Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemeriksaaan Fungsi Paru


Pemeriksaan fungsi paru dipergunakan secara luas, mulai dalam bidang
penelitian fisiologi sampai dengan aspek klinis mencakup diagnosis, penilaian
derajat keparahan penyakit, monitoring terapi, menentukan prognosis,
pemeriksaan penunjang kesehatan kerja, tes medis olah raga dan lain sebagainya
(Gibson, 2003), (Shifren, 2006).
Namun demikian, pemeriksaan fungsi paru tidaklah dapat menentukan
suatu diagnosa penyakit secara spesifik misalnya emfisema pulmonum atau
fibrosis paru. Tes ini dapat berguna memberikan informasi pengukuran fisiologis
yang dapat mengidentifikasi kelainan obstruksi atau restriksi sistem pernafasan
dan tentu saja harus disertai evaluasi secara holistik dengan hasil pemeriksaan
klinis, radiologis, dan pemeriksaan laboratorium pendukung lainnya (Shifren,
2006).

2.1.1 Jenis pemeriksaan fungsi paru


Pemeriksaan fungsi paru mengevaluasi sistem ventilasi dan alveoli secara
indirect dan tumpang tindih. Umur pasien, tinggi, berat badan, etnis dan jenis
kelamin harus dicatat sebelum pemeriksaan dilakukan karena data-data tersebut
penting dalam hal penghitungan nilai prediksi. Secara umum, pemeriksaan fungsi
paru dibagi dalam 3 kategori yaitu ( Fischbach, 2003):
1. Pemeriksaan terhadap kecepatan aliran udara di dalam saluran pernafasan,
mencakup pengukuran sesaat atau rata-rata kecepatan aliran udara di saluran
nafas sewaktu ekshalasi paksa maksimal untuk mengetahui resistensi saluran
pernafasan. Termasuk juga dalam kategori ini adalah tes inhalasi
bronkodilator dan tes provokasi bronkus.
2. Pengukuran volume dan kapasitas paru yaitu pengukuran terhadap berbagai
kompartemen yang mengandung udara di dalam paru dalam rangka
mengetahui air trapping (hiperinflasi, overdistensi) atau pengurangan
volume. Pengukuran ini juga dapat membantu membedakan gangguan
restriktif dan obstruktif pada sistem pernafasan.

23

Universitas Sumatera Utara


3. Pengukuran kapasitas pertukaran gas melewati membran kapiler alveolar
dalam rangka menganalisa keberlangsungan proses difusi.

2.1.2 Indikasi pemeriksaan fungsi paru ( Miller, 2005)


1. Diagnostik :
Beberapa manfaat untuk diagnostik adalah sebagai berikut :
-Mengevaluasi individu yang mempunyai gejala, tanda, gejala atau hasil
laboratorium yang abnormal
- Skrining individu yang mempunyai risiko penyakit paru
- Mengukur efek fungsi paru pada individu yang mempunyai penyakit paru
- Merupakan salah satu faktor untuk menilai risiko operasi
- Menentukan prognosis penyakit yang berkaitan dengan respirasi
- Mengetahui status kesehatan sebelum memulai program latihan

2. Monitoring
Beberapa manfaat untuk keperluan monitoring adalah sebagai berikut :
- Menilai intervensi terapeutik
- Memantau perkembangan penyakit yang mempengaruhi fungsi paru
- Memonitoring individu yang terpajan agen berisiko terhadap fungsi paru
- Memonitor efek samping obat yang mempunyai toksisitas pada paru

3. Evaluasi terhadap kecacatan


Beberapa manfaat untuk evaluasi terhadap kecacatan adalah sebagai berikut
- Menentukan pasien yang membutuhkan program rehabilitasi
- Kepentingan asuransi
- Kepentingan hukum

4. Kesehatan masyarakat
Beberapa manfaat untuk kesehatan masyarakat adalah sebagai berikut :
- Survei epidemiologis
- Menetapkan standar nilai normal
- Penelitian klinis

24

Universitas Sumatera Utara


2.1.3 Definisi nilai normal dalam pemeriksaan fungsi paru
Hasil pemeriksaan fungsi paru diinterpretasikan melalui pembandingan
nilai pengukuran yang didapat dengan nilai prediksi pada individu normal.
Prediksi nilai normal itu sendiri mencakup berbagai variabel seperti umur, tinggi,
berat badan, dan jenis kelamin. Ada juga beberapa faktor lain yang potensial
mempengaruhi interperetasi tetapi belum diperhitungkan seperti ras, polusi udara,
status sosioekonomi (Gibson, 2003).
Spirometri normal juga didefinisikan dari bentuk kurva flow-volume yang
normal, berupa gambaran manuver FVC diikuti dengan inspirasi yang dalam.
Sebuah kurva flow-volume yang normal mempunyai puncak yang tajam yang
dicapai dalam waktu yang singkat diikuti dengan penurunan yang gradual menuju
titik O pada kurva ekspirasi. Bentuk dari kurva inspirasi haruslah bulat. Kurva
flow-volume normal dapat dilihat pada gambar 1 (Shifren, 2006), (Fischbach,
2003).

2.1.4 Teknik Pemeriksaan Spirometri


Secara garis besar, hal yang perlu dipersiapkan dalam melakukan
pemeriksaan fungsi faal paru adalah (Anna, 2012):
1. Persiapan alat
Alat harus dikalibrasi minimal 1 kali seminggu dan penyimpanan tidak
boleh melebihi 1 ½ kalibrator.
2. Persiapan pasien
a. Harus dilakukan anamnesis dan penilaian kondisi fisik yang berkaitan
dengan fungsi paru pasien. Selain itu, juga harus dilakukan pencatatan
data dasar (nama, usia, jenis kelamin, ras) serta berat badan dan tinggi
badan pasien tanpa menggunakan sepatu.
b. Pasien diberikan penjelasan tentang tujuan, cara pemeriksaan, dan
contoh manuver yang harus dilakukan. Pasien harus bebas rokok
minimal 2 jam sebelum pemeriksaan, bebas bronkodilator yang dapat
mempengaruhi hasil pemeriksaan minimal 8 jam sebelum
pemeriksaan, tidak boleh makan kenyang sebelum pemeriksaan, dan
tidak boleh menggunakan pakaian ketat pada saat pemeriksaan
dilakukan.

25

Universitas Sumatera Utara


c. Pasien sebaiknya melakukan percobaan dalam posisi yang paling
nyaman.
d. Pemeriksaan dilakukan paling sedikit didapatkan 3 nilai yang
reproduksibel untuk melihat dan memastikan apakah manuver telah
dilakukan secara maksimal. Dapat diulang 3 kali namun tidak lebih
dari 8 kali untuk menghindari bias.
3. Manuver untuk mendapatkan data tentang parameter yang dibutuhkan
a. Force Vital Capacity (FVC)
a.1 Metode sirkuit tertutup
- Pastikan pasien berada dalam posisi yang benar (posisi tubuh
dengan kepala sedikit dielevasikan)
- Tempatkan nose clip, mouth piece pada mulut dan menutup mulut
dengan baik
- Inspirasi maksimal secara cepat dengan jeda < 1 detik, kemudian
ekspirasi maksimal secara cepat (paksa) dan dalam sampai tidak
ada udara yang dapat dikeluarkan saat masih dalam posisi yang
sama.
a.2 Metode sirkuit terbuka
- Pastikan pasien berada dalam posisi yang benar (posisi tubuh
dengan kepala sedikit dielevasikan)
- Tempatkan nose clip
- Inspirasi maksimal secara cepat dengan jeda < 1 detik
- Tempatkan mouthpiece pada mulut dan menutup mulut dengan
baik
- Ekspirasi maksimal secara cepat (paksa) dan dalam sampai tidak
ada udara yang dapat dikeluarkan saat masih dalam posisi yang
sama.
b. Slow Vital Capacity (SVC)
Prinsip pengukuran sama dengan FVC yang berbeda hanyalah
manuver saat meniup dimana inspirasi maksimal secara normal dan
ekspirasi maksimal secara normal sampai tidak ada udara yang dapat
dikeluarkan saat masih dalam posisi yang sama.

26

Universitas Sumatera Utara


c. Maximal Voluntary Ventilation
Pasien diinstruksikan untuk bernapas cepat dan dalam selama 15 detik
dan mengumpulkan udara ekspirasi dalam kantong douglas. Uji ini
telah banyak digunakan secara bertahun-tahun tetapi kemudian
sebagian besar diganti dengan pengukuran Forced Expiratory Volume
( FEV1) yang lebih sedikit persyaratannya dan memberikan informasi
yang sama.

2.1.5. Standarisasi pemeriksaan fungsi paru


Untuk mendapatkan informasi yang berguna dari suatu pemeriksaan fungsi
paru, harus terlebih dahulu diamati mengenai masalah adekuasi alat serta
akseptabilitas dan reprodusibilitas dari nilai pengukuran(Shifren, 2006).

Gambar 2.1.1 Spirometri normal (Shifren, 2006)


Dalam mengevaluasi hasil pemeriksaan fungsi paru, harus terlebih dahulu
dinilai akseptabilitas dari hasil pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan akseptabilitas
paling baik ditentukan dengan mempelajari kurva flow-volume. Adapun kriteria
akseptabilitas dari suatu pemeriksaan fungsi paru mencakup hal sebagai berikut
(Shifren, 2006), (Miller, 2005):
1. Bebas artefak (batuk, penutupan glottis, penghentian dini, usaha yang
kurang maksimal dan bervariasi).
2. Start yang baik (fase awal kurva merupakan bagian yang paling dipengaruhi
oleh usaha pasien sehingga harus bebas artefak).

27

Universitas Sumatera Utara


3. Waktu ekspirasi yang cukup (ekspirasi paling sedikit 6 detik atau dijumpai
plateau paling tidak selama 1 detik pada kurva volume-waktu).
Bila telah didapat 3 kali pengukuran spirometeri yang memenuhi kriteria
akseptabilitas maka selanjutnya dinilai reprodusibilitasnya. Adapun kriteria
reprodusibilitas dari pemeriksaan fungsi paru mencakup (Shifren, 2006):
1 Dua nilai pengukuran FVC yang terbesar tidak boleh berbeda lebih dari 0,2
L atau 5% satu sama lain.
2 Dua nilai pengukuran FEV1 yang terbesar tidak boleh berbeda lebih dari 0,2
L atau 5% satu sama lain.
Jika kedua syarat ini terpenuhi maka pemeriksaan fungsi paru dapat dihentikan
dan dievaluasi hasilnya. Bila tidak memenuhi maka pemeriksaan harus diulang
sampai memenuhi kriteria di atas maksimal 8 kali pengulangan (Fischbach, 2003),
(Miller, 2005).

2.1.6. Pemeriksaan terhadap aliran udara di saluran pernafasan


Kecepatan aliran udara di saluran nafas memberikan informasi mengenai
adanya obstruksi di sistem saluran pernafasan. Metode pengukuran kecepatan
aliran udara yang dihubungkan dengan fungsi waktu dan volume disebut sebagai
spirometri, dan alat untuk pengukurannya mempergunakan spirometer (Fischbach,
2003), (Miller, 2005).

Penilaian spirometri dasar mencakup FEV1, FVC, dan FEV1/FVC. Ketiga


metode pengukuran ini luas dipergunakan, tidak mahal dan mudah diulang.
Spirometri dapat digunakan dalam mendeteksi gangguan aliran udara akibat
obstruksi saluran nafas dan mengindikasikan adanya suatu kelainan paru restriktif.
Ada banyak nilai hasil pengukuran spirometri yang lainnya, namun kegunaan
klinisnya masih belum dapat ditentukan (Winn, 2005), (Gomella, 2007).

Ketika nilai FEV1 berkurang, maka nilai FEV1/FVC juga akan berkurang
yang menunjukkan suatu pola obstruksi. Rasio FEV1/FVC yang normal adalah
>0,75 untuk individu yang berusia kurang dari 60 tahun dan >0,70 untuk yang
berusia diatas 60 tahun (Lang, 2006). Namun Adrien Shifren menyebutkan
bahwa suatu defek obstruksi dapat disangkakan bila FEV1/FVC <70 tanpa
memandang usia (Shifren, 2006).

28

Universitas Sumatera Utara


Bila sangkaan defek obstruktif telah dibuat, maka perlu dilanjutkan dengan
upaya untuk menentukan beratnya derajat obstruksi dan menilai reversibilitas dari
obstruksi yang terjadi (Fischbach, 2003). Nilai prediksi FEV1 yang normal adalah
80%-120%. FEV1 70-79% nilai prediksi menunjukkan hambatan aliran udara
ringan, FEV1 51-69% nilai prediksi menunjukkan hambatan aliran udara sedang,
dan bila FEV1 <50% nilai prediksi digolongkan hambatan aliran udara berat,
sangat berat FEV <30% nilai prediksi atau <50% nilai prediksi disertai gagal
nafas (Winn, 2003) (GOLD, 2010).
Pemeriksaan spirometri juga dapat digunakan untuk mendiagnosa kelainan
penyakit paru restriktif, walaupun untuk gold standard haruslah diperiksa nilai
TLCnya. Kelainan restriktif dapat disangkakan bila nilai FEV1/FVC>75% nilai
prediksi. Kelainan restriktif ringan bila FVC 60-80% nilai prediksi, restriksi
sedang bila FVC 50-60% nilai prediksi dan restriksi berat bila FVC<50% nilai
prediksi (Gomella, 2007).

Bila defek obstruktif terjadi maka kurva flow-volume akan berubah


membentuk gambaran konkaf. Pada kurva masih dapat dilihat adanya puncak
awal yang tajam dan cepat, tetapi aliran ekspirasi melemah lebih cepat daripada
normal, sesuai dengan beratnya derajat obstruksi yang terjadi. (lihat gambar 2.1.1
dan 2.1.3) (Shifren, 2006).

Adapun kelainan-kelainan yang dapat mengakibatkan gambaran obstruksi


pada pemeriksaan fungsi paru antara lain : ( Fischbach, 2003).
1. Penyakit pada saluran nafas perifer : bronkitis, bronkiektasis, bronkiolitis,
asma bronkial, fibrosis kistik.
2. Penyakit parenkim paru : emfisema.
3. Penyakit saluran nafas atas : tumor pada faring, laring atau trakea; edema,
infeksi, benda asing, saluran nafas kolaps dan stenosis.

29

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.1.2 Spirometri pada penyakit paru Gambar 2.1.3 Spirometri pada penyakit paru
Obstruktif (Shifren, 2006) restriktif (Shifren, 2006)

Kelaianan-kelainan yang dapat memberikan gambaran restriktif pada


pemeriksaan fungsi paru antara lain (Fischbach, 2003) :
1. Gangguan pada dinding toraks : cedera, kifoskoliosis, distrofi muskular.
2. Keadaan ekstra toraks : obesitas, peritonitis, asites, kehamilan.
3.Penyakit paru interstisial : interstisial pneumonitis, fibrosis, pneumokoniosis,
granulomatosis.
4. Penyakit pleura : efusi pleura, pneumothorak, hemothorak, fibrothorak.
5. Space Occupaying Lesion (SOL) : tumor, abses.

2.1.7 Penyakit campuran restriktif dan obstruktif


Penyakit infiltratif atau interstisial yang difus secara khas mengakibatkan
pola yang restriktif berupa rasio FEV1/FVC yang normal atau meningkat dan
penurunan volume paru. Gangguan hambatan terhadap aliran udara biasa dijumpai
pada penyakit paru intertisial dan sarkoidosis stadium akhir. Bronkiektasis juga
dapat memberikan gambaran penyakit campuran akibat penurunan aliran udara
disertai kerusakan fibrotik jaringan paru distal akibat segmen bronkus yang
mengalami bronkiektasis. Kelainan lain yang memberikan pola serupa adalah
bronkiolitis obliterans organizing pneumonia , neurofibromatosis dan campuran
antara Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yang disertai penyakit paru
intertisial (Fischbach, 2003), (Winn, 2003).

30

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.1.4 Gambar spirogram dan kurva flow-volume pada keadaan normal, obstruktif
dan restriktif (Hyatt, 2003).

2.2 Penyakit Ginjal kronik


PGK adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis
yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat
yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality Initiative) membuat klasifikasi
Penyakit Ginjal Kronik dalam 5 tahap berdasarkan tingkat penurunan fungsi ginjal
yang dinilai dengan laju filtrasi glomerular (LFG) ( Suwitra, 2006). Untuk
menghitung LFG, cara yang umum digunakan adalah dengan menggunakan
rumus Cockroft-Gault, yaitu :

31

Universitas Sumatera Utara


(140-umur) X BB (kg)
LFG (ml/min/1,73m2) =
72 X Kreatinin Plasma (mg/dl

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi tersebut tampak pada tabel 2.2.1 berikut (Suwitra, 2007) :


Stadium Penjelasan LFG
(ml/min/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat ≥90

2 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG yang ringan 60-89

3 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG yang sedang 30-59

4 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG yang berat 15-29

5 Gagal Ginjal <15 atau dialisis

Penatalaksanaan PGK amat beragam, yaitu terapi spesifik terhadap


penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid,
memperlambat perburukan (progression) fungsi ginjal, pencegahan dan terapi
terhadap penyakit kardiovaskular, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi,
dan terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Terapi
pengganti ginjal dilakukan pada PGK stadium 5 atau gagal ginjal tahap akhir,
yaitu pada LFG <15 ml/min/1,73m2 . Terapi pengganti tersebut dapat berupa
hemodialisis, peritoneal dialisis maupun transplantasi ginjal, dimana hemodialisis
merupakan pilihan yang paling umum dijumpai di Indonesia (Clarckson, 2005),
(Purwanto, 2007).
Komplikasi kardiovaskular merupakan salah satu komplikasi pada PGK.
Data dari United States Registry Data System 2001 memperlihatkan bahwa 46%
penderita penyakit ginjal meninggal akibat penyakit kardiovaskular. Sebanyak
41% meninggal karena penyakit jantung koroner dengan berbagai manifestasinya,
sisanya karena penyakit jantung lainnya. Konsil Ginjal dan Kardiovaskular

32

Universitas Sumatera Utara


American Heart Association merekomendasikan bahwa penderita dengan
penyakit ginjal merupakan kelompok tertinggi yang independen untuk terjadinya
penyakit kardiovaskular. Data lain menunjukkan bahwa penderita dengan PGK
stadium 3 dan 4, dengan perkiraan LFG antara 15-59 ml/min/1,73m2 mempunyai
insiden dan resiko penyakit jantung dua kali lipat dibandingkan individu dengan
LFG normal. Mortalitas 1 tahun setelah infark miokardium meningkat dari 24%
menjadi 46% dan 66% pada penderita dengan kreatinin serum 1,5 mg/dL; 1,5-2,4
mg/dL; dan 2,5-3,9 mg/dL. Salah satu komplikasi tersebut adalah hipertensi
pulmonal (Suwitra, 2007).

2.2.1 Efek gagal ginjal kronis terhadap pernafasan


Paru juga mendapat pengaruh buruk dari gagal ginjal, pasien-pasien gagal
ginjal dalam berbagai tahap (akut, kronik, tahap akhir) memiliki risiko untuk
mengalami komplikasi paru yang signifikan secara klinis, yang paling sering
edema pulmonum, fibrosis paru, kalsifikasi paru, hipertensi pulmonal,
hemosiderosis, fibrosis paru. Pasien-pasien ini juga bisa mengalami berbagai
tingkatan disfungsi paru yang mungkin tidak signifikan secara klinis dan hanya
dapat dideteksi dengan serangkaian evaluasi non invasif yang dikenal sebagai tes
faal paru. Disfungsi paru mungkin disebabkan langsung oleh toksin uremik yang
bersirkulasi dalam peredaran darah atau mungkin disebabkan secara tidak
langsung oleh volume overload, anemia, penekanan imunitas, kalsifikasi ekstra
tulang, malnutrisi, gangguan elektrolit, atau ketidakseimbangan asam-basa
(Karacan, 2009). Durasi HD berhubungan secara garis lurus dengan peningkatan
TAP (Fabbian,2010).

2.2.2 Efek gagal ginjal kronis dengan hemodialisis terhadap pernafasan


Sama seperti semua sistem organ lainnya, paru juga mendapat pengaruh
buruk dari gagal ginjal yang menjalani HD. HD menyebabkan keadaan
hipoksemia oleh beberapa fenomena yang diduga berperan terhadap kejadian
hipoksemia ini adalah perubahan dari kurva dissosiasi oksihemoglobin yang
disebabkan oleh peningkatan pH selama dialisis, penekanan terhadap pusat
pernafasan, gangguan difusi oksigen, leukostasis pada pembuluh darah paru yang
menyebabkan ketidak seimbangan ventilasi-perfusi, serta hipoventilasi alveolar

33

Universitas Sumatera Utara


yang disebabkan oleh CO2 yang berdifusi ke dialisat (Pierson, 2006). Lang dkk
melaporkan 14 pasien hemodialisis yang stabil secara klinis tanpa penyakit paru
akut, dijumpai penyakit paru restriktif dijumpai pada 8 dari 14 kasus dan penyakit
paru obstruktif dijumpai pada 1 orang pasien (Lang, 2006). Herero dkk
menyatakan bahwa 75% pasien dengan hemodialisis jangka panjang menunjukkan
kelainan restriktif pada spirometri (Herero, 2002). Studi yang dilakukan Kovelis
mendapatkan dari 17 pasien Gagal Ginjal Kronik, 9 orang dengan spirometri
normal, 8 restriksi ringan sebelum hemodialisis, setelah hemodialisis 2 dari 8
pasien tersebut mencapai spirometri normal (Kovelis, 2008).

2.2.3 Efek gagal ginjal kronis dengan hemodialisis dengan hipertensi


pulmonal terhadap pernafasan
Pasien-pasien HD reguler dianjurkan untuk pemasangan akses vaskular
seperti AV fistula. Akses vaskuler tidak terlepas dari berbagai komplikasi, ringan
maupun berat. Beberapa komplikasi yang sering terjadi yaitu stenosis dan clotting,
infeksi, aliran darah berlebihan, iskemia distal (steal syndrome), aneurisma vena,
perdarahan akibat ruptur aneurisma, dan hematoma lokal (Konsensus Dialisis
Pernefri, 2003).
Patofisiologi yang mendasari timbulnya HTP pada PGK yang memakai
akses vaskuler masih belum sepenuhnya dipahami. Mekanisme utama yang
diduga berperan adalah akses vaskular buatan (fistula AV) yang umum dijumpai
pada pasien PGK dengan HD reguler. Fistula ini menyebabkan peningkatan
Cardiac Output (CO) yang berarti juga peningkatan volume darah pada pembuluh
darah paru. Pada orang sehat peningkatan CO tidak serta merta menyebabkan
peningkatan TAP, karena adanya kemampuan adaptif pembuluh darah paru,
misalnya vasodilatasi maupun kemampuan membentuk komunikasi dengan
pembuluh darah ekstra paru. Namun pada pasien PGK, kemampuan adaptif ini
berkurang. Diduga hal ini disebabkan status hiperparatiroidisme kronis yang
sering pada pasien PGK, menyebabkan peningkatan kadar kalsium di jaringan,
termasuk pada pembuluh darah paru. Kalsifikasi ini menyebabkan elastisitas
pembuluh darah terganggu dan meningkatkan resistensi sistem pembuluh darah
paru (Gururaj, 2010). Tetapi peranan hormon paratiroid sendiri masih

34

Universitas Sumatera Utara


diperdebatkan, karena studi lain justru menunjukkan hasil yang berlawanan
(Akmal, 2005).
Saat ini yang diketahui adalah semakin besar aliran darah (flow rate)
pada fistula maka akan semakin besar pula aliran darah balik ke jantung dan
sesuai dengan hukum Frank Starling akan menyebabkan peningkatan CO pula.
Peningkatan CO akan menyebabkan peningkatan aliran darah ke sirkulasi paru
dan memperberat kenaikan TAP. Oleh karena itu, penting untuk mendapatkan
diameter fistula yang tepat agar tidak menimbulkan komplikasi sistemik
(Havlucu, 2007). Yigla melaporkan angka 39.7% pada pasien hemodialisis reguler
via fistula AV (Yigla, 2003), Amin dalam studi terhadap 51 pasien PGK dengan
hemodialisis reguler via fistula AV mendapatkan 29% di antaranya menderita
hipertensi pulmonalis (Amin, 2003). Dalam studi lain, Yigla menyatakan bahwa
hipertensi pulmonalis merupakan prediktor independen terhadap mortalitas pasien
PGK (Yigla, 2009).

2.3 Hipertensi Pulmonal


2.3.1 Definisi
Salah satu komplikasi kardiovaskuler tersebut namun awalnya jarang
dipublikasikan adalah HTP. HTP secara ringkas didefinisikan jika dijumpai
peningkatan TAP di atas ambang normal. Dikatakan HTP adalah jika pada saat
istirahat nilai TAP ≥35 mmHg. Penyakit ini mungkin menggambarkan adanya
gangguan pada pembuluh darah paru, yang dapat bersifat progresif dan fatal, atau
mungkin hanya peningkatan TAP yang pasif terhadap peningkatan tekanan di
jantung kiri. Faktor penyebab dapat berupa kelainan jantung, kelainan paru atau
akibat penyakit sistemik (Newman, 2008).
HTP dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit, dimana jika tidak
diatasi maka dapat mengakibatkan menurunnya regangan pembuluh darah
(compliance), peningkatan TAP yang progresif dan akhirnya menjadi gagal
jantung kanan dan kematian. Pasien dengan HTP berkepanjangan mempunyai
morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dari pada kondisi kausatif yang
menyebabkan HTP itu sendiri (Abdelwhab, 2009).

35

Universitas Sumatera Utara


2.3.2 Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi HTP yang saat ini diajukan. Dua yang telah
luas dikenal adalah klasifikasi menurut Venice, dan klasifikasi yang dikeluarkan
oleh World Health Organisation (WHO) pada tahun 2006. Klasifikasi klinis HTP
yang saat ini paling banyak digunakan adalah klasifikasi menurut WHO.
Klasifikasi ini membagi HTP menjadi 5 kelas berdasarkan jenisnya seperti yang
terlihat pada tabel 2.3.1. Dalam klasifikasi terbaru, HTP yang disebabkan oleh
fistula AV permanen pada pasien PGK dimasukkan ke dalam kelas V
(McLaughlin, 2006).

Tabel 2.3.1 Klasifikasi Hipertensi Pulmonalis menurut WHO (McLaughlin,2006)

Kelas Deskripsi

I Hipertensi arteri pulmonalis


 Idiopatik atau primer
 Familial
 Hipertensi yang berhubungan dengan :
 Penyakit kolagen pada pembuluh darah
 Pintasan kongenital sistemik-ke-pulmonal
 Hipertensi portal
 Infeksi Human Immunodeficiency Virus
 Toksin dan obat – obatan
 Penyakit lain (kelainan tiroid, kelainan penyimpangan
glikogen, penyakit Gaucher, hemoragik telangiektasis
herediter, hemoglobinopati, kelainan mieloproliferatif,
splenektomi)
 Yang berhubungan dengan keterlibatan vena atau kapiler
 Penyakit oklusi vena pulmonal
 Hemangiomatosis kapiler pulmonal
II Hipertensi pulmonalis dengan penyakit jantung kiri
 Penyakit atrium atau ventrikel kiri jantung
 Penyakit katup jantung kiri
III Hipertensi pulmonalis yang dihubungkan dengan penyakit paru dan atau
hipoksia
 Penyakit paru obstruksi kronik
 Penyakit jaringan paru
 Gangguan nafas saat tidur
 Kelainan hipoventilasi alveolar
 Tinggal lama di tempat yang tinggi

36

Universitas Sumatera Utara


 Perkembangan abnormal
IV Hipertensi pulmonalis oleh karena penyakit emboli dan trombotik kronik
 Obstruksi tromboembolik arteri pulmonalis proksimal
 Obstruksi tromboembolik arteri pulmonalis distal
 Emboli pulmonalis non trombotik (tumor, parasit, benda asing )
V Lain-lain
Sarkoidosis, histiositosis-X, limfangiomatosis, penekanan pembuluh darah
paru (adenopati, tumor, fibrosis mediastinitis)

2.3.3 Diagnosis
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
HTP, baik dengan menggunakan metode invasif maupun non invasif. Saat ini
metode yang paling banyak digunakan adalah dengan menggunakan alat
ekokardiografi Color Doppler yang bersifat non invasif (Weyman, 2010).
a. Ekokardiografi Color Doppler
Ekokardiografi merupakan skrining test non invasif yang sangat baik
dilakukan untuk pasien yang dicurigai mengalami HTP. Digunakan pertama kali
untuk menentukan TAP pada akhir dekade 1990-an, namun masih dalam
gambaran hitam dan putih (Stephen, 1999). Saat ini, ekokardiografi Color
Doppler sudah lazim dijumpai dan luas digunakan. Untuk menilai tekanan sistolik
ventrikel kanan dengan ekokardiografi ini harus dijumpai adanya trikuspid
regurgitasi (TR) (Noordegraaf, 2009).
Perkembangan TR pada pasien HTP sering dihubungkan dengan adanya
dilatasi anular, perubahan ukuran ruang ventrikel kanan dan perubahan letak katup
trikuspidal bagian apikal. Pemakaian aliran regurgitasi sistolik katup trikuspidalis
(v) merupakan sebuah perhitungan tekanan arteri pulmonalis sistolik (Systolic
Pulmonary Arterial Pressure/sPAP) yang dapat ditentukan dengan ekokardiografi
Color Doppler. Tanpa adanya pulmonary outflow tract obstruction, sPAP
ekuivalen dengan tekanan sistolik ventrikel kanan, yang dapat dihitung dengan
rumus Bernoulli yang sederhana (Daniels, 2004):
RVSP = 4v2 + RAP

Ket : RVSP : Right Ventricular Systolic Pressure


v : aliran regurgitasi sistolik trikuspidalis
RAP : Right Arterial Pressure

37

Universitas Sumatera Utara


Kecepatan puncak diastolik awal akhir dari regurgitasi pulmonalis berkorelasi
signifikan dengan rerata TAP diastolik (Bossone, 2005).
Waktu akselerasi right ventricular outflow tract (RVOT) didefinisikan
sebagai interval dari onset kecepatan maksimal aliran darah yang dipulsasikan
melalui sinyal yang dihasilkan gelombang Doppler, memiliki korelasi negatif
dengan mean pulmonary artery pressure (mPAP). Waktu akselerasi RVOT <100
ms mencerminkan peningkatan mPAP (Jae, 2006).
Karakteristik disfungsi ventrikel kanan pada HTP dengan ekokardiografi
Color Doppler mencakup penurunan kecepatan dan integral waktu aliran darah
melalui katup pulmonalis dan pemendekan acceleration time (AcT) yang diukur
dari permulaan aliran darah melalui katup pulmonalis sampai kecepatan mencapai
puncaknya, dapat digunakan untuk menghitung rerata tekanan arteri pulmonal
dengan rumus : mPAP (ms) = 79 – 0,45 (AcT) (Jae, 2006).

Tabel 2.3.2 Klasifikasi HTP berdasarkan TAP (McLaughlin, 2006)


Kategori Tekanan arteri pulmonalis*

Ringan 35 – 50 mmHg

Sedang 51 – 69 mmHg

Berat ≥70 mmHg

* saat istirahat
b. Elektrokardiografi
Elektrokardiografi (EKG) merupakan alat diagnostik lain untuk HTP,
walaupun tidak spesifik. Gambaran tipikal HTP yang bisa didapat pada EKG
adalah :
 Pergeseran aksis ke kanan (right axis deviation),
 Gelombang R>S dengan R/S rasio >1 di sadapan V1,
 Kompleks qR di sadapan V1,
 Pola rSR’ di sadapan V1,
 Gelombang S besar dan R kecil dengan R/S rasio <1 di sadapan V5
dan/atau V6 .

38

Universitas Sumatera Utara


Gambaran gelombang ST depresi dan inversi sering muncul di sadapan
prekordial kanan. Pembesaran atrium kiri ditandai dengan gelombang P yang
tinggi (2.5 mm) di sadapan II, III, aVF dan aksis P frontal 75˚ (Schannwell, 2007).

c. Foto Toraks
Gambaran khas foto toraks proyeksi posteroanterior pada HTP adalah
ditemukannya pembesaran hilar dan bayangan arteri pulmonalis. Sementara pada
foto toraks proyeksi lateral dapat dijumpai pembesaran ventrikel kanan (Diah,
2009).

d. Pemeriksaan Angiografi
Kateterisasi jantung merupakan baku emas (gold standard) untuk
diagnosis HTP. Kateterisasi membantu diagnosis dengan menyingkirkan etiologi
lain seperti penyakit jantung kiri dam memberikan informasi penting untuk
dugaan prognostik pada pasien dengan HTP. Kateterisasi jantung dilakukan pada
pasien dengan HTP setelah dilakukan pemeriksaan klinis dan ekokardiografi,
terutama pada mereka yang direncanakan untuk pengobatan. Namun hal ini sulit
dilakukan dikarenakan sifatnya yang invasif, terutama pada pasien PGK dengan
penyakit yang sudah terminal (Diah, 2009).

39

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai