Pada 6 Agustus 1945, Kota Hiroshima koma setelah dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat (AS), disusul
Kota Nagasaki tiga hari berselang. Jepang sadar sudah berada di ambang kekalahan dalam Perang Dunia
II dalam pertempuran Sekutu.
Upaya menyelamatkan harga diri segera dilakukan, Jepang tentu saja pantang hilang muka. Tiga tokoh
Indonesia yang dianggap paling berhasil kala itu pun diundang: Ir. Sukarno, Mohammad Hatta, dan
Radjiman Wediodiningrat.
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pun dibentuk. Dai Nippon ingin meyakinkan
mendukung penuh bangsa Indonesia untuk merdeka. Bahkan, seolah-olah, kemerdekaan itu adalah
hadiah dari Jepang.
Sebagai penguat janji akan menjanjikan itu, Jepang menerbangkan Sukarno, Hatta, dan Radjiman ke
Dalat, Vietnam, pada 12 Agustus 1945, untuk membahas rencana penyerahan kemerdekaan dengan para
pemimpin militer di kawasan Asia Tenggara, Marsekal Hisaichi Terauchi.
Dua hari setelah pertemuan tersebut, Jepang ternyata benar-benar kalah perang dan keluar untuk
Sekutu. Akhirnya kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, atau lebih cepat tanpa
menunggu penyerahan dari Jepang.
Harapan Palsu
Pada 9 Agustus 1945 malam, hari yang sama dengan luluh-lantaknya Kota Nagasaki akibat bom atom,
otoritas pendudukan Jepang di Indonesia segera dipindahkan, menerbangkan tiga tokoh PPKI yaitu
Sukarno, Hatta, dan Radjiman ke Kota Dalat, Vietnam.
Perjalanan udara dari Indonesia ke Vietnam memang tidak terlalu jauh, tetapi sangat berbahaya kala itu.
Pesawat Sekutu Saat-waktu bisa datang menyergap. Kembali ke Singapura untuk transit dan menginap
semalam.
Penerbangan dilanjutkan keesokan harinya, pada 10 Agustus 1945. Rombongan mendarat dengan
selamat di Kota Saigon, Vietnam — kini bernama Kota Ho Chi Minh . Perjalanan Langsung menuju Kota
Dalat. Dalam buku Mohammad Hatta: Memoir (1979), Hatta menuturkan jarak antara Saigon ke Dalat
kira-kira 300 km ke arah utara (hlm. 437).
Di Dalat, tiga tokoh bangsa Indonesia bertemu dengan Marsekal Terauchi. Jepang menyadari bahwa
mereka sudah di ambang kekalahan dan fakta ini tidak mungkin bisa ditutup-tutupi lagi. Terauchi selaku
pemimpin militer tertinggi Dai Nippon di kawasan Asia Tenggara, berencana memberikan kemerdekaan
kepada bangsa Indonesia.
Terauchi mengirimkan pesan kepada Sukarno, Hatta, dan Radjiman, itulah kapanpun bangsa Indonesia
siap, kemerdekaan dapat segera ditentukan, tergantung kinerja PPKI. Namun, putra sulung Perdana
Menteri Jepang Terauchi Masatake ini sebetulnya sudah menyusun rencana.
Dikutip dari buku Pendirian Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1991) yang ditulis AJ
Sumarmo, Terau disampaikan kepada para tokohnya, pemerintah Jepang telah memutuskan untuk
memberikan kemerdekaan kepada Indonesia pada 24 Agustus 1945 . Menurut Terauchi, perlu waktu
untuk melakukan persiapan sebelum proklamasi kemerdekaan. Sukarno dan kawan-kawan saat itu
mengumumkan persetujuan dengan tawaran Terauchi.
Sebenarnya, iming-iming kemerdekaan yang dijanjikan akan diberikan 24 Agustus 1945 itu hanya
termasuk akal-akalan Jepang. Di satu sisi, Dai Nippon tentu saja tidak ingin kehilangan Indonesia, tetapi
di sisi lain, tantangan mereka di Perang Asia Timur Raya semakin terdesak.
Dengan jarak waktu yang mencukupi, Terauchi masih membutuhkan Jepang mampu membalikkan dan
membalikkan mereka tidak perlu memenuhi janji kepada Indonesia. Namun, jika pada akhirnya memang
harus kalah, maka Jepang bisa mengklaim Indonesia bisa terwujud berkat.
Ini bukan kali pertama Jepang akan memerdekakan Indonesia. Tahun sebelumnya, pertengahan 1944,
pemerintah Dai Nippon juga pernah menjanjikan hal serupa setelah mengalahkan kekalahan di depan.
Tujuan Jepang menjanjikan hanya ingin menarik simpati rakyat Indonesia dengan harapan mendapatkan
bantuan saat musuh datang, sekaligus mengamankan posisi politik mereka di Asia Tenggara.
Melalui Deklarasi Koiso pada September 1944, Kekaisaran Jepang akan segera memberikan kemerdekaan
kepada Indonesia. Kabar ini menantang dengan suka-cita oleh Sukarno dan kawan-kawan (Suhartono W.
Pranoto,
Namun, janji itu tidak pernah disetujui. Sempat terjadi silang-pendapat di kubu pemerintahan militer Dai
Nippon di Indonesia terkait janji. Kenyataannya, Indonesia belum merdeka juga hingga pemanggilan
Sukarno, Hatta, dan Radjiman, ke Dalat dipindahkan setelahnya.
Namun, beberapa tokoh bangsa lain, sebagian besar Soetan Sjahrir dan dari golongan muda, yakin
bahwa Jepang memang sudah terdesak dan lebih dipastikan akan kalah perang. Sjahrir mengusulkan
agar kemerdekaan Indonesia segera diproklamirkan. sjahrir curiga pertemuan di Dalat itu tipu-muslihat
Jepang.
Sikap Sjahrir yang berani mengatakan demikian, memang bukan tanpa alasan. Saat Sukarno dan kawan-
kawan terbang ke Dalat, ia sudah mengetahui kondisi terkini melalui radio Jepang. Sjahrir pun menunggu
kepulangan mereka di rumah Hatta untuk mengabarkan bahwa Jepang memang telah sekarat.
Namun, Sukarno dan Hatta tetap percaya Jepang belum benar-benar terkapar. Kepada Sjahrir, mereka
mengatakan jika Jepang kalah, kemerdekaan Indonesia cepat atau lambat bisa diumumkan. Namun,
perlu persiapan yang matang. Sjahrir murka dan menculik tokoh itu.
Sukarno dan Hatta berusaha mencari kepastian terkait dengan pembaruan ke kantor penguasa militer
Jepang ( Gunseikan ) di Koningsplein (Jalan Medan Merdeka, Jakarta Pusat). Namun, tidak ada yang
menunggu di kantor itu.
Sukarno dan Hatta, bersama Achmad Soebardjo, menyelesaikan pertemuan dengan Laksamana Muda
Maeda Tadashi, perwira tinggi Angkatan Laut Jepang. Maeda memberikan selamat atas pertemuan di
Dalat, tetapi ia belum bisa memberikan keterangan yang pasti terkait status dan kondisi Jepang dan
masih menunggu konfirmasi dari Tokyo.
Di hari yang sama, kabar kekalahan Jepang terhadap sekutu akhirnya terdengar dari siaran radio.
Sukarno dan Hatta masih bersikukuh tidak perlu dikeluarkan. Bagi pasangan ihwal kemerdekaan
Indonesia hadiah dari Jepang atau tidak, bukan keputusan.
"Soal kemerdekaan Indonesia datang dari pemerintah Jepang atau dari hasil perjuangan bangsa
Indonesia sendiri harus menjadi soal Jepang toh sudah kalah," ujar Hatta saat itu, dikutip dari buku
Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia (1975), suntingan Nugroho
Notosusanto (hlm. 24).
“Sekarang, kita berjuang Sekutu yang berhasil memulihkan kekuasaan Belanda di Indonesia. Untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, diperlukan suatu revolusi yang terorganisasi, "katanya.
Sukarno dan Hatta meminta agar proses persiapan Indonesia dirancang oleh PPKI, seperti keinginan
Terauchi dan Jepang. Mereka juga tidak ingin terjadi bentrokan dengan tentara Jepang jika Indonesia
segera memproklamirkan kemerdekaan.
Namun, Sjahir dan kawan-kawan menolak karena menganggap PPKI hanya merupakan hasil akal-akalan
Jepang. Golongan muda juga menentang mereka siap bertaruh apa pun, termasuk jika harus
mengangkat senjata melawan Serdadu Dai Nippon.
Pada 15 Agustus 1945, desakan untuk Sukarno dan Hatta untuk segera mengumumkan kemerdekaan
Indonesia semakin kuat. Namun, dwitunggal tetap bertahan pada pendirian mereka. Perbedaan
kemauan antara dua golongan tersebut memian kian. Situasi ini menorehkan apa yang dikenal sebagai
peristiwa Rengasdengklok.
Tokoh muda terpaksa mengamankan Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok untuk meyakinkan keduanya
agar tidak terpengaruh oleh siasat licik Jepang. Soekarno-Hatta akhirnya menyerah, dan disusunlah
rencana kemerdekaan Indonesia yang kemudian diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.
Pada 23 Agustus 1945 Inggris bersama tentara Belanda mendarat di Sabang, Aceh.
15 September 1945, tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di Jakarta,
Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration - pemerintahan
sipil Hindia Belanda)
Peristiwa 10 November, Palagan Ambarawa, Bandung Lautan Api
Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli 1947) Belanda melancarkan agresi militer I
Pada 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresi militer II
23 Agustus hingga 2 November 1949 Konferensi Meja Bundar
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, terbentuk RIS
• Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada situasi
dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam
negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya
• Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem
kenegaraan.
• Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama. Terdapat 3
periode implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan
periode 1959-1966
1945-1950
Ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan faham komunis oleh PKI
melalui pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan oleh DI/TII yang akan mendirikan negara dengan
dasar islam. Sila keempat yang mengutamakan musyawarah dan mufakat tidak dapat dilaksanakan,
sebab demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi parlementer, dimana presiden hanya berfungsi
sebagai kepala negara, sedang kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Sistem ini
menyebabkan tidak adanya stabilitas pemerintahan.
1950-1959
Walaupun dasar negara tetap Pancasila, tetapi rumusan sila keempat bukan berjiwakan musyawarah
mufakat, melainkan suara terbanyak (voting). Sistem pemerintahannya yang liberal sehingga lebih
menekankan hak-hak individual. penerapan Pancasila selama periode ini adalah Pancasila diarahkan
sebagai ideology liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan.
1956-1965
• Dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin. Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat
sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden
Soekarno.
• Terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam konstitusi.
• Akibatnya Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden seumur hidup, politik konfrontasi,
menggabungkan Nasionalis, Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI.
• Dalam mengimplentasikan Pancasila, Bung Karno melakukan pemahaman Pancasila dengan
paradigma yang disebut USDEK.
• Untuk memberi arah perjalanan bangsa, beliau menekankan pentingnya memegang teguh UUD
45, sosialisme ala Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian nasional.
• Setelah orde lama dilengserkan oleh orde baru .Orde baru berkehendak ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
sebagai kritik terhadap orde lama yang telah menyimpang dari Pancasila.
• Upaya Soeharto (orde lama) tentang Pancasila, orde lama inign menegakkan stabilitas guna mendukung rehabilitasi
dan pembangunan ekonomi.
• Beberapa tahun kemudian kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan ternyata tidak sesuai dengan jiwa Pancasila.
• Demokrasi akhirnya tidak berjalan,
• Pelanggaran HAM terjadi dimana-mana yang dilakukan oleh aparat pemerintah atau negara.
• Pancasila seringkali digunakan sebagai legimitator tindakan yang menyimpang.
• Pancasila selama Orde Baru diarahkan menjadi ideology yang hanya menguntungkan satu golongan, yaitu loyalitas
tunggal pada pemerintah dan demi persatuan dan kesatuan hak-hak demokrasi dikekang.
Orde baru bercita-cita melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara Murni dan Konsekwen
Pada tanggal 22 Maret 1978 ditetapkan TAP MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa), yang meliputi 36 butir.
Pasal 4 menjelaskan : “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan pancasila (P4) merupakan penuntun dan pegangan
hidup dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap
penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik Pusat maupun di
Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”.
Nilai-nilai Pancasila yang terdiri atas 36 butir, Pada 1994 disarikan/dijabarkan kembali oleh BP-7 Pusat menjadi 45
butir P4.
P4 merupakan hasil tafsir tunggal Orde Baru terhadap Pancasila
Hasil tafsir sepihak Orde Baru terhadap Pancasila, dijadikan ideologi tunggal dan satu-satunya sumber nilai serta
kebenaran.
Nilai-nilai hasil tafsiran orde baru selalu ditanamkan dalam benak masyarakat melalui doktrinasi.
Warga negara yang berbeda tafsir, tidak sepemahaman, dan tidak melaksanakan hasil tafsir sepihak Orde Baru
dianggap melanggar ideologi dan dasar negara.
Melalui berbagai legitimasi hukum, Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai alat legitimasi politik.
Menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai tameng pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum lainnya.
Menjadikan seolah Pancasila selalu identik dengan rezim Orde Baru.