Anda di halaman 1dari 11

REFERAT

TETANUS

Disusun oleh :
Syarafah Dara Gifari
1102014260

Pembimbing :
dr. Maula Nuruddin Gaharu, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK SYARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA Tk. I R.S. SUKANTO
PERIODE 15 OKTOBER 2018 – 17 NOVEMBER 2018
BAB I

PENDAHULUAN

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan
spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani. Penyakit ini disebabkan oleh Clostridium tetani yang merupakan
bakteri basil gram positif anaerob. Bakteri ini nonencapsulated dan berbentuk spora, yang
tahan panas, pengeringan dan desinfektan. Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di
tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan dan di daerah pertanian. Ketika bakteri tersebut
berada di dalam tubuh, ia akan menghasilkan neurotoksin (sejenis protein yang bertindak
sebagai racun yang menyerang bagian sistem saraf). C. tetani menghasilkan dua buah
eksotoksin, yaitu tetanolysin dan tetanospasmin.

Menurut penelitian angka kejadian tetanus dapat berhubungan dengan benca alam yang
terjadi disuatu negara. Seperti di Indonesia, terjadi outbreak tetanus setelah bencana alam
tsunami di aceh pada tahun 2004 dan gempa bumi di Yogyakarta pada tahun 2006. Menurut
Aceh Epidemiology Group 2006, dari data rekam medis yang dikupulakan menunujakan rata-
rata usia pasien yang terkena tetanus pasca tsunami adalah 40 tahun, dengan kisaran usia 1-70
tahun.

Di Vietnam, tidak ada data akurat tentang kejadian tetanus . Penelitian di Vietnam
menunjukan rata-rata usia dari 786 kasus tetanus yang dirawat di pusat rujukan tersier di
Vietnam setelah adanya program pemerintah untuk pencegahan tetanus yaitu Expanded
Program on Immunization (EPI), and the Maternal and Neonatal Tetanus (MNT) . Usia rata-
rata meningkat dari 33 pada tahun 1994, menjadi 46 pada tahun 2012.

Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke susunan saraf
pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuro muscular junction, kemudian bermigrasi melalui jaringan
perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui pembuluh limfe dan darah ke susunan
saraf pusat. Masih belum jelas mana yang lebih penting, mungkin keduanya terlibat.

Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction lebih
memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf motorik dan
otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju sistem saraf pusat.

1
Tetanospasmin yang merupakan zinc dependent endopeptidase memecah vesicle associated
membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida tunggal.
Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini
mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah
pelepasan glisin dan γ-amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron menghambat motor
neuron alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refleks motorik
sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan
rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini merupakan
karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur axonalnya pendek,
sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang
otak. Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya
kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan
neu- ronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal saraf
yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit ini.

2
BAB II

Pembahasan

2.1 Diagnosis

Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat penyakit


dan temuan saat pemeriksaan. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula, dilakukan
dengan menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan
steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil
negatif berupa refleks muntah.

2.11 Anamnesis

Dalam anamnesis harus ditanyakan riwayat seputar luka seperti apa yang
mengakibatkan luka, tanyakan pada pasien kapan luka tersebut terjadi dan kapan timbulnya
serta tanyakan lokasi luka dan jenis luka. Dalam anamnesa juga harus ditanyakan apakah
pernah mendapatkan vaksin tetanus sebelumnya.

2.13 Pemeriksaan fisik

Hanya dengan melihat yang timbul dari pasien kita dapat menegakan diagnosis tetanus,
karena manifestasi tetanus sangantolah khas. Berikut adalah gejala klinis yang terjadi pada
penderita tetanus :

Toxin tetanus menyebabkan hiperaktivitas dari voluntary muscles yang


berakibat rigiditas dan spasme. Rigiditas adalah keadaan tonik dimana terjadi
kontraksi otot involunter dan spasme adalah keaadan kontraksi otot yang terjadi akibat
peregangan otot atau karena stimulasi sensorik. Misalnya, rigiditas otot temporal dan
masseter mengarah ke trismus (lockjaw), keadaan diamana ketidak mampuan untuk
membuka mulut. Gejala lain yang dapat terjadi yaitu risus sardonicus, disfagia,
kekakuan leher, kekakuan perut, dan opistotonus, yaitu, merupakan manifestasi dari
hiperaktif otot-otot kepala, leher, dan punggung. Eksterimatas tidak terlalu
terpengaruh, tetapi pada opistotonus penuh terdapat fleksi lengan dan ekstensi kaki,
seperti pada postur yang terdekortasi. Trismus sering merupakan gejala awal pada

3
tetanus lokal / cephalic dan generalisata .Selain itu, nyeri otot umum, paralisis flaksid
fokal, dan berbagai gejala seperti diplopia, nystagmus, dan vertigo dapat terjadi.

Disfungsi otonom seperti takikardia, hipertensi, dan berkeringat, kadang-


kadang cepat bergantian dengan bradikardi dan hipotensi sering terjadi, terutama pada
tetanus generalisata. Gejala otonom cenderung terjadi seminggu setelah terjadinya
gejala motorik.

Toksin dari tetanus juga dapat menginvasi saraf sensorik, yang menyebabkan
sensasi sensorik yang berubah, seperti nyeri dan allodynia. Namun tidak jelas di mana
efek ini terjadi, karena penelitian menunjukkan bahwa toksin tidak dapat melewati
ganglia sensoris tulang belakang. Oleh karena itu, efek sensori dari racun bersifat
perifer. Sensasi yang berubah dalam tetanus secara dominan terlihat di wilayah
kepala, yaitu, di area saraf trigeminal.

Tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yaitu:

1. Localited tetanus ( Tetanus Lokal )


Tetanus local merupakan tetanus yang jarang terjadi. Pada lokal tetanus
dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat terjadinya luka.
Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa
progressif dan biasanya menghilang secara bertahap. Tetanus local dapat berkembang
menjadi tetanus generalis.
2. Cephalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Tetanus ini
disebabkan karena luka pada daerah daerah muka dan kepala. Tetanus cephalic paling
sering ditandai oleh lumpuhnya saraf kranial VII.
3. Generalized tetanus (Tetanus umum) dan tetanus neonatal
Tetanus generalis dan neonatal mempengaruhi otot seluruh badan dan
berakibat opistotonus (keadaan dimana terjadinya backward arching karena rigiditas
dari otot leher dan punggung) dan dapat juga menyebabkan gagal nafas dan kematian
akibat rigiditas dan spasme dari otot laring dan otot-otot pernafasan.

Tetanus neonatal adalah tetanus yang terjadi pada bayi yang berusia dibawah
1 bulan.. Tetanus ini terjadi pada bayi yang tidak mempunyai kekebalan imun dari
ibunya. Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu

4
proses pertolongan tali pusat. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan
persalinan yang tidak steril, dari penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora
C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang telah terkontaminasi.

Tetanus neonatal juga berhubungan dengan infeksi kulit, seperti pada kasus
yang terjadi pada bayi berusia 8 hari yang di bawa ke IGD karena adanya luka pada
bagian bawah abdomennya yang disertai dengan kejang generalis.

2.14 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal biasanya normal. Namun dapat


ditemukan leukositosis, peningkatan CRP dan enzim hati. Dapat dilakukan kultur C. tetani
dari luka namun sangat sulit (hanya 30% positif), dan bila hasil kultur positif mendukung
diagnosis, bukan konfirmasi.

2.2 Tatalaksana

1. Membersihkan luka
2. Antibiotik
 Pemebrian metronidazole secara intravena sebanyak 3x500 mg atau penisilin
100.00-200.00 IU/kg/hari.
 Pemberian antobiotik diteruskan untuk 7-10 hari .
3. Immonpglobin atau anti tetanus serum
 Anti tetanus serum diberikan secara intramuscular dengan dosis 500 IU,3000
IU , atau lebih, namun masih menjadi perdebatan mengenai ke efektifan dosis
yang lebih tinggi. Dapat pula diberikan intratekal. Peberian intrateka
(contohnya memalui pungi lumbal) dipercaya lebih efektif karena dapat
menonaktifkan toksin tetanus selama transsinaptik. Penelitian menunjukkan
bahwa pemberian intratekal lebih unggul dibandingkan pemberian
intramuscular, namun masih dalam perdebatan.
 Anti tetanus serum diberikan untuk menginaktifasi toxin tetanus yang masih
bebas di dalam darah. Toxin yang sudah bergabung dengan jaringan saraf tidak
dapat dinetralisir oleh antioksin tetanus.

5
4. Muscle relaxation
 Bertujuan untuk menghilangkan gejala rigiditas dan spasme otot.
 Benzodiazepine
o Merupakan obat standard untuk terapi Muscle relaxation
o Diazepam :
1. Merupakan obat golongan benzodiazepine yang paling banyak
digunakan karena harganya yang terjangkau
2. Dosis diazepam yang diekomendasikan adalah 0,1-0,3
mg/kgBB/ kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis,
dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8
mg/kgBB/hari oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Untuk
bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2
mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus
tetesan tetap 15-40 mg/ kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis
diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat
diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40
mg/kgBB/hari.
3. Tambahan efek sedasi bisa didapat dari barbiturate khususnya
phenobarbital dan phenotiazine seperti chlorpromazine,
penggunaannya dapat menguntungkan pasien dengan gangguan
otonom. Phenobarbital diberikan dengan dosis 120-200 mg
intravena, dan diazepam dapat ditambahkan terpisah dengan
dosis sampai 120 mg/hari. Chlorpromazine diberikan setiap 4-8
jam dengan dosis dari 4-12 mg bagi bayi sampai 50-150 mg
bagi dewasa. Morphine bisa memiliki efek sama dan biasanya
digunakan sebagai tambahan sedasi benzodiazepine.
 Magnesium sulfat intravena dicoba untuk mengendalikan spasme dan
disfungsi otonom; dosis loading 5 g (atau 75 mg/ kg) IV dilanjutkan 1 sampai
3 g/jam sampai spasme terkontrol telah digunakan untuk mendapatkan
konsentrasi serum 2 sampai 4 mmol/L. Untuk menghindari overdosis,
dimonitor reflek patella.

6
5. Tempatkan dilikungan yang tenang dan cenderung gelap untuk menghidari trigger dari
spasme. Pasien tetanus perlu ditempatkan di ruang ICU dan biasanya akan dapat pindah
ke ruangan jika sudah dpat lepas dari penggunaan ventilasi.
6. Botulinum Toxin
 Botulinum toxin dipercayai dapat menjadi salah satu opsional untuk mengobati
rigiditas dan sapsme akibat tetanus, karena toxin ini meng-inhibit pelepasan
asetilkolin dan mencegah aktivasi dari otot volunter.
 Penggunaan toxin botolinum terbukti pada penelitian yang melaporkan dari 6
kasus tetanus (tiga tetanus local dan cephalic dan tiga lagi tetanus generalis)
yang menunjukan gejala berat, botulinum toksin A berhasil digunakan untuk
mengontrol kekakuan otot dan kejang.
 Dalam beberapa kasus toksin botulinum digunakan untuk mengobati kekakuan
otot sisa yang terbukti sangat resisten terhadap terapi otot lainnya.
 Botulinum toxin diberikan 2-3 minggu dari pasien masuk rumah sakit
 Efek samping yang dapat timbul ketika pemberian toxin botulinum untuk
trismus adalah atrofi otot masseter.

Pencegahan

 Lakukan imuniasi dan booster setiap 5 tahun. Pemberian imunisasi dapat dimulai
sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif ( DPT atau DT ).
 Pencegahan untuk pasca bencana Edukasi, support dan vaksin

Program vaksin merupakan pencegahan jangka Panjang. Selain itu faKtor-faktor lain
seperti edukasi kepada masyarakat dan bantuan tenaga medis mengenai tetanus dan
management yang harus dilakukan. Untuk mencegah outbreaks Tetanus yang terjadi
setelah bencana alam diperlukam dukungan eksternal untuk penanganan segera
termasuk bantuan dan pasokan dan juga sistem pengawasan pasca bencana. Perlu
penanganan cepat pada korban yang terluka, diperlukan perawatan medis dan
perawatan untuk luka terbuka yang terkontaminasi dan hindari perawatan yang
terlambat. Bantuan medis seperti suplai debridemen jaringan, disinfektan, tetanus
profilaksis, dan pengobatan antibiotik diharapkan selalu tersedia dan disediakan.
Selama keadaan darurat, pekerja kesehatan yang terampil atau anggota staf harus

7
disediakan di fasilitas kesehatan tingkat dasar untuk menyediakan manajemen klinis,
perawatan luka, dan pencegahan tetanus.

Adanya dua program yang dilakukan untuk mencegah tetanus neonatal :

1. Imunisasi pada ibu hamil


2. Menjaga kebersihan proses persalinan. Terdapat 6 “clean” dalam persalinan,yaitu :
a. Clean hand
b. Clean perineum
c. Clean delivery surface
d. Cleand cord cutting
e. Clean cord tying
f. Cleand cord care

8
BAB III

KESIMPULAN

Tetanus adalah penyakit yang gejalanya adalah kekakuan otot, terutama otot wajah dan
leher. Hal ini disebabkan oleh masuknya spora dari kuman Clostridium tetani yang masuk
melalui luka pada tubuh. Angka kejadian tetanus dapat berhubungan dengan kejadian benca
alam yang tejadi disuatu negara. Berdasarkan gejala klinisinya tetanus dapat dibagi menjadi
tetanus generalis, neonatorum, lokal dan cephalic. Untuk mediagnosis tetanus dapat dilakukan
berdasarkan riwayat peyakit, gejala klinis dan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan fisik dapat
dilakukan uji spatula. Tatalaksana yang dapat diberikan berupa pembersihan luka, antibiotik,
antitoxin tetanus, Muscle relaxation, dan ditempatkan di tempat yang tenang untuk mencegah
triger dari spasme, pada penelitian terbatu penggunaan toxin botulinum dapat mengurangi
gejala rigiditas dan spasme.

9
DAFTAR PUSTAKA

Hasel B. Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of Using Botulinum


Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms. 2013 Jan; 5(1): 73–83.

Maharaj M, Dungwa N. Neonatal tetanus associated with skin


infection.2016;106(9):888-890.

Marcus VDN, Reis RC, Angular VIC, Quiroz VQ, Lima ACF, Pereira RBP, Ferreira
RFA. Patients with severe accidental tetanus admitted to an intensive care unit in Northeastern
Brazil: clinical–epidemiological profile and risk factors for mortality. 2 0 1 6;2 0(5):457–461

Pascapurnama DN, Murakami A, Yasutan HC, Hattori T, Sasaki H, Egawa S.


Prevention of Tetanus Outbreak Following Natural Disaster in Indonesia: Lessons Learned
from Previous Disasters. Tohoku University Medical Press .2016;238 (3), 219-227.

Tosun S, ect. Tetanus in adults: results of the multicenter ID-IRI study. Springer-Verlag
Berlin Heidelberg .2017; 36:1455–1462.

Thuy DB, Camphel JI, Thanh TT, Thuy CT, Loan HY, Hao NV, Minh YL. Tan LV,
Boni MF, Thwaites CL. Tetanus in Southern Vietnam: Current Situation. The American
Society of Tropical Medicine and Hygiene. 2017: 96(1).pp. 93-96.

Thwaites CL, Loan HT. Eradication of tetanus. British Medical Bulletin.2015;116:69–


77.

10

Anda mungkin juga menyukai