Penanggulangan Kekurangan Vitamin A
Penanggulangan Kekurangan Vitamin A
Oleh :
1
RINGKASAN
2
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan,
BPOM, Kementerian Keuangan, KFI, MI.
- Kegiatan yang akan dilakukan adalah Pengidentifikasian kebutuhan dalam
program fortifikasi vitamin A pada gula kristal putih; Produksi dan distribusi gula
kristal putih bervitamin A; Advokasi, monitoring, evaluasi.
3
LATAR BELAKANG
4
maupun mentalnya bertumbuh dengan pesat (Sutani 2008). Balita dapat
mengalami seluruh permasalahan gizi utama yang masih dihadapi oleh Indonesia,
salah satunya adalah kekurangan vitamin A (KVA). Kekurangan vitamin A adalah
suatu kondisi dimana rendahnya kadar vitamin A dalam jaringan penyimpanan
(hati) dan melemahnya kemampuan adaptasi terhadap gelap, serta sangat
rendahnya konsumsi/masukan karoten dari vitamin A (WHO 1976). KVA
umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 4 tahun yang mengalami
kekurangan energi protein atau gizi buruk namun dapat juga terjadi karena adanya
gangguan penyerapan pada usus, KVA juga dapat menjadi penyebab utama
kebutaan (KEMENKES RI 2014). Tahap awal KVA ditandai dengan gejala rabun
senja atau kurang jelas melihat pada malam hari atau menurunnya kadar serum
retinol dalam darah, selanjutnya terdapat kelainan jaringan epitel pada paru-paru,
usus, kulit, dan mata.
WHO (2010) memperkirakan sebanyak 163 juta anak menderita
kekurangan vitamin A berdasarkan kriteria serum retinol darah < 20 µg/dL atau <
0.7 µmol/L, Almatsier (2009) juga menyatakan bahwa sebanyak tiga juta anak-
anak buta karena kekurangan vitamin A. Sama halnya dengan Indonesia, sampai
saat ini masalah KVA masih membutuhkan perhatian yang serius, karena
berdasarkan hasil survei nasional yang dilakukan pada tahun 1992, secara sub
klinis (serum retinol < 20 µg/dL) 50% balita masih mengalami kekurangan
vitamin A dan berdasarkan kriteria WHO bila lebih dari 20% anak balita yang
diperiksa memiliki nilai vitamin A dalam serum kurang dari 20 µg/dL, maka besar
masalah KVA tersebut tergolong berat. Tingginya prevalensi kekurangan vitamin
A sub-klinis pada balita menyebabkan balita di Indonesia beresiko tinggi
mengalami xeropthalmia dan menurunnya sistem kekebalan tubuh, sehingga
mudah terjangkit penyakit infeksi (Azwar 2004). Keadaan tersebut mengharuskan
pemerintah untuk tetap menjalankan program suplementasi vitamin A yang sudah
dimulai sejak tahun 1978, namun tidak menutup kemungkinan untuk membuat
program lain yang mengarah pada terpenuhinya kebutuhan vitamin A pada balita.
5
ANALISIS SITUASI
6
secara klinis hanya 0,34%, namun status vitamin A masih marginal, karena masih
ditemukan separuh (50%) anak balita dengan serum retinol di bawah 20 μg/dl.
Penelitian yang dilakukan oleh Nadimin et al. (2011) menyatakan bahwa
sebanyak 80,4% anak balita termasuk ke dalam kategori kurang untuk kecukupan
konsumsi vitamin A, jika ditinjau berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG). Di
Jawa Barat, khususnya Kabupaten Bogor angka prevalensi KVA pada balita pun
tinggi, yaitu 52,3%, yang menjadikan Kab. Bogor sebagai daerah rawan KVA
(Tanumihardjo et al. 1996). Provinsi Jawa Barat juga merupakan daerah “high
risk” timbulnya KVA. Penanggulangan masalah KVA saat ini bukan hanya untuk
mencegah kebutaan tetapi juga dikaitkan dengan upaya memacu pertumbuhan dan
kesehatan anak guna menunjang penurunan angka kematian bayi dan berpotensi
terhadap peningkatan produktifitas kerja orang dewasa (Depkes RI 2000), karena
pada dasarnya masalah KVA dapat diibaratkan sebagai fenomena “gunung es”,
xerophthalmia hanya sebagai permasalahan yang tampak di permukaan, namun
permasalahan yang sebenarnya adalah KVA subklinis, yang masih menjadi
masalah besar dan perlu mendapat perhatian. Hal ini menjadi lebih penting lagi,
karena erat kaitannya dengan masih tingginya angka penyakit infeksi dan
kematian pada balita.
Penyebab kekurangan vitamin A tidak hanya ditimbulkan dari faktor
kesehatan saja, tetapi juga faktor lainnya. Sediaoetama (2009) merangkum faktor
penyebab tersebut menjadi bagan berikut,
7
Gambar 1. Penyebab Kekurangan Vitamin A
Penyebab kekurangan vitamin A pada balita terbagi menjadi dua faktor,
yaitu faktor penyebab langsung dan tidak langsung. Faktor penyebab langsung
adalah kurangnya asupan makanan sumber vitamin A dan pro-vitamin A
(karoten), hal ini biasanya disebabkan karena kebiasaan balita yang susah untuk
menerima makanan baru, terutama sayur dan buah yang banyak mengandung
vitamin; tidak diberi kolostrum sesaat setelah melahirkan dan disapih lebih awal;
tidak memperoleh ASI; pemberian makanan artifisial yang kurang vitamin A,
sedangkan faktor penyebab tidak langsungnya adalah kemiskinan; ketersediaan
pangan sumber vitamin A; sosial budaya; pendidikan orang tua; pendapatan
keluarga; jumlah anak dalam keluarga; pola asuh terhadap anak; pelayanan
kesehatan.
Balita yang mengalami kekurangan vitamin A dapat mengalami rabun
senja sebagai konsekuensi awal, yang ditandai dengan mata sulit melihat kala
senja atau dapat juga terjadi saat memasuki ruangan gelap, bila kondisi ini
berkelanjutan maka akan mengalami xerophthalmia yang mengakibatkan
kebutaan. dampak lain yang ditimbulkan dari kurangnya vitamin A pada balita
(Depkes RI 2005) adalah frinoderma, yaitu pembentukan epitelium kulit tangan
dan kaki terganggu, sehingga kulit tangan dan kaki bersisik, kerusakan pada
bagian putih mata mengering dan kusam (xerosis conjunctiva), bercak seperti busa
pada bagian putih mata (bercak bitot), bagian kornea kering dan kusam (xerosis
8
cornea), sebagian hitam mata melunak (keratomalasia), seluruh kornea mata
melunak seperti bubur (ulserasi kornea) dan bola mata mengecil/mengempis
(xerophthalmia scars), terhambatnya proses pertumbuhan.
Berdasarkan pernyataan di atas, secara garis besar penyebab masalah
kekurangan vitamin A pada balita adalah sebagai berikut:
1. Kurangnya asupan makanan sumber vitamin A dan pro-vitamin A
2. Rendahnya daya beli pangan sumber vitamin A
3. Ketersediaan pangan sumber vitamin A di tingkat rumah tangga
4. Kondisi sosial ekonomi keluarga
5. Rendahnya pengetahuan orang tua (khususnya ibu) mengenai vitamin A dan
sumbernya
6. Sering terjangkit penyakit infeksi akibat daya tahan tubuh menurun
7. Tidak memperoleh ASI dan kolostrum
8. Proses penyapihan yang terlalu dini
9. Lingkungan tempat tinggal yang kurang bersih
10. Sosial budaya, yang merujuk pada tidak diberikannya kapsul vitamin A dosis
tinggi pada balita
11. Jumlah anak dalam keluarga yang terlalu banyak
12. Minimnya pelayanan kesehatan yang terjangkau
Program penanggulangan masalah tidak dapat dilakukan pada setiap penyebab
dari permasalahan tersebut. Oleh karena itu, penggabungan beberapa penyebab
masalah dapat dilakukan untuk mendapatkan alternatif program yang paling
sesuai dengan penyebab-penyebab tersebut. Penggabungan beberapa penyebab
tingginya prevalensi KVA pada balita adalah sebagai berikut.
1) Kurangnya asupan makanan sumber vitamin A dan pro-vitamin A merupakan
penyebab masalah yang dapat digabungkan dengan penyebab lainnya karena
saling berhubungan, seperti rendahnya daya beli pangan, ketersediaan pangan
tersebut di tingkat rumah tangga, dan kondisi sosial ekonomi keluarga.
Sebuah penelitian juga menyebutkan bahwa 57.1% anak yang memiliki
tingkat kecukupan vitamin A kurang, berasal dari keluarga miskin, dan
karena keterbatasan ekonomi tersebut, ketersediaan pangan sumber vitamin A
menjadi kurang (Marliyati et al. 2014).
9
2) Rendahnya pengetahuan orang tua (khususnya ibu) terhadap sumber vitamin
A juga dapat digabungkan dengan penyebab lain, seperti balita yang tidak
memperoleh ASI dan kolostrum, proses penyapihan yang terlalu dini, jumlah
anak dalam keluarga terlalu banyak, lingkungan tempat tinggal yang kurang
bersih, sering terjangkit penyakit infeksi akibat daya tahan tubuh menurun,
serta tidak diberikannya kapsul vitamin A dosis tinggi yang berhubungan
dengan sosial budaya suatu daerah. Semua penyebab tersebut mengarah pada
konteks pengetahuan.
10
ALTERNATIF DAN PEMILIHAN PROGRAM
11
RENCANA IMPLEMENTASI
B. Tujuan Program
1. Tujuan dibuatnya program fortifikasi vitamin A pada gula kristal putih
(GKP) adalah mencegah dan menurunkan prevalensi kekurangan vitamin
A (KVA) pada balita. Program ini dilaksanakan untuk menilai kelayakan,
biaya, dan dampak dari fortifikasi vitamin A pada gula kristal putih (GKP)
2. Tujuan khusus dari program ini adalah (1) mengidentifikasi teknologi
fortifikasi gula kristal putih seperti apa yang dapat diterima dan hemat
biaya; (2) mengadvokasi para pembuat keputusan untuk mendukung
program ini dan meningkatkan kesadaran penerima, pemerintah lokal
diselenggarakannya program ini, pembuat keputusan di tingkat nasional,
dan sektor swasta akan besarnya manfaat dari gula kristal putih yang
difortifikasi vitamin A; (3) mengevaluasi dampak dari fortifikasi gula
kristal putih bervitamin A terhadap kadar serum retinol pada balita; (4)
mengidentifikasi strategi yang dapat dilakukan untuk keberlanjutan
program fortifikasi gula ini.
12
4. Penurunan prevalensi KVA (kadar serum retinol) setidaknya menjadi
18% dari standar diantara penerima gula kristal putih berfortifikasi
D. Jenis Kegiatan
Kegiatan 1
Nama Kegiatan Pengidentifikasian kebutuhan dalam program
fortifikasi vitamin A pada gula kristal putih
Biaya (Rp) yang dibutuhkan 1.565.240.000
Tujuan kegiatan Mengembangkan secara rinci panduan teknis
fortifikasi vitamin A pada gula kristal putih
Deskripsi kegiatan Dalam kegiatan ini stakeholder menentukan
teknologi apa yang paling tepat digunakan untuk
fortifikasi vitamin A pada gula kristal putih,
menentukan jenis fortifikan/jenis senyawa
vitamin A apa yang dapat digunakan, termasuk
dengan biaya, tingkat keberhasilan, serta respon
penerima/konsumen, menentukan tingkat
fortifikasi, mencapai kesepakatan dengan
stakeholder yang berpengalaman dalam
teknologi fortifikasi gula kristal putih,
membangun kesadaran dan konsensus di antara
para mitra untuk fortifikasi gula kristal putih,
termasuk Kementerian Pertanian, Departemen
Perindustrian (MOI), Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan
(Depkes), dan dinas terkait di tingkat kabupaten,
menetapkan dasar peraturan fortifikasi gula
kristal putih, mensosialisasikan pedoman teknis
fortifikasi gula kristal putih di Indonesia. Fokus
utama dari kegiatan ini adalah berlangsungnya
program fortifikasi gula kristal putih sesuai
dengan pedoman teknis yang telah ditentukan,
dan menilai penerimaan gula kristal putih yang
telah difortifikasi retinyl palmitate.
Waktu pelaksanaan 12 bulan
Kegiatan 2
Nama Kegiatan Produksi dan distribusi gula kristal putih
bervitamin A
Biaya (Rp) yang dibutuhkan 7.854.123.000
Tujuan kegiatan Mengetahui bagaimana proses produksi dan
distribusi dari gula kristal putih bervitamin A
Deskripsi kegiatan Gula kristal putih akan diproduksi oleh 2 pabrik
gula milik pemerintah yang berlokasi di Jawa
Barat, sebelumnya melakukan kerja sama
terlebih dahulu dengan perusahaan atau institusi
makanan lokal yang berpengalaman dalam
teknologi dry forms. Dari kedua pabrik tersebut
13
akan dihasilkan ± 10.000 ton tebu per hari. Gula
kristal putih yang sudah siap untuk didistribusi
diinventarisasi dan disimpan terlebih dahulu di
gudang pabrik menggunakan kantong khusus
gula berfortifikasi. Selanjutnya gula
berfortifikasi akan didistribusikan ke 40
kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bogor,
dengan pengawasan BPOM, dinas pertanian dan
kesehatan setempat.
Waktu pelaksanaan 15 bulan
Kegiatan 3
Nama Kegiatan Advokasi, monitoring, evaluasi
Biaya (Rp) yang dibutuhkan 3.983.245.000
Tujuan kegiatan Menciptakan kesadaran akan manfaat gula
kristal putih yang diperkaya vitamin A diantara
para pengambil keputusan di tingkat daerah dan
pusat, serta di antara konsumen gula kristal putih
di wilayah program
Deskripsi kegiatan Selama program berlangsung, advokasi akan
dilakukan kepada pemerintah pusat dan daerah,
dan sektor publik dan swasta. Advokasi akan
diarahkan pada kepala daerah di wilayah
Kabupaten Bogor untuk memastikan
keikutsertaan mereka dalam program ini.
Masyarakat di wilayah Kabupaten Bogor selama
prorgram ini berlangsung juga diberikan
informasi mengenai dampak kekurangan vitamin
A dan manfaat bila gula berfortifikasi ini
dikonsumsi. Melalui pemantauan dan evaluasi
yang berkala, dampak kesehatan, efektivitas
biaya, dan kesadaran konsumen serta persepsi
konsumen akan dikumpulkan dan dianalisis.
Proses ini akan mencakup penilaian biologis
awal dan pasca intervensi serta penelitian
konsumen dan perubahan perilaku. Data tersebut
akan digunakan untuk menganalisis biaya dan
manfaat, menilai keberlanjutan, yang akan
diringkas dalam sebuah makalah kebijakan yang
dikembangkan oleh pihak ketiga mengenai
program ini, berdasarkan data yang
dikumpulkan selama program ini berlangsung.
Selanjutnya, sebuah rekomendasi untuk
memperluas fortifikasi gula kristal putih ini akan
dipersiapkan oleh para pemangku kepentingan,
yang kemudian disebarluaskan melalui
lokakarya dan pertemuan dengan sektor publik
dan swasta
Waktu pelaksanaan 21 bulan
14
E. Estimasi Biaya
Tabel 2. Pengeluaran
Jumlah yang Persentase
Kategori pengeluaran
dikeluarkan (Rp) pengeluaran (%)
Peralatan dan perlengkapan 7.500.000.000 56,6
Pelatihan, lokakarya, seminar 1.100.000.000 8,3
Jasa konsultasi 1.300.000.000 9,8
Manajemen, pemantauan,
850.000.000
dan evaluasi 6,4
Masukan dari program
1.500.000.000
lainnya 11,3
Kontingensi 1.000.000.000 7,5
TOTAL 13.250.000.000 100
Biaya tambahan 200.000.000
15
Manusia dan Kebudayaan. Pusat Konsumsi Pangan dan Keamanan Pangan,
Kementerian pertanian akan bertanggung jawab atas pengadaan peralatan dan
bahan untuk fortifikasi gula kristal putih dengan vitamin A.
Program ini akan diarahkan oleh sebuah komite yang diketuai oleh
BAPPENAS, Wakil Menteri Sumber Daya Manusia dan Budaya sebagai
Direktur Program, yang terdiri dari perwakilan Deptan, Depkes, Badan POM,
Depdagri, dan Departemen Keuangan. Komite ini akan mengadakan
pertemuan tiga kali setahun untuk membahas kemajuan proyek,
mengidentifikasi berbagai masalah yang timbul dalam pelaksanaan program,
serta menyelesaikan masalah tersebut. Dalam pelaksanaannya Direktorat
Jenderal Pengembangan Gizi dan Kesehatan Ibu-Anak dan Pusat Konsumsi
dan Keamanan Pangan akan dibantu oleh Unit Manajemen Program, yang
akan didirikan oleh BAPPENAS dan bertanggung jawab atas manajemen
program, mengawasi aspek teknis dan administratif dari manajemen program.
Unit Ini akan bertanggung jawab atas keseluruhan perencanaan, administrasi,
pembiayaan, pengadaan, pelatihan, akuntansi, dan pencairan, serta akan
berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan daerah, dan kontraktor. Kepala
Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan akan bertugas sebagai koordinator
program yang dibantu oleh Kepala Divisi Konsumsi Pangan sebagai
koordinator pelaksana; Sekretaris Eksekutif yang akan membantu
mengoordinasikan hubungan antara Deptan dan BAPPENAS.
Instansi pelaksana dan Unit Manajemen Program akan dibantu oleh dua
institusi independen yang berpengalaman dalam penasehat teknis program
fortifikasi pangan, seperti Koalisi Fortifikasi Indonesia (KFI), dan
Micronutrient Initiative (MI). Kedua institusi tersebut akan membantu
merinci aspek teknis dan mengidentifikasi teknologi fortifikasi yang tepat,
dosis yang dianjurkan dan tidak, dan membantu mengidentifikasi stakeholder
yang akan membantu mengembangkan kapasitas (atau pengadaan) fortifikan
untuk dicampur ke dalam gula kristal putih dalam proses pengolahan gula,
serta akan dibantu juga oleh beberapa konsultan yang memiliki keahlian di
bidang fortifikasi gula, penjaminan kualitas, pemasaran, perundang-
undangan, peraturan, dan standar.
16
Berbagai organisasi dunia secara tidak langsung ikut membantu
pelaksanaan program ini, seperti World Bank yang mendukung Kementerian
Kesehatan dalam proses desentralisasi bagian kerja. Program Pangan Dunia
(WFP) juga ikut ambil bagian dalam pelaksanaan program fortifikasi gula
kristal putih ini, mengingat program ini merupakan salah satu program
perbaikan gizi balita. Asian Development Bank (ADB) sebagai salah satu
institusi finansial pembangunan multilateral yang mengambil peranan penting
dalam pengurangan kemiskinan di wilayah Asia Pasifik telah menandatangani
kesepakatan dengan pemerintah Indonesia untuk terus mendukung
pelaksanaan program fortifikasi gula kristal putih dengan vitamin A. Program
ini tentunya memerlukan koordinasi yang kuat antar lembaga pemerintahan
Indonesia sendiri, seperti BAPPENAS, Kementerian Pertanian, Kementerian
Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Koordinator Bidang
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, BPOM, lembaga penelitian, industri
makanan, dan masyarakat sipil.
Keterlibatan Kementerian Perindustrian dalam program ini sangat
menentukkan teknologi dan standar dari pengolahan gula kristal putih
berfortifikasi. Instansi lainnya, seperti pemerintah daerah, LSM, serta tokoh
masyarakat dan agama setempat, akan berpartisipasi dalam proses
pengadvokasian secara lokal. Ibu atau perempuan yang berada dalam sebuah
rumah tangga menjadi salah satu penentu keberhasilan program ini, karena
mereka yang mengambil peranan terbesar dalam penentuan konsumsi gula
kristal putih berfortifikasi ini di suatu keluarga. Uji coba penerimaan
konsumen dan advokasi merupakan inti dari program ini. Pengujicobaan
diperlukan untuk mengembangkan produk yang sesuai dengan metode dan
cita rasa lokal. Perempuan/Ibu akan dilibatkan dalam proses pengujicobaan
program ini agar gaya yang paling diterima dan diminati dapat
dikembangkan. Pengadvokasian program fortifikasi harus mudah dipahami
dan informatif, dan harus memperhatikan kepedulian perempuan mengenai
keamanan dan kehalalan produk.
17
G. Jadwal Pelaksanaan Program
H. Pelaporan Program
- Unit Manajemen Program akan menyusun laporan kemajuan program
triwulanan dan menyampaikan laporan setengah-tahunan secara
keseluruhan kepada ADB, begitu pula dengan ulasan program dalam
bentuk laporan tahunan, termasuk dampak kemiskinan yang terlihat.
Laporan akhir program akan diserahkan dalam waktu 3 bulan setelah
penyelesaian program. Laporan lainnya akan menjelaskan dan
mengevaluasi berbagai kegiatan yang dilakukan selama program
berlangsung, pencapaian secara finansial dan fisik, serta dampak dan
solusi yang disarankan untuk mengatasi masalah utama dalam
pelaksanaannya. Sedangkan, laporan keuangan akan diaudit oleh Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), laporan tersebut
kemudian akan diserahkan oleh Direktorat Jenderal Pengembangan Gizi
dan Kesehatan Ibu-Anak kepada ADB dalam waktu enam bulan per tahun
anggarannya.
- Direktorat Jenderal Pengembangan Gizi dan Kesehatan Ibu-Anak juga
akan meyiapkan monitoring dan evaluasi triwulanan berdasarkan
indikator kinerja berikut :
Rencana
Indikator Kinerja Mekanisme Pelaporan Pengumpulan
Laporan
Sebanyak 500 ribu ton Laporan pemantauan - Triwulanan
gula kristal putih - Setengah-tahunan
berfortifikasi vitamin A - Tahunan
didistribusikan ke
Kabupaten Bogor
selama 12 bulan
Peningkatan asupan Laporan pemantauan - Triwulanan
harian vitamin A oleh - Setengah-tahunan
sasaran sebesar 30%- - Tahunan
40% dari perkiraan
kebutuhan rata-rata
18
(EAR) menurut WHO
(2006) di wilayah
program berlangsung
19
KERANGKA KERJA PELAKSANAAN DAN PEMANTAUAN
PROGRAM
20
Ringkasan Indikator dan Sumber data dan
Anggapan dan Resiko
Kegiatan Target Performa Mekanisme Pelaporan
Output 3 Setidaknya 60% Survey awal dan akhir Anggapan
masyarakat di Gula kristal putih yang
Peningkatan wilayah kabupaten terfortifikasi secara
kesadaran akan bogor mengetahui keseluruhan dapat tersedia
manfaat gula kristal bahaya KVA dan dan dikonsumsi oleh
putih berfortifikasi manfaat dari gula sasaran
kristal putih
berfortifikasi ini
Output 4 Petunjuk Laporan monitoring dan
implementasi dan evaluasi program
Penguatan monitoring
pengimplementasian dikembangkan untuk
program serta unit manajemen
monitoring dan program
evaluasi
Kegiatan dengan Milestone
21
22
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama.
Berg A dan Muscat RJ. 1987. Faktor Gizi. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Darlan A. 2012. Fortifikasi Dan Ketersediaan Zat Besi Pada Bahan Pangan Berbasis
Kedelai Dengan Menggunakan Fortifikasi FeSO4.7H2O Campuran
FeSO4.7H2O + Na2H2EDTA.2H2O dan NaFeEDTA. Tesis. Universitas
Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Status Gizi Pengaruhi Kualitas Bangsa. Diambil
dari http://www.depkes.go.id/article/print/15021300004/status-gizi-pengaruhi-
kualitas-bangsa.html, tanggal 19 April 2017.
Sediaoetama AD. 2008. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa Dan Profesi. Jilid 1. Jakarta:
Penerbit Dian Rakyat.
23