Anda di halaman 1dari 17

DDC: 321.

OPOSISI DALAM KEHIDUPAN DEMOKRASI:


ARTI PENTING KEBERADAAN OPOSISI SEBAGAI
BAGIAN PENGUATAN DEMOKRASI DI INDONESIA

Firman Noor
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
E-mail: firman.noor@yahoo.co.id

Diterima: 15-4-2016 Direvisi: 26-4-2016 Disetujui: 28-4-2016

ABSTRACT
In real politics, the acknowledgement and implementation of democracy would be in vain if the government
in daily basis is actually run without any effective controls or balancer from the opposition. Such a government
is actually close to the oligarchy or authoritarian government. Indonesia as a country that believes in democracy
up until today still has not been able to develop a strong opposition. In this regards, this article aims to discuss
the relationship between democracy and opposition. Some specific issues would also be discussed namely, (1) the
essence of opposition in democratic framework, (2) the opposition in Indonesian politics and why it is important for
democracy strengthening, (3) some aspects that should be performed in order to solidify opposition in political life.

Keywords: Democracy, opposition, oligarchy, people sovereignty, control

ABSTRAK
Dalam realitas politik, pengakuan dan pelaksanaan demokrasi di suatu negara tidak akan banyak berarti jika
pemerintah yang ada berjalan tanpa pengimbang atau tanpa kontrol yang efektif dari oposisi. Pemerintah sedemikian
sesungguhnya lebih dekat dengan sebentuk pemerintahan oligarkis atau otoriter ketimbang pemerintahan demokratis.
Indonesia, sebagai sebuah negara yang mengakui demokrasi, hingga kini belum dapat dikatakan sebagai negara
yang berhasil dalam menumbuhkan oposisi yang kuat. Sehubungan dengan hal itu, artikel ini akan membahas
beberapa persoalan yang berkaitan dengan hakikat oposisi dalam kehidupan demokrasi. Secara lebih spesifik, artikel
ini akan membahas (1) hakikat oposisi dalam kerangka demokrasi, (2) oposisi dalam realitas politik di Indonesia
dan mengapa hal itu menjadi penting untuk penguatan demokrasi, (3) beberapa hal yang dapat dipertimbangkan
untuk menumbuhkan oposisi dalam kehidupan politik bangsa.

Kata kunci: Demokrasi, oposisi, oligarki, kedaulatan rakyat, kontrol

PENDAHULUAN Amatan para pemerhati politik Indonesia kon-


temporer itu pada umumnya mengisyaratkan
“Democracy is an ideology of opposition as much
sebuah paradoks bahwa Indonesia adalah contoh
as it is one of government.”
par excellent dari fenomena ketika mekanisme
(Ian Shapiro, 1996, 51) demokrasi dan eksistensi oligarki atau elitisme
dapat sa­ling mengisi atau hidup berdampingan
Kajian beberapa Indonesianis belakangan ini
pada saat bersamaan (Ford & Pepinsky, 2014,
menunjukkan bahwa praktik oligarki (Robison
2). Sementara itu, khusus dalam soal hubungan
& Hadiz, 2004, 2014; Winters, 2011, 2014)
eksekutif dan legislatif, pola yang terbangun juga
atau elitisme (Tornquist, 2006; Buehler, 2014)
belum menunjukkan sebentuk demokrasi yang
di Indonesia masih menampakkan gelagatnya
solid. Pola hubungan yang terjadi justru mengin-
dan terus berjalan meski kehidupan politik
dikasikan kecenderungan relasi kartel politik,
Indonesia diyakini telah jauh lebih demokratis.

1 
yakni di antara kedua lembaga itu cenderung trol—manakala pembenahan mengenai cara pan-
bersikap saling menguntungkan, baik terselubung dang dan kedudukan oposisi tidak diikutsertakan
maupun manifes, yang pada akhirnya menyebab- di dalamnya. Sejalan dengan maksud tersebut,
kan kontrol terhadap kekuasaan tidak berjalan artikel ini akan membahas persoalan lainnya,
efektif (Ambardi, 2009; Rodan & Jayasurya, yakni fungsi oposisi yang sesungguhnya, realitas
2009; Mietzner, 2013). Fenomena ini tampaknya oposisi dalam sejarah kehidupan politik nasional,
sejalan dengan apa yang disebut oleh O’Donnel dan upaya-upaya untuk menumbuhkannya dalam
(1996) sebagai “delegative democracy”1, yaitu konteks Indonesia kontemporer.
demokrasi hidup di tengah lemahnya pelaksanaan Pembahasan mengenai oposisi di Indonesia
checks and balances. tentu bukan persoalan baru. Studi Kroef (1977) dan
Berbagai simpulan atau pandangan di atas Uhlin (1998), misalnya, telah membahas oposisi
mengindikasikan dengan jelas bahwa eksistensi dengan cukup mendalam. Meski demikian, kajian
dan pertumbuhan demokrasi di Indonesia masih keduanya lebih pada masa sebelum dan menjelang
jauh dari sempurna karena masih memberikan era reformasi. Kajian kekinian atau setidaknya
tempat yang cukup lapang bagi munculnya yang berkaitan dengan pemerintahan saat ini
praktik politik yang mereduksi hakikat demokrasi belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, artikel
itu sendiri. Pandangan para Indonesianis tentang ini merupakan bagian upaya dari mengetengahkan
masih cukup kuatnya keberadaan oligarki atau kajian mengenai oposisi dan juga terutama apa
elitisme, di sisi lain, menunjukkan dengan jelas yang harus dilakukan di kemudian hari.
bahwa fenomena pelaksanaan kekuasaan (power
exercise) hingga kini sesungguhnya masih minim OPOSISI DALAM KERANGKA
kontrol karena kekuatan penyeimbang (balancer) DEMOKRASI
yang memadai belum cukup kokoh. Dalam situasi
seperti ini, penguatan eksistensi kekuatan pe- Membahas arti penting oposisi dalam pembe-
nyeimbang—yang notabene melekat pada kelom- nahan demokrasi tentu tidak dapat dipisahkan
pok oposisi—menjadi perlu lebih diperhatikan dari kerangka berpikir demokrasi itu sendiri.
dan secara fundamental merupakan kebutuhan Pembahasan berikut ini akan melihat akar-akar
mendesak, setidaknya untuk mengurangi prak- oposisi dalam sudut pandang demokrasi dan
tik oligarki dengan segenap aspek buruk yang melihat fungsi oposisi dalam aspek normatifnya.
ditimbulkannya.
a. Demokrasi sebagai Akar Keberadaan
Sehubungan dengan kebutuhan atas
keberadaan oposisi tersebut, yang dikaitkan Oposisi
dengan upaya meningkatkan kualitas demokrasi Demokrasi dalam tatanan konseptual memiliki
di Indonesia, tulisan ini membahas rasionalitas beragam aliran dan sudut pandang. Setidaknya
keberadaan oposisi. Pembahasan artikel ini secara ada dua sudut pandang utama dalam membahas
garis besar ditujukan untuk menunjukkan bahwa demokrasi. Pertama adalah yang berfokus pada
oposisi merupakan bagian yang tidak terpisah- pendekatan kepemiluan atau kerap disebut mini-
kan dari demokrasi (Dahl, 1971). Oleh sebab malis. Pendekatan ini memfokuskan diri pada
itu, pembenahan demokrasi tidak akan berjalan persoalan pemilihan umum (election) sebagai inti
sempurna—terutama dalam memberikan efek dari demokrasi. Bagi pandangan ini, kehidupan
positif yang kuat bagi pelaksanaan kedaulatan demokrasi tak lain adalah persoalan bagaimana
rakyat dan sebentuk pemerintahan yang terkon- berhasil dalam pelaksanaan pemilu serta ketika
pejabat dan kehidupan bernegara pada akhirnya
1
Sebentuk demokrasi yang memungkinkan penguasa ditentukan oleh pemilu. Pandangan ini terutama
terpilih dianggap telah mewakili kepentingan seluruh
“delegasi” (yang berperan sebagai wakil dari rakyat), dan
diusung oleh para teoretikus demokrasi, seperti
oleh karena itu dapat melakukan apa pun yang dianggap Schumpeter (1975) dan Przeworski (1991).
penting tanpa harus memerhatikan dengan sangat aspek Pandangan kedua adalah yang melihat secara
akuntabilitas atau pertanggungjawaban. Pemerintahan
semacam itu secara substansi dekat dengan apa yang lebih maksimal, memosisikan demokrasi lebih
disebut oleh Thomas Hobbes sebagai Leviathan. dari sekadar pelaksanaan pemilu. Dalam sudut

2 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 


pandang ini, demokrasi tidak semata dilihat se- democracy6, dan communicative democracy7,
bagai persoalan pemilihan umum, tetapi sebuah merupakan beberapa kajian dalam perspektif sub-
budaya serta ideologi yang memuat seperangkat stansial ini (Held, 1960; Mayo, 1991; Diamond
nilai yang harus disemaikan, seperti persamaan, & Morlino, 2004; Gutmann & Thompson, 2004;
partisipasi, kebebasan, toleransi, keadilan, hak- Young, 2002; Roberts, 1999).
hak universal, dan kesepakatan banyak orang. Hal yang menarik adalah kedua sudut
Bagi Dahl (1971, 3), misalnya, keberadaan pandang tersebut, terutama sudut pandang yang
partisipasi dan koreksi terhadap pemerintahan kedua, sama-sama menempatkan persoalan ke-
jauh lebih utama ketimbang pemilu. Sementara daulatan rakyat sebagai hal yang utama. Dengan
bagi yang lain, hakikat demokrasi terletak pada demikian, dapat dikatakan bahwa perkembangan
penumbuhan tradisi atau budaya demokratis teori-teori demokrasi kekinian sama sekali tidak
yang menumbuhkan kesadaran dan upaya untuk meninggalkan makna normatif demokrasi yang
mewujudkannya secara sistematis dan substantif. telah dikedepankan sejak zaman Yunani Kuno
Sehubungan dengan hal ini, kajian dalam ranah dulu. Tepat jika demokrasi dipandang sebagai
maksimalis meliputi kajian yang bernaung, ter­ persoalan pengelolaan kedaulatan rakyat, se-
utama dalam payung liberal democracy2 ataupun bagaimana yang dengan tepat dikatakan oleh
hybrid democracy3 serta meliputi kajian seperti
di banyak kasus masyarakat ditinggalkan setelah pemilu
poliarchy4, deliberative democracy5, deepening berlangsung. Dalam skema pemerintahan deliberatif
ini, terbuka peluang bagi masyarakat untuk memba­
2
Demokrasi liberal adalah sebentuk demokrasi yang ngun simpul-simpul penyalur kepentingan yang dapat
menekankan aspek hak-hak individu (individual rights), langsung berhubungan dan menyampaikan aspirasinya
terutama kebebasan (freedom), hak untuk memiliki kepada pemerintah tanpa melalui lembaga-lembaga for-
sesuatu (property rights), kebebasan berkehendak serta mal demokrasi yang selama ini telah dikenal luas, seperti
kemerdekaan untuk mengekspresikan dan mengusahakan partai politik atau parlemen. Bahkan dimungkinkan pula
kepentingan politiknya seluas-luasnya. Demokrasi liberal simpul-simpul itu dapat turut langsung diikutsertakan
juga menganut prinsip pembatasan peran negara, yakni dalam proses penentuan distribusi anggaran.
negara yang terbaik adalah seperti negara penjaga malam, 6
Deepening democracy ialah sebuah konsep yang meyakini
yang keberadaannya terlihat pada aturan-aturan main,
bahwa pemilu merupakan hal penting dalam demokrasi.
yang juga secara prinsip tidak mengekang prinsip-prinsip
Sebuah negara dapat sukses menjalankan demokrasi
kebebasan individual. Bagi penganutnya, berbicara
manakala pemilu dijalankan dengan benar. Artinya,
demokrasi adalah berbicara mengenai nilai-nilai itu dan
melalui institusi yang kredibel, aturan main yang adil,
bagaimana nilai-nilai dapat tumbuh dan berkembang.
dan pelaksana yang mumpuni. Oleh karena itu, per-
3
Ialah sebuah aliran dalam konsepsi demokrasi yang soalan demokrasi yang paling pokok adalah bagaimana
bersifat “realis”, yang meyakini terbukanya kemungkin­ mengondisikan seluruh aspek dalam masyarakat agar
an adanya nuansa campuran antara praktik demokrasi pemilu dapat berjalan dengan semestinya. Dalam makna
dan nondemokrasi di sebuah negara. Hal ini berangkat mengondisikan ini, demokrasi juga pada akhirnya me-
dari realitas bahwa demokrasi dalam praktiknya di nyentuh persoalan yang terkait dengan hal-hal seperti
banyak negara berkembang tidak selamanya berhasil pemberantasan korupsi, menciptakan pemerintahan yang
membuka keran kebebasan atau benar-benar mem- baik, membangun dan melembagakan institusi-institusi
fasilitasi kedaulatan rakyat. Kekuatan lama yang masih demokrasi, melindungi hak-hak minoritas, pelayanan yang
bercokol atau aspek budaya tradisional yang masih kuat memadai tanpa diskriminasi kepada semua kalangan, serta
memungkinkan bagi terbangunnya demokrasi yang juga penumbuhan nilai-nilai demokratis dalam masyarakat.
masih membuka peluang bagi praktik-praktik politik dan 7
Demokrasi yang menitikberatkan pada aspek komuni-
pemerintahan yang bernuansa otoritarian atau bahkan
kasi sebagai sarana untuk membuka pemahaman yang
militerisme pada saat bersamaan.
lebih mendalam, baik di antara masyarakat maupun—dan
Sebentuk konsep demokrasi yang dikembangkan oleh
4
terutama—antara masyarakat dan pemerintah. Dengan
Rober­t Dahl, yang meyakini bahwa demokrasi pada haki- pengedepanan aspek komunikasi yang komprehensif,
katnya adalah persoalan yang terkait dengan partisipasi dan diharapkan segala kecurigaan, prejudice, ataupun hal-
oposisi dalam pemerintahan, dan bukan semata persoalan hal yang bersifat stereotipe dapat terjembatani, bahkan
pemilu. dihapuskan. Demokrasi semacam ini berpotensi pada ma-
5
Substansi dari deliberative democracy adalah mengon­ syarakat komunikatif, ketika jalinan komunikasi di antara
disikan sebentuk demokrasi yang memungkinkan mereka telah berjalan dengan efektif sehingga masing-
pemerintahan dapat lebih bekerja sesuai dengan aspirasi masing pihak ataupun mereka yang berkepentingan dapat
masyarakat pasca-pemilu. Di sini, masyarakat memiliki saling memahami atau pada level pemahaman yang sama.
hak dan peluang lebih besar untuk berdialog dan me- Dalam konteks politik, kesamaan kepentingan dan aspirasi
nyampaikan aspirasinya kepada pemerintah terpilih. Hal ini akan menyebabkan pemerintahan demokratis berjalan
ini berangkat dari kenyataan bahwa adanya pemilu tidak dengan lebih efektif, di mana kebijakan-kebijakan yang
serta-merta dapat mengawal aspirasi masyarakat, malah dihasilkan akan jauh lebih relevan.

Firman Noor | Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: .... | 3


Abraham Lincoln, yakni tidak lain adalah peme­ dan anti-subordinasi. Terkait dengan partisipasi
rintahan yang dikelola dari (of), oleh (by), dan itu, Young mengatakan:
untuk (for) rakyat. Lebih dari itu, kajian-kajian
“Everyone whose basic interests are affected by
demokrasi kekinian juga menempatkan persoal­
institutions or practices should be able to partici-
an seputar pertanggungjawaban pemerintah, pate in their governance on more or less equal
kekuasaan yang terbatas, partisipasi publik, dan terms with others. Everyone ought to be able to
pembagian kekuasaan sebagai hal yang utama. assert their opposition to decisions that have been
made, furthermore, and should be free to criticize
Sehubungan dengan kedaulatan rakyat
and try to change policies and practices.”
tersebut, oposisi menemukan relevansinya. Hal
ini mengingat tidak ada jaminan jika kedaulatan Pandangan Shapiro yang diwakili oleh Young
rakyat dapat seluruhnya tertampung dan diter- di atas menunjukkan bahwa oposisi pada hakikat-
jemahkan seutuhnya oleh pemerintah. Sejarah nya adalah konsekuensi dari adanya partisipasi
memperlihatkan bahwa tidak jarang pemerintahan rakyat dalam pemerintahan. Dengan demikian,
yang mengatasnamakan kedaulatan rakyat dalam keberadaan oposisi merupakan sebuah kenis-
praktiknya justru menjauhi hakikat kedaulatan cayaan dalam kehidupan demokrasi, mengingat
rakyat tersebut. Oleh karena itu, perlu kekuatan pemerintahan demokratik ialah pemerintahan
di luar pemerintahan yang dapat turut menjaga yang membuka keterlibatan khalayak yang luas.
bahwa kedaulatan rakyat itu tetap ada dan ber-
Hal lain dalam demokrasi yang merupakan
fungsi. Dalam konteks inilah peran mereka yang
sokoguru bagi kehadiran oposisi adalah konsep
berada di luar pemerintahan atau oposisi menjadi
pembagian kekuasaan (division of power). Pemba-
penting adanya, terutama untuk memastikan
gian kekuasaan merupakan salah satu inti pembeda
bahwa pemerintahan yang berjalan tetap berada
antara pemerintahan demokratis dan pemerintahan
dalam rel kepentingan rakyat. Dengan kata lain,
yang antidemokrasi. Pada negara pemerintahan
eksistensi oposisi terkait erat dengan kepentingan
otoriter, misalnya, pembagian kekuasaan tidak
menegakkan kedaulatan rakyat itu sendiri.
pernah diakui, apalagi dilaksanakan. Pembagian
Selain persoalan kedaulatan rakyat, akar de- kekuasaan dalam logika demokrasi menyiratkan
mokrasi yang lain bagi keberadaan oposisi adalah pembenaran akan adanya perbedaan pandangan
partisipasi politik. Partisipasi politik sebagai pra- dan bahkan dalam batas tertentu konflik yang tetap
syarat bagi eksistensi demokrasi (Pateman, 1970) berada dalam koridor konstitusi.
yang dimaksudkan tentu saja bukan partisipasi
Dalam sudut pandang filosofis, pembagian
yang dimobilisasi, melainkan yang independen
kekuasaan terkait dengan penegakan kebebasan
atas dasar kesadaran individual. Partisipasi
dan hakikat kemanusiaan. Bahwa kebebasan
semacam ini membuka peluang bagi setiap warga
manusia, sebagai salah satu syarat terbentuknya
negara untuk berperan sesuai dengan kesadaran-
tatanan yang berkemanusiaan, hanya akan
nya. Peluang dari kebebasan berpartisipasi ini
menemukan bentuknya yang terbaik manakala
pada akhirnya memberikan jalan bagi munculnya
kekuasaan tidak berada dalam genggaman
perbedaan sikap dan pandangan, termasuk terha-
seorang penguasa. Sebaliknya, kekuasaan yang
dap penguasa, mengingat kesadaran setiap orang
tergenggam pada satu tangan dan tidak menyi­
tidaklah sama.
sakan peluang perbedaan pandangan, apalagi
Dalam konteks partisipasi ini juga, opo- oposisi, hanya akan memunculkan kekuasaan
sisi adalah dampak dari kebebasan rakyat untuk yang tiranik atau despotik. Pemikir Barat,
melakukan respons dan kritik atas kebijakan seperti Locke (1632–1704) dan Montesquieu
pemerintah agar dapat lebih sesuai dengan (1689–1755), sejak sekitar empat abad yang lalu
kepentingan mereka. Irish Young (2002, 76) telah meyakini akan kebaikan adanya pembagian
mengatakan bahwa kajian Ian Saphiro dalam kekuasaan itu.
Democratic Justice menunjukkan pentingnya me-
Dalam makna “pembongkaran” terhadap
lihat demokrasi sebagai sesuatu yang terkait erat
kekuasaan yang tergenggam oleh satu tangan
dengan dua persoalan penting, yakni partisipasi
inilah, secara fundamental pula, oposisi menjadi

4 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 


bagian tak terpisahkan di dalamnya. Hal ini Oposisi bahkan telah hadir tak lama setelah
terjadi karena merupakan hal yang mustahil jika kemerdekaan, yang ditandai oleh munculnya
membicarakan kekuasaan yang terbagi, tetapi Partai Demokrat-Republik (Democrat-Republic
pada hakikatnya pemangku kekuasaan hanya Party) sebagai partai oposisi. Dengan demikian,
mewakili satu pandangan tanpa ada kekuatan semangat mendasar demokrasi yang menopang
yang mampu mengimbangi dan mengkritisinya. terbentuknya oposisi dapat diterapkan dalam
Dengan perannya sebagai bagian tak terpisahkan sistem mana pun, mengingat pada hakikatnya ke-
dari upaya pembagian kekuasaan, oposisi pada beradaan oposisi terkait erat dengan keberadaan
dasarnya turut memainkan peran penting dalam demokrasi itu sendiri.
menciptakan tatanan politik yang lebih berkema-
nusiaan. b. Fungsi Oposisi dalam Kehidupan
Selain persoalan pembagian kekuasaan, hal Demokrasi
lain yang merupakan akar dari oposisi adalah kon-
Oposisi adalah sebuah fenomena yang terjadi
sep checks and balances. Konsep ini merupakan
dalam berbagai bidang. Oposisi dalam makna
kelanjutan dari ide pembagian kekuasaan dan
umum kerap diartikan sebagai “berseberang­an”
ditumbuhkembangkan pertama kali di Amerika
atau “sesuatu yang memiliki posisi yang tidak
Serikat. Inti dari konsep ini adalah cabang-cabang
sama pada sesuatu yang lain”. Oposisi juga di-
kekuasaan harus dapat saling mengontrol dan
artikan sebagai lawan atau perlawanan terhadap
memberikan perimbangan. Diharapkan, dari
sesuatu (Rooney, 2001, 1020). Dalam konteks
adanya saling kontrol dan menyeimbangkan ini,
politik, sebagian kalangan mengartikan oposisi
tiap-tiap cabang kekuasaan tidak bekerja semata
sebagai bentuk informal dari ketidakbersetujuan
sesuai dengan kepentingannya.
atau kontestasi di antara lembaga-lembaga
Kontrol dan penyeimbangan itu memung- pemangku kekuasaan, sementara oposisi politik
kinkan pihak-pihak yang ada, baik dalam parle- adalah bentuk kontestasi yang terkait atau dijamin
men maupun eksekutif, dapat saling mengenda- dalam konstitusi (Barnard, 1972, 1).
likan dan mengingatkan jalannya pemerintahan
Tentu saja masih banyak definisi oposisi dan
agar tetap sejalan dengan kehendak masyarakat.
secara literal tidaklah sama. Namun, esensi yang
Penyeimbang di dalam cabang ataupun di antara
selalu ada dalam makna oposisi adalah terkait
cabang inilah yang memungkinkan munculnya
dengan sekelompok orang yang berada di luar
oposisi bagi pemerintahan yang tengah berkuasa.
pemerintahan yang secara legal memiliki hak
Menurut Amadigwe (2004), dalam skema pemer-
untuk menyuarakan pendapat dan melakukan
intahan parlementer sekalipun, para menteri harus
aktivitas-aktivitas yang ditujukan untuk melaku-
tetap mempertanggungjawabkan kebijakannya
kan kritik dan kontrol atas sikap, pandangan,
di hadapan parlemen, di mana kelompok oposisi
ataupun kebijakan pemerintah berdasarkan pada
biasanya akan melakukan kritik atas kebijakan
perspektif ideologis, kenyataan empiris, atau
yang diambil itu.
kepentingan tertentu.
Akar-akar oposisi dalam konteks demokrasi
Oposisi dalam konteks kehidupan demokrasi
itu berlaku universal. Artinya, dapat terjadi baik
menurut Dahl (1971) adalah bagian yang tidak
pada sistem parlementer maupun presidensial. Ti-
terpisahkan dan menjadi salah satu fondasi, selain
dak ada pembatasan bahwa sistem peme­rintahan
partisipasi, dari yang disebutnya sebagai polyar-
tertentu lebih memberikan peluang atau mem-
chy (poliarki) atau sebentuk pemerintahan yang
butuhkan oposisi dibanding dengan yang lain.
bernuansakan demokrasi. Dalam konteks politik,
Meski oposisi dalam konteks checks and balances
khususnya dalam kehidupan demokrasi, terdapat
seolah tampak nyata bentuknya dalam sistem
beberapa fungsi utama oposisi. Pertama, sebagai
parlementer, oposisi yang efektif juga terjadi
penyeimbang kekuasaan. Makna penyeimbang
dalam pemerintahan presidensial. Keberadaan
secara substansi dapat berarti adanya kekuatan di
oposisi di Amerika Serikat yang menganut sistem
luar pemerintah yang memberikan alternatif pikir­
presidensial, misalnya, telah demikian kokoh.
an atau sikap dan menyebabkan keseimbangan

Firman Noor | Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: .... | 5


agar pemerintah tidak terlalu jauh dari kepentingan masuk akal ketimbang kebijakan pemerintah.
mayoritas rakyat. Makna utama penyeimbang ini Adanya oposisi akan membuat pemerintah yang
mengingat ada kalanya pemerintah yang terpilih berkuasa “terjaga” dan menyadari ada pihak lain
secara demokratis akhirnya jatuh menjadi peme­ yang bisa saja memberikan tawaran kebijakan
rintahan yang melawan kehendak rakyat. yang lebih baik dan pada gilirannya berpotensi
Pemerintahan Fasisme di Jerman (1939– “mengganggu” citra positif pemerintah di mata
1945), misalnya, terbentuk setelah Partai Nazi masyarakat. Oposisi, oleh karena itu, diperlukan
memenangi pemilu dengan perolehan suara pemerintah sebagai stimulus untuk meningkatkan
yang sebetulnya juga tidak mayoritas mutlak. kinerja dan mempertahankan citra baiknya di
Ketiadaan penyeimbang, dengan kata lain, akan mata masyarakat. Dalam situasi ini, muncullah
berpotensi memunculkan sebuah Leviathan yang situasi kompetisi yang sehat antara pemerintah
tidak terkontrol dan dapat melakukan apa pun dan oposisi menuju perbaikan demi perbaikan.
yang dikehendaki tanpa hambatan yang berarti. Oleh karena itu, jelas bahwa penguatan opo-
Oleh sebab itu, mempertahankan oposisi sama sisi terkait dengan upaya menegakkan kebijakan
dengan mempertahankan demokrasi, mengingat yang sejalan dengan kepentingan rakyat dan
tujuannya adalah agar pemerintah dapat meng- menghindari terjadinya oligarki. Oposisi bukanlah
hasilkan kebijakan-kebijakan serta melakukan sekadar sikap anti-pemerintah atau asal berbeda,
pelaksanaan tugas-tugas negara dan pemerintahan melainkan sebuah eksistensi yang memberikan
dengan lebih baik, yakni sejalan dengan aspirasi kritik dan tawaran alternatif kebijakan dan kon-
dan prinsip kedaulatan rakyat. trol atas penyelenggaraan pemerintahan. Oposisi
adalah “pemihakan rasional” sebagai konsekuensi
Kedua, arti penting oposisi adalah men-
dari pelembagaan kontrol atas kekuasaan (Kamil,
jaga agar alternatif kebijakan dapat disuarakan.
2002, 17–18). Oposisi yang sehat, sebagaimana
Oposisi akan memungkinkan munculnya lebih
yang diyakini Dahl lebih dari empat dekade lalu,
banyak pilihan kebijakan atau alternatif penyem­
singkatnya adalah bagian dan sekaligus cerminan
purnaan atas kebijakan pemerintah. Hal ini
keberadaan demokrasi yang kokoh. Pembahasan
sejalan dengan kenyataan bahwa tidak ada satu
berikutnya akan menunjukkan aspek empiris dari
pun pemerintahan yang tak luput dari kesalahan.
oposisi dan demokrasi di Indonesia.
Pemerintahan yang dipimpin oleh mereka yang
terbaik sekalipun tetap membutuhkan dukungan
tidak langsung dari kelompok oposisi untuk dapat OPOSISI DALAM PERJALANAN
lebih menangkap aspirasi dan kepentingan rakyat. KEHIDUPAN POLITIK BANGSA
Kemandulan oposisi, dengan demikian, adalah
keterbatasan opsi bagi tegaknya aspirasi rakyat a. Era Pra-Reformasi (1945–1998)
yang, manakala berjalan dalam waktu lama, Di masa-masa awal kemerdekaan, oposisi terhadap
dapat memunculkan pembusukan pemerintah pemerintah muncul terutama dari partai-partai
sebagaimana yang terjadi di Myanmar era junta beraliran nasionalis dan Islam, terutama Partai
militer ataupun Indonesia era Orde Baru. Dengan Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Masyumi,
kata lain, oposisi dibutuhkan agar sebuah kebi- dua partai besar yang mewakili dua aliran politik
jakan yang lebih komprehensif dapat tercipta dan tersebut. Hal ini terjadi karena pada masa-masa
kesalahan dapat diminimalkan. itu pemerintahan dipimpin oleh tokoh-tokoh so-
Ketiga, arti penting oposisi lainnya adalah sialis, seperti Perdana Menteri Sutan Syahrir
sebagai stimulus persaingan yang sehat di dan Amir Syarifuddin. Beberapa kebijakan yang
antara para elite politik dan pemerintahan. menjadi sumber perlawanan oposisi adalah
Sebuah pemerintahan akan mengalami stagnasi, sejumlah perjanjian dengan Belanda yang dirasa
bahkan kemunduran, bila tidak mendapatkan menguntungkan pihak penjajah. Namun, secara
tantangan dari pihak-pihak yang kompeten dan umum, oposisi yang terjadi lebih mencerminkan
mampu menunjukkan kepada masyarakat tentang kompleksitas lantaran banyak menteri, baik pada
adanya kebijakan-kebijakan lain yang lebih masa pemerintahan Syahrir, Syarifuddin, maupun

6 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 


Hatta yang juga berasal dari dua partai besar terse- tahap awal dan belum meluas, kesadaran bahwa
but, bahkan para menteri dari Masyumi, dikenal sebuah pemerintahan harus memiliki partner
sebagai pembela kebijakan pemerintah yang gigih. kritis di luar pemerintahan bukanlah sesuatu
Sejak 1951, peran pemerintah dan oposisi yang asing untuk dipraktikkan. Sesuatu yang
terutama dilakukan oleh dua partai besar, yakni memperlihatkan adanya semacam akselerasi
PNI dan Masyumi. Manakala PNI membentuk budaya politik oposisi dalam kehidupan politik
pemerintahan, Masyumi akan menjadi motor bangsa saat itu.
oposisi di parlemen, dan begitu pula sebaliknya. Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959–
Dasar ideologi yang tidak terjembatani di antara 1966), oposisi tidak lagi eksis atau setidaknya
dua partai itu serta kesetiaan terhadap partai bergerak secara amat terselubung. Tiga partai
yang demikian tinggi adalah landasan pertikaian dengan kecenderungan bersikap kritis terhadap
dan persaingan di antara keduanya. Selain itu, Presiden Soekarno, yakni Masyumi, PSI, dan
perbedaan sudut pandang dalam prioritas kebi- Partai Musyawarah Rakyat (Murba), dibubarkan.
jakan—yang dengan cukup baik digambarkan Tidak itu saja, Soekarno juga mereduksi jumlah
oleh Herbert Feith, yakni antara solidarity partai menjadi 10 saja8, yang secara umum di-
maker (PNI, kalangan nasionalis, dan sebagian mandulkan perannya. Soekarno juga memastikan
kelompok komunis) versus administrator (Ma- bahwa para pemimpin partai yang “dibiarkan
syumi, PSI, Parkindo, dan Partai Katolik) —juga hidup” itu adalah mereka yang mau diajak kerja
menjadi pemicunya (Feith, 1968; Lucius, 2003). sama. Soekarno sendiri membangun rezim oto-
Meski demikian, hubungan oposisi dengan riternya dengan nama “Demokrasi Terpimpin”.
pemerintah pada 1950-an sekali lagi cukup kom- Dalam upaya membangun rezim itu, Soekarno
pleks karena, dalam kabinet yang dipimpin oleh mengedepankan ide-ide antidemokrasi, seperti
Sukiman, Wilopo, Ali, ataupun Burhanuddin, kuburkan partai-partai atau ide bahwa demokrasi
kedua partai tersebut menempatkan kader-kader­ tidak cocok dengan karakter bangsa. Soekarno
nya dalam pemerintah meski berstatus oposisi meyakini bahwa demokrasi parlementer yang
dalam parlemen. Dengan kata lain, oposisi tidak selama ini dipraktikkan tidak tepat bagi bangsa
menyebabkan partai tidak memiliki wakilnya Indonesia. Lebih dari itu, Soekarno meyakini
dalam pemerintahan. Barulah pada era pemerintah bahwa sistem demokrasi liberal tidak mampu
Ali II dan seterusnya Masyumi sama sekali tidak menawarkan stabilitas politik yang dibutuhkan
mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan oleh bangsa. Dengan dukungan kalangan militer,
dan menjadi “murni oposisi”. Lebih dari itu, situasi darurat militer pun diberlakukan. Siapa pun
sebagai negara yang baru belajar berdemokrasi, yang dianggap anti-Soekarno atau dinilai kontra-
oposisi tidak selamanya berhasil diperankan revolusi segera saja ditahan, termasuk mantan PM
dengan baik. Semangat “asal beda dengan peme­ Sutan Syahrir. Dapat dikatakan pada masa inilah
rintah”, misalnya, juga terlihat pada masa-masa akar-akar oposisi dicabut paksa oleh negara.
ini. Penolakan PNI, sebagai pihak oposisi, atas
Situasi pada Orde Baru (1966–1998) tidak
ratifikasi Pembatalan Uni Indonesia-Belanda
menunjukkan perbedaan yang berarti. Pada
yang dilakukan oleh pemerintahan Burhanuddin
awalnya, pemerintahan baru ini tampak akan
Harahap (Masyumi), misalnya, adalah sebuah
memberikan harapan besar bagi tegaknya
keanehan, mengingat draf ratifikasi yang disusun
demokrasi. Tidak sedikit kalangan kritis, ma-
saat pemerintahan Ali Sastroamidjojo (PNI) itu
hasiswa, cendekiawan, juga tokoh aktivis sosial
tidak pernah dipermasalahkan oleh PNI sebelum-
prodemokrasi awalnya bersemangat mendukung
nya (Saidi, 1993, 2).
Terlepas dari segenap kelemahan dan 8
Kesepuluh partai itu adalah: (1) Partai Nasional Indo-
kekurangannya, laku oposisi dilaksanakan oleh nesia, (2) Partai Nahdlatul Ulama, (3) Partai Komunis
Indonesia, (4) Partai Syarikat Islam Indonesia, (5) Ikatan
para politikus saat itu yang pada umumnya me- Pendukung Kemerdekaan Indonesia, (6) Pergerakan Tar-
mahami benar akan hakikat demokrasi. Meski biyah Islamiyah, (7) Partai Kristen Indonesia, (8) Partai
secara umum budaya beroposisi masih dalam Katolik, (9) Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan
Indonesia, dan (10) Partai Indonesia.

Firman Noor | Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: .... | 7


kepemimpinan Soeharto (Budiman, 2001, tidak solid. Secara umum, oposisi tercerai-berai,
31–32). Namun, kenyataan kemudian memper- terabaikan haknya, dan tentu saja tidak seimbang
lihatkan bahwa tidak lama setelah rezim Orde dengan penguasa (Kroef, 1977, 109–125; Uhlin,
Baru berdiri, Soeharto melakukan pemberangu- 1998, 89–173; Tanter & Young, 1993, 1–18).
san sistematis terhadap kalangan oposisi atau Secara umum, keberadaan dan pembangunan
mereka yang berpotensi menjadi oposisi. Hal itu oposisi pada masa ini berada pada titik nadir,
dilakukan, baik kepada partai politik maupun ka- sejalan dengan pudarnya kehidupan demokrasi
langan non-parpol. Dalam konteks parpol, sama di Indonesia.
dengan Soekarno, rezim Orde Baru melakukan
seleksi kepemimpinan parpol. Banyak pihak yang b. Era Reformasi
dipandang akan berpotensi berseberangan dengan Di era reformasi, demokrasi kembali ditegak-
rezim disingkirkan. Kasus ini terjadi pada partai kan. Kebebasan berpendapat menemukan lagi
seperti PNI, Parmusi, dan PSII. Tidak hanya momentumnya. Berbagai penghargaan diterima
itu, rezim juga menyetujui aksi kekerasan untuk oleh pemerintah Indonesia dalam kaitan dengan
menundukkan kelompok yang berseberangan kualitas demokrasi yang sedang berlangsung.
dengan pemerintah. Pendudukan kantor PSII Masyarakat pun tidak lagi merasakan tekanan
pada 1973 (Subekti, 2014) ataupun penyerbuan dari pemerintah, bahkan relatif bebas mengkritik
DPP PDI pada 1996 mencerminkan kondisi ini. pemerintah. Kebebasan mendirikan lembaga-
Tidak berhenti pada hal tersebut, rezim Orde lembaga demokrasi, termasuk pers dan partai
Baru juga melakukan langkah-langkah seperti politik, demikian menguat. Situasi di Indonesia
memasung ideologi, memotong hubungan partai membuktikan bahwa demokrasi dengan sistem
politik dengan akar rumput melalui kebijakan presidensial dan banyak partai tetap mampu
“massa mengambang”, dan memanipulasi pemilu. menciptakan stabilitas politik.
Kegiatan penyelidikan kehidupan personal melalui Kehidupan demokrasi, tidak dapat dimungkiri,
penelitian khusus diberlakukan di seluruh lembaga telah jauh lebih baik bahkan mendapatkan pujian
negara dan pemerintahan, termasuk DPR. Oposisi dari banyak negara dan organisasi internasional,
dalam konteks nonpartai pun dibungkam. Me­ termasuk misalnya oleh International Association
reka yang bersikap antipemerintah akan dituduh of Political Consultant (IAPC), sebuah lembaga
mengganggu jalannya pembangunan. Rezim prestisius yang kerap memberikan medali peng-
juga melakukan tindakan pencekalan terhadap hargaan untuk negara yang dipandang berhasil
tokoh-tokoh yang tergabung dalam Petisi 50 dalam pelaksanaan demokrasi. Namun, meskipun
hanya karena mereka mencoba mengingatkan Indonesia diakui sebagai negara demokratis, bah-
Soeharto agar lebih konsisten berdemokrasi dan kan yang terbesar ketiga di dunia setelah India dan
tidak menafsirkan Pancasila secara sepihak. Saat Amerika Serikat, kehidupan oposisi belum hadir
kekuasaan Soeharto semakin menggurita dan pada taraf yang menggembirakan. Legasi dari
personal, mereka yang dianggap kritis terhadap sistem politik masa lalu yang bercirikan lemahnya
Keluarga Cendana juga dihabisi kariernya. Hingga oposisi tampak masih terasa.
akhir kehidupannya, rezim ini identik dengan
Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrah-
kesungguhan memasung para oposan dan tidak
man Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnopu-
segan untuk “menghilangkannya”.
tri (1999–2004), oposisi tidak terlalu bermakna,
Demikianlah kedua rezim Orde Lama dan mengingat seluruh potensi kekuatan politik
Orde Baru secara berkesadaran melakukan pem- nasional terserap dalam pemerintahan. Pada masa
berangusan terhadap (potensi) oposisi. Pada masa pemerintahan Gus Dur, seluruh partai besar dan
ini, tentu saja oposisi tetap ada. Denyut nadinya menengah (PDIP, Partai Golkar, PAN, PKB,
lebih terasa justru di luar pemerintahan. Meski PPP, PBB, PKS, dan PKP) mendapatkan posisi
mampu bergerak, kalangan oposisi dari berbagai dalam kabinet yang dipimpinnya bersama dengan
kelompok, baik yang cenderung mengandalkan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
ketokohan maupun jaringan kritis, sayangnya DPR praktis berisi partai-partai yang mayoritas

8 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 


memiliki jabatan dalam pemerintahan. Hanya bermakna dan kelompok-kelompok yang ber-
baru saat Gus Dur mengganti beberapa menteri potensi memainkan peran oposisi justru terserap
(yang notabene adalah tokoh-tokoh utama partai dalam pemerintahan (Ambardi, 2009). Meski
koalisi) dengan teman-teman dekatnya, tanpa sebagian kalangan tidak melihat hal itu sebagai
melakukan konsultasi yang mendalam, partai- murni sebuah pemerintahan kartel (Mietzner,
partai mulai melakukan perlawanan. 2013), kenyataan menunjukkan bahwa oposisi
Beberapa soal lain dijadikan alasan untuk tidak berjalan efektif dan potensinya cenderung
melawan, seperti penyalahgunaan dana bantuan terserap dalam pemerintahan, dan hal ini tidak
Sultan Brunei dan Bulog (yang tidak cukup terelakkan. Partai-partai cenderung berkerumun
terbukti secara hukum) serta yang paling krusial mendekat kepada SBY dan membangun sebuah
adalah saat Gus Dur membubarkan parlemen pemerintahan yang jauh dari semangat checks
secara sepihak. Namun, perlawanan yang ber­ and balances.
ujung pada impeachment itu secara kronologis Meski saat ini ada sedikit peningkatan
dan substantif tidak dapat dilepaskan dari soal kualitas oposisi, terutama di awal pemerintahan
respons atas pergantian atau reshuffle dan bukan Jokowi—dan kenyataan masih ada partai yang
dalam spirit oposisi sebagaimana yang biasa tegas menyatakan berada di luar pemerintahan,
terjadi pada negara-negara demokrasi yang ma- seperti Gerindra dan PKS—fenomena opo-
pan. Perlawanan, dengan kata lain, tidak akan sisi saat ini dalam perkembangannya cenderung
terjadi jika Gus Dur tidak melakukan manuver memperlihatkan sebuah kelanjutan pola lama
kontroversialnya. Terbukti kemudian Megawati hubungan pemerintahan dengan oposisi. Fungsi
dapat menyelesaikan masa tugasnya dengan se- oposisi, yang sebenarnya dapat diperankan oleh
lamat sebagai pengganti Gus Dur karena tidak KMP secara maksimal, justru memperlihatkan
melakukan manuver yang merugikan partai-partai fenomena oposisi yang bersifat terbatas dan tidak
pendukungnya. cukup efektif.
Pada situasi kontemporer, bergabungnya Kondisi semacam ini tampak mirip dan
beberapa partai pendukung Koalisi Merah Putih menunjukkan sebuah warisan masa lalu, terutama
(KMP) ke dalam jajaran pemerintahan menjadi dari era Orde Baru (Bunte & Ufen, 2009, 9–12),
salah satu bukti situasi beroposisi yang secara yakni oposisi pada akhirnya cenderung tercerai-
substansi juga masih lemah. Partai-partai yang berai dan tampak kehilangan posisi. Namun,
awalnya menyatakan diri beroposisi dengan sementara dulu hal tersebut lebih dipengaruhi
pemerintah, bahkan menjadi pesaing koalisi oleh tekanan rezim, pada saat ini perilaku elite
pemerintah pada saat pemilihan presiden, dengan partailah yang berperan dalam melemahkan
mudah berubah arah mendeklarasikan diri sebagai kedudukan oposisi sebagai efek pilihan pragmatis
loyalis pemerintah, sebagaimana yang dilakukan mereka untuk selalu mendekat dan berada dalam
oleh PAN, PPP, dan Golkar. Partai-partai pem- lingkar kekuasaan. Di samping itu, jika dibanding
bentuk KMP memang tidak menyatakan mem- dengan demokrasi di negara-negara Barat atau
bubarkan diri, tetapi keberadaannya kini lebih kehidupan politik nasional era 1950-an, peran
sebagai ajang silaturahmi yang bernuansa nos- besar para elite atau oligarki juga menunjuk-
talgia ketimbang sebuah kekuatan oposisi yang kan lemahnya peran ideologi dalam kehidupan
solid, konsisten, dan efektif. Terlihat, misalnya, internal partai saat ini, yang kemudian berimbas
pada saat KMP berkumpul kembali pada akhir pada perilaku politiknya.
Maret 2016, mereka tetap menegaskan sebagai Kondisi ini diperburuk oleh pemahaman
kelompok yang setia mendukung pemerintah. dari banyak elite atau tokoh berpengaruh partai
Uniknya, pada era pemerintahan SBY yang juga masih melihat oposisi sebagai sesuatu
(2004–2014), meski dalam bentuk berbeda, yang tidak relevan dengan kehidupan politik saat
secara substansi memperlihatkan gelagat yang ini. Mereka menyatakan hal itu dengan berbagai
sama. Pada masa itu, muncul pola “politik alasan, seperti tidak sesuai dengan karakter
kartel”, yakni ketika oposisi tidak banyak bangsa, tidak dikenal dalam sistem presidensial,

Firman Noor | Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: .... | 9


atau tidak sejalan dengan idealisme partainya. terutama dalam konteks politik. Langkah ini
Maimun Zubair, tokoh kharismatis PPP, misalnya, meliputi pembenahan di level masyarakat, yang
menafsirkan oposisi sebagai pihak yang hanya terutama penting, mengingat peran strategis
mencari kesalahan (Gatra, 2014, 23). dukungan dan makna dari partisipasi politik itu
Selain itu, cukup jelas terlihat bahwa sendiri. Lalu, perbaikan di level partai politik,
hingga kini oposisi yang terlembaga masih belum yang terkait dengan perannya yang bersifat
mendapat dukungan kuat dari kalangan masyarakat. langsung dalam pemerintahan.
Konsep oposisi tidak terlalu mengakar atau kurang
mendapat dukungan masyarakat, terutama karena
a. Memperbaiki Persepsi, Membangun
pemahaman oposisi yang tidak tepat. Dengan Kesadaran, dan Menguatkan
minimnya dukungan ini, oposisi di era reformasi Komitmen
tampak berada dalam posisi yang gamang dan Salah satu “cerita sukses” Orde Baru dan Orde
justru terlihat terkucilkan dari opini yang berkem- Lama adalah mampu mempersepsikan bahwa
bang di masyarakat tentang pemerintah, yang menjadi oposisi adalah sebuah kesalahan. Opo-
kerap dimanipulasi oleh pemerintah itu sendiri. sisi dianggap pula sebagai mereka yang telah
Namun, tidak semua kalangan kemudian menarik terpengaruh oleh pandangan politik liberal yang
diri dari posisi oposisi. Beberapa kalangan, seperti pro-individualisme, bahkan antek kekuasaan
media massa, cerdik cendekiawan, aktivis LSM, asing. Oposisi juga disamakan dengan mere­
dan beberapa kader partai, tetap menunjukkan k­­a­yang telah tercerabut dari akar dan jati diri
sikap perlawanan terhadap pemerintahan. Meski bangsa. Citra oposisi sebagai sesuatu yang buruk
demikian, hingga hampir dua dekade berjalannya ditumbuhkembangkan secara sistematis pada dua
reformasi, terutama di masa-masa pemerintahan pemerintahan itu. Pada masa Orde Lama, oposisi
SBY, peran oposisi lebih dimainkan oleh kalangan dicitrakan sebagai kontra-revolusi dan sesuatu
nonpartai dan ekstra-parlementer, yang sayangnya yang tidak natural atau kerap disampaikan dengan
bersifat sporadis dan tidak benar-benar dapat di- istilah “ditanam” oleh kekuatan asing (Pratignyo,
jadikan barometer kontrol terhadap pemerintahan 1983, 24–32). Sementara oposisi di era Orde
yang efektif. Baru distigmakan sebagai anti-Pancasila, anti-
Dampaknya, alih-alih menjadi ranah bagi Pembangunan, atau kalangan ekstrem.
kehidupan demokrasi yang sehat, Indonesia saat Selain pencitraan negatif, ada dua isu besar
ini justru terjebak dalam praktik oligarki yang yang kerap diembuskan terkait dengan pengem-
masih menempatkan kepentingan sedikit orang bangan praktik oposisi dalam alam demokrasi.
di atas kepentingan rakyat banyak. Kebijakan Pertama, oposisi hanya akan menimbulkan
pemerintah untuk rakyat kerap tersandera atau ketidakstabilan karena pada akhirnya oposisi
dimanipulasi oleh kepentingan-kepentingan hanya akan menyebabkan pemerintah tidak dapat
sekelompok orang yang dekat dengan kekuasaan berjalan sebagaimana mestinya. Kedua, dengan
(Sabri, 2012). Demokrasi yang cenderung artifi- kondisi itu, berarti oposisi hanya akan menyebab-
sial, dengan demikian, adalah hasil yang dituai kan pembangunan melambat dan kesejahteraan
oleh situasi pemerintahan tanpa oposisi yang bangsa tak tercapai.
efektif itu. Kedua isu tersebut tentu saja tidak memiliki
dasar empiris yang memadai karena, misalnya,
LANGKAH-LANGKAH dari 14 negara paling stabil (sustainable) di dunia
PEMBANGUNAN OPOSISI dewasa ini, 13 negara menggunakan sistem par-
Pembahasan di atas mengisyaratkan belum kuat- lementer dan hanya satu negara, yakni Portugal,
nya keberadaan oposisi di Indonesia. Untuk itu, yang menggunakan sistem semi-presidensial9.
membangun oposisi adalah sesuatu yang amat 9
Negara paling stabil (sustainable) ialah negara-negara
diperlukan. Bagian selanjutnya akan membahas yang berada pada posisi di atas negara-negara stabil.
Urutan ke-14 negara paling stabil itu adalah (1) Swedia
upaya-upaya yang harus dikembangkan dan
(20,2); (2) Norwegia (20,8); (3) Denmark (21,5); (4)
dilakukan dalam upaya membangun oposisi, Luxemburg (22,2); (5) Swiss (22,3); (6) Selandia Baru

10 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 


Padahal, pada sistem parlementer, oposisi justru political broker di sebagian besar masyarakat.
difasilitasi, terlembaga, dan lebih dari itu hampir Dalam nuansa politik yang masih mengandalkan
sama kuatnya dengan pemerintah. Sementara patronase politik, yang sayangnya kerap dikuasai
dalam konteks penciptaan kesejahteraan, ter- oleh para elite birokrasi (birokrat) atau pemilik
lihat bahwa dari 15 negara paling sejahtera di modal (saudagar), benih-benih beroposisi dika-
muka bumi saat ini, hanya satu yang menggu- caukan oleh berubah-ubahnya sikap dan orientasi
nakan sistem presidensial, yaitu Amerika Serikat, patron terhadap penguasa. Peran kaum oligarkh
sedang­kan sisanya menggunakan sistem parle- ataupun elite sebagaimana yang telah disebutkan
menter (The Legatum Prosperity Index, 2015). di awal tulisan ini telah demikian mewarnai
Hal yang perlu dicatat adalah Amerika Serikat kehidupan politik, baik langsung maupun tidak,
pun merupakan negara yang memiliki tradisi di hampir semua level masyarakat.
oposisi yang amat kuat10. Pandangan salah kaprah Pada masyarakat perkotaan, dengan ke-
di atas sayangnya telah telanjur cukup tertanam mapanan ekonomi dan kemandirian politiknya,
di masyarakat, yang pada akhirnya membuat peran patron mungkin tidak seluas di masyarakat
pemikiran yang mengaitkan oposisi dengan hal- pedesaan. Namun, uniknya, masyarakat perkotaan
hal negatif tersebut dapat dengan mudah diterima juga tidak melihat keberadaan dan laku oposisi
oleh masyarakat. sebagai sebuah kebutuhan yang mendesak. Meski
Selain masalah persepsi negatif, penghar- masyarakat kota dapat lebih bebas memilih se­
gaan terhadap oposisi dan berkomitmen atasnya suai dengan rasionalitasnya, hal itu tidak berarti
terhalangi atau mendapat tantangan dengan mereka kemudian akan bersedia dan berkomit-
kuatnya sikap pragmatisme dalam berpolitik. men mengawal pemerintahan berdasarkan pada
Pragmatisme ini menyebabkan komitmen rasionalitasnya itu setelah pelaksanaan pemilihan.
beroposisi dapat dengan mudah mencair atau ter- Hal yang terjadi adalah jika tidak merasa puas
beli ketika berhadapan dengan tawaran-tawaran terhadap rezim, masyarakat kota akan kembali
politik yang menggiurkan. Komitmen beroposisi disibukkan oleh pemenuhan kebutuhan asasinya
menjadi sulit terbangun juga karena masyarakat dan melihat segenap bentuk kelemahan publik
pada umumnya belum cukup mampu memperta­ sebagai sesuatu yang “biasa terjadi” tanpa perlu
hankan kemandiriannya, terutama terkait dengan menawarkan solusi, apalagi memperjuangkan-
persoalan ekonomi. Dalam hal ini, mungkin saja nya. Apa yang terjadi di kalangan perkotaan itu
masyarakat telah memiliki pandangan yang jauh menunjukkan bagaimana mindset dan mentalitas
lebih baik mengenai pentingnya beroposisi. oposisi yang telah ditumpulkan oleh rezim-rezim
Namun, ketidakberdayaan ekonomi membuat di sepanjang jalan sejarah bangsa menuai hasil.
mereka tidak memiliki pilihan selain berdamai Lepas dari itu, secara umum, dalam kondisi
dengan penguasa atau setidaknya mengurangi ekonomi yang masih belum mampu menopang
sikap kritis. Lemahnya kemandirian menye- terbentuknya kemandirian politik, ditambah
babkan upaya untuk beroposisi dapat mudah pola politik pragmatis dan masih kuatnya
diredam oleh pihak-pihak yang berkepentingan kecenderungan ketergantungan pada patron,
atas meredupnya semangat oposisi. keberadaan oposisi jelas sulit berkiprah dengan
Hal lain yang juga menjadi persoalan dalam baik. Dengan dua persoalan utama, yakni (1)
membangun konsistensi dalam beroposisi adalah persepsi yang tidak tepat atas oposisi dan (2)
masih adanya ketergantungan pada patron atau lemahnya kemandirian politik, pembenahan
oposisi sesungguhnya patut diarahkan ke kedua
(22,6); (7) Islandia (23,4); (8) Australia (24,3); (9)
Irlandia (24,7); (10) Kanada (25,7); (11) Austria (26,0);
persoalan tersebut. Berkaitan dengan persepsi,
(12) Belanda (26,8); (13) Jerman (28,1); dan (14) diperlukan perluasan pemahaman yang tepat
Portugal (28,7). melalui berbagai jaringan dan institusi. Pendi-
Ke-15 negara itu adalah (1) Norwegia, (2) Swiss, (3)
10
dikan politik tentang pembangunan demokrasi
Denmark, (4) Selandia Baru, (5) Swedia, (6) Kanada,
dan peran krusial oposisi, yang terutama terkait
(7) Australia, (8) Belanda, (9) Finlandia, (10) Irlandia,
(11) Amerika Serikat, (12) Islandia, (13) Luxemburg, dengan hak dan kewajiban warga negara untuk
(14) Jerman, dan (15) Inggris.

Firman Noor | Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: .... | 11


berpartisipasi politik (termasuk melakukan kritik sebuah ketidaksolidan, melainkan sebuah upaya
terhadap penguasa), patut menjadi agenda penting makin menguatkan perbaikan dengan berbagai
lembaga-lembaga formal ataupun nonformal itu. alternatif solusi. Adanya pemahaman yang
Dalam konteks ini pula lembaga seperti pergu- tepat pula akan membuat masyarakat dengan
ruan tinggi, lembaga-lembaga penyadaran politik, sendirinya memberikan dukungan yang lebih
baik milik publik maupun swadaya masyarakat, ekspresif dan bermakna terhadap langkah atau
menjadi penting adanya. kebijakan pemerintah ataupun elite politik yang
Selain itu, media massa dapat berperan dianggap merugikan kepentingannya.
di dalamnya dengan, misalnya, memberikan Adapun ihwal penguatan kemandirian
dukung­an dan penghargaan terhadap kekuatan politik, hal ini pada akhirnya berhubungan erat
oposisi. Media massa juga harus memberikan ru- dengan taraf hidup masyarakat. Sebuah masyara-
ang yang sama dan dorongan yang signifikan ke- kat, jika ekonominya kuat, komitmen tidak akan
pada kalangan kritis yang berseberangan dengan mudah terbeli karena mereka dapat menetapkan
pemerintah. Harus diakui bahwa saat ini masih dan mempertahankan pilihan politiknya secara
banyak media massa yang memihak, baik atas mandiri. Sudah menjadi rumusan lama, terutama
dasar kesamaan ideologis maupun kepentingan bagi para penganut pendekatan modernisme dan
atau karena faktor lain yang bersifat simbiosis developmentalisme, bahwa penguatan ekonomi
mutualisme atau bahkan kolutif. Apa pun penye- akan mengarah ke modernisasi politik, yang
babnya, sejauh hal ini masih menggejala, maka dalam hal ini salah satunya ditandai oleh par-
upaya membesarkan dan membangun oposisi tisipasi yang rasional dan mandiri dari warga
akan terus mengalami tantangan serius. Oleh negaranya.
karena itu, sudah sepatutnya ada daya dorong bagi
Sehubungan dengan hal itu, peran berbagai
media massa, baik dari dalam (otokritik) maupun
pihak yang terkait dalam upaya pemberdayaan
dari luar, untuk menyadarkan peran hakiki mer-
masyarakat ini, termasuk pemerintah dan stake-
eka sebagai pilar keempat dari demokrasi. Dalam
holders, menjadi penting adanya. Pemerintah
posisi itu, media massa bukan diabdikan untuk
dan pihak-pihak terkait bertanggung jawab
sekadar “yang penting sama” atau “yang penting
menumbuhkan dan menguatkan oposisi dengan
beda” dengan penguasa, melainkan dapat turut
membangun kemandirian masyarakat itu. Adanya
melakukan kontrol atas jalannya pemerintahan
langkah-langkah pemandirian masyarakat ini
dengan mengedepankan rasionalitas objektif
diharapkan membuat masyarakat di kemudian
dan komitmen memperjuangkan aspirasi atau
hari dapat lebih leluasa dan bertanggung jawab
kedaulatan rakyat secara maksimal.
dalam mengekspresikan aspirasi dan aktivitas
Di samping itu, di tengah masyarakat sendiri, politiknya. Tegaknya kemandirian ini juga akan
sudah saatnya makin ditumbuhkan gerakan kede- menopang upaya-upaya menguatkan praktik
wasaan politik untuk bersedia melakukan pem- beroposisi yang berorientasi menciptakan
biasaan dan penghargaan terhadap perbedaan, peme­rintahan yang dapat berjalan dengan lebih
toleransi, dan sikap bertanggung jawab atau per- maksimal dan memberikan banyak keuntungan
bedaan ataupun eksistensi kelompok-kelompok terhadap mereka sehingga dapat lebih berkem-
alternatif. Perbedaan politik bukanlah cerminan bang di masyarakat (Liddle, 2014, 77).

Penguatan Kemandirian Penguatan Oposisi Pemahaman/ Pendidikan


Kesejahteraan Berpolitik Kesadaran Politik

Gambar 1. Skema Langkah Penguatan Oposisi di Level Masyarakat/Non-Partai

12 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 


b. Penguatan Kondisi Internal Parpol partai dalam mengambil kebijakan ataupun
menentukan pilihan-pilihan politik. Sayangnya,
Kesadaran untuk menguatkan kembali peran
pemantapan ideologi saat ini masih menjadi
oposisi dalam tatanan masyarakat tidak akan ba­
persoalan pada sebagian besar partai di Indonesia.
nyak berarti jika dalam tatanan political society,
Sejauh ini, kebanyakan partai masih digerakkan
dalam hal ini diwakili oleh partai politik, juga
oleh kepentingan oligarkis dan elite tertentu.
tidak tergarap dengan baik. Hal ini terjadi karena
pada akhirnya parpol adalah institusi yang terkait Di tangan para elite itulah landasan kebijakan
langsung dengan pembentukan oposisi dalam dan keberpihakan politik partai ditentukan. Say-
pemerintahan. Sehubungan dengan parpol maka angnya, elite partai tidak selamanya digerak­kan
pembenahan laku beroposisi pada prinsipnya oleh idealisme atau komitmen ideologi, tetapi
adalah penguatan (kondisi) parpol itu sendiri, oleh kepentingan eksklusif untuk selalu berada
yang melibatkan tiga persoalan utama, yakni (1) dalam lingkaran kekuasaan, baik pada level
pemantapan ideologi, (2) pelaksanaan kaderisasi, nasional maupun lokal. Dalam nuansa seper­ti
dan (3) kemandirian partai. ini, transaksi politik yang bersifat pragmatis
Berkaitan dengan persoalan pertama, dapat kerap lebih dikedepankan. Akibatnya, komitmen
dilihat bahwa hal yang memungkinkan oposisi beroposisi demikian cair atau kerap berantakan di
tumbuh kuat, selain tingginya kesadaran berde- tengah jalan. Di sisi lain, bagi partai-partai yang
mokrasi, adalah adanya keyakinan atas ideologi. tengah memerintah, lemahnya keyakinan ideologi
Pada kasus negara-negara demokratis yang sudah menyebabkan mereka tidak cukup percaya diri
solid, terlihat warna ideologis antara mereka yang untuk dapat menjalankan pemerintahan berdasar-
memerintah dan yang mengambil peran oposisi kan pada ideologinya. Akibatnya, alih-alih tetap
tampak jelas berbeda. Perbedaan itu berlanjut mencoba konsisten dengan keyakinan politiknya,
hingga waktu yang lama tanpa kemudian terlihat pemerintah justru sibuk untuk mematikan potensi
keinginan melebur menjadi satu kelompok. oposisi, terutama di masa-masa awal pemerin-
tahannya.
Peleburan atau koalisi cenderung terjadi
pada partai-partai yang memiliki kedekatan Pada masa datang, partai-partai di Indonesia
ideo­logi dengan membentuk sebuah kaukus untuk harus lebih bersungguh-sungguh membangun
menguatkan bargaining position terhadap pihak ideologi dan menempatkannya sebagai basis
lawan. Pertarungan antara kelompok sosialis atau penjuru bagi tawaran-tawaran kebijakan
(kiri) dan gaullist (kanan) di Prancis, misalnya, ideal. Oleh sebab itu, harus diperjuangkan,
selalu terjadi dan mewarnai konstelasi politik baik di dalam maupun di luar pemerintahan.
sejak republik kelima berdiri. Pola yang sama Penegakan komitmen ideologis semacam ini
hampir mewarnai seluruh negara Barat. Tidak dapat dimulai pada kesadaran untuk menemukan
mengherankan bila kehidupan politik di negara- dan memantapkan kembali arah ideologi partai
negara tersebut dipenuhi oleh sikap tiap-tiap kubu dan menyosialisasinya secara sistematis kepada
yang sering kali berbeda amat tajam. Dengan per- seluruh kader melalui kepengurusan, jaringan
bedaan ini, kedudukan politik sebuah partai tidak partai, dan kursus-kursus ideologi partai. Setiap
mudah bergeser, termasuk saat berperan menjadi kepengurusan, misalnya, harus melakukan kursus
oposisi. Di sinilah arti pembagian ideologi “kiri” atau training ideologi kepada seluruh kadernya di
dan “kanan” dengan segenap varian di dalamnya setiap tingkatan, dari yang paling rendah (level
bermakna. ranting) hingga pusat. Jenjang karier kader pun
sedikit-banyak harus ditentukan oleh pemahaman
Hal ini mengindikasikan bahwa peran dan komitmen mereka terhadap ideologi.
menjadi oposisi dapat terlaksana dengan baik
manakala partai mampu membangun basis Selain penguatan peran ideologi, kaderi-
ideologi yang kokoh dan mempraktikkannya. sasi adalah hal lain yang harus dibangun secara
Ideologi tidak semata bersifat simbolis, tetapi sistematis. Melalui kaderisasi yang sistematis,
juga mampu menjadi sumber inspirasi yang para kader akan memahami jati diri partainya,
menggerakkan para kader dan menjadi landasan termasuk tujuan partainya. Secara umum, ka-

Firman Noor | Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: .... | 13


derisasi berkaitan dengan pemantapan kesadaran Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya,
bahwa hakikat keberadaan kader adalah sebagai yakni komitmen untuk berada di luar pemerin-
fungsionaris atau “alat partai” yang dituntut untuk tahan dan menjadi oposisi yang paripurna atau
terus memberikan kebaikan kepada partai dan total membutuhkan kemandirian yang juga total.
masyarakat. Oleh karena itu, berbagai langkah Apabila partai masih terikat pada pemerintah,
dan kebijakan yang dirasa menjauhkan partai dari baik karena kepentingan patron maupun kebutuh­
semangat ini akan ditinggalkan. an yang memaksanya terikat, peran oposisi akan
Melalui kaderisasi ini pula kader akan tidak banyak bermakna. Hal ini berarti partai
ditempa kesadaran kolektifnya, yakni sebagai harus dapat mengokohkan kemandiriannya de­
bagian dari sebuah komunitas yang berkhidmat ngan memiliki sumber-sumber kekuatan finan-
pada sebuah nilai-nilai (values) dan tujuan atau sial sendiri. Menurut Mietzner (2014, 99–116),
idealisme bersama. Dengan kuatnya pemahaman kegagalan dalam soal mendanai kehidupan partai
ini, kader tidak mudah digerakkan oleh kepenting­ secara benar inilah sumber utama munculnya
an pragmatis yang bersifat sesaat ataupun yang praktik politik yang menyimpang dari demokrasi
bersifat pribadi. saat ini.

Kaitan kaderisasi dengan oposisi adalah Salah satu upaya yang dapat dilakukan
jelas bahwa, manakala pemerintahan yang ter- adalah negara memberikan dana yang mema-
bentuk tidak mewakili kepentingan atau aspirasi dai untuk dikelola oleh partai dengan prinsip
ideologis partai, dengan sendirinya partai akan dilakukan melalui transparansi yang tinggi dan
mengambil posisi di luar pemerintahan. Partai pertanggungjawaban atau kontrol yang tanpa
tidak akan mudah tergoda untuk bergabung ke kompromi. Pelanggaran atau penyalahgunaan
dalam pemerintahan hanya demi kepentingan dana itu dapat dikenai sanksi yang amat berat,
yang bersifat material atau pragmatis semata. termasuk pembatalan keikutsertaan dalam pemilu.
Menempatkan diri sebagai bagian dari oposisi Rasionalitasnya adalah membiarkan partai meng­
akan bersifat otomatis saja dan dilandasi oleh umpulkan dana tanpa bantuan pemerintah akan
kesadaran penuh yang setara antara elite dan menyebabkan partai, cepat atau lambat, dikuasai
kader biasa. Di sisi lain, partai akan ditinggalkan oleh pemberi sumbangan terbesar yang dapat
apabila logika nonideologis ternyata menjadi menjadikan partai sebagai kendaraan politik dan
alasan utama yang diambil dalam menentukan pada akhirnya menguatkan oligarki internal. Ke-
posisi politiknya di hadapan pemerintah. mandirian partai akhirnya bergantung atau terbeli
pada kepentingan pemberi sumbangan terbesar
Untuk mendorong dan turut menguatkan
itu. Manakala sang penyumbang menginginkan
pembangunan kaderisasi maka UU Partai Politik
jabatan di pemerintahan, bisa saja akhirnya
di masa datang harus pula didesain untuk dapat
partai merapat ke pemerintah meski jati diri dan
memastikan bahwa kaderisasi yang sistematis dan
ideologinya tidak sejalan dengan pemerintah. Di
berkala dapat berjalan sebagaimana mestinya.
sisi lain, apabila partai tidak memiliki donor yang
UU Partai Politik harus dapat memaksa partai
besar, upaya-upaya partai untuk mendapatkan
agar bersungguh-sungguh melaksanakan kaderi-
uang akan mengundang terjadinya pemanfaatan
sasi secara kontinum dan menjadikan kaderisasi
posisi jabatan negara atau publik yang kerap
sebagai mekanisme yang menentukan jenjang
berujung pada korupsi demi kepentingan partai.
karier para kader. Hal ini, misalnya, dapat dilihat
dengan melakukan verifikasi pelaksanaan ka- Adapun mereka yang murni berada di luar
derisasi secara random dari kepengurusan partai pemerintahan berpotensi mengalami kebangkrut­
yang tersebar di seluruh Indonesia. Bagi partai- an total karena tidak memiliki sumber pendanaan.
partai yang terbukti tidak mampu melakukannya, Studi Perludem (Supriyanto & Wulandari, 2012)
pemerintah berhak membatalkan keikutsertaan- memperlihatkan bahwa dengan hanya mengan-
nya dalam pemilu. dalkan iuran anggota dan usaha-usaha lain yang
legal dan tidak mengikat cenderung tidak banyak
Hal ketiga yang juga harus dilakukan adalah
membantu partai dalam membiayai kebutuhan
membangun kemandirian paripurna partai-partai.

14 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 


lalu oposisi memang secara tegas dikucilkan,
saat ini oposisi dianggap sebagai bukan pilihan
Pengokohan Penguatan Kaderisasi
Ideologi Komitmen Sistematis yang menguntungkan. Terbangunlah kemudian
pemerintahan yang berkecenderungan kartel,
ketika potensi oposisi terserap menjadi bagian
pemerintahan dan, dengan posisinya itu, mencari
Kemandirian keuntungan dari berbagai fasilitas negara.
(Keuangan) Partai
Dalam sejarah politik modern Indonesia, para
pendiri dan elite bangsa secara sadar menghargai
Gambar 2. Skema Langkah Pembangunan Komitmen bentuk pemerintahan demokrasi dengan berbagai
Oposisi Partai Politik prinsip dasarnya. Atas dasar itulah mereka
dapat dengan cepat merespons perkembangan-
sehari-hari ataupun pelaksanaan berbagai agenda perkembangan politik modern yang menawarkan
dan program partai, termasuk pelaksanaan kaderi- format politik yang demokratis. Pendirian partai-
sasi secara berkala. Akibatnya, partai dihadapkan partai, misalnya, direspons secara baik dengan
pada dua pilihan yang tidak mengenakkan: mati berdirinya (atau didirikannya kembali) partai-
suri demi menjaga idealismenya atau menyerah partai guna menyambut kemungkinan pelak-
pada kenyataan dan bergabung dengan pemerin- sanaan pemilu dan terbentuknya pemerintahan
tah. Dengan demikian, aspek strategis dukungan perwakilan. Penghargaan terhadap demokrasi
keuangan partai oleh pemerintah, yang harus itu juga tecermin dari kesediaan melakukan
dilakukan secara transparan dan terkontrol, tidak oposisi terhadap pemerintah, yang terbukti de­
hanya akan membantu partai dalam menjalankan ngan munculnya kritik atas kebijakan-kebijakan
fungsi-fungsi dan segenap kebutuhannya, tetapi yang dikeluarkan oleh PM Sutan Syahrir hingga
lebih dari itu adalah membantu parpol dapat penghujung 1950-an.
lebih mandiri dalam menjalankan idealismenya, Sikap beroposisi itu sendiri tidak serta-merta
termasuk ketika memilih menjadi oposisi. ada dan meluas. Berkembang pada awalnya di
kalangan sekelompok elite, cerdik pandai, dan
PENUTUP mereka yang memahami politik modern, yang
tentu saja jumlahnya masih sedikit. Namun,
Pembahasan di atas memperlihatkan keterkaitan
lambat tetapi pasti, kesadaran itu meluas dan
yang erat antara demokrasi dan oposisi. Opo-
ditularkan kepada masyarakat seiring dengan
sisi, sebagaimana yang dimaksudkan, bukanlah
semakin tingginya kesadaran politik anak bangsa.
sekadar sikap asal berbeda atau melawan
Kesadaran beroposisi itu menguat hingga pada
kebijakan pemerintah, melainkan kelompok
titik yang bagi sebagian orang telah amat me-
di luar pemerintah yang mampu melakukan
kontrol dengan tegas dan memberikan alternatif resahkan. Pemerintah mendapat partner oposisi
kebijakan yang bernas. Sayangnya, eksistensi yang demikian kritis, dengan dukungan masyara-
oposisi di Indonesia masih belum cukup solid. kat. Mereka yang resah membaca perkembangan
Pada masa-masa awal kemerdekaan, oposisi telah ini sebagai bentuk belum matangnya bangsa
terjerembap pada ekstremisme. Sementara pada Indonesia dalam berpolitik. Namun, terlepas dari
masa sesudahnya, selama hampir empat dekade, pandangan seperti ini, kesadaran beroposisi dari
oposisi mengalami pengucilan dengan, misalnya, waktu ke waktu sebenarnya semakin membaik.
dicap sebagai tidak sesuai dengan jati diri bangsa Hanya, sayangnya, saat kesadaran itu mulai tum-
dan dianggap sebagai salah satu biang penyebab buh, bangsa Indonesia masuk ke pusaran sistem
ketidakstabilan. Tidak mengherankan jika oposisi politik yang tidak lagi menghendaki adanya opo-
menjadi mati suri. Di era reformasi, yang diharap- sisi. Dengan berbagai alasan yang diindoktrinasi
kan dapat menumbuhkan demokrasi secara lebih secara sistematis dan represif oleh rezim, oposisi
genuine, kecenderungan untuk melihat oposisi dicoba untuk dilenyapkan.
sebelah mata sayangnya masih belum berubah
secara signifikan. Bedanya, sementara pada masa

Firman Noor | Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: .... | 15


Waktu selama sekitar empat dekade Ambardi, K. (2009). Mengungkap politik kartel.
(1959–1998) telah cukup menimbulkan ke- Studi tentang sistem kepartaian di Indonesia
gamangan penyikapan rakyat dan bahkan elite era reformasi. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
atas oposisi. Dampaknya adalah kesadaran dan
Barnard, F. (1972). Between opposition and political
penguatan oposisi, setelah rezim-rezim otoriter
opposition, the search of competitive politics in
berakhir, tidak serta-merta terjadi. Sebagian besar Czechoslovakia. Canadian Journal of Political
masyarakat masih melihat oposisi sebagai suatu Science, 5(4), 533–552.
pelengkap yang tidak perlu. Bahkan, seiring de­ Budiman, A. (2001). Negara dan masyarakat madani.
ngan persoalan lain, seperti menguatnya (kembali) Dalam St. Sularto (Ed.), Masyarakat warga
peran kaum oligarkh dan pragmatisme politik dan pergulatan demokrasi. Jakarta: Penerbit
yang meninggi, komitmen oposisi ini kembali Buku Kompas.
mengalami guncangan. Sikap merasa nyaman dan Buehler, M. (2014). Elite competition and changing
perlu untuk terus berada dalam arus kekuasaan state-society relations: Shari’a policymaking
in Indonesia”. Dalam Michele Ford & Thomas
tetap masih lestari, bahkan belakangan semakin
B. Pepinsky (Eds.), Beyond oligarchy. Wealth,
terlihat difasilitasi dengan kekuatan material yang power and contemporary Indonesian politics.
besar dan menjanjikan, terutama dari kalangan Cornell: Cornell Southeast Asia Program
oligarkh. Dalam nuansa itulah, perilaku politik Publications.
partai-partai, termasuk dalam kasus kontemporer Bunte, M., & Ufen, A. (2009). The new order and its
yang dialami oleh PAN, PPP, dan Golkar, serta legacy: Reflections on democratization in Indo-
sebagian besar masyarakat, akhirnya masih tidak nesia. Dalam Bunte, Marco, & Ufen Andres
(Eds.), Democratization on post-Suharto
dapat sepenuhnya sejalan dengan hakikat dan
Indonesia. London: Routledge.
watak oposisi yang sesungguhnya. Singkatnya,
Dahl, R. (1966). Political opposition in western
pola-pola mendekat pada kekuasaan terus terjadi, democracies. New Haven, CT, and London:
sementara komitmen menjadi oposan yang genu- Yale University Press.
ine tidak pula menguat. Dahl, R. (1971). Poliarchy: participation and oppo-
Sehubungan dengan upaya peningkatan sition. New Haven, CT, and London: Yale
kualitas demokrasi melalui pembangunan oposisi, University Press.
artikel ini mengarah pada upaya menumbuhkan Diamond, L., & Morlino, L. (2004), The quality of
democracy: An overview. Journal of Democ-
kesadaran masyarakat akan arti oposisi dan revital-
racy, 15(2), 20–31.
isasi partai politik. Tujuannya adalah agar muncul
Feith, H. (1968). The decline of constitutional democ-
kesadaran yang lebih tepat akan demokrasi dan
racy in Indonesia. Itacha: Cornell University
oposisi di level masyarakat serta meningkatkan Press.
kapabilitas partai dalam menjalankan peran de- Ford, M., & Pepinsky, T. B. (Eds.). (2014). Beyond
mokratiknya, termasuk kemampuan partai dalam oligarchy. Wealth, power and contemporary
beroposisi. Pembahasan di atas menyiratkan bahwa Indonesian politics. Cornell: Cornell Southeast
upaya-upaya yang dapat menguatkan peran oposisi Asia Program Publications.
baik dalam makna kesadaran dan tradisi ataupun Fragile States Index. (2015). Diakses pada 15 Maret
struktural (lembaga-lembaga demokrasi dan aturan 2016 dari http://fsi.fundforpeace.org/.
main) harus dilakukan agar kualitas demokrasi di Gatra. (2014). “Ketua majelis syariah DPP PPP K.H
Indonesia dapat semakin membaik. Maimoen Zubair: Saya nda seneng oposisi”,.
(3 September 2014). Hlm. 23.
Gutmann, A., & Thomson, D. (2004). Why Delib-
PUSTAKA ACUAN erative democracy?. New Jersey: Princeton
Amadigwe, V. (2004). The Relationship between University Press.
separation of powers, rule of law and parlia- Held, D. (1960). Models of democracy. Oxford:
mentary sovereignty in British Constitution. Oxford University Press.
Diakses pada 16 Maret 2016 dari http://www. Kamil, S. (2002). Islam dan demokrasi. Telaah
worldoruunion.org/ArticlesRelationship.htm. konseptual dan historis. Jakarta: Gaya Media
Pratama.

16 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 


Kroef, J. van der. (Nov-Des 1977). The Indonesian Rodan, G., & Jayasurya, K. (2009). Capitalist devel-
opposition. Asian Affairs, 5(2), 109–125. opment, regime transitions, and new forms of
Liddle, R. (2014). Improving the quality of democracy authoritarianism in Asia. The Pacific Review,
in Indonesia: Toward a theory of action. Dalam 22(1), 23–47.
Michele Ford & Thomas B. Pepinsky (Eds.), Rooney, K. (2001). Encarta concise english dictionary.
Beyond oligarchy. Wealth, power and contem- Sydney: Pan Macmillan.
porary Indonesian politics. Cornell: Cornell Sabri, M. (2012). Presiden tersandera, melihat dam-
Southeast Asia Program Publications. pak kombinasi sistem presidensial-multipartai
Lucius, R. E. (2003). A house divided: The decline and terhadap relasi presiden-DPR di masa peme­
fall of Masyumi (1950–1956) (Master thesis, rintahan SBY-Boediono. Jakarta: RMBooks.
Naval Postgraduate School, Monterey). Saidi, R. (1993). Golkar pascapemilu 1992. Jakarta:
Mayo, H. (1991). An introduction to democratic Grasindo.
theory. Cambridge: Polity Press. Schumpeter, J. (1975). Capitalism, socialism and
Mietzner, M. (2013). Money, power, and ideol- democracy. New York: Harper and Row.
ogy. Political parties in post-authoritarian Shapiro, I. (1996). The fallacies concerning minorities,
Indonesia. Singapore: ASAA Southeast Asia majorities, and democracy politics. Dalam Ian
Publication Series. Shapiro, Democracy’s place. Ithaca, NY, and
Mietzner, M. (2014). Oligarchs, politicians, and activ- London: Cornell University Press.
ists: Contesting party politics in Post-Soeharto Subekti, V. S. (2014). Partai Syarikat Islam Indonesia.
Indonesia. Dalam Michele Ford & Thomas B. Kontestasi politik hingga konflik kekuasaan
Pepinsky (Eds.), Beyond oligarchy. Wealth, elite. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
power and contemporary Indonesian politics.
Supriyanto, D., & Wulandari, L. (2012). Bantuan
Cornell: Cornell Southeast Asia Program
keuangan partai politik. Jakarta: Yayasan Per-
Publications.
ludem.
O’Donell, G. (1996). Delegative democracy. Dalam
Tanter, R. & Young, K. (1993). Politik kelas menen-
Larry Diamond & M. F. Plattner, The global
gah. Jakarta: LP3ES.
resurgence of democracy. Baltimore and Lon-
don: John Hopkins University Press. The Legatum Prosperity Index 2015. Diakses pada
15 Maret 2016 dari www.prosperity.com/#!/.
Pateman, C. (1970). Participation and democratic theory.
Cambridge: Cambridge University Press. Tornquist, O. (2006). Assessing democracy from
below: A framework and Indonesian pilot
Pratignyo, I. (1983). Ungkapan sejarah lahirnya
project. Democratization, 13(2), 227–255.
Golongan Karya: Perjoangan menegakkan
kembali negara proklamasi 17-8-1945. Jakarta: Uhlin, A. (1998). Oposisi berserak, arus deras
Yayasan Bhakti TP. demokratisasi gelombang ketiga di Indonesia.
Bandung: Mizan.
Przeworski, A. (1991). Democracy and the market:
Political and economic reforms in Eastern Winters, J. A. (2014). Oligarchy and democracy in
Europe and Latin America. Cambridge: Cam- Indonesia. Dalam Michele Ford & Thomas B.
bridge University Press. Pepinsky (Eds.), Beyond oligarchy. Wealth,
power, and contemporary Indonesian politics.
Roberts, K. M. (1999). Deepening democracy: The
Cornell: Cornell Southeast Asia Program
modern left and social movements in Chile and
Publications.
Peru. Stanford: Stanford University Press.
Winters, J. A. (2004). Oligarchy. New York: Cam-
Robison, R., & Hadiz, V. R. (2004). Reorganising power
bridge University Press.
in Indonesia: The politics of oligarchy in an age
of markets. London: Routledge Curzon. Young, I. M. (2002). Ian Shapiro’s democratic justice.
Good Society, 11(2), 76–77.

Firman Noor | Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: .... | 17

Anda mungkin juga menyukai