarat yang lain adalah lembaga hukum
yang menentukan apakah norma sekunder masuk ke dalam sistem hukum atau
norma primer. Lembaga hukum bisa siapa saja (termasuk anggota kelompok) yang
ada norma yang tidak tersaring oleh kedua syarat tersebut, misalnya norma
20
Fungsionalisme ditunjukkan dengan pernyataan Hart bahwa hukum adalah salah satu
mekanisme kontrol masyarakat. Hart juga menyebutkan bahwa hukum untuk mengontrol, memandu,
dan merencanakan kehidupan diluar pengadilan.
21
Pendekatan konvensionalisme dilakukan pada tataran masyarakat dan lembaga
hukum. Pada tataran masyarakat, Hart mengadopsi pemahaman umum terhadap fenomena hukum,
yaitu apa yang disebut sebagai hukum secara umum.
olahraga?22 Disini, Tamanaha mengusulkan agar mekanisme sosial yang terbukti
status hukum.
Dengan asumsi bahwa esensi hukum adalah norma primer dan sekunder,
persoalannya adalah secara empiris ada mekanisme sosial yang memenuhi kriteria
esensi hukum, tetapi tidak memenuhi kriteria fungsi hukum. Artinya, hukum itu
valid di atas kertas, tetapi tidak efektif bekerja. Oleh karenanya, hukum itu tidak
dipatuhi oleh masyarakat. Hart dan kaum positivis pada umumnya mengharuskan
adanya kepatuhan hukum di samping eksistensi hukum itu sendiri. Iika hukum
dipatuhi, tidak perlu harus diterima oleh masyarakat. Begitu pula kaum naturalis
Bahkan mereka menganggap fungsi itu sebagai nilai intrinsik sebuah hukum yang
hubungan antara hukum dan kepatuhan atau hubungan hukum dan moral tidak
konsisten dengan realitas sosial. Sementara tidak ada ahii hukum yang
sistem hukum. Untuk itu, Tamanaha mengusulkan agar persyaratan kepatuhan itu
dihapuskan. Rumusan yang ditawarkan adalah sebuah sistem hukum ada ketika
22
Op.cit, Tamanaha, 2001, hlm.137, 139.
para pelaku hukum bekerja sama untuk menciptakan sistem hukum yang
atau tidak, apakah hukum tersebut efektif menjaga keteraturan masyarakat atau
tidak. Disini, posisi Tamanaha sama seperti kaum positivis yang mempertanyakan
apakah hukum harus bermoral. Dia juga mempertanyakan apakah hukum harus
memenuhi fungsinya.23
sosial yang memenuhi fungsi tetapi tidak memenuhi esensi hukum, atau
meninggal dunia atau memiliki hajat, secara umum disebut hukum bermasyarakat,
konvensionalisme, hukum adalah apa pun yang disebut hukum, terlepas dari
konvensionalisme hanya terbatas pada praktik sosial yang dilakukan oleh lembaga
hukum. Lebih dari itu. Hart mengatakan bahwa jika ada kontlik antara
23
Op.cit, Tamanaha, 2001, hlm.142-148.
24
Ibid, hlm.148-149.
esensialisme dan konvensionalisme, esensialisme menang. Menurut Tamanaha,
lebih dari bias negara, pandangan Hart tersebut menunjukkan bahwa definisi
hukum menurut Hart bias orang terpelajar. Selanjutnya, Tamanaha menilai bahwa
sebaiknya judul pemikiran Hart bukan konsep hukum ( the concept of law),
melainkan konsep hukum negara (the concept of state law) atau elemen-elemen
sistem hukum.
Bertolak dari analisis terhadap konsep hukum Hart dengan perspektif ilmu
sosial tersebut, Tamanaha mengajukan argumen yang dia beri judul "Positivisme
Pendekatan Konvensionalisme
Hukum adalah kreasi sosial manusia. Hukum adalah apa pun yang disebut
hukum. Eksistensi hukum tidak ditentukan oleh sikap lembaga hukum terhadap
norma (apakah mereka menerima atau menolak norma) dan tidak ditentukan oleh
kepatuhan warga; juga tidak ditentukan apakah hukum memenuhi beberapa fungsi
atau sama sekali tidak memenuhi fungsi.26 Keberadaan hukum ditentukan oleh
25
Ibid, hlm.149-151.
26
Ibid, hlm. 153-154.
dengan norma-norma yang ada. Koordinasi tersebut memerlukan persetujuan-
Hart menyebutkan empat tipe hukum, yaitu hukum hegara, adat istiadat,
hukum alam, dan hukum internasional. Menurut Hart, sebagaimana ditulis oleh
hukum adat istiadat dan hukum alam merupakan norma sekunder. Hart tidak
berbagai jenis dan tipe hukum yang berbeda-beda (hukum negara, hukum
sosial nyata yang harus diinvestigasi. Tidak ada satu hukum yang berfungsi
Tesis Separasi
Tidak ada hubungan pasti antara hukum, moral, dan fungsi hukum. Kata
kuncinya terletak pada kata “pasti”, yang menjelaskan sifat hubungan antara
27
Ibid, hlm. 151-152, 154.
28
Ibid, hlm. 152.
29
Ibid, hlm. 152.
Tesis separasi berlaku untuk hubungan antara hukum dan moral. Artinya,
hubungan antara hukum dan moral bersifat relatif. Pada tataran ini, "positivisme
Tesis separasi juga berlaku untuk hubungan hukum dan fungsinya. Artinya,
yang tidak berfungsi sosial. Pada tataran ini, "positivisme hukum-sosial" berbeda
Dengan kata lain, tesis separasi bukan hanya berlaku untuk hukum negara,
praktik sosial tersebut melahirkan hukum. Melalui praktik sosial, kita bisa
30
Ibid, hlm. 156-157.
mengidentiflkasi keberadaan dan substansi hukum. Praktik sosial menjadi
Tesis sumber sosial juga berarti bahwa pendekatan ilmu sosial digunakan
untuk membaca hukum. Tesis sumber sosial bukan hanya berlaku untuk hukum
internasional, hukum agama, dan lain-lain). Apakah tesis sumber sosial berlaku
berarti membunuh manusia yang tidak berdosa. Artinya, tesis sumber sosial bisa
berlaku bagi naturalisme hukum dalam hal metode kerja, bukan dalam hal prinsip-
yang sama dengan "teori hukum. sosial realistis", yaitu menggunakan pendekatan
ilmu sosial dalam menjelaskan fenomena hukum. Teori sosial yang digunakan
31
Ibid, hlm.159-162.
adalah positivisme hukum.32 Behaviorisme berarti melihat sesuatu dari sudut
pandang luar, seperti melihat hukum dari pola perilaku para pelaku dalam
dalam membuat hukum. Pola perilaku tersebut juga bisa menjelaskan apakah
perilaku mereka konsisten dengan aturan main yang mereka sepakati dan apakah
perilaku mereka sejalan dengan tujuan yang mereka rumuskan. Cara ini digunakan
dengan memperhatikan cara pandang mereka sendiri. Teori sosial melihat tindakan
sosial dari sudut pandang internal, terlepas dari apakah tindakan itu berhubungan
dengan hukum atau tidak, apakah tindakan itu terencana atau tidak. Yang menjadi
fokus ilmu sosial adalah bagaimana gagasan dan keyakinan intersubjektif bisa
Dengan kata lain, warga sebuah komunitas tidak bergerak karena digerakkan
oleh perintah dari luar, melainkan kesalingan di lingkup internal mereka sendiri.
memaksakan tindakan. Hukum bukan sesuatu yang ada di luar mereka, lalu
32
Ibid, hlm.162.
dimaksudkan untuk mencapai tujuan bersama. Teori sosial melihat institusi dalam
sosial itu juga dievaluasi dari sudut pandang internal, yang merujuk pada sejarah.
Teori sosial melihat proses pembentukan hukum yang bertolak dari praktik-
praktik sosial. Interaksi sosial didudukkan sebagai upaya penyelidikan itu sendiri.
Istilah "praktik sosial" berlaku untuk semua tataran dan semua komunitas hukum,
konvensional Hart bahwa hukum adalah apa yang disebut dan diperlakukan
sebagai hukum oleh masyarakat. melalui praktik sosialnya. Dengan kata lain,
hukum bukan apa yang pertama-tama ditemukan oleh teoretikus maupun ilmuwan
sosial.33
dikategorikan sebagai hukum? Siapa saja, tidak harus aparat hukum, tidak harus
keberagaman syarat untuk disebut hukum. Tidak ada batasan berapa orang bisa
33
Ibid, hlm.168.
memiliki otoritas untuk mengidentifikasi jenis hukum. Seleksi dilakukan dengan
arena sosial.
otoritas teoretikus hukum dan pakar ilmu sosial kepada siapa pun untuk
Ada banyak istilah hukum, seperti hukum Tuhan, hukum penalaran, hukum ilmiah,
logika hukum, bahasa hukum, hukum moral, hukum sosiologis, hukum tata
mengembangkan fakta bahwa ada lebih dari satu fenomena yang menjadi referensi
untuk menyebut hukum. Hal ini berbeda dengan pendekatan esensialis yang hanya
memberlakukan satu jenis untuk menyebut hukum. Pembedaan antara satu rujukan
dengan rujukan yang lain tetap dilakukan, untuk kepentingan pengembangan ilmu
Inggris. Setiap negara memiliki istilah sendiri, seperti Prancis menggunakan istilah
"droit", Yunani menggunakan kata "nomos", Ierman menggunakan kata "recht".
Setiap kata memiliki konteks dan konotasi masing-masing, yang belum tentu bisa
diganti secara tepat dengan kata pada bahasa lain. Walaupun kendala seperti ini
sudah diatasi oleh para teoretikus, dengan cara merumuskan deflnisi hukum
memberikan ruang pendeflnisian yang bukan dari atas (teoretis), melainkan dari
aktor-aktor hukum maupun aktor-aktor nonhukum terkait dengan hukum. Hal ini
hukum, menentukan keputusan hukum mana yang tepat, mengonstitusi reaksi dan
Semangat untuk menerapkan teori sosial dalam hukum diinspirasi oleh John
untuk mengintervensi aktivitas yang kompleks dan menjadi proses sosial itu
sendiri.35
34
Ibid, hlm.168-170.
35
Op.cit, Muji Kartika Rahayu, 2018, hlm.109.
C. Teori Hukum-Sosial Realistis : Ilmu Hukum dihadapan Ilmu Sosial
Legal Theory (1997). Tokoh lain yang juga digolongkan penganut pragmatisme
adalah Richard Rorty (1931-2007), Stanley Fish, dan Richard Posner. Mereka
ilmu hukum untuk menjawab isu-isu utama hukum, seperti apa definisi hukum,
apa hubungan hukum dengan masyarakat, apa karakter positivisme hukum, apakah
36
Isaak I Dore, The Epistemological Foundation of Law, 2007, hlm. 451.
37
Brian Z Tamanaha, Realistic Socio-Legal Theory. Pragmatism and a social theory of Law,
1997, hlm.3.
memberikan jawaban yang konklusif, tetapi menunjukkan bahwa pertanyaan-
dengan ilmu sosial empiris untuk sampai pada makna dan kebenaran yang berbasis
.di antara idealisme dan empirisme. Tamanaha menerima bahwa pengetahuan dan
kebenaran itu ada. Namun, pengetahuan dan kebenaran tidak diturunkan dari
sosial, tetapi kita memahami realitas melalui teori yang dibentuk secara sosial.
pragmatisme terdiri dari dua aspek dasar, yaitu metode penyelidikan dan teori
pengetahuan tentang pengada yang tertinggi, mutlak, tidak berubah, dan permanen
38
Ibid, 1997, hlm.xi-xii.
39
Op.cit, Dore, 2007, hlm.891, 913.
hanya bisa diperoleh melalui kontemplasi. Pengetahuan secara intrinsik tidak lebih
kita. Yang dimaksud bekerja tidak lain adalah penyelidikan ilmiah, yaitu uji coba
yang dipandu oleh hipotesis atau penemuan yang dipandu oleh imajinasi tentang
melibatkan dua aspek, yaitu manipulasi aktif lingkungan clan kerja sama dengan
40
Op.cit, Tamanaha, 1997, hlm.28.
41
Ibid, hlm.28-29.
sebelum melakukan pengamatan, pembentukan gagasan-gagasan, dan penerapan.
Dengan demikian, apa yang sudah diyakini atau ingin diyakini, yang mungkin
bahwa kebenaran adalah apa yang bekerja atau apa yang memuaskan. Kebenaran
bisa berubah. Kebenaran baru bisa diciptakan selama kita bekerja di dunia,
keyakinan dan tradisi yang sudah ada. Walaupun dalam situasi tertentu, keyakinan
lama bisa diabaikan jika tidak memadai untuk menyelesaikan persoalan yang
mengkritik teori kebenaran versi ilmu alam yang merupakan kode-kode atas
42
Ibid, hlm.29.
realitas selain manusia.Kesahihan ilmu alam ditentukan oleh objektivitas, terlepas
kekuatan prediksi. Penjelasannya, jika sebuah keyakinan adalah benar, kita lalu
pengalaman akan memuaskan harapan atau prediksi itu. Hal ini tidak relevan lagi
apakah kita puas atau tidak. Oleh karena itu, pragmatisme menekankan pada fakta
melalui jalan yang tidak sistematis, tergantung pada peneliti memutuskan untuk
43
Ibid, hlm.30-31.
44
Ibid, hlm.33.
45
Instead, i will address, in order, theree often pressed objections: (1) that pragmatism
defines truth in term of individual utility, make it subjective; (2) that realists embrace a contradiction
kebenaran dalam pengertian manfaat individual, yang melihat kebenaran secara
fakta dan teori, fakta dan penafsiran. Dalam pandangan kaum pragmatis, sambil
bekerja, kita membentuk realitas melalui persepsi terhadap realitas; kita berbagi
dan menerima dunia secara umum, kita berbagi pengalaman, kita membatasi
kondisi, bahasa, serta konsep; dan kita berbicara fakta dan realitas berdasarkan
refuting).46 Kebenaran relatif adalah kebenaran yang harus diuji dan didiskusikan
untuk memastikan bahwa kebenaran tersebut cocok clan kemungkinan selalu bisa
tidak skeptis seperti pandangan kaum posmodernis. Bahwa tidak ada kebenaran
when they combine holism and realism; and (3) that pragmatism is relativitic and self-refuting
(Tamanaha, 1991, hlm.31).
46
Op.cit, Muji Kartika Rahayu, hlm.136.
47
in the pragmatic’s sense of truth, it should be tested and discussed to see whether it
fits, and it may be revised or corrected. (Tamanaha, 1997, hlm.34)
bagaimana pragmatisme memperlakukan diskursus fllosofis (yang membedakan
makna, pemahaman, dan ilmu pengetahuan terletak pada tindakan kita. Masing-
masing merupakan hasil dari tindakan yang produktif dan kreatif, yang
dipengaruhi oleh tradisi, kebiasaan, dan cara berpikir yang mengonstitusi wawasan
penyelidikan dan teori kebenaran yang diajukan oleh pragmatisme tidak dengan
politik dan ekonomi yang mendukungnya. Pragmatisme tidak memiliki dogma dan
kebenaran yang sudah ada, tetapi tidak memiliki konsep tertentu. Pragmatisme
tidak memiliki formula mengenai apa itu benar, apa kondisi yang mendukung,
Dengan rumusan lain, kekosongan itu mencakup konteks dan penilaian. Dalam
konteks ilmu sosial misalnya pragmatisme tidak memiliki formula tentang apa
48
Ibid, hlm.33-34.
49
Ibid, hlm.34, 245.
50
Ibid, hlm.34.
tidak memiliki formula kodrat hukum. Tamanaha menilai bahwa pragmatisme
(dengan cara hanya mengambil kelebihan) dari teori yang diambil tersebut.
tetapi tidak berbicara tentang konteks mana yang krusial dan bagaimana
dan buruk, adil dan tidak adil. Pragmatisme berbicara bagaimana memperoleh
untuk menjawab pertanyaan hukum melalui ilmu sosial? Pertama, bertolak dari
51
Ibid, hlm.245-246.
mengorganisasi pengalaman dan pengetahuan. Namun, abstraksi harus
manfaat praktis. Bagi seorang pragmatis, s‘ebuah abstraksi dinilai cukup jika
kosong substansi pada pragmatisme tersebut dengan teori hukum, yaitu mengambil
melihat fenomena hukum dan memiliki komitmen teori secara politik.56 Hal ini
normatif melalui tiga cara, yaitu: (1) agumentasi normatif yang didasarkan pada
"yang absolut" merupakan klaim yang tidak tepat; (2) klaim normatif harus
diterima dengan syarat, yaitu: memberikan dampak yang memuaskan; (3) cara
yang terbaik untuk menguji dampak yang memuaskan adalah dengan memberikan
52
Ibid, hlm.37.
53
Ibid, hlm.2.
54
Ibid, hlm.46.
55
Ibid, hlm.47.
56
Ibid, hlm.246.
57
Ibid, hlm.246.
Hasil pertemuan antara pragmatisme dan "teori hokum sosial" adalah "teori
yang diajukan Tamanaha. Kata "realistis" merujuk pada realisme hukum dan
realisme ilmiah. Kata "realistis" juga berarti tetap membumi, yaitu bertolak dari
menguji kebenaran pengetahuan tentang esensi, fungsi, dan dampak dari gejala
hukum.58
diperlukan dalam hukum, karena hukum harus dibuat seketat dan seteratur
mungkin.59
menentukan apa yang bekerja dan apa yang tidak bekerja. Oleh karena itu,
58
Ibid, hlm.8.
59
Ibid, hlm.36.
kebenaran ditentukan oleh manfaatnya dalam praktik sosial, akan berhadapan
dengan kesulitan bahwa praktik sosial bersifat heterogen dan sarat dengan
hukum yang sama seperti Sir Frederick Pollock dan tidak pesimistis.
Para ahli hukum menggambarkan karakter ilmiah hukum, sama seperti Pound
mengutip pendapat Pollock, tetapi tidak secara pesimistis dan peyoratif. Selain itu,
dari pandangan para ahli hukum tersebut, tampak bahwa kriteria keilmiahan
ilmu, yaitu: (1) pengetahuan sistematis; (2) filosofis; (3) sosiologis, yaitu hukum
sebagai keteraturan sosial dan norma sosial; (4) sebutan pujian (honorific), yaitu
60
Op.cit, Dore, 2007, hlm.914-915.
61
Op.cit, Muji Kartika Rahayu, 2018, hlm.155.
62
Op.cit, Tamanaha, 2010, hlm.28 dan 31.
Salah satu indikator keilmiahan hukum adalah kepastian. Tamanaha
menelusuri fakta historis clan pendapat para hakim untuk mengetahui apakah ada
putusan hakim yang tidak pasti pada era formalisme. Apa pendapat hakim dalam
Pendapat para ahli hukum tersebut menunjukkan bahwa apa yang mereka
alami berbeda dengan watak kepastian yang dilekatkan pada formalisme hukum.
Ketidakpastian hukum bukan hanya terjadi pada putusan pengadilan, tetapi juga
legislator terus bertambah. Tidak kurang dari 20.000 peraturan baru bisa
ditemukan pada era tersebut. Wajah ketidakpastian itu ditandai dengan peraturan
tidak ada negara yang menerbitkan peraturan lebih besar daripada Amerika
Serikat. Karena selain Kongres, juga ada parlemen negara yang selalu sibuk
63
Ibid, hlm.34,36.
Banyaknya peraturan dan tumpukan kasus menjadi catatan terburuk dalam
sejarah umat manusia, karena bentuknya yang jauh dari keseragaman, sehingga
itu akan mengancam dominasi common law. Ahli hukum lain melihat bahwa
kesulitan menjaga clan mengantisipasi konflik yang akan muncul akibat putusan
1964) itu tidak nyata. Kesimpulan tersebut diperoleh tahun 1913, dari perbedaan
mengandung isi yang berputariputar seperti labirin. Editor Albany Law journal
tidak hendak menolak adanya hukum yang tidak pasti. Namun, Cooley ingin
64
Ibid, hlm.35.
mengatakan bahwa walaupun ketidakpastian hukum tidak bisa dihindari, hukum
hukum dan kaum realis dalam melihat perkembangan dunia hukum. Tamanaha
menyimpulkan bahwa sejarawan hukum dan kaum realis melihat fakta yang sama
secara benar. Keduanya melihat hubungan antara hukum dan kehidupan sosial.
Hukum merupakan refleksi dari proses sosial dan karenanya, mengabdi pada
Sedangkan perbedaan antara sejarawan hukum dan kaum realis terletak pada
Tamanaha menuliskan bahwa atas dasar sikap clan kontribusinya tersebut, para
kereta api, mendukung arbitrase buruh, dan memisahkan antara "yang publik" dan
"yang privat".
Perbedaan lain antara sejarawan hukum dan kaum realis adalah mereka
mempresentasikan temuan secara berbeda. Cooley dan Dillon adalah hakim dan
ahli hukum yang terlibat menulis traktat-traktat hukum. Ketika para sejarawan
65
Ibid, hlm.35.
66
Ibid, hlm.85-87
mengakui bahwa ada pengaruh sosial dalam argumentasi hukum, mereka tidak
menempatkan itu sebagai cacat persidangan, melainkan sebagai hal yang esensial,
yaitu menjaga agar hukum dan masyarakat tetap berada dalam kapal yang sama.
Ilka pandangan para sejarawan yang memercayai hukum itu otonom ditafsirkan,
hal itu justru akan mengaburkan pengertian esensial tersebut. Ilka para sejarawan
gambaran bahwa ada banyak faktor yang tidak berhubungan dengan argumentasi
Seorang formalis murni akan memercayai bahwa ada pengaruh sosial dalam
argumentasi hukum. Sayangnya, para formalis sejati itu tidak pernah ada secara
aktual.67
kaum realis, hakim sudah menentukan siapa yang harus menang dalam sebuah
secara partikular. Mereka juga menilai hukum bukan berfungsi sebagai panduan,
67
Ibid, hlm.89-90.
68
Ibid, hlm.89, 93-94.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
putusan hakim, benar/ salah atau baik/buruknya putusan ditentukan oleh manfaatnya,
baik hakim (sebagai subjek pembuat putusan), para pihak yang bersengketa (sebagai
berimbang” juga dipengaruhi oleh cara pandang bahwa gejala hukum bisa didekati
dengan ilmu sosial, baik ilmu politik maupun ilmu sosial lain. Pendekatan ilmu sosial
terhadap gejala hukum bisa dilakukan tanpa menegasikan atau meragukan pendekatan
yang disebut hukum. Pendekatan fungsionaiisme berarti hubungan hukum dan moral
bersifat relatif, yaitu tidak pasti bemoral. Kata “moral“ bisa diganti dengan ”fungsi
bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Leiter, Brian. Legal Formalism and Legal Realism: What is the Issue?. Chicago,
Rahayu, Muji Kartika. Sengketa Mahzab Hukum (Sintesa Berbagai Mahzab dalam