Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 23

Manajemen Program Pangan dan Gizi Tanggal : 25 April 2017

Ujian Tengah Semester

“Program Penanggulangan Kekurangan Vitamin A


Pada Balita”

Oleh :

Dira Asmarani I 151160391

Koordinator Mata Kuliah


Prof. Dr. Drajat Martianto, M.Sc

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2017

1
RINGKASAN

- Prevalensi kurang vitamin A secara klinis hanya sudah dibawah batas


ketetapan masalah kesehatan masyarakat menurut WHO, namun status
vitamin A masih marginal, karena masih ditemukan separuh (50%) anak
balita dengan serum retinol di bawah 20 μg/dl.
- Tujuan dibuatnya program fortifikasi vitamin A pada gula kristal putih (GKP)
adalah mengidentifikasi teknologi fortifikasi gula kristal putih seperti apa
yang dapat diterima dan hemat biaya; mengadvokasi para pembuat keputusan
untuk mendukung program ini dan meningkatkan kesadaran penerima,
pemerintah lokal diselenggarakannya program ini, pembuat keputusan di
tingkat nasional, dan sektor swasta akan besarnya manfaat dari gula kristal
putih yang difortifikasi vitamin A; mengevaluasi dampak dari fortifikasi gula
kristal putih bervitamin A terhadap kadar serum retinol pada balita;
mengidentifikasi strategi yang dapat dilakukan untuk keberlanjutan program
fortifikasi gula ini.
- Indikator Kinerja pada program ini adalah peningkatan kapasitas penghasil
gula kristal putih melalui 2 pabrik pengolahan gula; Sebanyak 500 ribu ton
gula kristal putih didistribusikan di seluruh wilayah Kabupaten Bogor selama
12 bulan; Peningkatan asupan harian vitamin A oleh sasaran sebesar 30%-
40% dari perkiraan kebutuhan rata-rata (EAR) menurut WHO (2006) di
wilayah program berlangsung; Penurunan prevalensi KVA (kadar serum
retinol) setidaknya menjadi 18% dari standar diantara penerima gula kristal
putih berfortifikasi
- Program akan dilaksanakan selama ± 4 tahun, mulai tanggal 15 Januari 2017
– 15 Januari 2021
- Instansi yang terlibat dalam program ini adalah BAPPENAS, Direktorat
Jenderal Pengembangan Gizi dan Kesehatan Ibu-Anak, Deputi Bidang
Koordinasi Perbaikan Kesehatan dan Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan,
Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Kesehatan, Kementerian
Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri,

2
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan,
BPOM, Kementerian Keuangan, KFI, MI.
- Kegiatan yang akan dilakukan adalah Pengidentifikasian kebutuhan dalam
program fortifikasi vitamin A pada gula kristal putih; Produksi dan distribusi gula
kristal putih bervitamin A; Advokasi, monitoring, evaluasi.

3
LATAR BELAKANG

Sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas merupakan faktor


determinan bagi keberhasilan pembangunan dan kemajuan suatu bangsa.
Beberapa negara di Asia, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan
Singapura telah membuktikan hal tersebut (Syarief 1998). Sumber daya manusia
juga merupakan komponen penting dalam mencapai tujuan pembangunan
kesehatan, karena kualitas sumber daya manusia sangat menentukan status
kesehatan masyarakat di suatu bangsa.
Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia.
Seseorang yang hidup dengan dukungan gizi yang cukup sesuai kebutuhan, akan
tumbuh dan berkembang secara optimal dan menghasilkan sumber daya manusia
yang berkualitas (fisik yang sehat, cerdas, kreatif, produktivitas tinggi)
(KEMENKES RI 2015). Gizi mengambil peranan besar terhadap kehidupan
manusia, karena pengaruhnya terhadap pertumbuhan, perkembangan, intelektual
dan produktivitas (Ramadani 2005). Kecukupan gizi sangat diperlukan oleh setiap
individu, mulai dari janin masih dalam kandungan, bayi, balita, anak-anak,
remaja, dewasa sampai usia lanjut. Kebutuhan gizi setiap individu tidak hanya
cukup, namun juga harus baik, karena gizi yang baik merupakan pondasi bagi
kesehatan masyarakat. Tetapi kenyataannya, permasalahan gizi masih banyak
dialami oleh masyarakat luas dan masih menjadi beban berat suatu bangsa, seperti
Indonesia. Pada hakekatnya, masalah gizi berawal dari tingkat pendapatan dan
pengetahuan masyarakat, yang berpengaruh pada daya beli dan perilaku mereka.
Berg and Muscat (1987) bahkan menyatakan bahwa masalah gizi timbul akibat
adanya ketidaktahuan atau kurangnya informasi yang memadai tentang gizi.
Masalah gizi dapat terjadi pada seluruh kelompok umur, terlebih lagi jika
kelompok umur tertentu mengalami masalah gizi akan mempengaruhi keadaan
gizi periode siklus kehidupan berikutnya (intergenerational impact). Salah satu
kelompok umur yang paling rentan terkena permasalahan gizi adalah balita. Balita
merupakan kelompok umur yang dianggap kritis (critical period), karena jika
terjadi permasalahan pada periode ini akan menimbulkan dampak yang sangat
serius, terutama pada periode dua tahun pertama, dimana pertumbuhan fisik

4
maupun mentalnya bertumbuh dengan pesat (Sutani 2008). Balita dapat
mengalami seluruh permasalahan gizi utama yang masih dihadapi oleh Indonesia,
salah satunya adalah kekurangan vitamin A (KVA). Kekurangan vitamin A adalah
suatu kondisi dimana rendahnya kadar vitamin A dalam jaringan penyimpanan
(hati) dan melemahnya kemampuan adaptasi terhadap gelap, serta sangat
rendahnya konsumsi/masukan karoten dari vitamin A (WHO 1976). KVA
umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 4 tahun yang mengalami
kekurangan energi protein atau gizi buruk namun dapat juga terjadi karena adanya
gangguan penyerapan pada usus, KVA juga dapat menjadi penyebab utama
kebutaan (KEMENKES RI 2014). Tahap awal KVA ditandai dengan gejala rabun
senja atau kurang jelas melihat pada malam hari atau menurunnya kadar serum
retinol dalam darah, selanjutnya terdapat kelainan jaringan epitel pada paru-paru,
usus, kulit, dan mata.
WHO (2010) memperkirakan sebanyak 163 juta anak menderita
kekurangan vitamin A berdasarkan kriteria serum retinol darah < 20 µg/dL atau <
0.7 µmol/L, Almatsier (2009) juga menyatakan bahwa sebanyak tiga juta anak-
anak buta karena kekurangan vitamin A. Sama halnya dengan Indonesia, sampai
saat ini masalah KVA masih membutuhkan perhatian yang serius, karena
berdasarkan hasil survei nasional yang dilakukan pada tahun 1992, secara sub
klinis (serum retinol < 20 µg/dL) 50% balita masih mengalami kekurangan
vitamin A dan berdasarkan kriteria WHO bila lebih dari 20% anak balita yang
diperiksa memiliki nilai vitamin A dalam serum kurang dari 20 µg/dL, maka besar
masalah KVA tersebut tergolong berat. Tingginya prevalensi kekurangan vitamin
A sub-klinis pada balita menyebabkan balita di Indonesia beresiko tinggi
mengalami xeropthalmia dan menurunnya sistem kekebalan tubuh, sehingga
mudah terjangkit penyakit infeksi (Azwar 2004). Keadaan tersebut mengharuskan
pemerintah untuk tetap menjalankan program suplementasi vitamin A yang sudah
dimulai sejak tahun 1978, namun tidak menutup kemungkinan untuk membuat
program lain yang mengarah pada terpenuhinya kebutuhan vitamin A pada balita.

5
ANALISIS SITUASI

Sampai saat ini, masyarakat Indonesia masih menghadapi empat masalah


gizi utama, yaitu kurang energi protein (KEP), kurang vitamin A (KVA), anemia
gizi besi (AGB) dan gangguan akibat kurang yodium (GAKY) (KEMENKES RI
2015). Kurang vitamin A, anemia gizi besi, dan gangguan akibat kurang yodium
disebut sebagai masalah gizi mikro, karena memang seorang individu
membutuhkan zat gizi tersebut dalam jumlah yang sedikit dan dengan ukuran
yang kecil, yakni mikro gram (µg), meskipun demikian vitamin A, zat besi, dan
yodium sangat penting dan diperlukan untuk kesehatan manusia. Selain itu, ketiga
permasalahan tersebut juga sering dikenal dengan sebutan hidden hunger atau
kelaparan yang tersembunyi, karena pada umumnya penderita tidak mengetahui
atau menyadari jika mereka mengalami kekurangan zat gizi tersebut, dan ketika
gejala-gejala defisiensi tersebut muncul, barulah mereka menyadarinya.
Fenomena kelaparan tersembunyi ini akan berdampak pada terganggunya
pertumbuhan dan perkembangan bayi, anak-anak, dan janin yang dikandung oleh
ibu. Kekurangan zat gizi mikro juga dapat mengakibatkan daya tahan tubuh
(imunitas) anak rendah, sehingga anak mudah terserang penyakit (Simanjuntak
2005).
Indonesia telah melakukan berbagai cara untuk memberantas masalah gizi
yang dihadapi, salah satunya adalah pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi
untuk menanggulangi kekurangan vitamin A, yang telah dirintis sejak tahun 1960-
an dan mulai efektif pada tahun 1970-an. Indonesia pun pernah tercatat sebagai
salah satu negara yang berhasil mengatasi masalah KVA selama dua dekade sejak
tahun 1978. Hasil survei gizi yang dilakukan di 15 provinsi mengungkapkan
bahwa prevalensi xerophthalmia turun menjadi 0,34% pada tahun 1992 dari
1,33% pada tahun 1978, angka ini lebih rendah dari yang ketetapan masalah
kesehatan masyarakat menurut WHO, yaitu X1b (Bitot spot) ≥ 0,5% dan membuat
kekurangan vitamin A bukan lagi sebagai masalah kesehatan masyarakat pada
saat itu. Penurunan tersebut juga merupakan dampak dari program yang telah
dilakukan pemerintah (Herman 2007). Walaupun prevalensi kurang vitamin A

6
secara klinis hanya 0,34%, namun status vitamin A masih marginal, karena masih
ditemukan separuh (50%) anak balita dengan serum retinol di bawah 20 μg/dl.
Penelitian yang dilakukan oleh Nadimin et al. (2011) menyatakan bahwa
sebanyak 80,4% anak balita termasuk ke dalam kategori kurang untuk kecukupan
konsumsi vitamin A, jika ditinjau berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG). Di
Jawa Barat, khususnya Kabupaten Bogor angka prevalensi KVA pada balita pun
tinggi, yaitu 52,3%, yang menjadikan Kab. Bogor sebagai daerah rawan KVA
(Tanumihardjo et al. 1996). Provinsi Jawa Barat juga merupakan daerah “high
risk” timbulnya KVA. Penanggulangan masalah KVA saat ini bukan hanya untuk
mencegah kebutaan tetapi juga dikaitkan dengan upaya memacu pertumbuhan dan
kesehatan anak guna menunjang penurunan angka kematian bayi dan berpotensi
terhadap peningkatan produktifitas kerja orang dewasa (Depkes RI 2000), karena
pada dasarnya masalah KVA dapat diibaratkan sebagai fenomena “gunung es”,
xerophthalmia hanya sebagai permasalahan yang tampak di permukaan, namun
permasalahan yang sebenarnya adalah KVA subklinis, yang masih menjadi
masalah besar dan perlu mendapat perhatian. Hal ini menjadi lebih penting lagi,
karena erat kaitannya dengan masih tingginya angka penyakit infeksi dan
kematian pada balita.
Penyebab kekurangan vitamin A tidak hanya ditimbulkan dari faktor
kesehatan saja, tetapi juga faktor lainnya. Sediaoetama (2009) merangkum faktor
penyebab tersebut menjadi bagan berikut,

7
Gambar 1. Penyebab Kekurangan Vitamin A
Penyebab kekurangan vitamin A pada balita terbagi menjadi dua faktor,
yaitu faktor penyebab langsung dan tidak langsung. Faktor penyebab langsung
adalah kurangnya asupan makanan sumber vitamin A dan pro-vitamin A
(karoten), hal ini biasanya disebabkan karena kebiasaan balita yang susah untuk
menerima makanan baru, terutama sayur dan buah yang banyak mengandung
vitamin; tidak diberi kolostrum sesaat setelah melahirkan dan disapih lebih awal;
tidak memperoleh ASI; pemberian makanan artifisial yang kurang vitamin A,
sedangkan faktor penyebab tidak langsungnya adalah kemiskinan; ketersediaan
pangan sumber vitamin A; sosial budaya; pendidikan orang tua; pendapatan
keluarga; jumlah anak dalam keluarga; pola asuh terhadap anak; pelayanan
kesehatan.
Balita yang mengalami kekurangan vitamin A dapat mengalami rabun
senja sebagai konsekuensi awal, yang ditandai dengan mata sulit melihat kala
senja atau dapat juga terjadi saat memasuki ruangan gelap, bila kondisi ini
berkelanjutan maka akan mengalami xerophthalmia yang mengakibatkan
kebutaan. dampak lain yang ditimbulkan dari kurangnya vitamin A pada balita
(Depkes RI 2005) adalah frinoderma, yaitu pembentukan epitelium kulit tangan
dan kaki terganggu, sehingga kulit tangan dan kaki bersisik, kerusakan pada
bagian putih mata mengering dan kusam (xerosis conjunctiva), bercak seperti busa
pada bagian putih mata (bercak bitot), bagian kornea kering dan kusam (xerosis

8
cornea), sebagian hitam mata melunak (keratomalasia), seluruh kornea mata
melunak seperti bubur (ulserasi kornea) dan bola mata mengecil/mengempis
(xerophthalmia scars), terhambatnya proses pertumbuhan.
Berdasarkan pernyataan di atas, secara garis besar penyebab masalah
kekurangan vitamin A pada balita adalah sebagai berikut:
1. Kurangnya asupan makanan sumber vitamin A dan pro-vitamin A
2. Rendahnya daya beli pangan sumber vitamin A
3. Ketersediaan pangan sumber vitamin A di tingkat rumah tangga
4. Kondisi sosial ekonomi keluarga
5. Rendahnya pengetahuan orang tua (khususnya ibu) mengenai vitamin A dan
sumbernya
6. Sering terjangkit penyakit infeksi akibat daya tahan tubuh menurun
7. Tidak memperoleh ASI dan kolostrum
8. Proses penyapihan yang terlalu dini
9. Lingkungan tempat tinggal yang kurang bersih
10. Sosial budaya, yang merujuk pada tidak diberikannya kapsul vitamin A dosis
tinggi pada balita
11. Jumlah anak dalam keluarga yang terlalu banyak
12. Minimnya pelayanan kesehatan yang terjangkau
Program penanggulangan masalah tidak dapat dilakukan pada setiap penyebab
dari permasalahan tersebut. Oleh karena itu, penggabungan beberapa penyebab
masalah dapat dilakukan untuk mendapatkan alternatif program yang paling
sesuai dengan penyebab-penyebab tersebut. Penggabungan beberapa penyebab
tingginya prevalensi KVA pada balita adalah sebagai berikut.
1) Kurangnya asupan makanan sumber vitamin A dan pro-vitamin A merupakan
penyebab masalah yang dapat digabungkan dengan penyebab lainnya karena
saling berhubungan, seperti rendahnya daya beli pangan, ketersediaan pangan
tersebut di tingkat rumah tangga, dan kondisi sosial ekonomi keluarga.
Sebuah penelitian juga menyebutkan bahwa 57.1% anak yang memiliki
tingkat kecukupan vitamin A kurang, berasal dari keluarga miskin, dan
karena keterbatasan ekonomi tersebut, ketersediaan pangan sumber vitamin A
menjadi kurang (Marliyati et al. 2014).

9
2) Rendahnya pengetahuan orang tua (khususnya ibu) terhadap sumber vitamin
A juga dapat digabungkan dengan penyebab lain, seperti balita yang tidak
memperoleh ASI dan kolostrum, proses penyapihan yang terlalu dini, jumlah
anak dalam keluarga terlalu banyak, lingkungan tempat tinggal yang kurang
bersih, sering terjangkit penyakit infeksi akibat daya tahan tubuh menurun,
serta tidak diberikannya kapsul vitamin A dosis tinggi yang berhubungan
dengan sosial budaya suatu daerah. Semua penyebab tersebut mengarah pada
konteks pengetahuan.

10
ALTERNATIF DAN PEMILIHAN PROGRAM

Pada bagian sebelumnya telah dibahas mengenai gabungan penyebab yang


dapat dipecahkan melalui beberapa alternatif program untuk menurunkan
prevalensi KVA pada balita. Alternatif program untuk menanggulangi gabungan
penyebab pertama adalah fortifikasi gula kristal putih dengan vitamin A,
sedangkan alternatif program kedua adalah pendidikan gizi dan kesehatan secara
berkala bagi ibu. Dari kedua alternatif program tersebut dipilih kembali satu
program yang memiliki dampak paling efektif terhadap peningkatan konsumsi
vitamin A untuk memenuhi kadar serum retinol yang dianjurkan pada balita
melalui metode.
Dibandingkan demgan strategi lain yang digunakan untuk penanggulangan
masalah gizi, fortifikasi pangan dipandang sebagai strategi yang paling praktis,
ekonomis, dan efektif untuk memenuhi kebutuhan asupan harian zat besi.
Fortifikasi pangan dianggap sebagi suatu metode yang sukses mengurangi
defisiensi mikronutrien dan merupakan salah satu elemen penting dalam kebijakan
pangan di negara-negara Asia dan Pasifik. Fortifikasi pangan telah digunakan
sebagai langkah intervensi yang menjamin keamanan pangan bagi seluruh
penduduk dengan biaya yang efisien dan berkelnajutan (Darlan 2012). Hasil
konferensi internasional gizi yang diadakan di Roma Tahun 1992, menghasilkan
sebuah pernyataan bahwa fortifikasi pangan merupakan upaya perbaikan gizi yang
dianjurkan. Di Jordan pada tahun 1996 juga merekomendasikan fortifikasi pangan
sebagai salah satu aksi dalam rencana aksi nasional gizi. Prihananto (2004)
menyatakan bahwa berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Bank Dunia,
fortifikasi merupakan program perbaikan gizi yang paling cost-effective diantara
berbagai program kesehatan. Program fortifikasi mampu memberikan nilai
manfaat lebih besar dengan biaya yang sama.leh karena itu, dalam menanggulangi
kekurangan vitamin A pada balita, fortifikasi panganlah yang pantas untuk
dilakukan.

11
RENCANA IMPLEMENTASI

A. Area dan Lokasi Program


Program ini akan diimplementasikan di wilayah Kabupaten Bogor,
Provinsi Jawa Barat, Indonesia.

B. Tujuan Program
1. Tujuan dibuatnya program fortifikasi vitamin A pada gula kristal putih
(GKP) adalah mencegah dan menurunkan prevalensi kekurangan vitamin
A (KVA) pada balita. Program ini dilaksanakan untuk menilai kelayakan,
biaya, dan dampak dari fortifikasi vitamin A pada gula kristal putih (GKP)
2. Tujuan khusus dari program ini adalah (1) mengidentifikasi teknologi
fortifikasi gula kristal putih seperti apa yang dapat diterima dan hemat
biaya; (2) mengadvokasi para pembuat keputusan untuk mendukung
program ini dan meningkatkan kesadaran penerima, pemerintah lokal
diselenggarakannya program ini, pembuat keputusan di tingkat nasional,
dan sektor swasta akan besarnya manfaat dari gula kristal putih yang
difortifikasi vitamin A; (3) mengevaluasi dampak dari fortifikasi gula
kristal putih bervitamin A terhadap kadar serum retinol pada balita; (4)
mengidentifikasi strategi yang dapat dilakukan untuk keberlanjutan
program fortifikasi gula ini.

C. Indikator Kinerja Yang Diharapkan


Proses pelaksanaan dan hasil dari program fortifikasi vitamin A pada gula
akan dipantau dan dievaluasi dengan indikator berikut :
1. Peningkatan kapasitas penghasil gula kristal putih melalui 2 pabrik
pengolahan gula
2. Sebanyak 500 ribu ton gula kristal putih didistribusikan di seluruh
wilayah Kabupaten Bogor selama 12 bulan
3. Peningkatan asupan harian vitamin A oleh sasaran sebesar 30%-40% dari
perkiraan kebutuhan rata-rata (EAR) menurut WHO (2006) di wilayah
program berlangsung

12
4. Penurunan prevalensi KVA (kadar serum retinol) setidaknya menjadi
18% dari standar diantara penerima gula kristal putih berfortifikasi

D. Jenis Kegiatan

Kegiatan 1
Nama Kegiatan Pengidentifikasian kebutuhan dalam program
fortifikasi vitamin A pada gula kristal putih
Biaya (Rp) yang dibutuhkan 1.565.240.000
Tujuan kegiatan Mengembangkan secara rinci panduan teknis
fortifikasi vitamin A pada gula kristal putih
Deskripsi kegiatan Dalam kegiatan ini stakeholder menentukan
teknologi apa yang paling tepat digunakan untuk
fortifikasi vitamin A pada gula kristal putih,
menentukan jenis fortifikan/jenis senyawa
vitamin A apa yang dapat digunakan, termasuk
dengan biaya, tingkat keberhasilan, serta respon
penerima/konsumen, menentukan tingkat
fortifikasi, mencapai kesepakatan dengan
stakeholder yang berpengalaman dalam
teknologi fortifikasi gula kristal putih,
membangun kesadaran dan konsensus di antara
para mitra untuk fortifikasi gula kristal putih,
termasuk Kementerian Pertanian, Departemen
Perindustrian (MOI), Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan
(Depkes), dan dinas terkait di tingkat kabupaten,
menetapkan dasar peraturan fortifikasi gula
kristal putih, mensosialisasikan pedoman teknis
fortifikasi gula kristal putih di Indonesia. Fokus
utama dari kegiatan ini adalah berlangsungnya
program fortifikasi gula kristal putih sesuai
dengan pedoman teknis yang telah ditentukan,
dan menilai penerimaan gula kristal putih yang
telah difortifikasi retinyl palmitate.
Waktu pelaksanaan 12 bulan

Kegiatan 2
Nama Kegiatan Produksi dan distribusi gula kristal putih
bervitamin A
Biaya (Rp) yang dibutuhkan 7.854.123.000
Tujuan kegiatan Mengetahui bagaimana proses produksi dan
distribusi dari gula kristal putih bervitamin A
Deskripsi kegiatan Gula kristal putih akan diproduksi oleh 2 pabrik
gula milik pemerintah yang berlokasi di Jawa
Barat, sebelumnya melakukan kerja sama
terlebih dahulu dengan perusahaan atau institusi
makanan lokal yang berpengalaman dalam
teknologi dry forms. Dari kedua pabrik tersebut

13
akan dihasilkan ± 10.000 ton tebu per hari. Gula
kristal putih yang sudah siap untuk didistribusi
diinventarisasi dan disimpan terlebih dahulu di
gudang pabrik menggunakan kantong khusus
gula berfortifikasi. Selanjutnya gula
berfortifikasi akan didistribusikan ke 40
kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bogor,
dengan pengawasan BPOM, dinas pertanian dan
kesehatan setempat.
Waktu pelaksanaan 15 bulan

Kegiatan 3
Nama Kegiatan Advokasi, monitoring, evaluasi
Biaya (Rp) yang dibutuhkan 3.983.245.000
Tujuan kegiatan Menciptakan kesadaran akan manfaat gula
kristal putih yang diperkaya vitamin A diantara
para pengambil keputusan di tingkat daerah dan
pusat, serta di antara konsumen gula kristal putih
di wilayah program
Deskripsi kegiatan Selama program berlangsung, advokasi akan
dilakukan kepada pemerintah pusat dan daerah,
dan sektor publik dan swasta. Advokasi akan
diarahkan pada kepala daerah di wilayah
Kabupaten Bogor untuk memastikan
keikutsertaan mereka dalam program ini.
Masyarakat di wilayah Kabupaten Bogor selama
prorgram ini berlangsung juga diberikan
informasi mengenai dampak kekurangan vitamin
A dan manfaat bila gula berfortifikasi ini
dikonsumsi. Melalui pemantauan dan evaluasi
yang berkala, dampak kesehatan, efektivitas
biaya, dan kesadaran konsumen serta persepsi
konsumen akan dikumpulkan dan dianalisis.
Proses ini akan mencakup penilaian biologis
awal dan pasca intervensi serta penelitian
konsumen dan perubahan perilaku. Data tersebut
akan digunakan untuk menganalisis biaya dan
manfaat, menilai keberlanjutan, yang akan
diringkas dalam sebuah makalah kebijakan yang
dikembangkan oleh pihak ketiga mengenai
program ini, berdasarkan data yang
dikumpulkan selama program ini berlangsung.
Selanjutnya, sebuah rekomendasi untuk
memperluas fortifikasi gula kristal putih ini akan
dipersiapkan oleh para pemangku kepentingan,
yang kemudian disebarluaskan melalui
lokakarya dan pertemuan dengan sektor publik
dan swasta
Waktu pelaksanaan 21 bulan

14
E. Estimasi Biaya

Tabel 1. Sumber Dana

Sumber Jumlah (Rp)


Pemerintah 3.500.000.000
Bantuan internasional 10.000.000.000
Total 13.500.000.000

Tabel 2. Pengeluaran
Jumlah yang Persentase
Kategori pengeluaran
dikeluarkan (Rp) pengeluaran (%)
Peralatan dan perlengkapan 7.500.000.000 56,6
Pelatihan, lokakarya, seminar 1.100.000.000 8,3
Jasa konsultasi 1.300.000.000 9,8
Manajemen, pemantauan,
850.000.000
dan evaluasi 6,4
Masukan dari program
1.500.000.000
lainnya 11,3
Kontingensi 1.000.000.000 7,5
TOTAL 13.250.000.000 100
Biaya tambahan 200.000.000

F. Organisasi Dan Manajerial Program

Badan pemerintahan yang bertanggung jawab dalam program ini adalah


Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), BAPPENAS
selaku badan pelaksana memiliki wewenang atas kebijakan pangan dan gizi
nasional, dan akan memberikan strategi dan panduan kebijakan secara
menyeluruh dalam proses pelaksanaan program. Selain BAPPENAS,
Direktorat Jenderal Pengembangan Gizi dan Kesehatan Ibu-Anak, Deputi
Bidang Koordinasi Perbaikan Kesehatan dan Pusat Konsumsi dan Keamanan
Pangan, Badan Ketahanan Pangan juga mengambil peran dalam
melaksanakan program ini. Direktorat Jenderal Pengembangan Gizi dan
Kesehatan Ibu-Anak akan mengelola semua kegiatan terkait kebijakan
dengan pemerintah daerah dan akan bekerja sama dengan BUMN yang
bergerak di bidang produksi tebu sebagai bahan pembuat gula kristal putih,
Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian,
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan

15
Manusia dan Kebudayaan. Pusat Konsumsi Pangan dan Keamanan Pangan,
Kementerian pertanian akan bertanggung jawab atas pengadaan peralatan dan
bahan untuk fortifikasi gula kristal putih dengan vitamin A.
Program ini akan diarahkan oleh sebuah komite yang diketuai oleh
BAPPENAS, Wakil Menteri Sumber Daya Manusia dan Budaya sebagai
Direktur Program, yang terdiri dari perwakilan Deptan, Depkes, Badan POM,
Depdagri, dan Departemen Keuangan. Komite ini akan mengadakan
pertemuan tiga kali setahun untuk membahas kemajuan proyek,
mengidentifikasi berbagai masalah yang timbul dalam pelaksanaan program,
serta menyelesaikan masalah tersebut. Dalam pelaksanaannya Direktorat
Jenderal Pengembangan Gizi dan Kesehatan Ibu-Anak dan Pusat Konsumsi
dan Keamanan Pangan akan dibantu oleh Unit Manajemen Program, yang
akan didirikan oleh BAPPENAS dan bertanggung jawab atas manajemen
program, mengawasi aspek teknis dan administratif dari manajemen program.
Unit Ini akan bertanggung jawab atas keseluruhan perencanaan, administrasi,
pembiayaan, pengadaan, pelatihan, akuntansi, dan pencairan, serta akan
berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan daerah, dan kontraktor. Kepala
Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan akan bertugas sebagai koordinator
program yang dibantu oleh Kepala Divisi Konsumsi Pangan sebagai
koordinator pelaksana; Sekretaris Eksekutif yang akan membantu
mengoordinasikan hubungan antara Deptan dan BAPPENAS.
Instansi pelaksana dan Unit Manajemen Program akan dibantu oleh dua
institusi independen yang berpengalaman dalam penasehat teknis program
fortifikasi pangan, seperti Koalisi Fortifikasi Indonesia (KFI), dan
Micronutrient Initiative (MI). Kedua institusi tersebut akan membantu
merinci aspek teknis dan mengidentifikasi teknologi fortifikasi yang tepat,
dosis yang dianjurkan dan tidak, dan membantu mengidentifikasi stakeholder
yang akan membantu mengembangkan kapasitas (atau pengadaan) fortifikan
untuk dicampur ke dalam gula kristal putih dalam proses pengolahan gula,
serta akan dibantu juga oleh beberapa konsultan yang memiliki keahlian di
bidang fortifikasi gula, penjaminan kualitas, pemasaran, perundang-
undangan, peraturan, dan standar.

16
Berbagai organisasi dunia secara tidak langsung ikut membantu
pelaksanaan program ini, seperti World Bank yang mendukung Kementerian
Kesehatan dalam proses desentralisasi bagian kerja. Program Pangan Dunia
(WFP) juga ikut ambil bagian dalam pelaksanaan program fortifikasi gula
kristal putih ini, mengingat program ini merupakan salah satu program
perbaikan gizi balita. Asian Development Bank (ADB) sebagai salah satu
institusi finansial pembangunan multilateral yang mengambil peranan penting
dalam pengurangan kemiskinan di wilayah Asia Pasifik telah menandatangani
kesepakatan dengan pemerintah Indonesia untuk terus mendukung
pelaksanaan program fortifikasi gula kristal putih dengan vitamin A. Program
ini tentunya memerlukan koordinasi yang kuat antar lembaga pemerintahan
Indonesia sendiri, seperti BAPPENAS, Kementerian Pertanian, Kementerian
Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Koordinator Bidang
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, BPOM, lembaga penelitian, industri
makanan, dan masyarakat sipil.
Keterlibatan Kementerian Perindustrian dalam program ini sangat
menentukkan teknologi dan standar dari pengolahan gula kristal putih
berfortifikasi. Instansi lainnya, seperti pemerintah daerah, LSM, serta tokoh
masyarakat dan agama setempat, akan berpartisipasi dalam proses
pengadvokasian secara lokal. Ibu atau perempuan yang berada dalam sebuah
rumah tangga menjadi salah satu penentu keberhasilan program ini, karena
mereka yang mengambil peranan terbesar dalam penentuan konsumsi gula
kristal putih berfortifikasi ini di suatu keluarga. Uji coba penerimaan
konsumen dan advokasi merupakan inti dari program ini. Pengujicobaan
diperlukan untuk mengembangkan produk yang sesuai dengan metode dan
cita rasa lokal. Perempuan/Ibu akan dilibatkan dalam proses pengujicobaan
program ini agar gaya yang paling diterima dan diminati dapat
dikembangkan. Pengadvokasian program fortifikasi harus mudah dipahami
dan informatif, dan harus memperhatikan kepedulian perempuan mengenai
keamanan dan kehalalan produk.

17
G. Jadwal Pelaksanaan Program

Program ini diharapkan terlaksana selama ± 4 tahun, mulai tanggal 15


Januari 2017 – 15 Januari 2021.

H. Pelaporan Program
- Unit Manajemen Program akan menyusun laporan kemajuan program
triwulanan dan menyampaikan laporan setengah-tahunan secara
keseluruhan kepada ADB, begitu pula dengan ulasan program dalam
bentuk laporan tahunan, termasuk dampak kemiskinan yang terlihat.
Laporan akhir program akan diserahkan dalam waktu 3 bulan setelah
penyelesaian program. Laporan lainnya akan menjelaskan dan
mengevaluasi berbagai kegiatan yang dilakukan selama program
berlangsung, pencapaian secara finansial dan fisik, serta dampak dan
solusi yang disarankan untuk mengatasi masalah utama dalam
pelaksanaannya. Sedangkan, laporan keuangan akan diaudit oleh Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), laporan tersebut
kemudian akan diserahkan oleh Direktorat Jenderal Pengembangan Gizi
dan Kesehatan Ibu-Anak kepada ADB dalam waktu enam bulan per tahun
anggarannya.
- Direktorat Jenderal Pengembangan Gizi dan Kesehatan Ibu-Anak juga
akan meyiapkan monitoring dan evaluasi triwulanan berdasarkan
indikator kinerja berikut :

Rencana
Indikator Kinerja Mekanisme Pelaporan Pengumpulan
Laporan
Sebanyak 500 ribu ton Laporan pemantauan - Triwulanan
gula kristal putih - Setengah-tahunan
berfortifikasi vitamin A - Tahunan
didistribusikan ke
Kabupaten Bogor
selama 12 bulan
Peningkatan asupan Laporan pemantauan - Triwulanan
harian vitamin A oleh - Setengah-tahunan
sasaran sebesar 30%- - Tahunan
40% dari perkiraan
kebutuhan rata-rata

18
(EAR) menurut WHO
(2006) di wilayah
program berlangsung

Penurunan prevalensi Laporan studi penelitian Laporan yang bersifat


KVA (kadar serum Laporan pemantauan studi efikasi (pre dan
retinol) setidaknya berdasarkan hasil akhir post intervensi)
menjadi 18% dari
standar diantara
penerima gula kristal
putih berfortifikasi

19
KERANGKA KERJA PELAKSANAAN DAN PEMANTAUAN
PROGRAM

Ringkasan Indikator dan Sumber data dan


Anggapan dan Resiko
Kegiatan Target Performa Mekanisme Pelaporan
Impact Prevalensi KVA Sistem Surveilans gizi Anggapan
pada balita menurun dan pangan Gula kristal putih
Penurunan 4% dari prevalensi berfortifikasi
prevalensi KVA terakhir menurut didistribusikan secara
survey nasional teratur
Resiko
Peningkatan harga pangan
yang berdampak pada
status gizi masyarakat
Outcome ± 500 ribu ton gula Survey awal dan akhir Anggapan
kristal putih Anggaran dari pemerintah
Penilaian kelayakan, dikonsumsi oleh untuk produksi gula
biaya, dan dampak seluruh rumah Resiko
dari fortifikasi gula tangga di wilayah Adanya tren peningkatan
kristal putih dengan Kabupaten Bogor harga gula
vitamin A di wilayah
Kabupaten Bogor

Output 1 Memilih teknologi Ulasan program 2 tahun Anggapan


yang paling efektif sekali Mendapat teknologi
Mengidentifikasi pengolahan dengan biaya
teknologi termurah
pengolahan gula Resiko
kristal putih Biaya untuk teknologi
berfortifikasi yang pengolahan yang efektif
tepat
Output 2 Setidaknya terjadi Survey awal dan akhir Anggapan
peningkatan asupan - Sasaran mengonsumsi
Penguatan kapasitas harian vitamin A gula kristal putih
produksi gula kristal oleh sasaran sebesar bervitamin A
putih bervitamin A 30%-40% dari - Teknologi pengolahan
perkiraan kebutuhan dengan biaya yang
rata-rata harian murah dan efektif
(EAR) menurut diterima oleh pabrik
WHO tersebut
Teknologi
pengolahan yang
paling efektif
diadopsi oleh 2
pabrik gula milik
pemerintah dengan
bentuan tenaga yang
terlatih

20
Ringkasan Indikator dan Sumber data dan
Anggapan dan Resiko
Kegiatan Target Performa Mekanisme Pelaporan
Output 3 Setidaknya 60% Survey awal dan akhir Anggapan
masyarakat di Gula kristal putih yang
Peningkatan wilayah kabupaten terfortifikasi secara
kesadaran akan bogor mengetahui keseluruhan dapat tersedia
manfaat gula kristal bahaya KVA dan dan dikonsumsi oleh
putih berfortifikasi manfaat dari gula sasaran
kristal putih
berfortifikasi ini
Output 4 Petunjuk Laporan monitoring dan
implementasi dan evaluasi program
Penguatan monitoring
pengimplementasian dikembangkan untuk
program serta unit manajemen
monitoring dan program
evaluasi
Kegiatan dengan Milestone

1. Identifikasi Fortifikasi Vitamin A Yang Sesuai


1.1. Merekrut konsultan yang ahli dalam program fortifikasi (Februari 2017)
1.2. Melakukan lokakarya sosialisasi dengan pemangku kepentingan sektor publik dan swasta
(Maret-April 2017)
1.3. Menentukkan tingkat fortifikasi untuk gula (Maret-April 2017)
1.4. Pemilihan senyawa vitamin A yang tepat (Mei 2017)
1.5. Melakukan studi efikasi (Juni-September 2017)
1.6. Menilai kebutuhan pengembangan kapasitas untuk fortifikasi gula dengan biaya produksi yang
rendah (Juni-Juli 2017)
1.7. Mengembangkan pedoman teknis untuk fortifikasi gula (Agustus 2017)

2. Memperkuat Kapasitas Produksi Gula


2.1. Menyediakan peralatan pengolahan di dua pabrik (November 2017)
2.3. Melatih staf dalam mencampurkan fortifikan (November 2017)
2.4. Mengemas ulang gula kristal putih ketika disimpan di gudang (November 2017)
2.5. Mengembangkan pedoman penjaminan mutu (Januari 2018).
2.6. Menilai biaya dan manfaat dari gula kristal putih berfortifikasi (Juni-Juli 2018)

3. Meningkatkan Kesadaran akan Manfaat Gula yang Difortifikasi


3.1. Monitoring oleh Institusi Independen (Agustus 2018 )
3.3. Mengatur pertemuan dengan sektor pemerintah dah swasta (November 2018 dan November
2020)

4. Memperkuat Pelaksanaan, Monitoring, Dan Evaluasi Program


4.1. Melakukan survei awal dan akhir (Januari 2017 dan Juni 2019)
4.2. Melakukan penilaian akan dampak program (Desember 2018 – Maret 2019)
4.3. Melakukan tiga audit eksternal (tahunan)
4.4. Mempersiapkan laporan tengah pelaksanaan dan evaluasi akhir (Februari 2019 dan Oktober
2020)

21
22
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama.

Azwar A. 2004. Kecenderungan Masalah Gizi dan Tantangan di Masa Datang.


Disampaikan pada Pertemuan Advokasi Program Perbaikan Gizi Menuju
Keluarga Sadar Gizi. Jakarta.

Berg A dan Muscat RJ. 1987. Faktor Gizi. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Darlan A. 2012. Fortifikasi Dan Ketersediaan Zat Besi Pada Bahan Pangan Berbasis
Kedelai Dengan Menggunakan Fortifikasi FeSO4.7H2O Campuran
FeSO4.7H2O + Na2H2EDTA.2H2O dan NaFeEDTA. Tesis. Universitas
Indonesia.

Herman S. 2007. Masalah Kurang Vitamin A (KVA) dan Prospek


Penanggulangannya. Media Litbang Kesehatan, 17(4): 40-44.

Kementerian Kesehatan RI. 2015. Status Gizi Pengaruhi Kualitas Bangsa. Diambil
dari http://www.depkes.go.id/article/print/15021300004/status-gizi-pengaruhi-
kualitas-bangsa.html, tanggal 19 April 2017.

Marliyati SA, Nugraha A, Anwar F. 2014. Asupan Vitamin A, Status Vitamin A,


Dan Status Gizi Anak Sekolah Dasar di Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten
Bogor. Jurnal Gizi dan Pangan, 9(2): 109-116.

Prihananto. 2004. Fortifikasi Pangan Sebagai Upaya Penanggulangan Anemi


Gizi Besi. Bogor.

Sediaoetama AD. 2008. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa Dan Profesi. Jilid 1. Jakarta:
Penerbit Dian Rakyat.

Tanumihardjo SA, Cheng JC, Permaesih D, Muherdiyatiningsih, Rustan E,


Muhilal, Karyadi D, Olson JA. 1996. Refinement Of The Modified-
Relative-Dose-Response Test As A Method For Assessing Vitamin A Status
In A Field Setting: Experience With Indonesian Children. American Journal
Clinical Of Nutrition, 64(6): 966-971.

World Health Organization. 2006. Guidelines On Food Fortification With


Micronutrients.

23

Anda mungkin juga menyukai