Anda di halaman 1dari 13

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
 Nama : Husen
 Usia : 56 Th
 Jenis Kelamin : Laki- Laki
 Agama : Islam
 Alamat : Sp.Ulim
 Pekerjaan : Petani

II. ANAMNESA (AUTOANAMNESA)


A. Keluhan Utama
Muncul bercak-bercak kehitaman bersisik halus yang pada kulit yang
terasa gatal dan panas bagian tangan dan kaki
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD Langsa dengan keluhan muncul bercak-bercak
kehitaman bersisik halus pada kulit sejak 6 bulan yang lalu,terasa gatal (+) panas
(+), bercak kehitaman berbentuk koin bulat kecil hingga besar, awalnya muncul di
bagian paha dan kemudian mulai bertambah ke area kaki dan lengan pasien.
Pasien mengaku tidak pernah mempunyai riwayat alergi sebelumnya dan sering
membeli obat di depot obat ketika sakit tanpa konsultasi ke dokter.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan yang serupa
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada yang mengalami keluhan serupa
E. Riwayat Penggunaan Obat Dan Alergi Obat
Pasien tidak ingat obat yang digunakan
F. Riwayat Kebiasaan Sosial
pasien adalah seorang petani dan perokok aktif

1
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak Sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-tanda vital :
- Nadi : 78x/m
- Respirasi : 22x/i
- Suhu : 36,8C
- Tekanan Darah : 120/80 mmhg
Kepala :
- Mata : DBN
- THT : DBN
- Leher : DBN
Thorax
- : Paru : DBN
- Jantung : DBN
- Abdomen : DBN
- Extemitas : DBN

B. Status Dermatologis
Ruam primer : Makula Eritema
Ruam Sekunder : Skuama, Krusta
Susunan : Sirsinar
Bentuk : nummular hingga plaque
Penyebaran : Sirkupstrip dan simetris
Lokasi : Region Ekstremitas atas dan bawah

2
3
IV. RESUME
muncul bercak-bercak kehitaman yang bersisik halus berbentuk koin dan
lonjong pada kulit sejak 6 bulan yang lalu,terasa gatal (+) panas (+). Pasien sering
mengonsumsi obat jika sakit ringan tanpa konsultasi ke dokter.
Status dermatologis, makula eritema hyperpigmentasi yang berskuama halus
berbatas tegas berukuran numular hingga plaque di region ekstremitas atas dan
bawah

V. DIAGNOSIS BANDING
1. Drug eruption
2. Urtikaria
3. Dermatitis kontak
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak Dilakukan
VII. DIAGNOSIS KERJA
Fixed Drug Eruption
VIII. PENGOBATAN
Methyl Prednisolon 4mg 3x1
Cetirizin 2x1
Asam Salisilat 2% Cream
Momethason cream

Non-medika mentosa
 Menerangkan kepada pasien mengenai penyakit dan
penatalaksanaannya
 Menghentikan konsumsi obat yang dicurigai sebagai penyebabnya
 Memberikan pengertian kepada penderita bahwa pengobatan untuk
penyakitnya membutuhkan waktu yang cukup lama, diharapkan
pasien mau bersabar
 Menganjurkan agar melakukan pengobatan secara teratur dan
disiplin
 Menjelaskan kepada pasien tentang penularan penyakitnya

4
 Menjelaskan kepada pasien tentang risiko yang mungkin terjadi
 Monitoring keadaan umum pasien
 Memberikan motivasi kepada pasien

IX. PROGNOSIS
Tipe ringan baik bila obat penyebab di identifikasi dan dihentikan.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

PEMBAHASAN
Erupsi Obat alergik disebut juga adverse cutaneous drug eruption adalah
reaksi hipersensitivitas terhadap obat dengan manifestasi pada kulit yang dapat
disertai maupun tidak keterlibatan mukosa. Terdapat dua jenis tipe reaksi simpang
obat, yaitu tupe reaksi A yang dapat diprediksi karena sifat fakmakologik obatnya,
dan tipe B yaitu reaksi yang tidak dapat diprediksi dan terjadi pada populasi
tertentu, misalnya idiosinkrasi dan reaksi hipersensitivitas.1
Berdasarkan klasifikasi Coombs and Gell, patomekanisme yang mendasari
erupsi obat alergik dibagi menjadi 2 mekanisme. Tipe I dimediasi oleh
imunoglobin (Ig)E yang dapat menyebabkan reaksi anafilaksis, urtikaria dan
angiodema, timbul sangat cepat, terkadang dapat urtikaria/angiodema persisten
beberapa minggu setelah obat dihentikan. Tipe II merupakan mekanisme
sitotoksik yang diperentarai reaksi antigen, IgG dan komplemen terhadap eritrosit,
leukosit, trombosit, atau sel prekusor hematoligik lain. Obat yang dapat
menyebabkan hipersensivitas tipe ini antara lain golongan penisilin, sefalosporin,
streptomisin, klorpromazin, sulfonamid, analgesik, dan antipiretik. Sedangkan tipe
III adalah reaksi imun kompleks yang sering terjadi akibat penggunaan obat
sistemik tinggi dan terapi jangka panjang, menunjukan manifestasi berupa
vaskulitis pada kulit dan penyakit autoimun yang diinduksi obat. Tipe terakhir
yaitu tipe IV (tipe lambat) yang diperantarai oleh limfosit T dengan manifestasi
klinis erupsi ringan hingga berat.
Selain pada kulit , reaksi hipersensitivitas yang dimediasi oleh sel T
terbagi atas subklas yaitu tipe IVa – IVd.1
Insidens erupsi obat alergi mencapai 2,66% dari total 27.726 pasien
dermatologi selama setahun. Erupsi obat alergi terjadi pada 2-3% pasien yang

6
dirawat di rumah sakit, tetapi hanya 2% yang berakibat fatal. Insidens erupsi obat
alergi pada negara berkembang berkisar antara 1% – 3%.1
Di India, kasus erupsi obat alergi mencapai 2-5%. Erupsi obat alergi
terjadi 2-3% dari seluruh reaksi silang obat. Hampir 45% dari seluruh pasien
dengan erupsi di kulit merupakan kasus erupsi obat alergi. Insidens erupsi obat
alergi lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.2 Lebih dari 50% kasus Sindrom
Steven Johnson dan hampir 90% penderita toxic epidermal necrolysis terkait
dengan penggunaan obat.3

Faktor Risiko Timbulnya Erupsi Obat Alergi


Faktor-faktor risiko yang menimbulkan erupsi obat adalah:4
1. Jenis kelamin dan usia
Banyak orang menyatakan bahwa anak-anak lebih jarang tersensitisasi
akibat obat jika dibandingkan dengan orang dewasa. Akan tetapi beberapa
jenis kasus erupsi obat alergi yang memiliki prognosis buruk lebih sering
mengenai anak-anak. Pada anak – anak, ruam merah yang timbul akibat
virus sering mengaburkan gambaran klinis erupsi alergi obat akibat
antimikroba yang diberikan. Wanita lebih sering menderita erupsi obat
alergi dibandingkan pria.
2. Faktor genetik
Erupsi obat alergik berhubungan dengan faktor genetik dan lingkungan
misalnya pada kasus nekrolisis epidermal toksik akibat sulfonamida. Hal
ini berhubungan dengan gen human leukocyte antigen. Diantara para
remaja yang memiliki orang tua dengan riwayat alergi antibiotika, 25,6%
remaja tersebut juga memiliki alergi obat yang sama.
3. Pajanan obat sebelumnya
1
Chatterjee, S., Ghosh, A.P., Barbhuiya, J. & Dey, S.K. Adverse Cutaneous Drug
Reactions: A One Year Survey at a Dermatology Outpatient Clinic of a Tertiary Care
Hospital. Indian Journal of Pharmacology. 2006; 38(6):429-31.
2
Nayak, S. & Acharjya, B. Adverse Cutaneus Drug Reactions. Indian Journal of
Dermatology, Venereology and Leprology. 2008; 53(1):2-8.
3
Adithan, C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert Departement of Pharmacology.
2006; 2(1):1-4.
4
Pudukadan, D. & Thappa, D.M. Adverse Cutaneous Drug Reactions: Clinical Pattern
and Causative Agents in a Tertiary Care Center in South India. Indian Journal of
Dermatology, Venereology and Leprology. 2004; 70(1):20-4.
7
Hal yang terpenting dari erupsi alergi obat adalah pajanan obat yang
sebelumnya menimbulkan alergi ataupun obat-obatan lain yang memiliki
struktur kimia yang sama. Akan tetapi, alergi obat tidak bersifat persisten.
Setelah pajanan, IgE dapat bertahan dari 55 hingga 2000 hari.
4. Riwayat penyakit yang dimiliki pasien
Pasien dengan riwayat penyakit asma cenderung mudah menderita
dermatitis atopi.
5. Bentuk obat
Beberapa jenis obat seperti antibiotika beta laktam dan sulfonamida
memiliki potensial untuk mensensitisasi tubuh.
6. Cara masuk obat
Obat yang diaplikasikan secara kutaneus cenderung lebih
menyebabkan erupsi alergi obat. Antibiotika beta laktam dan sulfonamida
jarang digunakan secara topikal karena alasan ini. Dosis dan durasi
pemberian obat juga berperan dalam timbunya erupsi alergi obat.

Gambaran Klinis
Gambaran klinis erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai kemiripan
dengan gangguan kulit lain pada umumnya, yaitu:5
1. Erupsi makulapapular atau morbiliformis
Erupsi makulapapular atau morbiliformis disebut juga erupsi
eksantematosa dapat diinduksi oleh hampir semua obat. Seringkali
terdapat erupsi generalisata dan simetris yang terdiri atas eritema dan
selalu ada gejala pruritus. Kadang-kadang ada demam, malaise, dan nyeri
sendi. Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu setelah dimulainya terapi.
Erupsi jenis ini sering disebabkan oleh ampisilin, obat anti inflamasi non
steroid, sulfonamid, dan tetrasiklin.
2. Urtikaria dan angioedema
Urtikaria menunjukkan kelainan kulit berupa urtikaria, kadang disertai
angioedema. Pada angioedema yang berbahaya ialah terjadinya asfiksia

5
Docrat, M.E. Skin Focus. Current Allergy & Clinical Immunology. 2005; 18(1):24.

8
bila menyerang glotis. Keluhannya umumnya gatal dan panas pada tempat
lesi. Biasanya timbul mendadak dan hilang perlahan-lahan dalam 24 jam.
Urtikaria dapat disertai demam, dan gejala-gejala umum, misalnya
malaise, nyeri kepala dan vertigo. Angioedema biasanya terjadi di daerah
bibir, kelopak mata, genitalia eksterna, tangan dan kaki. Kasus-kasus
angioedema pada lidah dan laring harus mendapat pertolongan segera.
Penyebab tersering ialah penisilin, asam asetilsalisilat, dan obat anti
inflamasi non steroid.
3. Fixed drug eruption
Fixed drug eruption disebabkan khusus obat atau bahan kimia. Fixed
drug eruption merupakan salah satu erupsi kulit yang sering dijumpai.
Kelainan ini umumnya berupa eritema dan vesikel berbentuk bulat atau
lonjong dan biasanya numular. Kemudian meninggalkan bercak
hiperpigmentasi yang lama, baru hilang, bahkan sering menetap. Dari
namanya dapat diambil kesimpulan bahwa kelainan akan timbul berkali-
kali pada tempat yang sama. Tempat predileksinya di sekitar mulut, di
daerah bibir dan daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka
penyakit kelamin karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas
disertai eritema dan rasa panas setempat. Obat penyebab yang sering ialah
sulfonamid, barbiturat, trimetropin dan analgesik.
4. Eritroderma (dermatitits eksfoliativa)
Eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang biasanya
disertai skuama. Eritroderma dapat disebabkan oleh bermacam-macam
penyakit lain di samping alergi karena obat, misalnya psoriasis, penyakit
sistemik temasuk keganasan pada sistem limforetikular (penyakit
Hodgkin, leukemia). Pada eritroderma karena alergi obat terlihat eritema
tanpa skuama; skuama baru timbul pada stadium penyembuhan. Obat-obat
yang biasa menyebabkannya ialah sulfonamid, penisilin, dan fenilbutazon.
5. Purpura
Purpura adalah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan yang tidak
hilang bila ditekan. Erupsi purpura dapat terjadi sebagai ekspresi tunggal
alergi obat. Biasanya simetris serta muncul di sekitar kaki, termasuk

9
pergelangan kaki atau tungkai bawah. Erupsi berupa bercak sirkumskrip
berwarna merah kecoklatan dan disertai rasa gatal.
6. Vaskulitis
Vaskulitis ialah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat berupa
palpabel purpura yang mengenai kapiler. Biasanya distribusinya simetris
pada ekstremitas bawah dan daerah sakrum. Vaskulitis biasanya disertai
demam, mialgia, dan anoreksia. Obat penyebab ialah penisilin,
sulfonamid, obat anti inflamasi non steroid, antidepresan dan antiaritmia.
Jika vaskulitis terjadi pada pembuluh darah sedang berbentuk eritema
nodosum. Kelainan kulit berupa eritema dan nodus yang nyeri dengan
eritema di atasnya disertai gejala umum berupa demam dan malaise.
Tempat predileksinya di daerah ekstensor tungkai bawah. Eritema
nodosum dapat pula disebabkan oleh beberapa penyakit lain misalnya
tuberkulosis, infeksi streptokokus dan lepra. Obat yang dianggap sering
menyebabkan eritema nodosum ialah sulfonamid dan kontrasepsi oral.
7. Reaksi fotoalergik
Gambaran klinis reaksi fotoalergi sama dengan dermatitis kontak
alergik, lokalisasinya pada tempat yang terpajan sinar matahari. Kemudian
kelainan dapat meluas ke daerah tidak terpajan matahari. Obat yang dapat
menyebabkan fotoalergi ialah fenotiazin, sulfonamida, obat anti inflamasi
non steroid, dan griseofulvin.
8. Pustulosis eksantematosa generalisata akut
Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut jarang terdapat,
diduga dapat disebabkan oleh alergi obat, infeksi akut oleh enterovirus,
hipersensitivitas terhadap merkuri dan dermatitis kontak. Kelainan
kulitnya berupa pustul-pustul miliar nonfolikular yang timbul pada kulit
yang eritematosa dapat disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target.
Kelainan kulit timbul pada waktu demam tinggi, dan pustul pustul tersebut
cepat menghilang sebelum 7 hari yang kemudian diikuti deskuamasi
selama beberapa hari.

10
Diagnosis Erupsi Obat Alergi
Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah anamnesis yang teliti mengenai obat-
obatan yang dipakai, kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa hari
sesudah masuknya obat, dan rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang
biasanya subfebris. Selain itu dilihat juga kelainan kulit yang ditemukan baik
distribusi yang menyeluruh dan simetris serta bentuk kelainan yang timbul.6
Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari jenis
lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data
mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data
kronologis mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian
obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya
hal ini sulit untuk dievaluasi terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat
yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi obat alergi yang
bersifat persisten.3

Pemeriksaan Penunjang Erupsi Obat Alergi


Pemeriksaan diagnostik untuk kasus erupsi obat alergi adalah dengan
mengkonfirmasi marker biokemikal atau marker imunologi yang menyatakan
aktivasi jalur imunopatologi reaksi obat. Pemilihan pemeriksaan penunjang
didasarkan atas mekanisme imunologis yang mendasari erupsi obat. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat
alergi adalah:3
1. Biopsi kulit
Pemeriksaan histopatologi dan imunofloresensi direk dapat membantu
menegakkan diagnosis erupsi obat alergi. Hal ini dapat dilihat dari adanya
eosinofil dan edema jaringan. Akan tetapi pemeriksaan ini tidak dapat
menentukan obat penyebab erupsi.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengevaluasi dan
menegakkan diagnosis serta melihat kemungkinan etiologi penyebab

6
Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W, editors.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 5th ed. Badan Penerbit FKUI: Jakarta; 2007:154-8.
11
erupsi. Pemeriksaan ini mencakup perhitungan darah lengkap (atypical
lymphocytosis, neutrofilia, eosinofilia, dan lain-lain) serta fungsi kerja hati
dan ginjal. Peningkatan jumlah eosinofil dapat menunjukkan erupsi obat
alergi dimana bila perhitungan eosinofil lebih dari 1000 sel/mm3
menunjukkan erupsi obat alergi yang serius. Level obat dapat terdeteksi
apabila terdapat overdosis dari obat tersebut.
3. Pemeriksaan uji tempel dan uji provokasi
Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat
dipercaya. Uji provokasi (exposure test) dengan melakukan pemaparan
kembali obat yang dicurigai adalah yang paling membantu untuk saat ini,
tetapi risiko dari timbulnya reaksi yang lebih berat membuat cara ini harus
dilakukan dengan cara hati-hati dan harus sesuai dengan etika maupun
alasan mediko legalnya.

Prognosis Erupsi Obat Alergi


Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat
penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa
bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom
Steven Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit yang terkena.7
Sindrom Steven Johnson memiliki angka mortalitas dibawah 5% sedangkan toxic
epidermal necrolysis mencapai 20-30% dan kebanyakan pasien meninggal akibat
sepsis.3

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Budianti WK. Erupsi Obat Alergik. In: Menaldi SLSW, Bramono K,


Indriatmi W, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 7th ed. Badan
Penerbit FKUI: Jakarta;2015:190-3.

2. Chatterjee, S., Ghosh, A.P., Barbhuiya, J. & Dey, S.K. Adverse Cutaneous
Drug Reactions: A One Year Survey at a Dermatology Outpatient Clinic
of a Tertiary Care Hospital. Indian Journal of Pharmacology. 2006;
38(6):429-31.

3. Nayak, S. & Acharjya, B. Adverse Cutaneus Drug Reactions. Indian


Journal of Dermatology, Venereology and Leprology. 2008; 53(1):2-8.

4. Adithan, C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert Departement of


Pharmacology. 2006; 2(1):1-4.

5. Pudukadan, D. & Thappa, D.M. Adverse Cutaneous Drug Reactions:


Clinical Pattern and Causative Agents in a Tertiary Care Center in South
India. Indian Journal of Dermatology, Venereology and Leprology. 2004;
70(1):20-4.

6. Docrat, M.E. Skin Focus. Current Allergy & Clinical Immunology. 2005;
18(1):24.

7. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Menaldi SLSW, Bramono K,


Indriatmi W, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 5th ed. Badan
Penerbit FKUI: Jakarta; 2007:154-8.

13

Anda mungkin juga menyukai