1. DEFINISI
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perubahan atau penghiduan, klien merasakan stimulus yang
sebelumnya tidak ada. (Stuart, 2007)
Halusinasi adalah persepsi yang tanpa dijumpai adanya rangsangan dari luar,
walaupun tampak sebagai sesuatu yang khayal, halusinasi sebenarnya merupakan
bagian dari kehidupan mental penderita yang teresepsi. (Yosep, 2011)
2. ETIOLOGI
1. FAKTOR PREDIPOSISI
Menurut Yosep (2011), faktor predisposisi terjadinya halusinasi adalah :
2.1 Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendanya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stres.
2.2 Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungannya sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
2.3 Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan
klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien
lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
2.4 Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menujukkan bahwa
faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada
penyakit ini.
2. FAKTOR PRESIPITASI
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah
adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna,
putus asa dan tidak berdaya. Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya
gangguan halusinasi adalah:
3.1 Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak
yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi
stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
3.2 Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3.3 Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor.
4. MACAM-MACAM HALUSINASI
Menurut Yosep (2011) halusinasi terdiri dari delapan jenis :
4.1 Pendengaran (auditory)
Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara
berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara
tentang klien, bahkan sampai pada percakapan lengkap antara dua orang yang
mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar
perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang dapat
membahayakan.
4.2 Penglihatan (visual)
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris,gambar
kartun,bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bias menyenangkan
atau menakutkan seperti melihat monster.
5.MANIFESTASI KLINIK
5.1 Bicara, senyum dan tertawa sendiri
5.2 Tidak dapat membedakan nyata dan tidak nyata
5.3 Sulit untuk konsentrasi
5.4 Curiga, sering merusak (diri sendiri)/orang lain, takut
5.5 Ekspresi muka : tegang, mudah tersinggung
5.6 Mengatakan mendengarkan suara, melihat, mengecap, menghidu, dan
merasakan sesuatu yang tidak nyata.
5.7 Pembicaraan kacau, kadan tidak masuk akal
5.8 Sulit membuat keputusan
6. FASE DALAM HALUSINASI MELALU EMPAT FASE
6.1 Fase Pertama / comforting / menyenangkan
Pada fase ini klien mengalami kecemasan, stress, perasaan gelisah,
kesepian. Klien mungkin melamun atau memfokukan pikiran pada hal yang
menyenangkan untuk menghilangkan kecemasan dan stress. Cara ini
menolong
untuk sementara. Klien masih mampu mengotrol kesadarnnya dan mengenal
pikirannya, namun intensitas persepsi meningkat.
Perilaku klien : tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan
bibir tanpa bersuara, pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika
sedang asyik dengan halusinasinya dan suka menyendiri.
6.2 Fase Kedua / comdemming
Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan
eksternal, klien berada pada tingkat “listening” pada halusinasi. Pemikiran
internal menjadi menonjol, gambaran suara dan sensasi halusinasi dapat
berupa bisikan yang tidak jelas klien takut apabila orang lain mendengar dan
klien merasa tak mampu mengontrolnya. Klien membuat jarak antara dirinya
dan halusinasi dengan memproyeksikan seolah-olah halusinasi datang dari
orang lain.
Perilaku klien : meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom seperti
peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Klien asyik dengan
halusinasinya dan tidak bisa membedakan dengan realitas.
6.3 Fase Ketiga / controlling
Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol klien menjadi
terbiasa dan tak berdaya pada halusinasinya. Termasuk dalam gangguan
psikotik. Karakteristik : bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol,
menguasai dan mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya
terhadap halusinasinya.
Perilaku klien : kemauan dikendalikan halusinasi, rentang perhatian hanya
beberapa menit atau detik. Tanda-tanda fisik berupa klien berkeringat, tremor
dan tidak mampu mematuhi perintah.
6.4 Fase Keempat / conquering/ panik
Klien merasa terpaku dan tak berdaya melepaskan diri dari kontrol
halusinasinya. Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan berubah menjadi
mengancam, memerintah dan memarahi klien tidak dapat berhubungan
dengan orang lain karena terlalu sibuk dengan halusinasinya klien berada
dalam dunia yang menakutkan dalam waktu singkat, beberapa jam atau
selamanya. Proses ini menjadi kronik jika tidak dilakukan intervensi.
Perilaku klien : perilaku teror akibat panik, potensi bunuh diri, perilaku
kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonik, tidak mampu merespon
terhadap perintah kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang.
Dalami, E, dkk. 2009. Askep Klien Dengan Gangguan Jiwa. Jakarta : CV. Trans
Info Media
Stuart dan Laraia, Principles And Practice of Psyciatric Nursing (5Th. Ed) St.
Louis Mosby Year Book 2007
Yosep (2011), Keperawatan Jiwa. Edisi 4, PT Refika Aditama : Bandung
PERILAKU KEKERASAN
2.FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor
presdisposisi, artinya mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi perilaku
kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu ( Probowo, 2014)
a) Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak – kanak yang tidak
menyenangkan yaitu perasaan yang di tolak, dihina, dianiaya atau sanksi
penganiayaan.
b) Perilaku, renforcoment yang diterima pada saat melakukan kekerasaan,
sedang mengobservasi kekerasaan di rumah atau di luar rumah, semua aspek
ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasaan.
c) Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam ( pasif agresif)
dan kontrol sosial yang tidak pasti terhdap perilaku kekerasaan yang
diterima (permissivee)
d) Bioneurologis, banyak kerusakan sistem limbiik, lobus frontal, lobus
temporal, dan ketidakseimbangan neurotranmitter turut berperan dalam
terjadinya perilaku kekerasaan.
3. FAKTOR PRESPITASI
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik
berupa injury secara fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Beberapa faktor
pencetus perilaku kekerasaan adalah sebagai berikut (Sari, 2015)
1. Klien : Kelemahan fisik, keputusaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang
penuh agresif dan masa lalu yang tidak menyenangkan
2. Interaksi : Penghinaan,kekerasaan, kehilangan orang yang berarti, konflik,
merasa terancam, baik internal dari perusahaan dari klien
maupun ekternal dari lingkungan
4. RENTANG RESPON
5. MENEFESTASI KLINIS
Menurut Nuraeneh (2012) tanda dan gejala dari perilaku kekerasan, adalah
sebagai berikut:
a. Fisik : Pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup,
wajah memerah, serta postur tubuh kaku.
b. Verbal : Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor,
bicara dengan nada keras dan kasar,sikap ketus.
c. Perilaku : Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain,
merusak lingkungan, sikap menentang, dan amuk/agresif.
d. Emosi : Jengkel, selalu menyalahkan, menuntut, perasaan
terganggu, dan ingin berkelahi.
e. Intelektual : Mendominasi, cerewet atau bawel, meremehkan, suka
berdebat, dan mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
f. Sosial : Penolakan untuk didekati, mengasingkan diri, melakukan
kekerasan, suka mengejek, dan mengkritik.
g. Spiritual : Merasa diri berkuasa, tidak realistik, kreatifitas
terlambat, ingin orang lain memenuhi keinginannya, dan
merasa diri tidak berdosa.
2. Data Objektif
a. Mata merah, wajah agak merahNada suara tinggi dan keras, bicara
menguasai, berteriak, menjerik, memukul diri sendiri/orang lain
b. Eksperesi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam
c. Merusak dan melepar barang
d. Perilaku Kekerasaan/ amuk
1. Data Subyektif
a. klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang
b. Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika
sedang kesal
7. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Resiko mencederai diri, orang lain ddan lingkungan berhubungan dengan waham
Tujuan Kreeteria Hasil Intervensi
Pasien Mampu : Setelah ....x pertemuan pasien mampu : SP 1
− Mengindentifikasi penyebab dan Menyebutkan penyebab tanda gejala dan 1. Indentifikasi penyebab, tanda dan
tanda perilaku akibat perilaku kekerasan gejala serta akibar perilaku
− Menyebutkan jenis perilaku Memperagakan cara fisik 1 untuk kekerasanletih cara fisik 1 : Tarik
mengontrol perilaku kekerasan
kekerasan yang pernah dilakukan nafas dalam
− Menyebutkan akibat dari perilaku 2. Masukan dalam jadwal harian
kekerasan yang dilakukan pasien
− Menyebutkan cara mengontrol Setelah ....x pertemuan pasien mampu : SP 2
perilaku kekerasan Menyebutkan kegiatan yang sudah 1. Evaluasi kegiataan yang lalu (SP 1)
− Mengontrol perilaku kekerasan dilakukan 2. Latih caara fisik 2 : Pukul baantal/
dengan cara : Memperagakan cara fisik untuk kasur
mengontrol perilaku kekerasan
● Fisik 3. Masukkan dalam jadwal harian
● Sosial/verbal pasien
● Spritual Setelah ...x pertemuan pasien mampu : SP 3
● Terapi psikofarmaka ( patah Menyebutkan kegiatan yang sudah ada 1. Evaluasi kegiatan yang lalu ( SP 1
otot) Memperagakan cara sosial/verbal untuk dan SP 2)
mengontrol perilaku kekerasan 2. Latih secara sosial/ verbal
3. Menolak dengan baik
4. Meminta dengan baik
5. Mengungkapkan dengan baik
6. Masukkan dalam jadwal harian
pasien
Setela ...x pertemuan, pasien mampu : SP 4
Menyebutkan kegiatan yang sudah 1. Evaluasi kegiatan yang lalu
dilakukan (SP1,2,3)
Memperagakab cara spritual 2. Latih secara spirotual :
3. Berdoa
4. Shalat
5. Masukkan dalam jadwal harian
Setelah Mmapu : pasien
Merawat pasien di rumah Setelah...x mampu pertemuan pasirn SP 5
mampu : 1. Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1,2
Memperagakan cara patuh obat &3)
2. Susun jadwal minum obat secara
teratur
3. Masukan dalam jadwal harian
pasien
Setelah ...x pertemuan keluarga mampu SP 1
menjelaskan tanada mampu menjelaskan 1. Indentifikasi masalah yang
tanda san gejala akibat serta mampu diraskana keluarga dalam
memperagakan cara merawat merawat pasien
2. Jelaskan tentang Perilaku
kekerasan
3. Penyebab
4. Akibat
5. Cara meraawat
6. Latih 2 cara merawat
7. RTL keluarga/ jadwal untuk
merawat pasien
Setelah ....x pertemuan keluuarga mampu SP 2
menyebutkan kegiatan yang sudah 1. Evaluasi SP 1
dilakukan dan mampu merawat serta 2. Latih 9 simulasi) 2 cara lain untuk
membuka RTL merawat pasien
3. RTL keluarga./ jadwal keluarga
untuk merawat pasien
Setelah ...x pertemuan keluarga mampu SP 3
menyebutkan kegiatan yang sudah 1. Evaliuasi SP 2 dan SP 2
dilakukkan dan mampu merawat serta 2. Latih langsung ke pasien
dapat membuat RTL 3. RTL keluarga/ jadwal keluarga
untuk merawat pasien
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawtan diri
secara mandiri seperti mandi (hygene), berpakaian/berhias, makan dan BAB/BAK
(toileting) (Fitria, 2009).
Menurut Yusuf, dkk. (2015) tanda dan gejala pada defisit perawatan tubuh
diri adalah sebagai berikut :
1. Kebersihan diri
Tidak ada keinginan untuk mandi secara teratur, pakaian kotor, bau badan, bau
napas, dan penampilan tidak rapi.
2. Berdandan atau berhias
Kurangnya minat dalam memilih pakaian yang sesuai, tidak menyisir rambut, atau
mencukur kumis.
3. Makan
Mengalami ksukaran dalam mengambil, ketiakmampuan membawa makanan dari
piring ke mulut, dan makan hanya beberapa suap makanan dari piring.
4. Toileting
Ketidakmampuan atau tifak adanya keinginan untuk melakukan defekasi atau
berkemih tanpa bantuan.
C. FAKTOR PREDISPOSISI
a. Perkemabangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan
inisiatif terganggu.
b. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri
c. Kemampuan psikologis menurun klien dengan gangguan jiwa dengan
kemampuan realitas yang kurang menyebabkan ketiakpedulian dirinya dan
lingkungan termasuk perawatan diri.
d. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya. Situasi
lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.
D. FAKTO PRESIPITASI
a. Body image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri
misalnya individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
b. Praktik sosial
Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan
terjadi perubahan pola personal hygene.
c. Status sosial ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, shampoo, sikat gigi,
dan semuanya memerlukan uang.
d. Pengetahuan
Pengetahuan sangat penting, karena pengetahuan yang baik dapat meningkatkan
kesehatan.
e. Budaya
Disebagian masyarakat kalau sakit tidak boleh dimandikan.
E. RENTANG RESPON
● Aktualisasi diri adalah : pernyataan diri tentang konsep diri yang positif
dengan latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima
● Konsep diri positif apabila individu mempunyai pengalaman yang positif
dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal –hal positif maupun yang
negative dari dirinya.
● Harga diri rendah adalah ; individu cenderung untuk menilai dirinya
negative dan merasa lebih rendah dari orang lain
● Identitas kacau adalah kegagalan individu mengintegrasikan aspek –
aspek identitas masa kanak – kanak ke dalam kematangan aspek
psikososial kepribadian pada masa dewasa yang harmonis
● Depersonalisasi adalah : perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap
diri sendiri yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak
dapat membedakan dirinya dengan orang lain.
F. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
SP 4
1. Evaluasi kemampuan pasien yang lalu (SP 1, 2 dan 3)
2. Latih cara BAB dan BAK yang baik
3. Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
4. Menjelaskan cara membersihkan diri setelah
BAB/BAK.
Keluarga mampu : Setelah ...x pertemuan keluarga SP 1
Merawat anggota keluarga mampu meneruskan melatih pasien 1. Identifikasi masalah keluarga dalam merawat pasien
yang mengalami masalah dan mendukung agar kemampuan dengan masalah kebersihan diri, berdandan, makan,
kurang perawatan diri pasien merawat dirinya meningkat. BAB/BAK
2. Jelaskan defisit perawatan diri
3. Jelaskan cara merawat kebersihan diri, berdandan,
makan, BAB/BAK
4. Bermain peran cara merawat
5. RTL keluarga/jadwal keluarga untuk merawat pasien
SP 2
1. Evaluasi SP 1
2. Latih keluarga merawat langsung kepasien, kebersihan
diri dan berdandan
3. RTL keluarga/jadwal keluarga untuk merawat pasien
SP 3
1. Evaluasi SP 2
2. Latih keluarga merawat langsung kepasien cara makan
3. RTL keluarga/jadwal keluarga untuk merawat pasien
SP 4
1. Evaluasi kemampuan keluarga
2. Evaluasi kemampuan pasien
3. Rencana tindak lanjut keluarga :
- Follow Up
- Rujukan
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf, Ah., dkk.. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta :
Salemba Medika.
WAHAM
A. PENGERTIAN
Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan,
tetapi dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain.
Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan kontrol
(Depkes RI,2000)
Waham adalah keyakinan seseorang yang bedasarkan penilaian
realitas yang salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat
intelektual dan latar belakang budaya klien. Waham dipengaruhi oleh faktor
pertumbuhan dan perkembangan seperti adanya penolakan,kekerasan, tidak
ada kasih sayang, pertengkaran orang tua dan aniaya. (Keliat, 1999).
B. FAKTOR PREDISPOSISI
1. Genetik, faktor-faktor genetik yang pasti mungkin terlibat dalam
perkembangan suatu kelainan ini adalah mereka yang memiliki anggota
keluarga dengan kelainan yang sama (orang tua, saudara kandung, sanak
saudara lain).
2. Neurobiologis, adanya gangguan pada konteks pre frontal dan korteks
limbic.
3. Neurotransminter, abnormalitas pada dopamine, serotonin, dan
glutamate.
4. Virus, paparan virus influenza pada trimester III
5. Psikologis, ibu pencemas, terlalu melindungi, ayah tidak peduli
C. FAKTOR PRESIPITASI
1. Proses pengolahan informasi yang berlebihan
2. Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal.
D. RENTANG RESPON
Adaptif Maladaptif
F. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Untuk mendapatkan data waham sesuai dengan jenis wahamnya, harus
dilakukan observasi terhadap perilaku klien sebagai berikut :
a. Waham kebesaran
Menyakini bahwa ia memiliki kebesaranatau kekuasaan khusus, diucapkan
berulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
b. Waham curiga
Meyakini bahwa seseorang atau kelompok yang berusaha
merugikan/mencederai dirinya, diucapkan berualng kali tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan.
c. Waham agama
Memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan
berulang kali tetapi tidak seuai dengan kenyataan.
d. Waham somatik
Menyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu/terserang
penyakit, diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan.
e. Waham nihilistik
Meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/meninggal, diucapkan
berulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
2. Diagnosa Keperawatan
1. GANGGUAN PROSES PIKIR : WAHAM
Diagnosa Keperawatan : Gangguan Proses Pikir : Waham
B. FAKTOR PREDISPOSISI
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
a. Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu dengan
sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi, akan
menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah tempat
pertama yang memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin
hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian
dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi bayi akan memberikan rasa
tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa
ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada
orang lain maupun lingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat
sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak mersaa diperlakukan
sebagai objek.
b. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk
mengembangkan gangguan tingkah laku.
1) Sikap bermusuhan/hostilitas
2) Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak
3) Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk
mengungkapkan pendapatnya.
4) Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada
pembicaraan anak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga,
kurang tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam
pemecahan masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan
musyawarah.
5) Ekspresi emosi yang tinggi
6) Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan
yang membuat bingung dan kecemasannya meningkat)
c. Faktor Sosial Budaya
d. Faktor Biologis
C. FAKTOR PRESIPITASI
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal
maupun eksternal, meliputi:
a. Stressor Sosial Budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan,
terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah
dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian
karena ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini
dapat menimbulkan isolasi sosial.
b. Stressor Biokimia
1) Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik
serta tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
2) Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan
meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO
adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka menurunnya
MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
3) Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada
pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami penurunan
karena dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme, adanya peningkatan
maupun penurunan hormon adrenocortical seringkali dikaitkan dengan
tingkah laku psikotik.
4) Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-gejala
psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah stuktur
sel-sel otak.
c. Stressor Biologik dan Lingkungan Sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering
terjadi akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.
d. Stressor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan individu
untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang
ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu
untuk mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai masalah
gangguan berhubungan pada tipe psikotik.
Menurut teori psikoanalisa; perilaku skizofrenia disebabkan karena
ego tidak dapat menahan tekanan yang berasal dari id maupun realitas
yang berasal dari luar. Ego pada klien psikotik mempunyai kemampuan
terbatas untuk mengatasi stress. Hal ini berkaitan dengan adanya masalah
serius antara hubungan ibu dan anak pada fase simbiotik sehingga
perkembangan psikologis individu terhambat.
F. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Masalah data yang perlu dikaji
- Tidak tahan terhadap kontak yang lama
- Tidak konsentrasi dan pikiran mudah beralih saat berbicara
- Tidak ada kontak mata
- Ekspresi wajah murung, sedih
- Tampak larut dalam pikiran dan ingatannya sendiri
- Kurang aktivitas
- Tidak komunikatif
- Merusak diri sendiri
- Ekspresi malu
- Menarik diri dari hubungan sosial
- Tidak mau makan dan tidak tidur
2. Masalah Keperawatan dan Data Fokus Pengkajian
a. Masalah keperawatan
- Isolasi sosial, menarik diri
1) Data obyektif
Apatis, ekspresi sedih, efek tumpul, menyendiri, berdiam diri
dikamarbanyak diam, kontak mata kurang (menunduk),
menolak berhubungan dengan orang lain, perawatan diri
kurang, posisi menekur.
2) Data subyektif
Sukar didapat jika klien menolak komunikasi, kadang hanya dijawab
dengan singkat ya atau tidak.
3. Diagnosa Keperawatan
Isolasi sosial menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
Diagnosa : Isolasi Sosial: Menarik Diri
Tujuan Kriteria Evaluasi Interaksi
Pasien mampu: Setelah ......x pertemuan klien mampu : SP 1
- Menyadari penyebab - Membina hubungan saling percaya Identifikasi penyebab
isolasi sosial - Menyadari penyebab isolasi sosial, - siapa yang satu rumah dengan pasien
- Berinteraksi dengan keuntungan dan kerugian berinteraksi - Siapa yang dekat dengan pasien
orang lain dengan orang lain - Siapa yang tidak dekat dengan pasien
- Melakukan interaksi dengan orang lain
secara bertahap
Tanyakan keuntungan dan kerugian berinteraksi
dengan orang lain
- Tanyakan pendapat pasien tentang
kebiasaan berinteraksi dengan orang lain
- Tanyakan apa yang menyebabkan pasien
tidak ingin berinteraksi denga orang lain
- Diskusikan keuntungan bila pasien
memiliki banyak teman dan bergaul
akrab dengan mereka
- Diskusikan kerugian bila pasien hanya
mengurung diri dan tidak bergaul
dengan orang lain.
- Jelaskan pengaruh isolasi terhadap
kesehatan fisik pasien
Latih berkenalan
- Jelaskan kepada klien cara berinteraksi
dengan orang lain
- Berikan contoh cara berinteraksi dengan
orang lain
- Berikan kesempatan pasien
mempraktekkan cara berinteraksi dengan
orang lain yang dilakukan dihadapan
perawat
- Mulailah bantu pasien berinteraksi
dengan satu orang teman/ anggota
keluarga
- Bila pasien sudah menunjukkan
kemajuan tingkatkan jumlah interaksi
dengan 2,3,4 orang dan seterusnya
- Beri pujian untuk setiap kemajuan
interaksi yang telah dilakukan oleh
pasien
- Siap mendengarkan ekspresi perasaan
pasien setelah berinteraksi dengan orang
lain, mungkin pasien akan
mengungkapkan keberhasillan atau
kegagalannya, beri dorongan terus
menerus agar pasien tetap semangat
meningkatkan interaksinya.
Masukkan jadwal kegiatan pasien
SP 2
- Evaluasi SP 1
- Latih berhubungan sosial secara
bertahap
- masukkan dalam jadwal kegiatan pasien
Keluarga Mampu : Merawat Setelah ...........x pertemuan keluarga mampu SP 1
pasien isolasi sosial di rumah menjelaskan tentang : - Identifikasi masalah yang dihadapi
- Isolasi sosial dan dampaknya pada pasien keluarga dalam merawat pasien
- Penyebab isolasi sosial - Penjelasan Isolasi Sosial
- Sikap keluarga untuk membantu pasien - Cara merawat pasien Isolasi Sosial
mengatasi isolasi sosialnya - Latih (simulasi)
- pengobatan yang berkelanjutan dan - RTL Keluarga/jadwal keluarga untuk
mencegah putus obat merawat pasien
- tempat rujukan dan fasilitas kesehatan yang
tersedia bagi pasien
SP 2
- Evaluasi SP 1
- Latih (langsung ke pasien)
- RTL Keluarga/jadwal keluarga untuk
merawat pasien.
SP 3
- Evaluasi SP 1 dan SP 2
- Latih (langsung ke pasien)
- RTL Keluarga/jadwal keluarga untuk
merawat pasien
SP 4
- Evaluasi kemampuan keluarga
- Evaluasi kemampuan pasien
- Rencana tindak lanjut keluarga
- Follow up
- Rujukan
DAFTAR PUSTAKA
A. DEFINISI
Gangguan harga diri adalah keadaan ketika individu mengalami atau beresiko
mengalami evaluasi diri yang negative tentang kemampuan atau diri (Capenitu,
Lynda Jual-Moyet, 2007). Harga diri rendah adalah keadaan ketika individu
mengalami evaluasi diri negative mengenai diri atau kemampuan diri (Lynda Juall
Carpenitu-Moyet, 2007).
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga,tidak berarti dan rendah diri
yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri atau
kemampuan diri. Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena
tidak mampu mencapai keinginan sesuai ideal diri. ( Yosep,2009).
B. FAKTOR PREDISPOSISI
C. FAKTOR PRESIPITASI
D. RENTANG RESPON
1. Respon adaptif
Respon Adaptif Respon adaptif adalah kemampuan individu dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
a. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif
dengan latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima.
b. Konsep diri positif apabila individu mempunyai pengalaman yang positif
dalam beraktualisasi diri dan menyadari menyadari hal-hal positif maupun
negative dari dirinya (Prabowo, 2014).
2. Respon maladatif
Respon maladaptif adalah respon yang diberikan individu ketika dia tidak
mampu lagi menyelesaikan masalah yang dihadapi.
a. Harga diri rendah adalah individu yang cenderung untuk menilai dirinya
negatif dan merasa lebih rendah dari orang lain.
b. Identitas kacau adalah kegagalan individdu mengintegritaskan aspek-aspek
identitas masa kanak-kanak kedalam kematangan aspek psikososial
kepribadian pada masa dewasa yang harmonis.
c. Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistik dan asingg terhadap
diri sendiri yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak
daapat membedakan dirinya dengan orang lain (Prabowo, 2014).
4. Diagnosa Keperawatan
a. Harga diri rendah
Diagnosa Keperawatan : Harga Diri Rendah
SP III
- Evaluasi kegiatan yang lalu (SP I dan II)
- Emilih kemampuan ketiga yang dapat
dilakukan
- Masukkkan dalam jadwal kegiatan pasien
Keluarga mampu : Seteleh …x pertemuan keluarga SP I
Merawat pasien dengan harga mampu : - Identifikasi masalah yang dirasakan dalam
diri rendah di rumah dan - Mengindektifikasi merawat pasien
menjadi system pendukung kemampuan yang dimiliki - Jelaskan proses terjadinya HDR
yan efektif bagi pasien. pasien - Jelaskan tentang cara merawat pasien
- Menyediakan fsailitas untuk - Main peran dalam merawat pasie HDR
pasien melakukan kegiatan - Susun RTL keluarga / jadwal keluarga untuk
- Mendorong pasien melakukan merawat pasien
kegiatan
- Memuji pasien saat pasien SP II
dapat melakukan kegiatan. - Evaluasi kemampuan SP I
- Membantu melatih pasien - Latih keluarga langsung ke pasien
- Membantu menyusun jadwal - Menyusun RTL keluarga / jadwal keluarga
kegiatan pasien untuk merawat pasien
- Membantu perkembangan
pasien SP III
- Evaluasi kemampuan keluarga
- Evaluasi kemampuan ppasien
- RTL keluarga :
- Follow up
- Rujukan
DAFTAR PUSTAKA
A. PENGERTIAN
Bunuh diri adalah suatu keadaan di mana individu mengalami risiko untuk
menyakiti diri sendiri atau tindakan yang dapat mengancam jiwa. (Stuart dan
Sundeen, 1995 dalam Fitria, 2009).
Bunuh diri adalah suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk
mengakhiri kehidupan, individu secara sadar berhasrat dan berupaya untuk
mewujudkan hasratnya untuk mati. Perilaku bunuh diri ini meliputi isyarat-
isyarat, percobaan atau ancaman verbal, yang akan mengakibatkan kematian,
luka, atau menyakiti diri sendiri (Clinton, 1995 dalam Yosep, 2010).
Bunuh diri adalah suatu tindakan agresif yang langsung terhadap diri
sendiri untuk
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan koping terakhir dari individu
untuk memecahkan masalah yang dihadapi. (Jenny., dkk. (2010). Asuhan
Keperawatan Pada Klien Dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa ).
B. FAKTOR PREDISPOSISI
Menurut Iyus Yosep (2010), terdapat beberapa factor yang berpengaruh
dalam bunuh diri, anatara lain:
a. Faktor mood dan biokimia otak.
b. Faktor riwayat gangguan mental.
c. Faktor meniru, imitasi, dan factor pembelajaran.
d. Faktor isolasi sosial dan human relations.
e. Faktor hilangnya rasa aman dan ancaman kebutuhan dasar.
f. Faktor religiusitas.
C. FAKTOR PRESIPITASI
Perilaku destruktif dapat ditimbulkan oleh stress yang berlebihan yang
dialami oleh individu. Pencetusnya seringkali kejadian hidup yang memalukan,
melihat atau membaca melalui media tentang orang yang melakukan bunuh diri
ataupun percobaan bunuh diri (Fitria, 2009).
D. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan Gejala menurut Fitria, Nita (2009) :
1. Mempunyai ide untuk bunuh diri.
2. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
4. Impulsif.
5. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).
6. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
7. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat
dosis mematikan).
8. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic, marah dan
mengasingkan
9. diri).
10. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi,
psikosis dan
11. menyalahgunakan alcohol).
12. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau
terminal).
13. Pengangguaran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami
kegagalan dalam
14. karier).
15. Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
16. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
17. Pekerjaan.
18. Konflik interpersonal.
19. Latar belakang keluarga.
20. Orientasi seksual.
21. Sumber-sumber personal.
22. Sumber-sumber social.
23. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.
SP 2
1. Mengidentifikasi aspek positif pasien
2. Mendorong apsien untuk berpikir positif terhadap diri SP 2
3. Mendorong pasien untuk menghargai diri sebagai individu 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat pasien
dengan resiko bunuh diri
yang berharga 2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung
kepada pasien resiko dunuh diri
SP 3
1. Mengidentivikasi pola koping yang biasa diterapkan pasien
2. Menilai pola koping yang biasa dilakukan SP 3
3. Mengidentifikasi pola koping yang konstruktif 1. Membantu keliarga membuat jadwal aktivitas dirumah
4. Mendorong pasien memilih pola koping yang konstruktif termasuk minum obat
5. Menganjurkan pasien menerapkan pola koping konstruktif 2. Mendiskusikan sumber rujukan yang biasa dijangkau
dalam kegiatan harian oleh keluarga
SP 4
1. Membuat rencana masa depan yang realistis bersama pasien
2. Mengidentifikasi cara mencapai rencana masa depan yang
realistis
3. Memberi dorongan pasien melakukan kegiatan dalam
rangka meraih masa depan yang realistis
Rumah Sakit Jiwa Tanggal Nilai Tanggal Tanggal Rata - rata
Provinsi Jawa
Barat Paraf CI Paraf
Dosen
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA
OLEH :
SURTI AN’NUR
NPM.214118008