OLEH KELOMPOK 4 :
1. Pengertian
2. Etiology
Terdapat empat tahap perjalanan klinis dari penyakit gout yang tidak
diobati, antara lain :
a. Hiperuricemia asimtomatik
b. Arthritis gout akut
c. Tahap interkritis
d. Gout kronik
a. Nyeri hebat
b. Bengkak dan berlangsung cepat pada sendi yang terserang
c. Sakit kepala
d. Demam
a. Serangan akut
b. Hiperurisemia yang tidak diobati
c. Terdapat nyeri dan pegal
d. Pembengkakan sendi membentuk noduler yang disebut tofi ( penumpukan
monosodium asam urat dalam jaringan )
4. Penatalaksanaan
a. Medikasi
1) Pengobatan serangan akut dengan Colchine 0,6 mg PO, Colchine 1,0
– 3,0 mg ( dalam Nacl/IV), phenilbutazon, Indomethacin.
2) Terapi farmakologi ( analgetik dan antipiretik )
3) Colchines ( oral/iv) tiap 8 jam sekali untuk mencegah fagositosis dari
Kristal asam urat oleh netrofil sampai nyeri berkurang.
4) Nostreoid, obat – obatan anti inflamasi ( NSAID ) untuk nyeri dan
inflamasi.
5) Allopurinol untuk menekan atau mengontrol tingkat asam urat dan
untuk mencegah serangan.
6) Uricosuric untuk meningkatkan eksresi asam urat dan menghambat
akumulasi asam urat.
7) Terapi pencegahan dengan meningkatkan eksresi asam urat
menggunakan probenezid 0,5 g/hrai atau sulfinpyrazone ( Anturane )
pada pasien yang tidak tahan terhadap benemid atau menurunkan
pembentukan asam urat dengan Allopurinol 100 mg 2x/hari.
b. Perawatan
1) Anjurkan pembatasan asupan purin : Hindari makanan yang
mengandung purin yaitu jeroan ( jantung, hati, lidah, ginjal, usus ),
sarden, kerang, ikan herring, kacang – kacangan, bayam, udang, dan
daun melinjo.
2) Anjurkan asupan kalori sesuai kebutuhan : Jumlah asupan kalori harus
benar disesuaikan dengan kebutuhan tubuh berdasarkan pada tinggi
dan berat badan.
3) Anjurkan asupa tinggi karbohidrat kompleks seperti nasi, singkong,
roti dan ubi sangat baik di konsumsi oleh penderita gangguan asam
urat karena akan meningkatkan pengeluaran asam urat melalui urin.
4) Anjurkan asupan rendah protein, rendah lemak
5) Anjurkan pasien untuk banyak minum.
6) Hindari penggunaan alkohol.
REMATOID ARTRITIS
1. Pengertian
2. Etiologi
a. Nyeri persendian
b. Bengkak (Rheumatoid nodule)
c. Kekakuan pada sendi terutama setelah bangun tidur pada pagi hari
d. Terbatasnya pergerakan
e. Sendi-sendi terasa panas
f. Demam (pireksia)
g. Anemia
h. Berat badan menurun
i. Kekuatan berkurang
j. Tampak warna kemerahan di sekitar sendi
k. Perubahan ukuran pada sendi dari ukuran normal
l. Pasien tampak anemik
Pada tahap yang lanjut akan ditemukan tanda dan gejala seperti :
Gejala Extraartikular :
a. Pada jantung :
1) Rheumatoid heard diseasure
2) Valvula lesion (gangguan katub)
3) Pericarditis
4) Myocarditis
b. Pada mata :
1) Keratokonjungtivitis
2) Scleritis
c. Pada lympa : Lhymphadenopathy
d. Pada thyroid : Lyphocytic thyroiditis
e. Pada otot : Mycsitis
4. Penatalaksanaan Medik
1. Definisi
Sendi yang paling sering mengalami kondisi ini meliputi tangan, lutut,
pinggul, dan tulang punggung. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa
sendi-sendi yang lain juga bisa terserang.
Rasa sakit dan kaku pada sendi merupakan gejala utama osteoarthritis.
Gejala ini bahkan bisa membuat penderita kesulitan untuk menjalani aktivitas
sehari-hari.
Rasa sakit atau nyeri pada sendi biasanya akan muncul ketika sendi
digerakkan, dan sensasi kaku akan terasa setelah sendi tidak digerakkan untuk
beberapa waktu, misalnya saat bangun pagi.
4. Penatalaksanaan
1) Perawatan
1) Olahraga
2) Menjaga sendi
3) Panas/dingin
5) Pembedahan
Apabila sendi sudah benar-benar rusak dan rasa sakit sudah terlalu
kuat, akan dilakukan pembedahan. Dengan pembedahan, dapat
memperbaiki bagian dari tulang.
6) Akupuntur
7) Pijat
9) Teh hijau
b. Medis
Semua obat memiliki efek samping yang berbeda, oleh karena itu, penting
bagi pasien untuk membicarakan dengan dokter untuk mengetahui obat
mana yang paling cocok untuk di konsumsi. Berikut adalah beberapa obat
pengontrol rasa sakit untuk penderita osteoarthritis.
1) Acetaminophen
3) Topical pain
Dalam bentuk cream atau spray yang bisa digunakan langsung pada
kulit yang terasa sakit.
4) Tramadol (Ultram)
6) Corticosteroids
7) Hyaluronic acid
2. Etiologi Osteoporosis
Osteoporosis postmenopouse terjadi karena kekurangan estrogen
(hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan
kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita
yang berusia diantara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat
ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki resiko yang sama untuk
menderita osteoporosis postmenopouse, pada wanita kulit putih dan daerah
timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam
(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan
kasium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara
kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis yaitu
keadaan penurunan masa tulang yang hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit
ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan dua kali lebih sering
menyerang wanita. Wanita sering kali menderita osteoporosis senilis dan
postmenopouse (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Kurang dari lima persen penderita osteoporosis juga mengalami
osteoporosis sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh
obet-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan
kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal) dan obat- obatan
(misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang, hormon tiroid yang
berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan kebiasaan merokok bisa
memperburuk keadaan ini (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang
penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa yang
normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang
(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Faktor genetik juga berpengaruh terhadap timbulnya osteoporosis.
Pada seseorang dengan tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat risiko
fraktur daripada seseorang dengan tulang yang besar. Sampai saat ini tidak
ada ukuran universal yang dapat dipakai sebagai ukuran tulang normal. Setiap
individu memiliki ketentuan normal sesuai dengan sifat genetiknya beban
mekanis dan besar badannya. Apabila individu dengan tulang besar,
kemudian terjadi proses penurunan massa tulang (osteoporosis) sehubungan
dengan lanjutnya usia, maka individu tersebut relatif masih mempunyai
tulang lebih banyak daripada individu yang mempunyai tulang kecil pada usia
yang sama (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
3. Manifestasi Klinis Osteoporosis
Kepadatan tulang berkurang secara perlahan, sehingga pada awalnya
osteoporosis tidak menimbulkan gejala pada beberapa penderita. Jika
kepadatan tulang sangat berkurang yang menyebabkan tulang menjadi kolaps
atau hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk. Tulang-
tulang yang terutama terpengaruh pada osteoporosis adalah radius distal,
korpus vertebra terutama mengenai T8-L4, dan kollum femoris (Lukman,
Nurma Ningsih : 2009).
Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun.
Tulang belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau
karena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di
daerah tertentu dari pungung yang akan bertambah nyeri jika penderita berdiri
atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit, tetapi biasanya
rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap setelah beberapa minggu atau
beberapa bulan. Jika beberapa tulang belakang hancur, maka akan terbentuk
kelengkungan yang abnormal dari tulang belakang (punuk), yang
menyebabkan terjadinya ketegangan otot dan rasa sakit (Lukman, Nurma
Ningsih : 2009).
Tulang lainnya bisa patah, yang sering kali disebabkan oleh tekanan
yang ringan atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius
adalah patah tulang panggul. Selain itu , yang juga sering terjadi adalah patah
tulang lengan (radius) di daerah persambungannya dengan pergelangan
tangan, yang disebut fraktur Colles. Pada penderita osteoporosis, patah tulang
cenderung mengalami penyembuhan secara perlahan (Lukman, Nurma
Ningsih : 2009).
4. Penatalaksanaan Osteoporosis
Pengobatan osteoporosis yang telah lama digunakan yaitu terapi
medis yang lebih menekankan pada pengurangan atau meredakan rasa sakit
akibat patah tualng. Selain itu, juga dilakukan terapi hormone pengganti
(THP) atau hormone replacement therapy (HRT) yaitu menggunakan
estrogen dan progresteron. Terapi lainnya yaitu terapi non hormonal antara
lain suplemen kalsium dan vitamin D.
1) Terapi medis.
Sebenarnya belum ada terapi yang secara khusus dapat
mengembalikan efek dari osteoporosis. Hal yang dapat dilakukan
adalah upaya-upaya untuk menekan atau memperlambat menurunnya
massa tulang serta mengurangi rasa sakit.
a) Obat pereda sakit
Pada tahap awal setelah terjadinya patah tulang, biasanya
diperlukan obat pereda sakit yang kuat, seperti turunan morfin.
Namun, obat tersebut memberikan efek samping seperti
mengantuk, sembelit dan linglung. Bagi yang mengalami rasa sakit
yang sangat dan tidak dapat diredakan dengan obat pereda sakit,
dapat diberikan suntikan hormone kalsitonin.
Bila rasa sakit mulai mereda, tablet pereda rasa sakit seperti
paracetamol atau codein ataupun kombinasi keduanya seperti co-
dydramol, co- codramol, atau co-proxamol bagi banyak pasien
cukup memadai untuk menghilangkan rasa sakit sehingga pasien
dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
2) Terapi hormone pada wanita
Osteoporosis memang tidak dapat disembuhkan, semua upaya
pengobatan hanya dimaksudkan untuk mencegah kehilangan massa
tulang yang lebih besar. Namun, demikian, pengobatan masih perlu
dilakukan pada kasus osteoporosis berat untuk mencegah terjadinya
patah tulang. Obat-obat untuk mencegah penurunan massa tulang
biasanya bekerja lambat dan efeknya kurang terasa sehingga banyak
pasien penderita osteoporosis merasa putus asa dan menghentikan
pengobatan. Hal tersebut sangat tidak baik karena pengobatan jangka
panjang diperlukan untuk dapat secara maksimal menekan laju
penurunan massa tulang dan patah tulang.
Terapi hormone pada wanita diberikan pada masa
pramenopause. Lamanya pemberian terapi hormone sulit ditentukan.
Yang jelas jika ingin terhindar dari osteoporosis, terapi hormone dapat
terus dilakukan. Sebagian dokter menganjurkan untuk dilakukan terapi
hormone seumur hidup semenjak menopause pada wanita yang
mengalami osteoporosis. Namun, sebagian juga berpendapat bahwa
penggunaan terapi hormone sebaiknya dihentikan setelah penggunaan
selama 5-10 tahun untuk menghindari kemungkinan terjadinya kanker.
a) Hormone Replacement Theraphy (HRT)
Hormone Replacement Theraphy (HRT) atau terapi
hormone pengganti (THP) menggunakan hormone estrogen atau
kombinasi estrogen dan progesterone. Hormone-hormon tersebut
sebenarnya secara alamiah diproduksi oleh indung telur, tetapi
produksinya semakin menurun selama menopause sehingga perlu
dilakukan HRT.
Penggunaan estrogen memang efektif dalam upaya
pengobatan dan pencegahan osteoporosis. Namun, tidak terlepas
dari kemungkinan terjadinya efek samping berupa munculnya
kanker endometrium (dinding rahim). Dengan adanya hormone
tersebut akan merangsang pertumbuhan sel-sel di dinding rahim
yang apabila pertumbuhannya terlalu pesat dapat berkembang
menjadi kanker ganas. Oleh karena itu, penggunaan estrogen
biasanya di kombinasikan dengan progesterone untuk mengurangi
resiko tersebut.
Efek lain yang juga dapat timbul dalam pemberian terapi
hormone, diantaranya adalah pembesaran payudara, kembung,
retensi cairan, mual, muntah, sakit kepala, gangguan pencernaan,
dan gangguan emosi. Namun, demikian, efek tersebut biasanya
hanya terjadi pada awal terapi dan kondisi berangsur membaik
dengan sendirinya. Dapat juga dilakukan pemberian hormone
estrogen dan progesterone secara bertahap, dosis kecil diberikan
pada awal terapi dilihat dulu reaksinya terhadap tubuh. Bila dosis
dapat diterima tubuh, dosis kemudian dinaikkan secara bertahap.
b) Kalsitonin.
Selain hormone estrogen dan progesterone, hormone lain
yang biasa digunakan dalam pencegahan dan pengobatan
osteoporosis adalah kalsitonin. Kalsitonin turut menjaga kestabilan
struktur tulang dengan mengaktifkan kerja sel osteoblast dan
menekan kinerja sel osteoclast.
Kalsitonin juga berperan dalam mengurangi rasa sakit yang
mungkin timbul pada keadaan patah tulang. Hormone ini secara
normal dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang memiliki sifat
meredakan rasa sakit yang cukup ampuh. Kalsitonin biasanya
diberikan dalam bentuk suntikan yang diberikan setiap hari atau
dua hari sekali selama dua atau tiga minggu. Hormone ini juga
dapat menimbulkan efek samping berupa rasa mual dan muka
merah, mungkin pula terjadi muntah dan diare serta rasa sakit pada
bekas suntikan.
c) Testosterone
Testosterone adalah hormone yang biasa dihasilkan oleh
tubuh pria. Penggunaan hormone testosterone pada wanita dengan
osteoporosis pasca menopause mampu menghambat kehilangan
massa tulang. Namun, dapat muncul efek maskulinasi seperti
penambahan rambut secara berlebihan di dada, kaki, tangan,
timbulnya jerawat dimuka dan pembesaran suara seperti yang biasa
terjadi pada pria.
3) Terapi non-hormonal
Terapi hormone selama ini memang dianggap sebagai jalan
yang paling baik untuk mengobati osteoporosis. Namun, karena
banyaknya efek samping yang dapat ditimbulkan dan tidak dapat
diterapkan pada semua pasien osteoporosis, maka sekarang mulai
dikembangkan terapi non-hormonal.
a) Bisfosfonat
Bisfosfonat merupakan golongan obat sintetis yang saat ini
sangat dikenal dalam pengobatan osteoporosis non-hormonal. Efek
utama dari obat ini adalah menonaktifkan sel-sel penghancur
tulang (osteoclast) sehingga penurunan massa tulang dapat
dihindari. Obat-obat yang termasuk golongan bisfosfonat adalah
etidronat dan alendronat.
b) Etidronat.
Etidronat adalah obat golongan bisfosfonat pertama yang
biasa digunakan dalam pengobatan osteoporosis. Obat ini diberikan
dalam bentuk tablet dengan dosis satu kali sehari selama dua
minggu. Penggunaan obat ini harus dikombinasikan dengan
konsumsi suplemen kalsium. Namun, perlu diperhatikan agar
konsumsi suplemen kalsium harus dihindari dalam waktu dua jam
sebelum dan sesudah mengkonsumsi etidronat karena dapat
mengganggu penyerapannya. Kadang kala konsumsi etidronat
memberikan efek samping,tetapi relative kecil. Misalnya timbul
mual, diare, ruam kulit dan lain-lain.
c) Alendronat
Alendornat mempunyai fungsi dan peran yang serupa
dengan etidronat, perbedaannya adalah pada penggunaannya tidak
perlu dikombinasikan dengan konsumsi suplemen kalsium, tetapi
bila asupan kalsium masih rendah, pemberian kalsium tetap
dianjurkan. Efek samping yang mungkin ditimbulkan pada
konsumsi alendronat adalah timbulnya diare, rasa sakit dan
kembung pada perut, serta gangguan pada tenggorokan.
4) Terapi alamiah atau perawatan
Terapi alamiah adalah terapi yang diterapkan untuk mengobati
osteoporosis tanpa menggunakan obat-obatan atau hormone. Terapi ini
berhubungan dengan gaya hidup dan pola konsumsi. Beberapa
pencegahan yang dapat diberikan yaitu dengan berolahraga secara
teratur, hindari merokok, hindari minuman beralkohol dan menjaga
pola makan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Prof .dr.H.M. Noer, Sjaifoellah. 2000. Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi ke 3.
Balai penerbit FKUI: Jakarta
Kalim, Handono, 1996., Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.