Anda di halaman 1dari 7

Konsep Teori

A. Pengertian
Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan eliminasi urin adalah keadaan dimana seorang individu
mengalami atau berisiko mengalami disfungsi eliminasi urine. Biasanya
orang yang mengalami gangguan eliminasi urin akan dilakukan kateterisasi
urine, yaitu tindakan memasukan selang kateter ke dalam kandung kemih
melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urine.
B. Masalah-masalah pada Gangguan Eliminasi
1. Masalah-masalah dalam eliminasi urin :
a. Retensi, yaitu adanya penumpukan urine didalam kandung kemih dan
ketidak sanggupan kandung kemih untuk mengosongkan diri.
b. Inkontinensi urine, yaitu ketidaksanggupan sementara atau permanen
otot sfingter eksterna untuk mengontrol keluarnya urine dari kandung
kemih.
c. Enuresis, Sering terjadi pada anak-anak, umumnya terjadi pada malam
hari (nocturnal enuresis), dapat terjadi satu kali atau lebih dalam
semalam.
d. Urgency, adalah perasaan seseorang untuk berkemih.
e. Dysuria, adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih.
f. Polyuria, Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal,
seperti 2.500 ml/hari, tanpa adanya peningkatan intake cairan.
g. Urinari suppresi, adalah berhenti mendadak produksi urine
C. Etiologi
1. Gangguan Eliminasi Urin
a. Intake cairan
Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi output urine atau defekasi. Seperti protein dan sodium
mempengaruhi jumlah urine yang keluar, kopi meningkatkan
pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan, akibatnya output
urine lebih banyak.
b. Aktivitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot.
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik
untuk tonus sfingter internal dan eksternal. Hilangnya tonus otot
kandung kemih terjadi pada masyarakat yang menggunakan kateter
untuk periode waktu yang lama. Karena urine secara terus menerus
dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu tidak pernah merenggang
dan dapat menjadi tidak berfungsi. Aktifitas yang lebih berat akan
mempengaruhi jumlah urine yang diproduksi, hal ini disebabkan
karena lebih besar metabolisme tubuh
c. Obstruksi; batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal, striktur urethra
d. Infeksi
e. Kehamilan
f. Penyakit; pembesaran kelenjar ptostat
g. Trauma sumsum tulang belakang
h. Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih,
urethra.
i. Umur
j. Penggunaan obat-obatan
D. Faktor predisposisi/Faktor pencetus
1. Respon keinginan awal untuk berkemih atau defekasi.
Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan mengabaikan respon awal untuk
berkemih atau defekasi. Akibatnya urine banyak tertahan di kandung kemih.
Begitu pula dengan feses menjadi mengeras karena terlalu lama di rectum dan
terjadi reabsorbsi cairan.
2. Gaya hidup.
Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal eliminasi urine
dan defekasi. Tersedianya fasilitas toilet atau kamar mandi dapat
mempengaruhi frekuensi eliminasi dan defekasi. Praktek eliminasi keluarga
dapat mempengaruhi tingkah laku.
3. Stress psikologi
Meningkatnya stress seseorang dapat mengakibatkan meningkatnya frekuensi
keinginan berkemih, hal ini karena meningkatnya sensitif untuk keinginan
berkemih dan atau meningkatnya jumlah urine yang diproduksi.
4. Tingkat perkembangan.
Tingkat perkembangan juga akan mempengaruhi pola berkemih. Pada wanita
hamil kapasitas kandung kemihnya menurun karena adanya tekanan dari fetus
atau adanya lebih sering berkemih. Pada usia tua terjadi penurunan tonus otot
kandung kemih dan penurunan gerakan peristaltik intestinal.
5. Kondisi Patologis.
Demam dapat menurunkan produksi urine (jumlah & karakter).
6. Obat-obatan, diuretiik dapat meningkatkan output urine. Analgetik dapat
terjadi retensi urine.
E. Patofisiologi Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan
di atas. Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang
berbeda. Pada pasien dengan usia tua, trauma yang menyebabkan cedera
medulla spinal, akan menyebabkan gangguan dalam mengkontrol urin/
inkontinensia urin. Gangguan traumatik pada tulang belakang bisa
mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi traumatik pada medulla
spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan adanya fraktur atau
dislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek
traumatiknya bisa mengakibatkan efek yang nyata di medulla spinallis. Cedera
medulla spinalis (CMS) merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi
saraf termasuk pada persyarafan berkemih dan defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik
dikaitkan dengan cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan sebagai
syok spinal. Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada
medulla spinalis (areflexia) di bawah tingkat cedera. Dalam kondisi ini, otot-
otot yang dipersyarafi oleh bagian segmen medulla yang ada di bawah tingkat
lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan refleks-refleksnya tidak ada.
Hal ini mempengaruhi refleks yang merangsang fungsi berkemih dan defekasi.
Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi refleks yang dapat
diatasi dengan dekompresi usus (Brunner & Suddarth, 2002). Hal senada
disampaikan Sjamsuhidajat (2004), pada komplikasi syok spinal terdapat
tanda gangguan fungsi autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat
dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan
defekasi.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan
penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling
berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih
dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf
otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis
terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan
resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan
sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan
peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan proksimal uretra.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang
simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh
sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu
asetilkholin, suatu agen kolinergik. Selama fase pengisian, impuls afferen
ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal sakral
segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak
menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase
pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral
dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi
pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus
pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna.
Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi saluran yang minimal. Pasien post
operasi dan post partum merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan
retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan
edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural anestesi,
obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik,
nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang
mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine
pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung
kemih yang adekuat.
F. Tanda dan gejala
1. Tanda Gangguan Eliminasi urin
a. Retensi Urin
1). Ketidak nyamanan daerah pubis.
2). Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih.
3). Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang.
4). Meningkatnya keinginan berkemih dan resah
5). Ketidaksanggupan untuk berkemih
b. Inkontinensia urin
1). pasien tidak dapat menahan keinginan BAK sebelum sampai di WC
2). pasien sering mengompol
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan USG
2. Pemeriksaan foto rontgen
3. Pemeriksaan laboratorium urin
Konsep Askep
A. Pengkajian
1. Riwayat keperawatan eliminasi
Riwayat keperawatan eliminasi fekal dan urin membantu perawat
menentukan pola defekasi normal klien. Perawat mendapatkan suatu
gambaran feses normal dan beberapa perubahan yang terjadi dan
mengumpulkan informasi tentang beberapa masalah yang pernah terjadi
berhubungan dengan eliminasi, adanya ostomy dan faktor-faktor yang
mempengaruhi pola eliminasi.
Pengkajiannya meliputi:
a. Pola eliminasi
b. Masalah eliminasi
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi seperti : penggunaan alat bantu,
diet, cairan, aktivitas dan latihan, medikasi dan stress.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik abdomen terkait dengan eliminasi alvi meliputi
inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi dikhususkan pada saluran
intestinal. Auskultasi dikerjakan sebelum palpasi, sebab palpasi dapat
merubah peristaltik.
3. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik saluran gastrointestinal meliputi tehnik visualisasi
langsung / tidak langsung dan pemeriksaan laboratorium terhadap unsur-
unsur yang tidak normal.
B. Diagnosa Keperawatan
Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan retensi urine, inkontinensi
dan enuresis

Daftar Pustaka

Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Eliminasi. Terdapat pada :


http://911medical.blogspot.com/2007/06/asuhan-keperawatan-klien-dengan-
masalah.html
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. enerbit
Kedokteran EGC: Jakarta.
Harnawatiaj. 2010. Konsep Dasar Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Fekal.
Terdapat pada : http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/14/konsep-dasar-
pemenuhan-kebutuhan-eliminasi-fecal/
Septiawan, Catur E. 2008. Perubahan Pada Pola Urinarius. Terdapat pada:
www.kiva.org
Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Medikal Bedah. Penerbit Kedokteran EGC:
Jakarta.
Supratman. 2000. askep Klien Dengan Sistem Perkemihan
Andi Visi Kartika. Retensi Urin Pospartum.
Http://www.jevuska.com/2007/04/19/retensi-urine-post-partum
Siregar, c. Trisa , 2004, Kebutuhan Dasar Manusia Eliminasi BAB, Program Studi
Ilmu Keprawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Johnson M., Meridean, M., Moorhead, 2000. NANDA, NIC, NOC. PENERBIT:
MOSBY

Anda mungkin juga menyukai