TETANUS
Disusun oleh :
Syarafah Dara Gifari
1102014260
Pembimbing :
dr. Maula Nuruddin Gaharu, Sp.S
PENDAHULUAN
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan
spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani. Penyakit ini disebabkan oleh Clostridium tetani yang merupakan
bakteri basil gram positif anaerob. Bakteri ini nonencapsulated dan berbentuk spora, yang
tahan panas, pengeringan dan desinfektan. Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di
tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan dan di daerah pertanian. Ketika bakteri tersebut
berada di dalam tubuh, ia akan menghasilkan neurotoksin (sejenis protein yang bertindak
sebagai racun yang menyerang bagian sistem saraf). C. tetani menghasilkan dua buah
eksotoksin, yaitu tetanolysin dan tetanospasmin.
Menurut penelitian angka kejadian tetanus dapat berhubungan dengan benca alam yang
terjadi disuatu negara. Seperti di Indonesia, terjadi outbreak tetanus setelah bencana alam
tsunami di aceh pada tahun 2004 dan gempa bumi di Yogyakarta pada tahun 2006. Menurut
Aceh Epidemiology Group 2006, dari data rekam medis yang dikupulakan menunujakan rata-
rata usia pasien yang terkena tetanus pasca tsunami adalah 40 tahun, dengan kisaran usia 1-70
tahun.
Di Vietnam, tidak ada data akurat tentang kejadian tetanus . Penelitian di Vietnam
menunjukan rata-rata usia dari 786 kasus tetanus yang dirawat di pusat rujukan tersier di
Vietnam setelah adanya program pemerintah untuk pencegahan tetanus yaitu Expanded
Program on Immunization (EPI), and the Maternal and Neonatal Tetanus (MNT) . Usia rata-
rata meningkat dari 33 pada tahun 1994, menjadi 46 pada tahun 2012.
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke susunan saraf
pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuro muscular junction, kemudian bermigrasi melalui jaringan
perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui pembuluh limfe dan darah ke susunan
saraf pusat. Masih belum jelas mana yang lebih penting, mungkin keduanya terlibat.
Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction lebih
memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf motorik dan
otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju sistem saraf pusat.
1
Tetanospasmin yang merupakan zinc dependent endopeptidase memecah vesicle associated
membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida tunggal.
Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini
mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah
pelepasan glisin dan γ-amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron menghambat motor
neuron alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refleks motorik
sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan
rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini merupakan
karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur axonalnya pendek,
sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang
otak. Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya
kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan
neu- ronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal saraf
yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit ini.
2
BAB II
Pembahasan
2.1 Diagnosis
2.11 Anamnesis
Dalam anamnesis harus ditanyakan riwayat seputar luka seperti apa yang
mengakibatkan luka, tanyakan pada pasien kapan luka tersebut terjadi dan kapan timbulnya
serta tanyakan lokasi luka dan jenis luka. Dalam anamnesa juga harus ditanyakan apakah
pernah mendapatkan vaksin tetanus sebelumnya.
Hanya dengan melihat yang timbul dari pasien kita dapat menegakan diagnosis tetanus,
karena manifestasi tetanus sangantolah khas. Berikut adalah gejala klinis yang terjadi pada
penderita tetanus :
3
tetanus lokal / cephalic dan generalisata .Selain itu, nyeri otot umum, paralisis flaksid
fokal, dan berbagai gejala seperti diplopia, nystagmus, dan vertigo dapat terjadi.
Toksin dari tetanus juga dapat menginvasi saraf sensorik, yang menyebabkan
sensasi sensorik yang berubah, seperti nyeri dan allodynia. Namun tidak jelas di mana
efek ini terjadi, karena penelitian menunjukkan bahwa toksin tidak dapat melewati
ganglia sensoris tulang belakang. Oleh karena itu, efek sensori dari racun bersifat
perifer. Sensasi yang berubah dalam tetanus secara dominan terlihat di wilayah
kepala, yaitu, di area saraf trigeminal.
Tetanus neonatal adalah tetanus yang terjadi pada bayi yang berusia dibawah
1 bulan.. Tetanus ini terjadi pada bayi yang tidak mempunyai kekebalan imun dari
ibunya. Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu
4
proses pertolongan tali pusat. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan
persalinan yang tidak steril, dari penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora
C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang telah terkontaminasi.
Tetanus neonatal juga berhubungan dengan infeksi kulit, seperti pada kasus
yang terjadi pada bayi berusia 8 hari yang di bawa ke IGD karena adanya luka pada
bagian bawah abdomennya yang disertai dengan kejang generalis.
2.2 Tatalaksana
1. Membersihkan luka
2. Antibiotik
Pemebrian metronidazole secara intravena sebanyak 3x500 mg atau penisilin
100.00-200.00 IU/kg/hari.
Pemberian antobiotik diteruskan untuk 7-10 hari .
3. Immonpglobin atau anti tetanus serum
Anti tetanus serum diberikan secara intramuscular dengan dosis 500 IU,3000
IU , atau lebih, namun masih menjadi perdebatan mengenai ke efektifan dosis
yang lebih tinggi. Dapat pula diberikan intratekal. Peberian intrateka
(contohnya memalui pungi lumbal) dipercaya lebih efektif karena dapat
menonaktifkan toksin tetanus selama transsinaptik. Penelitian menunjukkan
bahwa pemberian intratekal lebih unggul dibandingkan pemberian
intramuscular, namun masih dalam perdebatan.
Anti tetanus serum diberikan untuk menginaktifasi toxin tetanus yang masih
bebas di dalam darah. Toxin yang sudah bergabung dengan jaringan saraf tidak
dapat dinetralisir oleh antioksin tetanus.
5
4. Muscle relaxation
Bertujuan untuk menghilangkan gejala rigiditas dan spasme otot.
Benzodiazepine
o Merupakan obat standard untuk terapi Muscle relaxation
o Diazepam :
1. Merupakan obat golongan benzodiazepine yang paling banyak
digunakan karena harganya yang terjangkau
2. Dosis diazepam yang diekomendasikan adalah 0,1-0,3
mg/kgBB/ kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis,
dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8
mg/kgBB/hari oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Untuk
bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2
mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus
tetesan tetap 15-40 mg/ kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis
diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat
diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40
mg/kgBB/hari.
3. Tambahan efek sedasi bisa didapat dari barbiturate khususnya
phenobarbital dan phenotiazine seperti chlorpromazine,
penggunaannya dapat menguntungkan pasien dengan gangguan
otonom. Phenobarbital diberikan dengan dosis 120-200 mg
intravena, dan diazepam dapat ditambahkan terpisah dengan
dosis sampai 120 mg/hari. Chlorpromazine diberikan setiap 4-8
jam dengan dosis dari 4-12 mg bagi bayi sampai 50-150 mg
bagi dewasa. Morphine bisa memiliki efek sama dan biasanya
digunakan sebagai tambahan sedasi benzodiazepine.
Magnesium sulfat intravena dicoba untuk mengendalikan spasme dan
disfungsi otonom; dosis loading 5 g (atau 75 mg/ kg) IV dilanjutkan 1 sampai
3 g/jam sampai spasme terkontrol telah digunakan untuk mendapatkan
konsentrasi serum 2 sampai 4 mmol/L. Untuk menghindari overdosis,
dimonitor reflek patella.
6
5. Tempatkan dilikungan yang tenang dan cenderung gelap untuk menghidari trigger dari
spasme. Pasien tetanus perlu ditempatkan di ruang ICU dan biasanya akan dapat pindah
ke ruangan jika sudah dpat lepas dari penggunaan ventilasi.
6. Botulinum Toxin
Botulinum toxin dipercayai dapat menjadi salah satu opsional untuk mengobati
rigiditas dan sapsme akibat tetanus, karena toxin ini meng-inhibit pelepasan
asetilkolin dan mencegah aktivasi dari otot volunter.
Penggunaan toxin botolinum terbukti pada penelitian yang melaporkan dari 6
kasus tetanus (tiga tetanus local dan cephalic dan tiga lagi tetanus generalis)
yang menunjukan gejala berat, botulinum toksin A berhasil digunakan untuk
mengontrol kekakuan otot dan kejang.
Dalam beberapa kasus toksin botulinum digunakan untuk mengobati kekakuan
otot sisa yang terbukti sangat resisten terhadap terapi otot lainnya.
Botulinum toxin diberikan 2-3 minggu dari pasien masuk rumah sakit
Efek samping yang dapat timbul ketika pemberian toxin botulinum untuk
trismus adalah atrofi otot masseter.
Pencegahan
Lakukan imuniasi dan booster setiap 5 tahun. Pemberian imunisasi dapat dimulai
sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif ( DPT atau DT ).
Pencegahan untuk pasca bencana Edukasi, support dan vaksin
Program vaksin merupakan pencegahan jangka Panjang. Selain itu faKtor-faktor lain
seperti edukasi kepada masyarakat dan bantuan tenaga medis mengenai tetanus dan
management yang harus dilakukan. Untuk mencegah outbreaks Tetanus yang terjadi
setelah bencana alam diperlukam dukungan eksternal untuk penanganan segera
termasuk bantuan dan pasokan dan juga sistem pengawasan pasca bencana. Perlu
penanganan cepat pada korban yang terluka, diperlukan perawatan medis dan
perawatan untuk luka terbuka yang terkontaminasi dan hindari perawatan yang
terlambat. Bantuan medis seperti suplai debridemen jaringan, disinfektan, tetanus
profilaksis, dan pengobatan antibiotik diharapkan selalu tersedia dan disediakan.
Selama keadaan darurat, pekerja kesehatan yang terampil atau anggota staf harus
7
disediakan di fasilitas kesehatan tingkat dasar untuk menyediakan manajemen klinis,
perawatan luka, dan pencegahan tetanus.
8
BAB III
KESIMPULAN
Tetanus adalah penyakit yang gejalanya adalah kekakuan otot, terutama otot wajah dan
leher. Hal ini disebabkan oleh masuknya spora dari kuman Clostridium tetani yang masuk
melalui luka pada tubuh. Angka kejadian tetanus dapat berhubungan dengan kejadian benca
alam yang tejadi disuatu negara. Berdasarkan gejala klinisinya tetanus dapat dibagi menjadi
tetanus generalis, neonatorum, lokal dan cephalic. Untuk mediagnosis tetanus dapat dilakukan
berdasarkan riwayat peyakit, gejala klinis dan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan fisik dapat
dilakukan uji spatula. Tatalaksana yang dapat diberikan berupa pembersihan luka, antibiotik,
antitoxin tetanus, Muscle relaxation, dan ditempatkan di tempat yang tenang untuk mencegah
triger dari spasme, pada penelitian terbatu penggunaan toxin botulinum dapat mengurangi
gejala rigiditas dan spasme.
9
DAFTAR PUSTAKA
Marcus VDN, Reis RC, Angular VIC, Quiroz VQ, Lima ACF, Pereira RBP, Ferreira
RFA. Patients with severe accidental tetanus admitted to an intensive care unit in Northeastern
Brazil: clinical–epidemiological profile and risk factors for mortality. 2 0 1 6;2 0(5):457–461
Tosun S, ect. Tetanus in adults: results of the multicenter ID-IRI study. Springer-Verlag
Berlin Heidelberg .2017; 36:1455–1462.
Thuy DB, Camphel JI, Thanh TT, Thuy CT, Loan HY, Hao NV, Minh YL. Tan LV,
Boni MF, Thwaites CL. Tetanus in Southern Vietnam: Current Situation. The American
Society of Tropical Medicine and Hygiene. 2017: 96(1).pp. 93-96.
10