Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang
Operasi atau pembedahan merupakan semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara
invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan
bagian tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat sayatan, setelah bagian yang akan
ditangani ditampilkan, dilakukan tindak perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan
penjahitan luka. Perawatan selanjutnya akan termasuk dalam perawatan pasca bedah.
Tindakan pembedahan atau operasi dapat menimbulkan berbagai keluhan dan gejala. Keluhan
dan gejala yang sering adalah nyeri.

Tindakan operasi menyebabkan terjadinya perubahan kontinuitas jaringan tubuh Untuk


menjaga homeostasis, tubuh melakukan mekanisme untuk segera melakukan pemulihan pada
jaringan tubuh yang mengalami perlukaan. Pada proses pemulihan inilah terjadi reaksi kimia
dalam tubuh sehingga nyeri dirasakan oleh pasien. Pada proses operasi digunakan anestesi
agar pasien tidak merasakan nyeri pada saat dibedah. Namun setelah operasi selesai dan
pasien mulai sadar, ia akan merasakan nyeri pada bagian tubuh yang mengalami
pembedahan.

Nyeri post operasi sering menjadi masalah bagi pasien dan merupakan hal yang paling
mengganggu, sehingga perlu dilakukan intervensi keperawatan untuk menurunkan nyeri.
Salah satu bentuk intervensi tersebut adalah terapi musik. Perawat menghabiskan lebih
banyak waktu bersama pasien dibandingkan dengan tenaga perawatan profesional lainnya,
maka perawat mempunyai kesempatan untuk menghilangkan nyeri dan efek yang
membahayakan.

Metode penatalaksanaan nyeri mencakup pendekatan farmakologis dan non-farmakologis.


Pendekatan farmakologis yang biasa digunakan adalah analgetik golongan opioid untuk nyeri
yang hebat dan golongan non steroid untuk nyeri sedang atau ringan. Perilaku dan teknik
non-farmakologi dapat digunakan bersama dengan penatalaksanaan farmakologi untuk
mengurangi nyeri akut. Salah satu cara yang cocok untuk mengurangi nyeri pada anak post

1
operasi secara non-farmakologis adalah distraksi. Penatalaksanaan nyeri pada anak dengan
teknik disraksi merupakan salah satu cara yang cocok pada anak post operasi.

Pada anak, teknik distraksi sangat efektif digunakan untuk mengalihkan nyeri, hal ini
disebabkan karena distraksi merupakan metode dalam upaya untuk mengurangi nyeri anak
dan sering membuat pasien lebih menahan nyerinya. Hal ini ditegaskan kembali oleh Taylor
(1997) yang mengatakan bahwa teknik distraksi ini terbukti efektif digunakan pada anak.
Supaya distraksi lebih efektif perawat harus peka terhadap situasi yang menarik dan
menyenangkan bagi anak. Distraksi ini bisa dilakukan secara visual, auditori, taktil kinestik
dan projek. Salah satu teknik distraksi adalah dengan terapi musik yang bertujuan untuk
menurunkan nyeri pada anak.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :

 Mengetahui bagaimana keperawatan post operatif


 Mengetahui berbagai komplikasi post operatif
 Mengetahui monitoring post operatif

2
BAB II

ISI

Pulih dari anestesi umum atau dari analgesia regional secara rutin dikelola dikamar pulih atau
unit perawatan pasca anestesi (Recovery Room atau Post Anestesia Care Unit). Idealnya
bangun dari anestesia secara bertahap tanpa keluhan dan ,ulus. Kenyataannya sering dijumpai
hal-hal yang tidak menyenangkan akibat stres pasca bedah atau pasca anestesia yang berupa
gangguan napas, gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual muntah, menggigil dan
kadang-kadang perdarahan.’

Unit perawatan pasca anestesi (UPPA) harus berada dalam satu lantai dan dekat kamar bedah,
supaya kalau timbul kegawatan dan perlu segera diadakan pembedahan ulang tidak akan
banyak mengalami hambatan. Selain itu karena segera setelah pembedahan dan anestesi
dihentikan, pasien sebenernya masih dalam keadaan anestesi dan perlu di awasi dengan ketat
seperti masih berasa di kamar bedah.

Pengawasan ketat di UPPA harus seperti sewaktu berada di kamar bedah sampai pasien bebas
dari bahaya, karena itu peralatan monitor yang baik harus disediakan. Tensimiter, oksimeter
denyut, EKG, peralatan resusitasi jantung paru dan obatnya harus disediakan tersendiri dari
kamar bedah.

2.1 Tujuan perawatan pascaoperasi

Tujuan perawatan pascaoperasi untuk memulihkan kesehatan fisiologi dan psikologi antara
lain;

 Mempertahankan jalan nafas

 Mempertahankan ventilasi/oksigenasi

 Memepertahankan sirkulasi darah

 Observasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase

 Mempertahankan kenyamanan dan mencegah resiko injury

2.2 Penatalaksanaan Pasca Anastesi


3
Ruang pulih pasca anestesia (RPPA), merupakan syarat mutlak, dan harus dilengkapi dengan
perawat terlatih dalam jumlah cukup. Pasien sebaiknya dipindahkan ke RPPA di atas kereta
yang dapat diubah posisinya (tilting trolley), dalam posisi lateral/semiprone. Oksigen
diberikan melalui sungkup muka. RPPA ini penting karena keadaan pasien masih dalam
keadaan anestesi dan belum stabil. Tanda-tanda vital dicatat pada saat tiba di RPPA, dan
diulang dengan jangka waktu yang makin panjang, misalnya 5 menit, 10menit, 30 menit dan
seterusnya sampai saat pulang. Bila keadaan pasien membaik maka dipindahkan ke ruang
rawat tapi bila keadaan memburuk maka dipindahkan ke ICU (intensive care unit).

2.3 Tahap keperawatan post operatif


1. Pemindahan pasien dari kamar operasi ke unit perawatan pasca anastesi (recovery
room)

Pemindahan pasien dari kamar operasi ke ruang pemulihan atau unit perawatan pasca
anastesi (PACU: post anasthesia care unit) memerlukan pertimbangan-pertimbangan
khusus. Pertimbangan itu diantaranya adalah letak incisi bedah, perubahan vaskuler
dan pemajanan. Letak incisi bedah harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien
pasca operatif dipidahkan. Banyak luka ditutup dengan tegangan yang cukup tinggi,
dan setiap upaya dilakukan untuk mencegah regangan sutura lebih lanjut. Selain itu
pasien diposisikan sehingga ia tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan
selang drainase.

Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari satu posisi ke
posisi lainnya. Seperti posisi litotomi ke posisi horizontal atau dari posisi lateral ke
posisi terlentang. Bahkan memindahkan pasien yang telah dianastesi ke brankard
dapat menimbulkan masalah gangguan vaskuler juga. Untuk itu pasien harus
dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah pasien dipindahkan ke
barankard atau tempat tidur, gaun pasin yang basah (karena darah atau cairan
lainnnya) harus segera diganti dengan gaun yang kering untuk menghindari
kontaminasi.

Selama perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti dan diberikan pengikatan


diatas lutut dan siku serta side rail harus dipasang untuk mencegah terjadi resiko

4
injury.
Selain hal tersebut diatas untuk mempertahankan keamanan dan kenyamanan pasien.
Selang dan peralatan drainase harus ditangani dengan cermat agar dapat berfungsi
dengan optimal.

Proses transportasi ini merupakan tanggung jawab perawat sirkuler dan perawat
anastesi dengan koordinasi dari dokter anastesi yang bertanggung jawab.

Pemindahan Pasien

1. Pertimbangkan letak insisi, perubahan vaskuler, dan pemajanan


2. Posisi tidur tidak menyumbat drain atau selang drainage

3. Pemindahan harus dilakukan dengan perlahan dan cermat

4. Gown yang basah harus segera diganti dengan gown kering

5. Gunakan selimut yang ringan

6. Pertimbangkan perlunya pengikat di atas lutut dan siku

7. Pertahankan keselamatan dan kenyamanan

8. Pasang pagar pengaman di kedua sisi tempat tidur

2. Perawatan post anestesi di ruang pemulihan

Setelah selesai tindakan pembedahan, paseien harus dirawat sementara di ruang pulih sadar
(recovery room : RR) sampai kondisi pasien stabil, tidak mengalami komplikasi operasi dan
memenuhi syarat untuk dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal perawatan). PACU atau RR
biasanya terletak berdekatan dengan ruang operasi. Hal ini disebabkan untuk mempermudah
akses bagi pasien untuk :

(1) perawat yang disiapkan dalam merawat pasca operatif (perawat anastesi)
(2) ahli anastesi dan ahli bedah

(3) alat monitoring dan peralatan khusus penunjang lainnya.


5
Alat monitoring yang terdapat di ruang ini digunakan untuk memberikan penilaian terhadap
kondisi pasien. Jenis peralatan yang ada diantaranya adalah alat bantu pernafasan : oksigen,
laringoskop, set trakheostomi, peralatan bronkhial, kateter nasal, ventilator mekanik dan
peralatan suction. Selain itu di ruang ini juga harus terdapat alat yang digunakan untuk
memantau status hemodinamika dan alat-alat untuk mengatasi permasalahan hemodinamika,
seperti : apparatus tekanan darah, peralatan parenteral, plasma ekspander, set intravena, set
pembuka jahitan, defibrilator, kateter vena, torniquet. Bahan-bahan balutan bedah, narkotika
dan medikasi kegawatdaruratan, set kateterisasi dan peralatan drainase.

Selain alat-alat tersebut diatas, pasien post operasi juga harus ditempatkan pada tempat tidur
khusus yang nyaman dan aman serta memudahkan akses bagi pasien, seperti : pemindahan
darurat. Dan dilengkapi dengan kelengkapan yang digunakan untuk mempermudah
perawatan. Seperti tiang infus, side rail, tempat tidur beroda, dan rak penyimpanan catatan
medis dan perawatan. Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari
pegaruh anastesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernafasan adekuat, saturasi oksigen
minimal 95% dan tingkat kesadaran yang baik. Kriteria penilaian yang digunakan untuk
menentukan kesiapan pasien untuk dikeluarkan dari PACU adalah :

 Fungsi pulmonal yang tidak terganggu


 Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat

 Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah

 Orientasi pasien terhadap tempat, waktu dan orang

 Haluaran urine tidak kurang dari 30 ml/jam

 Mual dan muntah dalam kontrol

 Nyeri minimal

3. Transportasi pasien ke ruang rawat

6
Transportasi pasien bertujuan untuk mentransfer pasien menuju ruang rawat dengan
mempertahankan kondisi tetap stabil. Jika anda dapat tugas mentransfer pasien, pastikan
score post anastesi 7 atau 8 yang menunjukkan kondisi pasien sudah cukup stabil. Waspadai
hal-hal berikut : henti nafas, vomitus, aspirasi selama transportasi.

Faktor-faktor yang harus diperhatikan pada saat transportasi klien :

a. Perencanaan

Pemindahan klien merupakan prosedur yang dipersiapkan semuanya dari sumber daya
manusia sampai dengan peralatannya.

b. Sumber daya manusia (ketenagaan)

Bukan sembarang orang yang bisa melakukan prosedur ini. Orang yang boleh
melakukan proses transfer pasien adalah orang yang bisa menangani keadaan
kegawatdaruratan yang mungkin terjadi sselama transportasi. Perhatikan juga
perbandingan ukuran tubuh pasien dan perawat. Harus seimbang.

c. Equipment (peralatan)

Peralatan yang dipersiapkan untuk keadaan darurat, misal : tabung oksigen, sampai
selimut tambahan untuk mencegah hipotermi harus dipersiapkan dengan lengkap dan
dalam kondisi siap pakai.

d. Prosedur

Untuk beberapa pasien setelah operasi harus ke bagian radiologi dulu dan sebagainya.
Sehingga hendaknya sekali jalan saja. Prosedur-prosedur pemindahan pasien dan
posisioning pasien harus benar-benar diperhatikan demi keamanan dan kenyamanan
pasien.

e. passage (jalar lintasan)

Hendaknya memilih jalan yang aman, nyaman dan yang paling singkat. Ekstra
waspada terhadap kejadian lift yang macet dan sebagainya.

7
4. Perawatan di ruang rawat

Ketika pasien sudah mencapai bangsal, maka hal yang harus kita lakukan, yaitu :
a. Monitor tanda-tanda vital dan keadaan umum pasien, drainage, tube/selang, dan
komplikasi. Begitu pasien tiba di bangsal langsung monitor kondisinya. Pemerikasaan
ini merupakan pemeriksaan pertama yang dilakukan di bangsal setelah post operasi
b. Manajemen Luka. Amati kondisi luka operasi dan jahitannya, pastikan luka tidak
mengalami perdarahan abnormal. Observasi discharge untuk mencegah komplikasi
lebih lanjut. Manajemen luka meliputi perawatan luka sampai dengan pengangkatan
jahitan.
c. Mobilisasi dini. Mobilisasi dini yang dapat dilakukan meliputi ROM, nafas dalam dan
juga batuk efektif yang penting untuk mengaktifkan kembali fungsi neuromuskuler
dan mengeluarkan sekret dan lendir.
d. Rehabilitasi. Rehabilitasi diperlukan oleh pasien untuk memulihkan kondisi pasien
kembali. Rehabilitasi dapat berupa berbagai macam latihan spesifik yang diperlukan
untuk memaksimalkan kondisi pasien seperti sedia kala
e. .Discharge Planning. Merencanakan kepulangan pasien dan memberikan informasi
kepada klien dan keluarganya tentang hal-hal yang perlu dihindari dan dilakukan
sehubungan dengan kondis/penyakitnya post operasi. Ada 2 macam discharge
planning
 Untuk perawat : berisi point-point discahrge planing yang diberikan kepada
klien (sebagai dokumentasi)
 Untuk pasien : dengan bahasa yang bisa dimengerti pasien dan lebih detail.
Contoh nota discharge planning pada pasien post tracheostomy :
a. Untuk perawat : pecegahan infeksi pada area stoma
b. Untuk klien : tutup lubang operasi di leher dengan kassa steril
(sudah disiapkan)

2.4 Ruang Perawatan Pasca Operatif


2.4.1 Recovery Room
“Recovery Room” Recovery room (RR) atau sering disebut juga sebagai Post-Anesthesia
Care Unit (PACU) merupakan suatu tempat dimana pasien pulih kembali dari efek anesthesi
pasca operasi dan pasien mendapatkan perawatan pasca operasi. “Recovery Room” (RR)
8
adalah suatu ruangan yang terletak di dekat kamar bedah, dekat dengan perawat bedah, ahli
anesthesia dan ahli bedah sendiri, sehingga apabila timbul keadaan gawat pasca-bedah, klien
dapat segera diberi pertolongan. Setelah selesai tindakan pembedahan, pasien harus dirawat
sementara di Recovery Room ( Ruang pulih Sadar) sampai kondisi pasien stabil, tidak
mengalami kompikasi operasi, dan memenuhi syarat untuk dipindahkan ke ruang perawatan
(bangsal perawatan) atau bahkan dipulangkan.

Ruang pemulihan hendaknya diatur agar selalu bersih, tenang, dan alat-alat yang tidak
berguna disingkirkan. Suatu recovery room dapat berbentuk perorangan maupun suatu
ruangan lebar yang dipartisi untuk banyak pasien. Untuk menjaga area tersebut tetap steril
dan mencegah penyebaran kuman, pengunjung dari luar perlu menggunakan gaun operasi
beserta topo, atau dapat dilarang masuk sama sekali. Pengecualian pada anak-anak,
keberadaan orangtua pada masa pemulihan akan meminimalisir terjadinya trauma post
operatif pada anak tersebut.

Setiap area pasien dilengkapi dengan berbagai peralatan monitoring medis. Sebaliknya,
semua alat yang diperlukan harus berada di RR. Sirkulasi udara harus lancar dan suhu di
dalam kamar harus sejuk. Bila perlu dipasang AC.

Bila pengaruh obat bius sudah tidak berbahaya lagi, tekanan darah stabil-bagus, perafasan
lancar-adekuat dan kesadaran sudah mencukupi (lihat Aldered Score), barulah klien
dipindahkan ke kamarnya semula (bangsal perawatan).

Syarat recovey room

1. Tenang, bersih, dan bebas dari peralatan yang tidak dibuthkan.


2. Warna ruangan lembut dan menyenangkan.
3. Pencahayaan tidak langsug
4. Pafon kedap suara
5. Peraatan yang mengontrol atau menghilangkan suara (misal: karetpeindung tempat
tidur supaya tidak mengeuarkan suara saat terbentur).
6. Tersedia peralatan standar: alat bantu pernafasan; oksigen; laringoskopi; set
trakheostomi, peralatan bronkial; kateter; ventilator mekanik; dan peralatan suction)
7. Peralatan kebutuhan sirkulasi: pengukur tekanan darah; peralatan parenterasi; plasma
sekunder; set intravena; defibrilator; kateter vena; dan torniquet.
8. Balutan bedah, narkotik, dan medikasi kedaruratan.
9
9. Set kateterasi dan peralatan drainase.
10. Tempat tidur pasien yang dapat diakses dengan mudah, aman dan dapat digerakkan
dengan mudah.
11. Suhu ruangan berkisar antara 20-22,2 C dengan ventilasi ruangan yang baik.

Content ( isi RR)

1. Perawat
2. Ahli anesthesia dan ahli bedah

3. Alat pemantau dan peralatan khusus.

Monitoring Pasca operasi di recovery room

Monitoring klinis dapat dibagi menjadi pengamatan jalan nafas (airway), pernafasan
(breathing), dan sirkulasi (circulation); suhu (temperature), dan tingkat kesadaran (conscious
level)

1. Monitoring jalan nafas (airway)


Dapat diamati dengan mengobservasi tanda-tanda sumbatan seperti retraksi dinding thorax
atau supraklavikula pada saat inspirasi dan/atau munculnya bising nafas. Jalan nafas yang
baik paing mudah dipertahankan pada posisi miring ke kiri . Posisi ini memungkinkan lidah
dan pallatum molle jatuh ke arah depan jauh dari rongga orofaring.
10
Pemeliharaan jalan nafas yang baik dapat disebut sebagai aspek terpenting dalam perawatan
post operasi. Penggunaan endotracheal tube merupakan salah satu cara untuk menjaga jalan
nafas pada masa pemulihan. Pada penggunaan obat anesthesia yang lambat dieeminasi
(seperti eter dan halotan), endotrakheal tube baik untuk digunakan sampai refleks laring
kembai pulih. Penghisapan cairan di orofaring harus dilakukan sebelum pelepasan
endotracheal tube untuk mencegah adanya aspirasi arah atau lendir. Ahli anesthesia harus
selalu mendampingi sampai pasien tersadar.

Masalah yang sering muncul pada jalan nafas antara lain: obstruksi nafas parsial (nafas
berbunyi) atau total (tidak ada suara nafas), idah jatuh menutup faring, atau edema laring.
Selain itu dapat terjadi spasme laring karena laring terangsang oleh benda asing, dara, ludah,
sekret atau sebelumnya ada riwayat kesulitan pada saat intubasi trakhea.

Bila terjadi obstruksi karena kejang laring, selain perlu oksigen 100% haus dibersihkan jalan
nasfas, berikan preparat kortikosteroid (oradekson) dan kalau tak berhasil perlu
dipertimbangkan muscle relaxant.

Obstruksi nafas mungkin tidak terjadi, tetapi pasien sianosis (hiperkarbia, hiperkapnia,
PaCO2>45 mmhg) atau saturasi oksigen menurun (hipoksemia) dangkal sering akibat muscle
relaxant masih bekerja.

2. Pernafasan (breathing)
Respirasi dapat diamati dengan memonitor pergerakan dada atau dengan melakukan ekspirasi
melalui telapak tangan pada mulut atau hidung pasien. Oksigenasi juga dapat diperkirakan
dalam beberapa derajat dengan mengamati warna pasien. Warna kebiruan menunjukkna
terjadinya hipoksia, dan ha ini paling mudah dilihat pada sektar bibir atau lidah. Untuk dapat
menentukan warna tersebut dibutuhkan pencahayaan yang baik. Pemberian suplementasi
oksigen dapat mencegah terjadinya hipoksemia, tetapi masalah yang muncul adalah tidak bisa
terdeteksinya apnea oleh pulse oxymeter.

Kecepatan nafas dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu bradipneum dan takpneu . Bradipneu
atau nafas ambat biasanya terjadi akibat penggunaan opioid selama operasi dan biasanya
disertai dengan pupil yang mengecil. Hal ini dapat menghilang secara spontan setelah obat
anesthesia tereliminasi dan pasien tersadar. Takipnea atau nafas cepat dapat berkaitan dengan
agen volatile tertentu (khusunya eter), asidosis, hipovolemia, nyeri, hipokseia, atau masalah
respirasi lain.
11
3. Sirkulasi (circulation)
Sirkulasi dapat diamati dengan palpasi nadi (takikardia mengarahkan pada deplesi volume)
dan dengan merasakan perifer (tangan yang dingin dengan perfusi buruk mengarahkan pada
hipovolemia atau hipotermia akibat operasi yang lama). Kecepatan jantung harus berada pada
keadaan normal, kira-kira 60-90 kali per menit.

Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa trakhea, cairan
infus berlebihan, buli-buli penuh atau aktivasi saraf simpatis karena hipoksia, hiperkapnia
dan asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung lama kana menyebabkan gagal
ventrike kiri, infark miokird, disritmia, edema paru atau perdarahan otak. Terapi hipertensi
ditujukan pada faktor penyebab dan kalau perlu dapat diberikan klonidin (catapres) atau
nitropusid (niprus) 0,5-1,0 mikrogram/kgBB/menit.

Hipotensi yag diakibatkan isian balik vena (venous return) menurun disebabkan oleh
beberapa ha seperti perdarahan, terapi cairan kurang adekuat, diuresis, kontraksio
miokardium kurang kuat atau tahanan vaskuler perifer menurun. Hipotensi harus segera
diatasi untuk mencegah terjadinya hipoperfusi organ vital yang dapat berlanjut dengan
hipoksemia dan kerusakan jaringan. Terapi hipotensi disesuaikan dengan faktor penyebabnya.
Berikan oksigen 100 % dan infus kristaloid RL atau asering 300-500 ml. Disritmia yang
terjadi dapat disebabkan oleh hipokalemia, asidosis-alkalosis, hipoksia, hiperkapnia atau
penyakit jantung.

Hipotensi adalah komplikasi kardiovaskuler yang paling sering muncul selama dan setelah
pemberian obat sedatif dan analgesia. Monitoring reguler terhadap status sirkulasi pasien,
termasuk denyut jantung, tekanan darah, temperatur, warna kulit, dan denyut nadi perifer,
dapat meengidentifikasi maslah sehingga penanganan yang sesuai dapat dilakukan. Lebih
jauh lagi, pengamatan terhadap status cairan tubuh pasien dapat memfasilitasi pemberian
cairan yang tepat dibutuhkan pasien. Hal ini membutuhkan perhitungan dari pengurangan
status cairan pasien selama puasa dan kebutuhan cairannya.

Anjuran perhitungan kebutuhan cairan

Berat (kg) mL/jam

<10 kg 4 ml/kg/jam

12
10-20 kg 40 ml+2mL/kg diatas 10 kg

>20 kg 60 ml+1mL/kg diatas 20 kg

4. Suhu (temperature)
Hipotermia adalah salah 1 masalah yang juga sering muncul dan membutuhkan monitoring
dan penatalksanaan dini. Hipotermia kebanyakan muncul selama tindakan operasi dilakukan,
tetapi juga dapat muncul pada pasien yang diberi obat sedatif untuk prosedur diagnostik
ataupun terapi. Hipotermia juga menyebabkan kesulitan tubuh untuk mengkompensasi
terhadap penggumpalan darah, yang pada beberapa pasien dapat menyebabkan komplikasi,
seperti pada pasien yang menjalani angiografi atau kateterisasi. Penggunaan selimut hangat
dan penyesuaina suhu pendingin atau penghangat ruangan biasanya berguna untuk
mengembalikan keadaan suhu pasien ke normal.

5. Tingkatan kesadaran (Conscious Level)


Tingkat kesadaran harus dimonitor dengan mengobservasi kembalinya berbagai refleks;
seperti; refleks berkedip, refleks menelan, dan refleks bersuara, serta berespon tehadap
perintah. Pada pasien yang menjalani anesthesia regional (spinal atau epidural), tingginya
blokade harus diamati sampai efek anesthesi tersebut menghilang. Cara termudah untuk
mengujinya adalah dengan mengukur titik dimana pasien tidak lagi dapat merasakan sensasi
dingin (menggunakan etil klorida atau es). Akan lebih aman apabila meletakkan pasien pada
posisi duduk terlalu cepat, karena hal ini bisa saja menyebabkan terjadinya hipotensi postural.

Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi pernafasan dilakukan paling tidak
setiap dalam 15 menit pertama atau hingga stabil, setelah itu dilakukkan setiap 15 menit,
selama 2 jam pertama. Dan setiap 30 menit selama 4 jam berikutnya. Pulse oximetry
dimonitor hingga pasien sadar kembali sambil meakukan pemeriksaan suhu.

Kriteria pemulangan /pemindahan pasien

pengamatan terus menerus terhadap pasien harus dilakukan sampai pasien mencapai kondisi
stabil menurut criteria standar, kemudian baru pasien dapat dipulangkan atau dipindahkan ke
ruang rawat inap. American society of anesthesiologist menyatakan bahwa criteria
pemulangan harus dibuat untuk meminimalisir resiko depresi system saraf pusat pasca
dikeluarkan dari ruang pemulihan

13
Masalah pulih sadar pada anestesi rawat jalan tidak hanya dinilai asal pasien telah sadar,
tetapi ada hal-hal yang penting dan perlu diperhatikan mengingat pasien ini akan lepas dari
pengawasan dokter/perawat/rumah sakit. Sementara itu efek dari obat anestesi tidak
semuanya telah hilang.

Dianjurkan memakai sistem penilaian pulih pasca anesthesia(Stuart Score)


sebagai berikut :
I. Kesadaran :
sadar penuh 2
respons terhadap rangsang 1
tak ada respon 0
II. Jalan nafas :
Batuk bila diperintah/menangis 2
Dapat memelihara jalan nafas sendiri 1
Perlu pemeliharaan jalan nafas 0
III Pergerakan:
Pergerakan 4 ekstremitas 2
Pergerakan 2 ekstremitas 1
Tak ada ekstremitas yang bergerak 0
IV Kardiovaskuler
Tekanan Darah berubah <20% 2
Berubah 20-30% 1
Berubah >50% 0

Jumlah nilai keseluruhan pasien yang telah mencapai nilai >8 baru boleh dipulangkan.
Meridy mengatakan, tidak ada hubungan antara lama anestesia dan masa pulih mencoba uji
"titik Trieger" untuk menilai kemampuan psikomotor pasca anestesia pada orang
dewasa.Oggs dan kawan-kawan menguji daya ingat ("memory") pasca anestesia dengan
memory dan digit span test, menyimpulkan bahwa daya ingat baru dapat pulih setelah 3 jam.

Jadi setelah penilaian seperti cara di atas, dikaji lagi apakah ada hipoksia, rasa kurang
nyaman, atau memang kesakitan. Pemberian analgetika pasca anestesia harus dipikirkan
dengan masak, karena seseorang dapat merasa gelisah oleh berbagai sebab. Karena semua
obat analgetika dapat menambah rasa mengantuk, mual dan muntah pasca anestesia. Untuk
14
nyeri yang hebat dapat dipertimbangkan pemberianpetidin 1 mg/kg atau codein fosfat 1,5
mg/kg intramuskulus.

Pasien sebaiknya masuk ke RPPA setelah pasien mulai sadar. Pada waktu pulang, setiap
pasien harus dikawal oleh orang lain. Sebaiknya memakai taksi atau mobil pribadi, dengan
catatan, si pengawal tidak boleh mengemudikan mobil tersebut. Harus diberikan instruksi
tertulis mengenai perawatan di rumah, kemungkinan penyulit yang dapat timbul, dan saat
harus memberitahukan ke Rumah Sakit. Penting ditekankan kepada pasien mengenai
perlunya pemberian cairan. Minum harus diberikan sedikit demi sedikit dan sering, karena
kekerapan muntah pasca anestesia pada pasien cukup besar yaitu 11 -- 21%. Apabila muntah
sampai mengganggu usaha pemberian cairan, dapat diberikan obat anti emetik, seperti
Dramamin 2 mg/kg bb per rektal atau intramuskulus.
Selain itu juga, untuk menilai masa pulih sadar ini Steward menbagi dalam 3 tahap:

1. Immediate recovery : kembalinya kesadaran, kembalinya reflex protektif jalan


napasdan aktiitas motor yang singkat. Tahap ini singkat dan dapat dengan tepat diikuti
denhagan menggunakan scoring system
2. Intermediate recovery: kembalinya fungsi koordinasi, hilangnya perasaan pusing
subjektif. Tahap ini kira-kira 1 jam setelah anestesi yang tak terlalu lama. Dalam tahap
ini mungkin pasien sudah dapat dipulangkan asal ada pendamping yang dapat
dipertanggungjawabkan.
3. Longterm recovery: tahap ini dapat berlangsung berjam jam bahkan berhari-hari
tergantung dari lamanya anestesi. Untuk pengukurannnya perlu tes pshychomotor,
sehingga tidak praktis untuk dilakukan di klinis

STEWARD scoring system

Criteria skor
Kesadaran bangun 2
respon terhadap stimuli 1

15
tidak ada respon 0
jalan napas Bangun atas dasar perintah atau menangis 2
mempertahankan jalan napas dengan baik 1
perlu bantuan untuk mempertahankan 0
Gerakan menggerakkan anggota badan dengan tujuan 2
gerakan tanpa maksud 1
tidak bergerak 0

ROBERTSON SCORING SYSTEM

Criteria skor
Kesadaran sadar penuh, mata terbuka, berbicara 4
tertidur ringan, ringan sekali mata terbuka 3
mata terbuka atas perintah atau bila namany a 2
Dipanggil
respon terhadap cubitan di telinga 1
tak ada respon 0

Jalan napas membuka mulut dan atau batuk atas perintah 3


tak ada batuk volunter, jalan napas bebas tanpa bantuan 2
obstruksi jalan napas bila leher flelsi tetapi tanpa 1
bantuan bila ekstensi
tanpa bantuan terjadi obstruksi 0

Aktivitas mengangkat tangan dengan perintah 2


gerakan tak berarti 1
tak bergerak 0

Aldrete Scoring system

recovery score
kriteria in 15 30 45 60 out
dapat
bergerak 4 anggota gerak 2 2 2 2 2 2
volunter atau 2 anggota gerak 1 1 1 1 1 1

16
Aktivitas atas perintah 0 anggota gerak 0 0 0 0 0 0

mampu bernapas 2 2 2 2 2 2
dan batuk secara
respirasi Bebas
dyspnea, napas 1 1 1 1 1 1
dangkal atau
Terbatas
Apnea 0 0 0 0 0 0

tensi 20 mmHg 2 2 2 2 2 2
Preop
Sirkulasi tensi 20-50 mmHg 1 1 1 1 1 1
Preop
tensi 50 mmHg 0 0 0 0 0 0
Preop

sadar penuh 2 2 2 2 2 2
kesadaran bangun waktu 1 1 1 1 1 1
Dipanggil
tidak ada respon 0 0 0 0 0 0

Normal 2 2 2 2 2 2
Warna pucat kelabu 1 1 1 1 1 1
Kulit Sianotik 0 0 0 0 0 0

Perbandingan dari ketiga tabel diatas:


 Dari table scoring system diatas bila dilihat dengan teliti, jelas scoring menurut
Robertson dan Steward lebih mudah dapat dilakukan dibanding aldrete scoring
 Aldrete scoring system sekarang lebih banyak digunakan sekarang sebagai acuan
untuk menentukan keadaan pasien di ruang pulih sadar karena keadaan pasien yang
dinilai lebih terperinci dan lebih spesifik dibanding scoring system yang lain
(Steward dan Robertson scoring kurang spesifik dan kurang terperinci, hanya secara
gambaran umum saja)

Dalam melakukan memindahkan pasien dari ruang pulih sadar,


perhatikan Aldrete score :
1. pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat (Aldrete score ≥ 8)
2. pasienharus dimasukkan ke dalam ruang ICU (Aldrete score <
8)
17
Dari table scoring system diatas bila dilihat dengan teliti, jelas scoring menurut Robertson
dan Steward dengan mudah dapat dilakukan. Scoring menurut Steward mula-mula
didapatkan untuk diterapkan pada anak-anak kecil, tetapi saat ini angat luas pemakaiannya
termasuk juga orang dewasa.

Pemulangan Pasien

Kriteria pemulangan(kriteria klinis):

1. Apabila pasien sudah sadar dan mengenal lingkungan dicoba untuk setengah
duduk(kepala diganjal dengan beberapa bantal). Bila pasien merasa pusing ditidurkan
kembali (ganjal diambil). Prosedur ini dapat diulangi bila pasien merasa sudah enak
kembali.
2. Bila selama 15 menit pasien tidak mengeluh apa-apa , dapat dicoba untuk duduk. Bila
ada keluhan (pusing, mual atau muntah) dikembalikan posisi semula, atau kalau perlu
posisi tidur lagi. Kemudian prosedur dapat diulang lagi
3. Bila selama 15 menit dalam posisi duduk tidak ada keluhan . dicoba duduk dengan
kaki menjuntai. Ini dilakukan pula selama 15 menit. Sementara itu pasien dicoba
untuk minum dengan diber air putih
4. Bila pasien dapat tahan pada posisi ini, maka coba untuk turun dari tempat tidur, dan
diminta untuk memakai pakaiannnya sendiri. Pasien dapat memakai pakaian sendiri
berarti fungsi koordinasi pasien sudah kembali, dengan demikian pasien siap untuk
dipulangkan.

Kriteria pemulangan dapat ditambahkan dengan pasien diminta berjalan mengikuti garis lurus
dan tes Romberg dengan mata terbuka. Pada bayi dan anak-anak tes klinis tersebut tidak
dapat diterapkan. Apabila bayi dan anak tersebut sudah menangis keras dan tidak muntah ,
dicoba minum air sedikit demi sedikitdengan menggunakan sendok. Perlu diingat , seringkali
anak yang sudah menangis keras ini tertidur lagi, oloeh karena itu jangan tergesa-gesa
memulangkan atas dasar menangis keras.

Dalam merencanakan kepulangan pasien, kita harus mempertimbangkan 4 hal berikut:


1. Home care preparation
Memodifikasi lingkungan rumah sehingga tidak mengganggu kondisi klien. Contoh :
klien harus diatas kursi roda/pakai alat bantu jalan, buat agar lantai rumah tidak licin.
Kita harus juga memastikan ada yang merawat klien di rumah.
18
2. Client/family education
Berikan edukasi tentang kondisi klien. Cara merawat luka dan hal-hal yang harus
dilakukan atau dihindari kepada keluarga klien, terutama orang yang merawat klien.

3. Psychososial preparation
Tujuan dari persiapan ini adalah untuk memastikan hubungan interpersonal sosial dan
aspek psikososial klien tetap terjaga.

4. Health care resource


Pastikan bahwa klien atau keluarga mengetahui adanya pusat layanan kesehatan yang
terdekat dari rumah klien, seperti rumah sakit, puskesmas dan lain-lain. Jadi jika
dalam keadaan darurat bisa segera ada pertolongan.

2.4.2 ICU

ICU adalah ruang rawat di Rumah Sakit yang dilengkapi dengan staf dan peralatan khusus
untuk merawat dan mengobati pasien yang terancam jiwa oleh kegagalan / disfungsi satu
organ atau ganda akibat penyakit, bencana atau komplikasi yang masih ada harapan hidupnya
(reversible).

Dalam mengelola pasien ICU, diperlukan dokter ICU yang memahami teknologi kedokteran,
fisiologi, farmakologi dan kedokteran konvensional dengan kolaborasi erat bersama perawat
terdidik dan terlatih untuk critical care. Pasien yang semula dirawat karena masalah
bedah/trauma dapat berubah menjadi problem medik dan sebaliknya.

LEVEL ICU

1. Level I (di Rumah Sakit Daerah dengan tipe C dan D)

Pada Rumah Sakit di daerah yang kecil, ICU lebih tepat disebut sebagai unit
ketergantungan tinggi (High Dependency). Di ICU level I ini dilakukan observasi
perawatan ketat dengan monitor EKG. Resusitasi segera dapat dikerjakan, tetapi
ventilator hanya diberikan kurang dari 24 jam.

2. Level II
19
ICU level II mampu melakukan ventilasi jangka lama, punya dokter residen yang
selalu siap di tempat dan mempunyai hubungan dengan fasilitas fisioterapi, patologi
dan radiologi.

Bentuk fasilitas lengkap untuk menunjang kehidupan (misalnya dialisis), monitor


invasif (monitor tekanan intrakranial) dan pemeriksaan canggih (CT Scan) tidak perlu
harus selalu ada.

3. Level III

ICU Level III biasanya pada Ruamh Sakit tipe A yang memiliki semua aspek yang
dibutuhkan ICU agar dapat memenuhi peran sebagai Rumah Sakit rujukan.

Personil di ICU level III meliputi intensivist dengan trainee, perawat spesialis, profesional
kesehatan lain, staf ilmiah dan sekretariat yang baik. Pemeriksaan canggih tersedia dengan
dukungan spesialis dari semua disiplin ilmu.

Semua jenis ICU tersebut mempunyai tujuan yaitu mengelola pasien yang sakit kritis sampai
yang terancam jiwanya. ICU di Indonesia umumnya berbentuk ICU umum, dengan
pemisahan untuk CCU (Jantung), Unit dialisis dan neonatal ICU. Alasan utama untuk hal ini
adalah segi ekonomis dan operasional dengan menghindari duplikasi peralatan dan pelayanan
dibandingkan pemisahan antara ICU Medik dan Bedah.

PROSEDUR MASUK ICU

Pasien yang masuk ICU dikirim oleh dokter disiplin lain di luar Icu setelah berkomsultasi
dengan doketr ICU. Konsultasi sifatnya tertulis, tetapi dapat juga didahului secara lisan
(misalnya lewat telepon), terutama dalam keadaan mendesak, tetapi harus segera diikuti
dengan konsultasi tertulis. Keadaan yang mengancam jiwa akan menjadi tanggungjawab
dokter pengirim.

Transportasi ke ICU masih menjadi tanggungjawab dokter pengirim, kecuali transportasi


pasien masih perlu bantuan khusus dapat dibantu oleh pihak ICU. Selama pengobatan di
ICU, maka dimungkinkan untuk konsultasi dengan berbagai spesialis di luar dokter pengirim
atau dokter ICU bertindak sebagai koordinatornya.
20
Terhadap pasien atau keluarga pasien wajib diberikan penjelasan tentang perlunya masuk
ICU dengan segala konsekuensinya dengan menandatangani informed concern.

INDIKASI MASUK ICU

Pasien yang masuk ICU adalah pasien yang dalam keadaan terancam jiwanya sewaktu-
waktu karena kegagalan atau disfungsi satu atau multple organ atau sistem dan masih ada
kemungkinan dapat disembuhkan kembali melalui perawatan, pemantauan dan pengobatan
intensif. Selain adanya indikasi medik tersebut, masih ada indikasi sosial yang
memungkinkan seorang pasien dengan kekritisan dapat dirawat di ICU.

KONTRAINDIKASI MASUK ICU

Yang mutlak tidak boleh masuk ICU adalah pasien dengan penyakit yang sangat menular,
misalnya gas gangren. Pada prinsipnya pasien yang masuk ICU tidak boleh ada yang
mempunyai riwayat penyakit menular.

PENGELOLAAN PASIEN ICU

1. Pendekatan Pasien ICU

a. Anamnesis

Seringkali pasien sebelum masuk ICU sudah mendapat tindakan pengobatan


sebelum diagnosis definitif ditegakkan.

b. Serah Terima Pasien

Untuk mengetahui riwayat tindakan pengobatan sebelumnya dan sebagai bentuk


aspek legal.

c. Pemeriksaan Fisik

Meliputi pemeriksaan fisik secara umum, penilaian neurologis, sistem pernafasan,


kardiovaskuler, gastro intestinal, ginjal dan cairan, anggota gerak, haematologi
dan posisi pasien.

d. Kajian hasil pemeriksaan

21
Meliputi biokimia, hematologi, gas darah, monitoring TTV, foto thorax, CT scan,
efek pengobatan.

e. Identifikasi masalah dan strategi penanggulangannya

f. Informasi kepada keluarga

2. Pemeriksaan Fisik

Walaupun keadaan stabil, pasien tetap harus dilakukan pemeriksaan fisik :

a. ABC

b. Jalan nafas dan kepala

c. Sistem pernafasan

d. Sistem sirkulasi

e. Sistem gastrointestinal

f. Anggota gerak

3. Monitoring rutin

4. Intubasi dan Pengelolaan Trakhea

5. Cairan : Dehidrasi

6. Perdarahan Gastrointestinal

Stress ulcer dapat merupakan kompensasi dari penyakit akut.

7. Nutrisi

Utamakan pemberian nutrisi enteral

KRITERIA KELUAR DARI ICU

22
Pasien tidak perlu lagi berada di ICU apabila :

1. Meninggal dunia
2. Tidak ada kegawatan yang mengancam jiwa sehingga dirawat di ruang biasa atau
dapat pulang

3. Atas permintaan keluarga atau pasien. Untuk kasus seperti ini keluarga atau pasien
harus menandatangani surat keluar ICU atas permintaan sendiri.

2.5 Terapi Cairan

Terapi cairan paska bedah ditujukan untuk :

a. Memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi.

b. Mengganti kehilangan cairan pada masa paska bedah (cairan lambung, febris).

c. Melanjutkan penggantian defisit prabedah dan selama pembedahan.

d. Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan.

Nutrisi parenteral bertujuan menyediakan nutrisi lengkap, yaitu kalori, protein dan lemak
termasuk unsur penunjang nutrisi elektrolit, vitamin dan trace element. Pemberian kalori
sampai 40 – 50 Kcal/kg dengan protein 0,2 – 0,24 N/kg. Nutrisi parenteral ini penting, karena
pada penderita paska bedah yang tidak mendapat nutrisi sama sekali akan kehilangan protein
75 – 125 gr/hari. Hipoalbuminemia menyebabkan edema jaringan, infeksi dan dehisensi luka
operasi, terjadi penurunan enzym pencernaan yang menyulitkan proses realimentasi.

Pemberian cairan diberikan seperti perhitungan-perhitungan pada masa pre operatif dengan
lebih memperhitungkan perubahan-perubahan berat badan, suhu badan, suhu kamar, external
lesses dan tetap menilai keadaan klinis seperti kesadaran, selaput-selaput lendir, turgor,
keadaan mata dan lain-lain.

Pengobatan cairan pada masa post operatif adalah pemberian cairan yang sesuai dengan
cairan ekstraseluler saja telah mencukupi dan transfusi darah jarang sekali diperlukan. Cairan
yang dipilih biasanya adalah larutan Ringer laktat.

Pertimbangan ini disebabkan karena hal-hal berikut:

23
1. Edema/sequestrasi di daerah perlukaan adalah transudat ekstraseluler, dan dapat
berlangsung hingga beberapa hari dengan jumlah kehilangan yang dapat menpai2-4
liter sehari. Kehilangan itu sangat meyolok pada trauma usus yang luas, diseksi yang
luas, ileus. Aortic aneurismectomi, aviscerasi yang agak lama. Gagalnya penggantian
cairan ini akan menyebabkan timbulnya oliguria, takikardi hipotensi dengan gejala-
gejala lain sebagai akibat retensi air dan natrium.
2. MeskipunShires, 1967 mengemukakan adanya pengeluaran yang bersifat disporporsi
dengan cairan ekstraseluler, pada binatang percobaan dengan haemorrogik shock,
akan tetapi dia sendiri telah membuktikan pula bahwa dibandingkn dengan cara lain,
pemberian larutan ringer laktat sebagai pengaruh darah yang keluar telah
meningkatkan “survivalrate”. Dengan demikian telah timbul kesimpulan bahwa
larutan ringer laktat tidak dapat menggantikan darah, akan tetapi dpat mengurngi
kebutuhan transfusi darah.

Oleh karena trauma ringan, perubahan emosi dan lain-lain dapat dilihat dengan nyata adanya
sekresi ADH danaldosteron. Sekresi ini lebih bayak disebabkan karena stimulasi ACTH
mekanisme “Renin Angiotensin”. Meskipun hal ini disebabkan terjadinya peningkatan kadar
K+, ternyata dengan menjaga keseimbangan cairan ekstraseluler saja faktor ini tidak banyak
menimbulkan kesukaran. Keseimbangan larutan garam seperti ringer laktat lebih disukai dari
pada NaCl- isotonis, karena tidak menyebabkan “dilutional acidosis” atau penimbunan
klorida apabila timbul kehiangan-kehilangan yang isotonik.

Pengaruh hormonal yang masih menetap beberapa hari pasca bedah dan mempengaruhi
keseimbangan air dan elektrolit harus diperhatikan dalam menentukan terapi cairan tersebut.
Bila penderita sudah dapat minum secepatnya diberikan per oral. Apabila penderita tidak
boleh per oral, maka pemberian secara parenteral diteruskan. Air diberikan sesuai dengan
pengeluaran yang ada (urin + insensible loss). Masuknya kembali cairan dri ruangan ketiga
dan interstitial ke dalam cairan ekstra sel yang berfungsi tejadi secara bertahap dalam 5-6 hari
dan pada penderita tanpa gangguan fungsi jantung atau ginjal, hal ini tidak mempengaruhi
keseimbangan air dan elektrolit. Demikian juga pengaruh SIADH.

Pemberian natrium pada hari pertama pasca bedah dalam jumlah yang lebih rendah dari
kebutuhan pmeliharaan, cukup beralasan karena walaupun pengaruh hormonal menyebabkan

24
terjadinya retensi natrium tetapi retensi air lebih banyak terjadi. Pasca bedah lebih sering
dijumpai keadaan hiponatremia, yang akan kembali normal dengan hanya membatasi
pemberian (“intake”) cairan saja. Kalium sebaiknya diberikan pada hari kedua pasca bedah .
Setelah hari pertama biasanya timbul kehilangan kalium yang dapat menapai 90-100
mEq/uter urine apabila fungsi ginjal mencukup dianjurkan untuk memberikan 50-80
mEq/hari, kecuali diduga adanya kehilangan yang berlebihan di urine.

Glukosa diberikan 100 gr/hari.

Cairan yang diberikan : pada orang dewasa.


- Hari I : Dekstrosa 5-10 % dalam 0,18 % NaCl
- Hari II : Dekstrosa 5-10 % dalam 0,18 % NaCl + K+ 1 mEq/KgBB/hari

Pada bayi dan anak :


Kebutuhan pemeliharaan biasanya ditambah karena bertambahnya “insensible loss” yang
dapat mencapai 3-4 ml/KgBB/jam. Cairan yang dibeikan : dekstrosa 5 % + ringer laktat
dalam dekstrosa 5 % dengan perbandingan 4 : 1 atau 3 : 2 tergantung banyak atau sedikitnya
insensible loss tadi .

2.6 Komplikasi Pasca Operatif

Setelah tindakan pembedahan atau anestesi, sering dijumpai hal-hal yang tidak diinginkan
akibat stress pasca bedah atau pasca anestesia yang berupa gangguan nafas, gangguan
kardiovaskuler, gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil dan terkadang perdarahan.

1. Gangguan pernafasan

Obstruksi napas parsial atau total, tak ada ekspirasi paling sering dialami pada
pasien pasca anestesi umum yangbelum sadar, karena lidah jatuh menutup faring
atau oleh edema laring.

2. Gangguan kardiovaskuler

25
Hipertensi dapat diakibatkan karna nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa trakea,
cairan infus berlebihan, buli-buli penuh atau aktivitas saraf simpatis karna hipoksi,
hiperkapni dan asidosis.

Hipotensi akibat isian balik vena menurunkan disesabkan perdarahan, terapi


cairan kurang adekuat, hilangnya cairan ke rongga ketiga, keluaran airr kemih
belum diganti, kontraksi miokardium kurang kuat atau tahanan veskuler perifer
menurun.

Disritmia disebabkan oleh hipokalemia, asidosis-alkalosis, hipoksia, hiperkapnia


atau memang pasien penderita sakit jantung.

3. Gelisah

Gelisah disebabkan karna hipoksia, asidosis, hipotensi, kesakitan, efek sa,ping


obat misalnya ketamin atau buli-buli pebuh. Setelah disingkirkan sebab-sebab
tersebut di atas pasien dapat diberikan penenang midazolam 0,005-o,1 mg/kgBB.

4. Nyeri

Untuk merdam nyeri pasca anaestesi pada analgesia regional pasien dewasa,
sering ditambahkan morfin 0,05-0,10 mg saat memasukkan anestetik lokal ke
ruang subarakhnoid atau morfin 2-5 mg ke ruang epidural.

5. Mual-muntah

6. Menggigil

Menggigil terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesi. Hipotermi terjadi
akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, cairan infus dingin, cairan
irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama. Menggigil selain akibat turunnya
suhu dapat juga disertai oleh naiknya suhu dan biasanya akibat obat anestetik
inhalasi.

Selain dari gangguan-gangguan tersebut di atas, dapat juga terjadi beberapa komplikasi
seperti dibawah ini :

1. Syok

26
Digambarkan sebagai tidak memadainya oksigenasi selular yang disertai dengan
ketidakmampuan untuk mengekspresikan produk sampah metabolisme. Tanda-tandanya :

a. Pucat
b. Kulit dingin dan terasa basah

c. Pernafasan cepat

d. Sianosis pada bibir, gusi dan lidah

e. Nadi cepat, lemah dan bergetar

f. Penurunan tekanan nadi

g. Tekanan darah rendah dan urine pekat.

Pencegahan :

a. Terapi penggantian cairan


b. Menjaga trauma bedah pda tingkat minimum

c. Pengatasan nyeri dengan membuat pasien senyaman mungkin dan dengan


menggunakan narkotik secara bijaksana

d. Pemakaian linen yang ringan dan tidak panas (mencegah vasodilatasi)

e. Ruangan tenang untuk mencegah stres

f. Posisi supinasi dianjurkan untuk memfasilitasi sirkulasi

g. Pemantauan tanda vital

Pengobatan :

a. Pasien dijaga tetap hangat tapi tidak sampai kepanasan


b. Dibaringkan datar di tempat tidur dengan tungkai dinaikkan

c. Pemantauan status pernafasan dan CV

d. Penentuan gas darah dan terapi oksigen melalui intubasi atau nasal kanul jika
diindikasikan

27
e. Penggantian cairan dan darah kristaloid (ex : RL) atau koloid (ex : komponen darah,
albumin, plasma atau pengganti plasma)

f. Penggunaan beberapa jalur intravena

g. Terapi obat : kardiotonik (meningkatkan efisiensi jantung) atau diuretik (mengurangi


retensi cairan dan edema)

2. Hemorrhagi

Jenis :

a. H. Primer : terjadi pada waktu pembedahan


b. H. Intermediari : beberapa jam setelah pembedahan ketika kenaikan tekanan darah ke
tingkat normalnya melepaskan bekuan yang tersangkut dengan tidak aman dari
pembuluh darah yang tidak terikat

c. H. Sekunder : beberapa waktu setelah pembedahan bila ligatur slip karena pembuluh
darah tidak terikat dengan baik atau menjadi terinfeksi atau mengalami erosi oleh
selang drainage.

Tanda-tanda :Gelisah, gundah, terus bergerak, merasa haus, kulit dingin-basah-pucat, nadi
meningkat, suhu turun, pernafasan cepat dan dalam, bibir dan konjungtiva pucat dan pasien
melemah.

Penatalaksanaan :

a. Pasien dibaringkan seperti pada posisi pasien syok


b. Sedatif atau analgetik diberikan sesuai indikasi

c. Inspeksi luka bedah

d. Balut kuat jika terjadi perdarahan pada luka operasi

e. Transfusi darah atau produk darah lainnya

f. Observasi VS.

3. Trombosis Vena profunda

28
Merupakan trombosis pada vena yang letaknya dalam dan bukan superfisial. anifestasi
klinis :

a. Nyeri atau kram pada betis


b. Demam, menggigil dan perspirasi

c. Edema

d. Vena menonjol dan teraba lebih mudah

Pencegahan :

a. Latihan tungkai
b. Pemberian Heparin atau Warfarin dosis rendah

c. Menghindari penggunaan selimut yang digulung, bantal yang digulung atau bentuk
lain untuk meninggikan yang dapat menyumbat pembuluh di bawah lutut

d. Menghindari menjuntai kaki di sisi tempat tidur dalam waktu yang lama

Pengobatan :

a. Ligasi vena femoralis


b. Terapi antikoagulan

c. Pemeriksaan masa pembekuan

d. Stoking elatik tinggi

e. Ambulasi dini.

4. Embolisme Pumonal

Terjadi ketika embolus menjalar ke sebelah kanan jantung dan dengan sempurna menyumbat
arteri pulmonal. encegahan paling efektif adalah dengan ambulasi dini pasca operatif.

5. Retensi Urine

Paling sering terjadi setelah pembedahan pada rektum, anus dan vagina.

29
6. Delirium

Penurunan kesadaran dapat terjadi karena toksik, traumatik atau putus alkohol.

7. Infeksi luka operasi (dehisiensi, evicerasi, fistula, nekrose, abses)

Infeksi luka psot operasi seperti dehiseinsi dan sebaginya dapat terjadi karena adanya
kontaminasi luka operasi pada saat operasi maupun pada saat perawatan di ruang perawatan.
Pencegahan infeksi penting dilakukan dengan pemberian antibiotik sesuai indikasi dan juga
perawatan luka dengan prinsip steril.

8. Komplikasi Gastrointestinal

Komplikasi pada gastrointestinal paling sering terjadi pada pasien yang mengalami
pembedahan abdomen dan pelvis. Komplikasinya meliputi obstruksi intestinal, nyeri dan juga
distensi abdomen.

BAB III

KESIMPULAN

kesimpulan yang dapat di dapatkan dari pembahasan di atas adalah :

30
1. Pulih dari anestesi umum atau dari analgesia regional secara rutin dikelola
dikamar pulih atau unit perawatan pasca anestesi (Recovery Room atau Post
Anestesia Care Unit)

2. Pasien sebaiknya dipindahkan ke RPPA di atas kereta yang dapat diubah


posisinya (tilting trolley), dalam posisi lateral/semiprone

3. Dianjurkan memakai sistem penilaian pulih pasca anesthesia(Stuart Score)

4. Jumlah nilai keseluruhan pasien yang telah mencapai nilai >8 baru boleh
dipulangkan

5. room (RR) atau sering disebut juga sebagai Post-Anesthesia Care Unit
(PACU) merupakan suatu tempat dimana pasien pulih kembali dari efek
anesthesi pasca operasi dan pasien mendapatkan perawatan pasca operasi

6. Bila pengaruh obat bius sudah tidak berbahaya lagi, tekanan darah stabil-
bagus, perafasan lancar-adekuat dan kesadaran sudah mencukupi (lihat
Aldered Score), barulah klien dipindahkan ke kamarnya semula (bangsal
perawatan)

7. Monitoring linis dapat dibagi menjadi pengamatan jalan nafas (airway),


pernafasan (breathing), dan sirkulasi (circulation); suhu (temperature), dan
tingkat kesadaran (conscious level)

8. Setelah tindakan pembedahan atau anestesi, sering dijumpai hal-hal yang tidak
diinginkan akibat stress pasca bedah atau pasca anestesia yang berupa
gangguan nafas, gangguan kardiovaskuler, gelisah, kesakitan, mual-muntah,
menggigil dan terkadang perdarahan

DAFTAR ISI

Daftar Isi…………………………………………………………...……...ii

Bab. I PENDAHULUAN........................................................................1

31
Bab.II ISI

2.1 Tujuan perawatan pascaoperasi.......................................................... 3

2.2 Penatalaksanaan Pasca Anastesi......................................................... 4

2.3 Tahap keperawatan post operatif…………………………………… 4

2.4 Ruang Perawatan Pasca Operatif....................................................... 8

2.4.1 Recovery Room..........................…………………………. 8

2.4.2 ICU ………………………………………………………. 19

2.5 Terapi Cairan...................................................................................... 23

2.6 Komplikasi Pasca Operatif................................................................ 26

Bab.III KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan…………………………………………………........… 31

Daftar Pustaka

32

Anda mungkin juga menyukai