Anda di halaman 1dari 51

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi akibat berkembang biaknya

mikroorganisme di dalam saluran kemih seperti kandung kemih, uretra, ureter,

dan ginjal yang dalam keadaan normal air kemih tidak mengandung bakteri, virus

atau mikroorganisme lain. Dengan demikian air kemih di dalam sistem saluran

kemih biasanya steril. Walaupun demikian ujung uretra bagian bawah dapat

dihuni oleh bakteri yang jumlahnya berkurang di bagian uretra yang dekat dengan

kandung kemih. Setelah melalui uretra biasanya sudah tercemar dengan bakteri

yang terdapat di meatus uretra, preputium atau vulva (Samirah, 2012).

Enterobacteriaceaea (termasuk Esche-richia coli) dan Enterococcus

faecalis merupakan agen penyebab yang mencakup >95% dari ISK. Di

laboratorium klinik Mikrobiologi Universitas Indonesia pada tahun 2002 jenis

kuman yang terbanyak ialah Escherichia coli (19%) dan yang kedua ialah

Klebsiella pneumoniae (13%). Hasil penelitian Sudarmin pada tahun 2002 sampai

2003 didapatkan kuman yang terbanyak Escherichia coli (14%), dengan kedua

terbanyak Acinetobacter calcoa-ceticus (8%) (Sumolang et al, 2013).

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah sebuah kondisi medis umum yang

mengakibatkan angka morbiditas dan mortalitas yang signifikan. 50-60% dari

wanita akan mengalami ISK setidaknya satu kali dalam hidup mereka. Mencapai

10% dari wanita post-menopause mengalami sekali ISK setiap tahun. Pria

mempunyai insidensi ISK yang jauh lebih rendah (5 per 10.000 per tahun)

1
(Schollum, 2009). Pada masa neonatus, infeksi saluran kemih lebih banyak

terdapat pada bayi laki-laki (2,7%) yang tidak menjalani sirkumsisi dari pada bayi

perempuan (0,7%), sedangkan pada masa anak-anak hal tersebut terbalik dengan

ditemukannya angka kejadian sebesar 3% pada anak perempuan dan 1% pada

anak laki-laki. Insiden infeksi saluran kemih ini pada usia remaja anak perempuan

meningkat 3,3% sampai 5,8% (Purnomo, 2009).

Komplikasi yang dapat terjadi pada infeksi saluran kemih antara lain batu

saluran kemih, okstruksi saluran kemih, sepsis, infeksi kuman yang multisitem,

gangguan fungsi ginjal. Ilmu kesehatan modern saat ini telah memudahkan

diagnosis dan terapi infeksi saluran kemih sehingga dengan deteksi dini faktor

predisposisi dan pengobatan yang adekuat dengan antibiotik yang sesuai maka

pasien dapat sembuh sempurna tanpa komplikasi (Sukandar, 2006).

Oleh karena itu penulis akan membahas mengenai infeksi saluran kemih,

dalam hal ini termasuk epidemiologi, penyebab, patogenesis, diagnosis, terapi,

komplikasi, serta prognosis dari infeksi saluran kemih.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

Sistem urinarius terdiri dari 2 ginjal (ren), 2 ureter, vesika urinaria dan

uretra. Sistem urinarius berfungsi sebagai sistem ekskresi dari cairan tubuh. Ginjal

berfungsi untuk membentuk atau menghasilkan urin dan saluran kemih lainnya

berfungsi untuk mengekskresikan atau mengeliminasi urin. Sel-sel tubuh

memproduksi zat-zat sisa seperti urea, kreatinin dan ammonia yang harus

diekskresikan dari tubuh sebelum terakumulasi dan menyebabkan toksik bagi

tubuh. Selain itu, ginjal juga berfungsi untuk regulasi volume darah tubuh,

regulasi elekterolit yang terkandung dalam darah, regulasi keseimbangan asam

basa, dan regulasi seluruh cairan jaringan tubuh. Saluran kemih bagian atas adalah

ginjal, sedangkan ureter, kandung kemih (vesika urinaria) dan uretra merupakan

saluran kemih bagian bawah (Sherwood, 2012).

Gambar 1. Struktur saluran kemih manusia (Glance, 2007)

3
Setiap hari ginjal menyaring 1700 L darah, setiap ginjal mengandung lebih

dari 1 juta nefron, yaitu suatu fungsional ginjal. Ini lebih dari cukup untuk tubuh,

bahkan satu ginjal pun sudah mencukupi. Darah yang mengalir ke kedua ginjal

normalnya 21 % dari curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit (Sherwood, 2012).

Masing-masing ginjal mempunyai panjang kira-kira 12 cm dan lebar 2,5 cm

pada bagian paling tebal. Berat satu ginjal pada orang dewasa kira-kira 150 gram

dan kira-kira sebesar kepalang tangan. Ginjal terletak retroperitoneal dibagian

belakang abdomen. Ginjal kanan terletak lebih rendah dari ginjal kiri karena ada

hepar disisi kanan. Ginjal berbentuk kacang, dan permukaan medialnya yang

cekung disebut hilus renalis, yaitu tempat masuk dan keluarnya sejumlah saluran,

seperti pembuluh darah, pembuluh getah bening, saraf dan ureter (Israr, 2009).

Ginjal memiliki tiga bagian penting yaitu korteks, medulla dan pelvis renal.

Bagian paling superfisial adalah korteks renal, yang tampak bergranula. Di

sebelah dalamnya terdapat bagian lebih gelap, yaitu medulla renal. Ujung

ureter yang berpangkal di ginjal, berbentuk corong lebar disebut pelvis renal.

Pelvis renal bercabang dua atau tiga, disebut kaliks mayor yang masing-masing

bercabang membentuk beberapa kaliks minor. Dari kaliks minor, urin masuk ke

kaliks mayor, ke pelvis renal kemudian ke ureter, sampai akhirnya ditampung di

dalam kandung kemih (Purnama Sari, 2012).

Ureter terdiri dari dua saluran pipa yang masing-masing

menyambung dari ginjal ke kandung kemih (vesika urinaria). Panjangnya kira-

kira 25-30 cm, dengan penampang ± 0,5 cm. Ureter sebagian terletak dalam

rongga abdomen dan sebagian terletak dalam rongga pelvis. Kandung kemih

4
adalah kantong yang terbentuk dari otot tempat urin mengalir dari ureter. Dinding

kandung kemih terdiri dari lapisan sebelah luar (peritonium) (Israr, 2009).

Gambar.2 Struktur anatomi ginjal

Sumber: Essential of Anatomy and Physiology 5th edition, 2007, Hal. 422.

Bagian akhir saluran keluar yang menghubungkan kandung kemih

dengan luar tubuh ialah uretra. Uretra pria sangat berbeda dari uretra wanita. Pada

laki-laki, sperma berjalan melalui uretra waktu ejakulasi. Uretra pada laki-laki

merupakan tuba dengan panjang kira-kira 17-20 cm dan memanjang dari kandung

kemih ke ujung penis (Purnomo, 2012).

Uretra pada laki-laki mempunyai tiga bagian yaitu: uretra pars

prostatika, uretra pars membranosa dan uretra pars spongiosa. Uretra wanita jauh

lebih pendek daripada pria, karena hanya 2,5-4 cm panjangnya dan memanjang

dari kandung kemih ke arah ostium diantara labia minora kira-kira 2,5 cm di

sebelah belakang klitoris (Sukandar, 2010).

5
Gambar 3. Vesika urinaria dan uretra pada perempuan dan laki-laki

Sumber: Essential of Anatomy and Physiology 5th edition,2007, Hal. 432

Vaskularisasi renal

Ginjal menerima kurang lebih 20% curah jantung. Aliran darah ke ginjal

berasal dari sepasang arteri renalis setinggi L2. Arteri masuk ke dalam hilum

renal, melewati ginjal, dengan vena renalis terletak di anterior; kemudian arteri

renalis; dan pelvis renalis di posterior (Sherwood, 2012).

Cabang pertama arteri renalis adalah arteri suprarenal inferior. Arteri

renalis kemudian bercabang menjadi 5 cabang segmental. Arteri segmental

posterior menyuplai kebanyakan ginjal posterior, dengan pengecualian polus

inferior. Cabang anterior merupakan arteri segmental superior, arteri segmental

superior anterior, arteri segmental inferior anterior, dan arteri segmental inferior.

Arteri-arteri ini kemudian bercabang menjadi arteri interlobaris, yang berjalan

paralel di antara calix mayor dan selanjutnya bercabang menjadi arteri arkuata

yang berjalan dalam korteks melintasi basis piramida renal (Israr, 2009).

6
Arteri arkuata kemudian menyebar menjadi arteri interlobularis, yang

meluas ke dalam korteks ginjal dan akhirnya menjadi arteriol aferen, kapiler

peritubuler menjadi arteriol eferen. Beberapa cabang terminal arteri interlobularis

menjadi arteri radiate perforating, yang menyuplai kapsul renal. Pelvis renalis

dan cabang ureterik superior juga berasal dari arteri renalis dan menyuplai bagian

superior sistem kolektivus (Nguyen, 2008).

Gambar 4. Vaskularisasi Renal

Vena renalis mengalirkan darah balik ginjal dalam distribusi yang sama

dengan arteri, dan vena renalis secara umum terletak lebih anterior terhadap arteri

renalis di hilum. Vena renalis mengalirkan darah menuju ke vena cava inferior

(Samirah, 2012).

Sistem kolektivus

Ketika filtrat mencapai duktus kolektivus di medula renalis, duktus-duktus

tersebut menyatu menjadi papilla renalis, yang menggambarkan apeks pirmaidal

7
renal. Urin kemudian berkumpul dalam 9-12 calix minor, yang kemudian menyatu

ke dalam 3-4 calix mayor (Weissman, 2007).

Calix mayor kemudian dikosongkan ke dalam pelvis renalis, yang

mengeluarkan urin melalui UPJ dan ke dalam ureter, yang kemudian mendorong

urin ke distal menuju vesica urinaria melalui peristalsis (Sanders, 2007).

Gambar 5. Mikroanatomi Nefron

2.2 Definisi

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi akibat berkembang biaknya

mikroorganisme di dalam saluran kemih seperti kandung kemih, uretra, ureter,

dan ginjal yang dalam keadaan normal air kemih tidak mengandung bakteri, virus

atau mikroorganisme lain. Walaupun demikian ujung uretra bagian bawah dapat

dihuni oleh bakteri yang jumlahnya berkurang di bagian uretra yang dekat dengan

8
kandung kemih. Setelah melalui uretra biasanya sudah tercemar dengan bakteri

yang terdapat di meatus uretra, preputium atau vulva. Infeksi yang terjadi

bergantung dengan virulensi kuman dan mekanisme pertahanan tubuh (Samirah,

2012).

Istilah dalam ISK:

a. ISK uncomplicated (sederhana) adalah infeksi saluran kemih pada pasien

tanpa disertai kelainan anatomi maupun kelainan struktur saluran kemih.

b. ISK complicated (rumit) adalah infeksi saluran kemih yang terjadi pada

pasien yang menderita kelainan anatomik / struktur saluran kemih, atau

adanya penyakit sistemik. Kelainan ini akan menyulitkan pemberantasan

kuman oleh antibiotika.

c. First infection (infeksi pertama kali) atau isolated infection adalah infeksi

salurah kemih yang baru pertama kali diderita atau infeksi yang didapat

setelah sekurang-kurangnya 6 bulan telah bebas dari ISK.

d. Unresolved bakteriuria adalah infeksi yang tidak mempan dengan

pemberian antibiotika. Kegagalan ini biasanya terjadi karena

mikroorganisme penyebab infeksi telah resisten (kebal) terhadap pemberian

antibiotika yang dipilih.

e. Infeksi berulang adalah timbulnya kembali bakteriuria setelah sebelumnya

dapat dibasmi dengan terapi antibiotika pada infeksi yang pertama.

Timbulnya infeksi berulang ini dapat berasal dari reinfeksi atau bakteriuria

persisten. Pada reinfeksi, kuman berasal dari luar saluran kemih, sedangkan

bakteriuria persisten bakteri penyebab infeksi berasal dari dalam saluran

kemih (Purnomo, 2012).

9
Infeksi saluran kemih dapat disebabkan oleh berbagai macam

mikroorganisme, terbanyak adalah bakteri. Penyebab lain meskipun jarang

ditemukan adalah jamur, virus, klamidia, parasit, mikobakterium. Didasari hasil

pemeriksaan biakan air kemih kebanyakan ISK disebabkan oleh bakteri negatif

Gram aerob yang biasa ditemukan di saluran pencernaan (Enterobacteriaceae),

dan jarang disebabkan oleh bakteri anaerob. Bakteriuri ialah air kemih yang

didalamnya ada bakteri bukan cemaran flora normal uretra, atau ditemukan flora

normal dalam jumlah yang bermakna pada pemeriksaan laboratorik, baik yang

disertai gejala ataupun tanpa gejala (Marlina, 2013).

2.3 Epidemiologi

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyakit yang perlu mendapatkan

perhatian serius dikarenakan angka kejadian kasus ini masih terbilang tinggi. Di

Amerika dilaporkan setidaknya 6 juta pasien datang ke dokter setiap tahunnya

dengan diagnosis ISK. Berdasarkan survei di rumah sakit Amerika Serikat tahun

2002, kematian yang timbul dari infeksi saluran kemih diperkirakan lebih dari

13.000 (2,3% angka kematian). Sementara itu, kurang dari 5% kasus bakteriuria

berkembang menjadi bakterimia. Infeksi saluran kemih yang berkaitan dengan

kateter adalah penyebab utama infeksi sekunder aliran darah nosokomial. Sekitar

17% infeksi bakterimia nosokomial bersumber dari infeksi saluran kemih, dengan

angka kematian sekitar 10% (Marlina, 2013).

Menurut WHO dalam Safitri (2013), Infeksi saluran kemih (ISK) adalah

penyakit infeksi yang kedua tersering pada tubuh sesudah infeksi saluran

pernafasan dan sebanyak 8,3 juta kasus dilaporkan per tahun. Infeksi ini juga lebih

sering dijumpai pada wanita dari pada laki-laki. Indonesia merupakan negara

10
berpenduduk ke empat terbesar dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat.

Sementara itu Penduduk Indonesia yang menderita Infeksi Saluran Kemih

diperkirakan sebanyak 222 juta jiwa. Infeksi saluran kemih di Indonesia dan

prevalensinya masih cukup tinggi, Menurut perkiraan Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, jumlah penderita ISK di Indonesia adalah 90-100 kasus per

100.000 penduduk pertahun nya atau sekitar 180.000 kasus baru pertahun (Depkes

RI, 2014). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Propinsi Aceh angka kejadian

Infeksi Saluran Kemih sekitar 1.264 kasus yang dilaporkan dan diperkirakan

masih banyak kejadian Infeksi Saluran Kemih di Provinsi Aceh yang tidak

terlaporkan (Ramadhan, 2015).

ISK dapat menyerang mulai dari anak–anak, remaja, dewasa hingga lansia.

Pada bayi laki–laki dan perempuan memilki tingkat prevalensi kejadian ISK yang

sama. Insiden akan menurun pada laki– laki dan meningkat pada perempuan pada

saat usia 6 bulan. ISK rata–rata 5 kali lebih sering terjadi pada perempuan dari

pada laki–laki pada usia 1 tahun pertama. Insiden ISK tertinggi pada bayi

perempuan yang terlahir prematur dan berat badan lebih rendah (Prabowo, 2012).

Tabel 1. Epidemiologi ISK menurut usia dan jenis kelamin (Nguyen HT, 2008).

11
2.4 Klasifikasi

Berdasarkan anatomisnya infeksi saluran kemih terbagi menjadi 2 yaitu

(Tanto, 2016):

2.4.1 Infeksi saluran kemih bawah

Presentasi klinis ISK bawah tergantung dari gender

a. Perempuan

 Sistitis, adalah presentasi klinis infeksi saluran kemih disertai

bakteriuria bermakna.

 Sindroma uretra akut (SUA), adalah presentasi klinis sistitis

tanpa ditemukan mikroorganisme (steril).

b. Laki-laki

 Presentasi ISK bawah pada laki-laki dapat berupa sistitis,

prostatitis, epidimidis, dan uretritis.

2.4.2 Infeksi saluran kemih atas

a. Pielonefritis akut (PNA), adalah proses inflamasi parenkim ginjal yang

disebabkan oleh infeksi bakteri.

b. Pielonefritis kronis (PNK), mungkin terjadi akibat lanjut dari infeksi

bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Obstruksi saluran

kemih serta refluk vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria kronik

sering diikuti pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal yang ditandai

pielonefritis kronik yang spesifik (Dewi, 2015).

12
Gambar 6. Klasifikasi infeksi saluran kemih

2.5 Etiologi

Penyebab ISK terbanyak adalah bakteri gram-negatif, termasuk bakteri

yang biasanya menghuni usus kemudian naik ke sistem saluran kemih. Dari gram

negatif tersebut, ternyata Escherichia coli menduduki tempat teratas kemudian

diikuti oleh Proteus sp., Klebsiella sp., Enterobacter sp., dan Pseudomonas sp

(Permata Sari, 2016). Bermacam-macam mikro organisme dapat menyebabkan

ISK, antara lain dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Persentase biakan mikroorganisme penyebab ISK (Sanders, 2007)

No. Mikroorganisme Persentase biakan(%)

1. Escherichia coli 50-90


2. Klebsiela sp. atau Enterobacter sp. 10-40
3. Proteus sp. 5-10
4. Pseudomonas aeroginosa 2-10
5. Staphylococcus epidermidis 2-10
6. Enterococci sp. 2-10

13
7. Candida albicans 1-2
8. Staphylococcus aureus 1-2

Jenis penyebab ISK non-bakterial adalah adenovirus yang dapat

menyebabkan sistitis hemoragik. Bakteri lain yang dapat menyebabkan ISK

melalui cara hematogen adalah brusella, nocardia, actinomises, dan

Mycobacterium tubeculosa. Candida sp merupakan jamur yang paling sering

menyebabkan ISK terutama pada pasien-pasien yang menggunakan kateter urin,

pasien dengan penyakit imunnocompromised, dan pasien yang mendapat

pengobatan antibiotik berspektrum luas. Jenis Candida yang paling sering

ditemukan adalah Candida albicans dan Candida tropicalis. Semua jamur

sistemik dapat menulari saluran kemih secara hematogen (Macfarlane, M.T,

2006).

2.6 Faktor Predisposisi

Menurut penelitian, status saluran kemih merupakan faktor risiko pencetus

ISK. faktor bakteri dan status saluran kemih pasien mempunyai peranan penting

untuk kolonisasi bakteri pada saluran kemih. Kolonisasi bakteri sering mengalami

kambuh (eksaserbasi) bila sudah terdapat kelainan struktur anatomi saluran

kemih. Dilatasi saluran kemih termasuk pelvis ginjal tanpa obstruksi saluran

kemih dapat menyebabkan gangguan proses klirens normal dan sangat peka

terhadap infeksi (Sukandar, 2009). Berikut adalah beberapa kondisi yang

berhubungan dengan saluran kemih yang mempermudah untuk terjadinya ISK,

yaitu :

14
1. Bendungan aliran urin, terdiri atas :

a. Anomali kongenital

b. Batu saluran kemih

c. Oklusi ureter (sebagian atau total)

2. Refluks vesikoureter

3. Urin sisa dalam buli-buli karena :

a. Neurogenic bladder

b. Striktura uretra

5. Hygienitas

6. Instrumentasi

a. Kateter

b. Dilatasi uretra

c. Sitoskopi

Selain itu urin juga memiliki karakter spesifik (osmolalitas urin,

konsentrasi urin, konsentrasi asam organik dan pH) yang dapat menghambat

pertumbuhan dan kolonisasi bakteri pada mukosa saluran kemih. Menurut

penelitian urin juga mengandung faktor penghambat perlekatan bakteri yakni

Tamm-Horsfall glycoprotein, dikatakan bahwa bakteriuria dan tingkat inflamasi di

saluran kemih meningkat pada defisit THG. THG membantu mengeliminasi

infeksi bakteri pada saluran kemih dan berperan sebagai salah satu mekanisme

pertahanan tubuh (Nguyen, 2008).

Retensi urin, stasis, dan refluks urin ke saluran cerna bagian atas juga

dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri dan infeksi. Selain itu, abnormalitas

anatomi dan fungsional saluran kemih yang dapat menganggu aliran urin dapat

15
meningkatkan kerentanan host terhadap ISK. Keberadaan benda asing seperti

adanya batu, kateter, stent dapat membantu bakteri untuk bersembunyi dari

mekanisme pertahanan host (Weissman, 2007).

Lapisan epitel pada dinding saluran kemih mengandung membran yang

melindungi jaringan dari infeksi dan berkapasitas untuk mengenali bakteri dan

mengaktivasi mekanisme pertahanan tubuh. Sel uroepithelial mengekspresikan

toll-like receptors (TLRs) yang dapat mengikat komponen spesifik dari bakteri

sehingga menghasilkan mediator inflamasi. Respon tubuh dengan mengsekresikan

kemotraktan seperti interleukin-8 untuk merekrut neutrofil ke area jaringan yang

terinvasi. Selain itu, ginjal juga memproduksi antibodi untuk opsonisasi dan

fagositosis bakteri serta untuk mencegah perlekatan bakteri. Mekanisme imunitas

seluler dan humoral ini berperan dalam pencegahan ISK, oleh karena itu imunitas

host berperan penting dalam kejadian ISK (Sukandar, 2006).

2.7 Patofisiologi

Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang mengatur keseimbangan

cairan tubuh dan elektrolit dalam tubuh, dan sebagai pengatur volume dan

komposisi kimia darah dengan mengeksresikan air yang dikeluarkan dalam

bentuk urine apabila berlebih. Diteruskan dengan ureter yang menyalurkan urine

ke kandung kemih. Sejauh ini diketahui bahwa saluran kemih atau urine bebas

dari mikroorganisme atau steril. Infeksi saluran kemih terjadi pada saat

mikroorganisme memasuki saluran kemih dengan cara : (1) penyebaran endogen

yaitu kontak langsung dari tempat infeksi terdekat (ascending), (2) hematogen

seperti pada penularan M. Tuberculosis atau S. Aureus, (3) Limfogen, dan (4)

langsung dari organ sekitarnya yang sebeumnya telah terinfeksi (Purnomo, 2012).

16
Sebagian besar mikro-organisme memasuki saluran kemih melalui cara

ascending. Kuman penyebab ISK pada umumnya adalah kuman yang berasal dari

flora normal usus. Dan hidup secara komensal di dalam introitus vagina,

prepusium penis, kulit perineum, dan di sekitar anus. Mikroorganisme memasuki

saluran kemih melalui uretra – prostat – vas deferens – testis (pada pria) – buli-

buli – ureter, dan sampai ke ginjal (Mutiah, 2017).

Gambar 7. Masuknya kuman secara ascending ke dalam saluran kemih, (1)

Kolonisasi kuman di sekitar uretra, (2) masuknya kuman melalui uretra ke buli-

buli, (3) penempelan kuman pada dinding buli-buli, (4) masuknya kuman melalui

ureter ke ginjal (Purnomo, 2012).

Wanita lebih sering terkena infeksi saluran kemih karena uretra yang

pendek, masuknya kuman dalam hubungan seksual, dan mungkin perubahan pH

dan flora vulva dalam siklus menstruasi, pada bayi dan anak anak biasanya bakteri

berasal dari tinjanya sendiri yang menjalar secara asending. Bakteri uropatogenik

yang melekat pada pada sel uroepitelial, dapat mempengaruhi kontraktilitas otot

polos dinding ureter, dan menyebabkan gangguan peristaltik ureter. Melekatnya

bakteri ke sel uroepitelial, dapat meningkatkan virulensi bakteri tersebut

(Hidayanti, 2008).

17
Terjadinya infeksi saluran kemih karena adanya gangguan keseimbangan

antara mikroorganisme penyebab infeksi (uropatogen) sebagai agent dan epitel

saluran kemih sebagai host. Gangguan keseimbangan ini disebabkan oleh karena

pertahanan tubuh dari host yang menurun atau karena virulensi agen yang

meningkat (Purnomo, 2012).

2.7.1 Faktor host

Kemampuan host untuk menahan mikroorganisme masuk ke dalam saluran kemih

disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :

Gambar 8. Pertahanan lokal tubuh terhadap infeksi (Purnomo, 2012)

Pertahanan lokal sistem saluran kemih yang paling baik adalah mekanisme

wash out urin, yaitu aliran urin yang mampu membersihkan kuman-kuman yang

ada di dalam urin. Gangguan dari sistem ini akan mengakibatkan kuman mudah

sekali untuk bereplikasi dan menempel pada urotelium. Mekanisme wash out

dapat berjalan dengan baik dengan aliran urin yang adekuat adalah jika: jumlah

urin cukup, tidak ada hambatan didalam saluran kemih. Oleh karena itu kebiasaan

jarang minum dan gagal ginjal menghasilkan urin yang tidak adekuat, sehingga

memudahkan terjadinya infeksi saluran kemih. Keadaan lain yang dapat

18
mempengaruhi aliran urin dan menghalangi mekanisme wash out adalah adanya

(Grabe, 2015):

a. Stagnansi atau stasis urin (miksi yang tidak teratur atau sering menahan

kencing, obstruksi saluran kemih, adanya kantong-kantong pada saluran

kemih yang tidak dapat mengalir dengan baik misalnya pada divertikula,

dan adanya dilatasi atau refluk sistem urinaria.

b. Didapatkannya benda asing di dalam saluran kemih yang dipakai sebagai

tempat persembunyian kuman.

Mukosa kandung kemih dilapisi oleh glycoprotein mucin layer yang

berfungsi sebagai anti bakteri. Robeknya lapisan ini dapat menyebabkan bakteri

dapat melekat, membentuk koloni pada permukaan mukosa, masuk menembus

epitel dan selanjutnya terjadi peradangan. Bakteri dari kandung kemih dapat naik

ke ureter dan sampai ke ginjal melalui lapisan tipis cairan (films of fluid), apalagi

bila ada refluks vesikoureter maupun refluks intrarenal. Bila hanya buli buli yang

terinfeksi, dapat mengakibatkan iritasi dan spasme otot polos vesika urinaria,

akibatnya rasa ingin miksi terus menerus (urgency) atau miksi berulang kali

(frequency), sakit waktu miksi (dysuri). Mukosa vesika urinaria menjadi edema,

meradang dan perdarahan (hematuria) (Sukandar, 2010).

Infeksi ginjal dapat terjadi melalui collecting system. Pelvis dan medula

ginjal dapat rusak, baik akibat infeksi maupun oleh tekanan urin akibat refluks

berupa atrofi ginjal. Pada pielonefritis akut dapat ditemukan fokus infeksi dalam

parenkim ginjal, ginjal dapat membengkak, infiltrasi lekosit polimorfonuklear

dalam jaringan interstitial, akibatnya fungsi ginjal dapat terganggu. Pada

pielonefritis kronik akibat infeksi, adanya produk bakteri atau zat mediator

19
toksik yang dihasilkan oleh sel yang rusak, mengakibatkan parut ginjal (renal

scarring) (Israr, 2009).

2.7.2 Faktor agent (mikroorganisme)

Bakteri dilengkapi dengan pili atau fimbriae yang terdapat di

permukaannya. Pili berfungsi untuk menempel pada urotelium melalui reseptor

yang ada dipermukaan urotelium. Ditinjau dari jenis pilinya terdapat 2 jenis

bakteri yang mempunyai virulensi berbeda, yaitu (Purnomo, 2012):

a. Tipe pili 1, banyak menimbulkan infeksi pada sistitis.

b. Tipe pili P, yang sering menimbulkan infeksi berat pielonefritis akut.

Selain itu beberapa bakteri mempunyai sifat dapat membentuk antigen,

menghasilkan toksin (hemolisin), dan menghasilkan enzim urease yang dapat

merubah suasana urin menjadi basa (Kline, 2009).

Gambar 9. Bakteri menempel pada sel urotelium menggunakan fimbriae (Kline,

2009).

20
2.8 Manifestasi Klinis

Secara umum manifestasi klinis dari infeksi saluran kemih bermacam-

macam tergantung dari lokasi infeksi dan tingkat penyebaran bakteri.

2.8.1 Pielonefritis

Pielonefritis akut biasanya memperlihatkan gejala (Nuari, 2017):

1. Demam

2. Menggigil

3. Nyeri pinggang

4. Disuria

Pada pielonefritis akut (PNA), sering ditemukan panas tinggi (39.5°C-

40,5°C), disertai menggigil dan sakit pinggang. Pada pemeriksaan fisik diagnostik

tampak sakit berat, panas intermiten disertai menggigil dan takikardia. Frekuensi

nadi pada infeksi E.coli biasanya 90 kali per menit, sedangkan infeksi oleh kuman

staphylococcus dan streptococcus dapat menyebabkan takikardia lebih dari 140

kali per menit. Ginjal sulit teraba karena spasme otot-otot. Distensi abdomen

sangat nyata dan rebound tenderness mungkin juga ditemukan, hal ini

menunjukkan adanya proses dalam perut, intra peritoneal. Pada PNA tipe

sederhana (uncomplicated) lebih sering pada wanita usia subur dengan riwayat

ISK kronik disertai nyeri pinggang (flank pain), panas menggigil, mual, dan

muntah. Pada ISK akut (PNA akut) tipe complicated seperti obstruksi, refluks

vesiko ureter, sisa urin banyak sering disertai komplikasi bakteriemia dan syok,

kesadaran menurun, gelisah, hipotensi hiperventilasi oleh karena alkalosis

respiratorik kadang-kadang asidosis metabolik (Sukandar, 2010).

21
Pada pielonefritis kronik (PNK), manifestasi kliniknya bervariasi dari

keluhan-keluhan ringan atau tanpa keluhan dan ditemukan kebetulan pada

pemeriksaan urin rutin. Presentasi klinik PNK dapat berupa proteinuria

asimtomatik, infeksi eksaserbasi akut, hipertensi, dan gagal ginjal kronik (GGK)

(Sukandar, 2010).

Gambar 10. Pielonefritis (www.anejo.eu diakses 2017)

2.8.2 Sistitis

Sistitis biasanya memperlihatkan gejala (Nuari, 2017):

1. Disuria (nyeri waktu berkemih)

2. Peningkatan frekuensi berkemih

3. Perasaan ingin berkemih

4. Adanya sel-sel darah putih dalam urin

5. Nyeri punggung bawah atau suprapubik

6. Demam disertai adanya darah dalam urin

Pada sistitis akut dapat berupa keluhan-keluhan klasik seperti polakisuria,

nokturia, disuria, nyeri suprapubik, stranguria dan tidak jarang dengan hematuria.

Keluhan sistemik seperti panas menggigil jarang ditemukan, kecuali bila disertai

penyulit PNA. Pada wanita, keluhan biasanya terjadi 36-48 jam setelah

22
melakukan senggama, dinamakan honeymoon cystitis. Pada laki-laki, prostatitis

yang terselubung setelah senggama atau minum alkohol dapat menyebabkan

sistitis sekunder (Tanto, 2016).

Pada sistitis kronik, biasanya tanpa keluhan atau keluhan ringan karena

rangsangan yang berulang-ulang dan menetap. Pada pemeriksaan fisik mungkin

ditemukan nyeri tekan di daerah pinggang, atau teraba suatu massa tumor dari

hidronefrosis dan distensi vesika urinaria (Tanto, 2016).

Gambar 11. Sistitis (Nayyar, 2016)

2.8.3 Uretritis

Uretritis biasanya memperlihatkan gejala (Nuari, 2017) :

1. Mukosa merah dan edema

2. Terdapat cairan eksudat yang purulen

3. Ada ulserasi pada uretra

4. Adanya rasa gatal yang menggelitik

5. Adanya nanh awal miksi

6. Nyeri saat mengawali iksi

23
7. Kesulitan untuk memulai miksi

8. Nyeri pada bagian abdomen

Manifestasi klinis sindrom uretra akut (SUA) sulit dibedakan dengan

sistitis. SUA sering ditemukan pada perempuan usia antara 20 – 50 tahun.

Presentasi klinisnya sangat miskin (hanya disuria dan serin kencing) disertai urin

<105 cfu/ml urin sering disebut dengan sistitis abakterialis. Sindrome uretra akut

terbagi menjadi 3 kelompok pasien yaitu (Sukandar, 2010) :

1. Kelompok pertama pasien dengan piuria, biakan urin dapat diisolasi

E.coli dengan cfu/urin 103-105. Sumber infeksi berasal dari kelenjar

per-uretral atau uretra itu sendiri. Kelompok pasien ini memberikan

respon baik terhadap antibiotik standart terhadap ampisilin.

2. Kelompok kedua pasien lekosituria 10-50 / lapang pandang tinggi dan

kultur urin steril. Kultur biakan khusus ditemukan Chlamydia

trachomatis atau bakteri anaerobik.

3. Kelompok ketiga pasien tanpa piuria dan biakan urin steril.

Gambar 12. Uretritis (Terris, 2016)

24
2.9 Diagnosis

2.9.1 Gambaran Klinis

Gambaran klinis infeksi saluran kemih sangat bervariasi mulai dari tanpa

gejala hingga menunjukkan gejala yang sangat berat. Gejala yang sering timbul

adalah disuria, polakisuria, dan urgensi yang biasanya terjadi bersamaan, disertai

nyeri suprapubik dan daerah pelvis. Pada bayi baru lahir, dapat terjadi ikterik.

Gejala klinis ISK sesuai dengan bagian saluran kemih yang terinfeksi, yaitu

(Mutiah, 2017):

1. Pada ISK bagian bawah, keluhan pasien biasanya berupa nyeri supra pubik,

disuria, frekuensi, hematuri, urgensi, dan stranguria.

2. Pada ISK bagian atas, dapat ditemukan gejala demam, kram, nyeri punggung,

muntah, dan penurunan berat badan. Pada ISK bagian atas, terkadang dapat

pula ditemukan skoliosis.

Gambar 13. Hubungan antara lokasi infeksi dengan gejala klinis (Mutiah, 2017)

25
2.9.2 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang menegakkan

diagnosis infeksi saluran kemih, antara lain:

2.9.2.1 Urinalisis

Untuk pengumpulan spesimen, dapat dipilih pengumpulan urin melalui

urin porsi tengah, pungsi suprapubik, dan kateter uretra. Secara umum, untuk anak

laki-laki dan perempuan yang sudah bisa berkemih sendiri, maka cara

pengumpulan spesimen yang dapat dipilih adalah dengan cara urin porsi

tengah.Urin yang dipergunakan adalah urin porsi tengah (midstream). Untuk bayi

dan anak kecil, spesimen didapat dengan memasang kantong steril pada genitalia

eksterna. Cara terbaik dalam pengumpulan spesimen adalah dengan cara pungsi

suprapubik, walaupun tingkat kesulitannya paling tinggi dibanding cara yang lain

karena harus dibantu dengan alat USG untuk memvisualisasikan adanya urine

dalam vesica urinaria (Siregar, 2009).

Pada urinalisis, yang dinilai adalah sebagai berikut:

a. Eritrosit

Ditemukannya eritrosit dalam urin (hematuria) dapat merupakan

penanda bagi berbagai penyakit glomeruler maupun non-gromeruler,

seperti batu saluran kemih dan infeksi saluran kemih (Sukandar, 2010).

b. Piuria

Piuria atau sedimen leukosit dalam urin yang didefinisikan oleh

Stamm, bila ditemukan paling sedikit 8000 leukosit per ml urin yang

tidak disentrifus atau setara dengan 2-5 leukosit per lapangan pandang

besar pada urin yang di sentrifus. Infeksi saluran kemih dapat

26
dipastikan bila terdapat leukosit sebanyak > 10 per mikroliter urin atau

> 10.000 per ml urin. Piuria yang steril dapat ditemukan pada keadaan

(Grabe, 2015):

1. Infeksi tuberkulosis;

2. Urin terkontaminasi dengan antiseptik;

3. Urin terkontaminasi dengan leukosit vagina;

4. Nefritis intersisial kronik (nefropati analgetik);

5. Nefrolitiasis;

6. Tumor uroepitelial

c. Silinder

Silinder dalam urin dapat memiliki arti dalam diagnosis penyakit

ginjal, antara lain (Israr, 2009):

1. Silinder eritrosit, sangat diagnostik untuk glomerulonefritis

atau vaskulitis ginjal;

2. Silinder leukosit bersama dengan hanya piuria, diagnostik

untuk pielonefritis;

3. Silinder epitel, dapat ditemukan pada nekrosis tubuler akut atau

pada gromerulonefritis akut;

4. Silinder lemak, merupakan penanda untuk sindroma nefrotik

bila ditemukan bersamaan dengan proteinuria nefrotik.

d. Kristal

Kristal dalam urin kurang bermakna diagnostik untuk penyakit ginjal

(Sukandar, 2010).

27
e. Bakteri

Bakteri dalam urin yang ditemukan dalam urinalisis tidak identik

dengan infeksi saluran kemih, lebih sering hanya disebabkan oleh

kontaminasi (Nuari, 2017).

2.9.2.2 Bakteriologis

a. Mikroskopis

pada pemeriksaan mikroskopis dapat digunakan urin segar tanpa

diputar atau pewarnaan gram. Bakteri dinyatakan positif bila dijumpai

satu bakteri lapangan pandang minyak emersi (Nuari, 2017).

b. Biakan bakteri, pembiakan bakteri sedimen urin dimaksudkan untuk

memastikan diagnosis ISK yaitu bila ditemukan bakteri dalam jumlah

bermakna, yaitu (Israr, 2009):

Tabel 3. Kriteria untuk diagnosis bakteriuria bermakna (Israr, 2009)

Pengambilan spesimen Jumlah koloni bakteri per ml urin


Aspirasi supra pubik > 100 cfu/ml dari 1 atau lebih
organisme patogen
Kateter > 20.000 cfu/ml dari 1 organisme
patogen
Urine bag atau urin porsi > 100.000 cfu/ml
tengah
Dalam penelitiannya, Zorc et al menyatakan bahwa ISK pada

anak-anak sudah dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri lebih besar dari

10.000 cfu per ml urin yang diambil melalui kateter. Namun, Hoberman et

al menyatakan bahwa ditemukannya jumlah koloni bakteri antara 10.000

hingga 49.000 cfu per ml urin masih diragukan, karena kemungkinan

terjadi kontaminasi dari luar, sehingga masih diperlukan biakan ulang,

terutama bila anak belum diobati atau tidak menunjukkan adanya gejala

ISK (Israr, 2009).

28
2.9.2.3 Tes Kimiawi

Beberapa tes kimiawi dapat dipakai untuk penyaring adanya bakteriuria,

diantaranya yang paling sering dipakai adalah tes reduksi griess nitrate. Dasarnya

adalah sebagian besar mikroba kecuali enterococci mereduksi nitrat (Sukandar,

2010)

2.9.2.4 Tes Plat – Celup (Dip-Slide)

Beberapa pabrik mengeluarkan biakan buatan yang berupa lempengan

plastik bertangkai dimana pada kedua sisi permukaannya dilapisi pembenihan

padat khusus. Lempengan tersebut dicelupkan ke dalam urin pasien atau dengan

digenangi urin. Setelah itu lempengan dimasukkan kembali kedalam tabung

plastik tempat penyimpanan semula, lalu diletakkan pada suhu 37oC selama satu

malam. Penentuan jumlah kuman/mL dilakukan dengan membandingkan pola

pertumbuhan kuman yang terjadi dengan serangkaian gambar yang

memperlihatkan pola kepadatan koloni antara 1000 hingga 10.000.000 cfu per mL

urin yang diperiksa. Cara ini mudah dilakukan, murah dan cukup adekuat.

Kekurangannya adalah jenis kuman dan kepekaannya tidak dapat diketahui

(Purnama Sari, 2016).

Gambar 14. Dip-Slide Test (www.lotioncrafter.com, 2017)

29
2.9.2.5 Pemeriksaan Radiologis dan Penunjang lain

Pemeriksaan radiologi tidak terlalu berperan dalam work up awal sebagian

besar pasien ISK. Evaluasi radiologi terrutama diperlukan bila ada dugaan ISK

dengan penyulit, seperti pasien dengan infeksi rekuren atau tidak membaik

walaupun sudahmendapatkan terapi. Tergantung pada kondisi masing-masing

pasien, beberapa pemeriksaan yang dibutuhkan antara lain adalah foto polos

abdomen, urografi intravena, USG abdomen, sistoskopi, CT scan abdomen. Pada

pemeriksaan radiologi dengan prosdur yang membutuhkan kontras terutama pada

penderita lansia dengan penyakit ginjal diabetik, penyakit ginjal kronis, dan gagal

jantung kongestif (Thaha, 2016).

2.10 Penatalaksanaan

Prinsip umum penatalaksanaan ISK adalah (Sanders, 2007) :

1. Eradikasi bakteri penyebab dengan menggunakan antibiotik yang

sesuai, dan;

2. Mengkoreksi kelainan anatomis yang merupakan faktor predisposisi.

Tujuan penatalaksanaan ISK adalah mencegah dan menghilangkan gejala,

mencegah dan mengobati bakteriemia dan bakteriuria, mencegah dan mengurangi

risiko kerusakan ginjal yang mungkin timbul dengan pemberian obat-obatan yang

sensitif, murah, aman dengan efek samping yang minimal. Oleh karena itu, pola

pengobatan ISK harus sesuai dengan bentuk ISK, keadaan anatomi saluran kemih,

serta faktor-faktor penyerta lainnya (Grabe, 2015).

30
Tabel 4. Pemilihan regimen antibiotik untuk infeksi saluran kemih (Nassisi, 2012)

31
Tabel 5. Pembagian terapi antibiotik

Pemilihan antibiotik sangat dipengaruhi oleh bentuk resistensi lokal suatu

daerah. Amoksisilin secara tradisional merupakan antibiotik lini pertama untuk

ISK pada anak-anak. Namun, peningkatan angka resistensi E.coli terhadap

antibiotik ini menjadikan angka kegagalan kesembuhan ISK yang diterapi dengan

antibiotik ini menjadi tinggi. Uji sensitivitas antibiotik menjadi pilihan utama

dalam penentuan antibiotik yang dipergunakan. Antibiotik yang sering

dipergunakan untuk terapi ISK, yaitu (Nguyen, 2008; Tanto, 2010; Grabe, 2015):

1. Amoxicillin 20-40 mg/kg/hari dalam 3 dosis. Sekitar 50% bakteri

penyebab ISK resisten terhadap amoxicillin. Namun obat ini masih dapat

diberikan pada ISK dengan bakteri yang sensitif terhadapnya.

32
2. Kloramfenikol 50 mg/kg berat badan sehari dalam dosis terbagi 4,

sedangkan untuk bayi premature adalah 25 mg/kg berat badan sehari

dalam dosis terbagi 4.

3. Cotrimoxazole atau trimethoprim 6-12 mg trimethoprim/kg/hari dalam 2

dosis. Sebagian besar ISK akan menunjukkan perbaikan dengan

cotrimoxazole. Penelitian menunjukkan angka kesembuhan yang lebih

besar pada pengobatan dengan cotrimoxazole dibandingkan amoxicillin3.

4. Cephalosporin seperti cefixime atau cephalexin 1-2 gr dalam dosis

tunggal atau dosis terbagi (2 kali sehari) untuk infeksi saluran kemih

bagian bawah (sistitis) sehari. Cephalexin kira-kira sama efektif dengan

cotrimoxazole, namun lebih mahal dan memiliki spectrum luas sehingga

dapat mengganggu bakteri normal usus atau menyebabkan

berkembangnya jamur (Candida sp.) pada anak perempuan.

Obat-obatan seperti asam nalidiksat atau nitrofurantoin tidak digunakan

pada anak-anak yang dikhawatirkan mengalami keterlibatan ginjal pada ISK.

Selain itu nitrofurantoin juga lebih mahal dari cotrimoxazole dan memiliki efek

samping seperti mual dan muntah. Fluoroquinolon yang sering dipergunakan pada

pasien dewasa tidak pernah dipergunakan pada anak-anak karena mengganggu

perkembangan pada sistem muskuloskeletal dan sendi (Nguyen, 2008; Hidayanti,

2008).

Lama pemberian antibiotik pada ISK umumnya masih menjadi kontroversi.

Pada pasien dewasa, pemberian antibiotik selama 1-3 hari telah menunjukkan

perbaikan berarti, namun dari berbagai penelitian, lamanya antibiotik diberikan

pada anak adalah sebaiknya 7-14 hari (Grabe, 2015).

33
2.11 Komplikasi

Biasanya, ISK jika dapat tertangani dengan cepat dan baik dapat sembuh

dan tidak menyebabkan komplikasi berat. Namun, sebagian kecil, ISK dapat

menyebabkan infeksi parah dan cacat jangka panjang. Bayi yang berusia kurang

dari 3 bulan mengalami peningkatan risiko bakteremia dan wanita hamil memiliki

risiko tinggi ISK. Komplikasi yang paling umum adalah

Infeksi berulang dan jaringan parut ginjal (Stockholm, 2011).

2.11.1 Infeksi saluran kemih berulang

25% wanita akan mengalami ISK berulang setelah infeksi primer walaupun

mereka tidak memiliki kelainan anatomi saluran kencing yang jelas. Kambuhan

ini sering disebabkan oleh strain bakteri yang sama, temuan baru telah

menjelaskan bahwa gaya hidup juga dapat mempengaruhi terjadinya infeksi

saluran kemih berulang yang seing dialami oleh wanita (Stockholm, 2011)..

2.11.2 Skar pada ginjal (renal scaring)

Jika respons inang gagal, bakteri bisa naik ke saluran kemih bagian atas

dan menyebabkan pielonefritis. Peradangan yang disebabkan oleh infeksi dapat

menyebabkan jaringan parut ginjal, terutama pada anak-anak. Renal scelling

adalah proses yang melibatkan sejumlah aktor. Peristiwa penting adalah

masuknya neutrofil. Sebagai konsekuensinya, produk sitotoksik granulocytic

termasuk lisozim, elastase dan myeloperoxidase dilepaskan dan terjadi ledakan

oksidatif. Proses ini, yang bertujuan membunuh dan menyingkirkan patogen

secara paradoks dapat mengganggu host dengan kerusakan jaringan dan fibrosis

(Stockholm, 2011).

34
Gambar 15. Proses terjadinya skar pada ginjal (Farrel, 2010)

2.12 Urosepsis

2.12.1 Definisi

Urosepsis adalah sepsis yang disebabkan oleh mikrobakteria yang berasal

dari saluran urogenitalia. Bakteri lebih mudah masuk ke dalam peredaran darah

terutama jika pasien mengalami penurunan sistem kekebalan tubuh. Bakteri yang

telah beredar di dalam darah mengeluarkan endotoksin yang dapat memacu

terjadinya rangkaian septic coscode. Keadaan ini menimbulkan sindroma respon

inflamasi sistemik atau systemic inflamation response syndrome (SIRS). Insiden

urosepsis 20-30 % dari seluruh kejadian septikemia dan lebih sering berasal dari

komplikasi infeksi di traktus urinarius (Hie TN, 2008).

SIRS merupakan respon tubuh terhadap inflamasi sistemik yang

disebabkan oleh berbagai macam kelainan, antara lain (1) infeksi, (2) trauma, (3)

syok karena perdarahan, (4) luka bakar, (5) kerusakan jaringan, (6) iskemia akibat

multi trauma, dan (7) pankreatitis. lnfeksi dapat disebabkan oleh (1) bakteria, (2)

fungi, (3) parasit, (4) virus, dan (5) mikroorganisme lain. Dalam hal ini infeksi

yang sudah menimbulkan SIRS disebut sebagai sindroma sepsis.

35
Tabel 6. Definisi Sepsis, (Purnomo, 2012)

2.12.2 Epidemiologi

Kasus urosepsis cukup tinggi sekitar 9-31% dari semua kasus sepsis.

Mortalitasnya mencapai 20-40%. Urosepsis dapat terjadi pada penderita batu di

saluran kemihnya, seseorang setelah menjalani operasi di bagian urogenitalnya,

dan penderita pielonefritis (Dreger, 2015).

Pada tahun 2003, sebuah penelitian prospektif cross-sectional berjudul

PRÄVALENZ yang dilakukan oleh Sepsis Competence Network (SepNet)

menghasilkan data epidemiologi spesifik pada sepsis di Jerman. Prevalensi sepsis

satu hari di 310 rumah sakit dan 454 unit perawatan intensif telah dinilai. 1348

dari 3877 pasien (34,8%) mengalami infeksi, dan 30,8% di antaranya mengalami

sepsis berat atau syok septik. Angka prevalensi terkait untuk sepsis, 85-116 / 100

000 orang, dan, untuk sepsis berat atau syok septik, 76-110 / 100 000 orang; usia

rata-rata orang yang terkena adalah 67 tahun. Kematian dari sepsis berat

bervariasi tergantung pada asal infeksi itu 55,2% secara keseluruhan. Prognosis

urosepsis lebih baik, dengan angka kematian yang dilaporkan 20-40% untuk

urosepsis berat. Secara umum, sepsis lebih sering terjadi pada pria dibandingkan

pada wanita. Meskipun insiden sepsis meningkat (misalnya, dari 82,7 menjadi

36
240,4 kasus per 100 000 orang per tahun di Amerika Serikat selama periode 1979-

2000, sesuai dengan peningkatan tahunan rata-rata 8,7%), mortalitas karena sepsis

telah menurun karena adanya pedoman penangananya. Menurut Martin et al.,

Mortalitas sepsis menurun dari 27,6% pada tahun 1994 menjadi 17,9% pada tahun

2000 (Dreger, 2015).

2.12.3 Etiologi

Kuman penyebab sepsis paling sering adalah bakteri gram negatif yang

hidup komensal di saluran cerna, yaitu kurang lebih 30-80%; sedangkan kuman

gram positif merupakan penyebab 5-24% sepsis. E. coli adalah kuman yang

paling sering menyebabkan sepsis, kemudian disusul Klebsiella, Enterobakter,

Serrotio, dan Pseudomonas spp., Proteus, Citrobacter, dan bakteri lain lebih jarang

menyebabkan sepsis. Kuman yang paling virulen adalah Pseudomonos serta

Klebsiella, dan dalam hal ini Pseudomonas sering kali menunjukkan resistensi

terhadap berbagai antibiotika (Anthony JS, 2012).

Urosepsis timbul karena adanya obstruksi saluran kemih sehingga

kemampuan urine untuk mengeliminasi kuman dari saluran kemih menjadi

terganggu. Keadaan ini menyebabkan kuman dengan mudah berbiak di dalam

saluran kemih, menembus mukosa saluran kemih, dan masuk ke dalam sirkulasi

darah, sehingga menyebabkan bakteriemia. Kelainan urologi yang sering

menimbulkan urosepsis adalah batu saluran kemih, hiperplasia prostat, dan

keganasan saluran kemih yang menyebabkan timbulnya hidronefrosis dan bahkan

pionefrosis (Anthony JS, 2012).

37
2.12.4 Patofisiologi

Di dalam peredaran darah, bakteri gram negatif menghasilkan endotoksin,

yaitu komponen lipopolisakarida (LPS) yang terdapat pada lapisan sebelah luar

bakteri. LPS ini terdiri atas komponen Lipid A yang menyebabkan (Purnomo,

2012):

1. Aktivasi sel-sel makrofag atau monosit sehingga menghasilkan beberapa

sitokin, antara lain: tumor necrosis factor alpha (TNF-α), dan interleukin I

(lL-1). Sitokin inilah yang akan memacu reaksi berantai yang akhirnya dapat

menimbulkan sepsis dan jika tidak segera dikendalikan akan menjurus pada

sepsis berat, syok sepsis, dan akhirnya menimbukan disfungsi multiorgan

atau multiorgans dysfunction syndrome (MODS).

2. Rangsangan terhadap sistem komplemen C3a dan C5a menyebabkan

terjadinya agregasi trombosit dan produksi radikal bebas, serta mengaktifkan

faktor koagulasi.

3. Perubahan dalam metabolisme karbohidrat, lemak, protein, dan oksigen,

Karena terdapatnya resistensi sel terhadap insulin maka glukosa dalam darah

tidak dapat masuk ke dalam jaringan sehingga untuk memenuhi kebutuhan sel

akan glukosa, terjadi proses glukoneogenesis yang bahannya berasal dari

asam lemak dan asam amino yang dihasilkan dari katabolisme lemak berupa

lipolisis dan katabolisme protein.

2.12.5 Manifestasi Klinis

Gejala klinis yang disampaikan pasien urosepsis tergantung pada kelainan

organ urogenitalia yang menjadi sumber infeksi dan sampai seberapa jauh proses

sepsis telah berlangsung. Gambaran klinis yang didapatkan antara lain demam,

38
menggigil, hipotensi, takikardi, dan takipneu yang sebelumnya didahului oleh

gejala kelainan pada saluran kemih; antara lain: sistitis, pielonefritis, epididimitis,

prostatitis akut, nyeri pinggang, keluhan miksi, pasca kateterisasi uretra, atau

pasca pembedahan pada saluran kemih. Sepsis yang telah lanjut memberikan

gejala atau tanda-tanda berupa gangguan beberapa fungsi organ tubuh, antara lain

gangguan pada fungsi kardiovaskuler, ginjal, pencernakan, pernafasan, dan

susunan saraf pusat (Hie TN. 2008).

Kardiovaskuler. Perubahan pada sistem hemodinamik dimulai dari fase

presyok, fase syok awal atau warm shock, dan syok lanjut atau cold shock.

Timbulnya syok ini adalah akibat dari menurunnya resistensi arteriole. Hingga

pada fase syok awal pasien masih tampak demam dan curah jantung normal,

tetapi pada syok lanjut tampak pasien dengan keadaan letargi, dingin, dan curah

jantung menurun.

Ginjal. Syok yang berkelanjutan akan menimbulkan nekrosis akut pada

tubulus ginjal yang ditandai dengan azotemi, oliguria, hingga anuria. Tampak

adanya gangguan elektrolit dan asidosis metabolik.

Pencernaan. Terjadi disfungsi hepar yang ditandai dengan ikterus akibat

kolestasis, peningkatan serum bilirubin sampai 10 g/dl dengan 80% berupa

bilirubin direk, dan peningkatan fosfatase alkali. Manifestasi lain pada saluran

cerna adalah perdarahan saluran cerna akibat stress ulcer dan gangguan perfusi

pada mukosa saluran cerna.

Pernafasan. Tanda awal dari gangguan pernafasan adalah takipneu, tetapi

jika proses rangkaian sepsis tidak segera diatasi akan menimbulkan distres nafas

sampai terjadi adult respirotory distress syndrome (ARDS).

39
Susunan saraf pusat. Perubahan status mental antara lain pasien menjadi

bingung, letargi, dan pada akhirnya menjadi stupor dan koma.

2.12.6 Diagnosis

Diagnosis cepat sangat penting untuk terapi awal. Dalam evaluasi

urosepsis, perhatian harus diberikan baik untuk kriteria yang menentukan untuk

sepsis serta untuk gejala dan tanda yang mengarah ke penyebab infeksi seperti

nyeri panggul dan nyeri tekan (mungkin dengan radiasi), disuria / pollakisuria,

retensi urin, dan skrotum dan atau nyeri prostat. Pada pria, pemeriksaan fisik

harus mencakup pemeriksaan colok dubur (konsistensi menunjukkan prostatitis,

massa yang berfluktuasi menunjukkan abses prostat) dan palpasi testis

(konsistensi, kehangatan, dan pembengkakan mengindikasikan epididimorchitis).

Terpasangnya kateter yang pada genital harus dicatat sebagai kemungkinan

penyebab infeksi (Dreger, 2015)

Kultur Darah. Untuk menegakkan diagnosis suatu urosepsis harus

dibuktikan bahwa bakteri yang beredar di dalam darah (kultur darah) sama dengan

bakteri yang ada di dalam saluran kemih (kultur urine). Di samping itu dilakukan

pemeriksaan untuk mencari sumber infeksi, dan akibat dari kelainan yang

ditimbulkan pada berbagai organ. Pengobatan antibiotik empiris harus mulai

diberikan setelah kultur darah (setidaknya 2–3 pasangan), kultur dilakukan dengan

tindakan aseptic pada darah vena (rekomendasi grade C, evidence level IIb).

Hanya sekitar 30% dari kultur darah pada pasien dengan dugaan urosepsis positif.

Botol kultur harus diisi semaksimal mungkin, karena tingkat kepositifan juga

tergantung pada volume darah dalam botol (3% lebih temuan negatif palsu untuk

setiap ml volume menurun) (Dreger, 2015).

40
Kultur Urin. Urinalisis dan kultur urin harus dilakukan pada semua

pasien dengan urosepsis sebelum pengobatan antibiotik dimulai (rekomendasi

kelas B, tingkat bukti Ic). Temuan kultur urin midstream adalah utilitas terbatas

pada pielonefritis obstruktif, karena urin dengan beban infeksi tertinggi sering

berada di atas obstruksi (sensitivitas 30,2%, spesifisitas 73%) (Dreger, 2015).

Biomarker. Urosepsis tidak dapat didiagnosis dari biomarker saja. Di

antara semua penanda inflamasi yang tersedia, prokalsitonin (PCT) adalah yang

paling diteliti, dan penggunaannya untuk mengkonfirmasi atau menyingkirkan

sepsis berat karena itu direkomendasikan . PCT lebih andal daripada fase akut

protein CRP dan memungkinkan diferensiasi infeksi bakteri dari jenis infeksi lain

(e19). Tingkat PCT di bawah 0,5 ng / mL secara praktis menyingkirkan sepsis

berat atau syok septik; tingkat di atas 2 ng / mL membuat sepsis berat atau septik

schock sangat mungkin (rekomendasi kelas C, tingkat bukti IIb). Dalam penelitian

prospektif, multicenter cohort, penggunaan nilai cutoff PCT 0,25 ng / mL

ditemukan untuk mengidentifikasi bakteremia pada pasien dengan infeksi saluran

kemih febris dengan sensitivitas 95% (95% interval kepercayaan [0,89-0,98]) dan

50 % spesifisitas (kepercayaan 95% [0.46–0.55]) (Dreger, 2015).

Imaging. Ultrasonografi adalah metode pencitraan pilihan pertama karena

kecepatannya dan ketersediaan luas (rekomendasi tingkat B, tingkat bukti Ic). Ini

memungkinkan deteksi cepat, misalnya, hidronefrosis (Gambar 4a), abses ginjal

(Gambar 4b), dan abses prostat. Abses harus ditusuk di bawah ultrasonografi (atau

radiologi lainnya) bimbingan, dan cairan yang dibuang harus dipelajari secara

mikrobiologi (rekomendasi kelas D, tingkat bukti V) (e23). Jika tidak jelas apakah

pyelonephritis obstruktif atau hanya sistem kelopak ektikum yang tetap dari pelvis

41
ginjal ada, tusukan diagnostik pelvis ginjal dapat dipertimbangkan: tekanan

rendah dan tes urine urin yang negatif mengesampingkan infeksi, sehingga

nefrostomi dapat dihindari (e24) . Jika temuan ultrasonografi adalah samar-samar,

computed tomography (CT) perut dianjurkan, sehingga setiap kelainan anatomi

yang telah menyebabkan atau diperparah urosepsis dapat diidentifikasi dengan

sensitivitas tinggi (Dreger, 2015).

2.12.7 Penatalaksanaan

Penanganan urosepsis harus dilakukan secara komprehensif dan ditujukan

terhadap (Wagenlehner FM, 2008) :

(1) Penanganan infeksi yang meliputi eradikasi kuman penyebab infeksi serta

menghilangkan sumber infeksi

(2) Akibat lanjut dari infeksi, yaitu SIRS, syok septik, atau disfungsi multiorgan,

dan

(3) Toksin atau mediator yang dikeluarkan oleh bakteri.

2.12.5.1 Terapi Tehadap Infeksi

Sebelum pemberian antibiotika, terlebih dahulu diambil contoh urine dan

contoh darah untuk pemeriksaan kultur guna mengetahui jenis kuman penyebab

urosepsis, hal ini bermanfaat jika pemberian antibiotika secara empirik tidak

berhasil. Secara empirik diberikan antibiotika yang sensitif terhadap bakteri gram

negatif, yaitu golongan aminoglikosida (gentamisin, tobramisin atau amikasin),

golongan ampisillin (yang dikombinasi dengan asam klavulanat atau sulbaktam),

cefalosporin generasi ketiga, atau golongan fluoroquinolone (Purnomo, 2012).

Pada pemberian aminoglikosida harus diperhatikan keadaan faal ginjal,

karena golongan obat ini bersifat nefrotoksik. Selain itu pada urosepsis tidak

42
jarang menimbulkan penyulit gagal ginjal, sehingga pemberian aminoglikosida

perlu dilakukan penyesuaian dosis. Penyesuaian dosis dapat dilakukan dengan

cara menurunkan dosis atau memperpanjang interval pemberian obat (Purnomo,

2012).

Memperpanjang interval pemberian obat dilakukan sesuai dengan kaidah

delapan (rule of eight) untuk tobramisin dan gentamisin dan kaidah sembilan (rule

of nine) untuk amikasin. Artinya adalah jika kadar kreatinin di dalam serum

adalah 3, maka pemberian gentamisin setiap 8 x 3 = 24 jam sekali, sedangkan jika

diberikan amikasin setiap 9 x 3 =27 jam sekali dengan dosis penuh. Pemberian

antibiotika dilanjutkan hingga 3-4 hari setelah pasien bebas dari panas (Purnomo,

2012).

Sumber-sumber infeksi secepatnya dihilangkan, misalnya: pemakaian

kateter uretra harus diganti dengan yang baru atau dilakukan drainase suprapubik;

abses abses pada ginjal, perirenal, pararenal dan abses prostat dilakukan drainase,

dan pionefrosis/hidronefrosis yang terinfeksi dilakukan diversi urine atau drainase

nanah dengan nefrostomi (Grabe, 2015).

2.12.5.2 Terapi suportif terhadap penyulit sepsis

Kematian akibat sepsis biasanya disebabkan karena kegagalan dalam

memberikan terapi suportif terhadap disfungsi multiorgan. Disfungsi organ yang

paling sering menyebabkan kematian adalah gagal nafas (18%) dan gagal ginjal

(15%), sedangkan sisanya adalah kegagalan pada sistem kardiovaskuler,

hematologi, metabolisme, dan nerurologi (Purnomo, 2012).

Tabel 7. Terapi suportif pada urosepsis (Purnomo, 2012)

43
2.12.5. Terapi terhadap toksin dan mediator yang dikeluarkan bakteri

Saat ini sedang dikembangkan terapi baru terhadap produk yang

dihasilkan bakteri yang memacu terjadinya rangkaian sepsis. Obat-obatan itu

diantaranya adalah: antiendotoksin berupa antibodi poliklonal dan monoklonal

yang ditujukan terhadap lipid A, antibodi monoklonal terhadap TNF, antagonis

reseptor terhadap lL-1, antagonis reseptor terhadap PAF, dan masih banyak

antibodi lain yang hingga saat ini masih dalam penelitian (Purnomo, 2012).

2.13 Prognosis

Prognosis pasien dengan pielonefritis akut, pada umumnya baik dengan

penyembuhan 100% secara klinik maupun bakteriologi bila terapi antibiotika

yang diberikan sesuai. Bila terdapat faktor predisposisi yang tidak diketahui atau

sulit dikoreksi maka 40% pasien PNA dapat menjadi kronik atau PNK. Pada

pasien Pielonefritis kronik (PNK) yang didiagnosis terlambat dan kedua ginjal

telah mengisut, pengobatan konservatif hanya semata-mata untuk

44
mempertahankan faal jaringan ginjal yang masih utuh. Dialisis dan transplantasi

dapat merupakan pilihan utama (Farrel, 2010).

Prognosis sistitis akut pada umumnya baik dan dapat sembuh sempurna,

kecuali bila terdapat faktor-faktor predisposisi yang lolos dari pengamatan. Bila

terdapat infeksi yang sering kambuh, harus dicari faktor-faktor predisposisi.

Prognosis sistitis kronik baik bila diberikan antibiotik yang intensif dan tepat serta

faktor predisposisi mudah dikenal dan diberantas. Pada intinya, prognosis infeksi

saluran kemih adalah baik bila dapat diatasi faktor pencetus dan penyebab

terjadinya infeksi tersebut (Stockholm, 2011).

45
BAB 3

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi akibat berkembang biaknya

mikroorganisme di dalam saluran kemih seperti kandung kemih, uretra, ureter,

dan ginjal. Ujung uretra bagian bawah dapat dihuni oleh bakteri. Setelah melalui

uretra biasanya sudah tercemar dengan bakteri yang terdapat di meatus uretra,

preputium atau vulva. Infeksi yang terjadi bergantung dengan virulensi kuman

dan mekanisme pertahanan tubuh (Samirah, 2012).

Menurut WHO dalam Safitri (2013), Infeksi saluran kemih (ISK) adalah

penyakit infeksi yang kedua tersering pada tubuh sesudah infeksi saluran

pernafasan dan sebanyak 8,3 juta kasus dilaporkan per tahun. Infeksi ini juga lebih

sering dijumpai pada wanita dari pada laki-laki. Sementara itu Penduduk

Indonesia yang menderita Infeksi Saluran Kemih diperkirakan sebanyak 222 juta

jiwa.

Tujuan penatalaksanaan ISK adalah mencegah dan menghilangkan gejala,

mencegah dan mengobati bakteriemia dan bakteriuria, mencegah dan mengurangi

risiko kerusakan ginjal yang mungkin timbul dengan pemberian obat-obatan yang

sensitif, murah, aman dengan efek samping yang minimal (Grabe, 2015).

Komplikasi yang paling umum adalah infeksi berulang dan jaringan parut ginjal.

Prognosis infeksi saluran kemih adalah baik bila dapat diatasi faktor pencetus dan

penyebab terjadinya infeksi tersebut (Stockholm, 2011).

46
DAFTAR PUSTAKA

Anthony JS, Edward MS. 2012. Bacteremia, Sespsis and septik shock in
Campbell-Walsh Urology. 10th Ed p313-5
Dewi, Arum Laksmita. 2015. Infeksi Saluran Kemih. Medicinesia

http://www.medicinesia.com/submission/infeksi-saluran-kemih-isk/ di

akses pada 10 Juli 2017

Dreger N.M, et al. 2015. Urosepsis-Etiology, Diagnosis, and Treatment.

Deutsches Arzteblatt International. 112; 837-48

Farrel, Emma. 2010. Reflux nephropathy. Renal Unit at the Royal Infirmary of

Edinburgh and the University of Edinburgh. Di akses pada

http://www.edren.org/pages/edreninfo/reflux-nephropathy.php tanggal 10

Juli 2017.

Hidayanti, Emma dan Dedi Rachmadi. 2008. Infeksi Saluran Kemih Kompleks.

Bandung : Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran

Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin.

Hie TN. 2008. Bacterial Infections of the Genitourinary Tract in Smith’s General
Urology. 17th Ed. Lange Mc Graw Hill p193-218.
Israr, Yayan Akhyar. 2009. Infeksi Saluran Kemih. Pekanbaru: Universitas Riau.

Kline, Kimberly A.; Fälker, Stefan; Dahlberg, Sofia; Normark, Staffan;

Henriques-Normark, Birgitta. 2009. Bacterial Adhesins in Host-Microbe

Interactions. Cell Host & Microbe. 5 (6): 580–592.

doi:10.1016/j.chom.2009.05.011.

M. Grabe (Chair), R. Bartoletti, T.E. Bjerklund Johansen, T. Cai (Guidelines

Associate), M. Çek, B. Köves (Guidelines Associate), K.G. Naber, R.S.

47
Pickard, P. Tenke, F. Wagenlehner, B. Wullt. 2015. Guideline On

Urology Infection. European Association of Urology Ed. March.

Macfarlane, M.T. 2006. Urinary Tract Infections. In, Brown B, et all ed. 4th

Urology. California: Lippincott Williams & Wilkins: 83-16.

Marlina, Roni. 2013. Hubungan Pemasangan Kateter Dengan Kejadian Infeksi

Saluran Kemih Pada Pasien Di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam

Rsudza Banda Aceh Tahun 2012. Jurnal Keperawatan Medikal Bedah .

Volume 1, No. 1, Mei 2013; 35-47. Aceh : FK Universitas Syiah Kuala.

Mutiah, Roihatul. 2017. Gambaran Jumlah Leukosit Dalam Sedimen Urin Dan

Hasil Kultur Urin Pada Pasien Yang Didiagnosis Infeksi Saluran Kemih

Di Rumah Sakit Urologi Dan Bedah “Dr. Benggol” Malang. Jurnal

Healthy Science Vol.1 No.2. Malang : Akademi Analisis Kesehatan

Malang.

Nassisie, Denise. 2014. Evidence-Based Guidelines For Evaluation And

Antimicrobial Therapy For Common Emergency Department Infections.

Journal Emergency Medicine Vol. 14 No. 1. USA : www.ebmedicine.net.

Nayyar, Namita. 2016. Cystitis: An Infection Of The Bladder. Pada

https://www.womenfitness.net/cystitis/ diakses tanggal 10 Juli 2017.

Nguyen, H.T. 2008. Bacterial Infections of The Genitourinary Tract. In Tanagho

E. & McAninch J.W. ed. Smith’s General urology 17th edition.

Newyork: Mc Graw Hill Medical Publishing Division : 193-195.

Nuari, Nian Afrian dan Dhina Widayati. 2017. Gangguan Pada Sistem

Perkemihan dan Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta : Budi

Utama pada

48
https://books.google.co.id/books?id=EbDWDgAAQBAJ&pg=PA220&d

q=patofisiologi+isk&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=patofisio

logi%20isk&f=false di akses pada 10 Juli 2017.

Permata Sari, Edel Weise. 2015. The Difference of Nosocomial Urinary Tract

Infection Risk Based on Chateterization Urine, Age, and Diabetes

Mellitus. Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 2 Mei 2015: 205–216.

Surabaya : Departemen Epidemiologi F akultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Airlangga.

Prabowo, Fergiawan Indra, Inayati Habib. 2012. Identification of Bacteria Type

and Its Sensitivity Pattern from Urinary Tract Infections Patient in PKU

Muhammadiyah Yogyakarta Hospital. Mutiara Medika Vol. 12 No. 2:

93-101, Mei 2012. Yogyakarta : Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta.

Purnama Sari, Rani. 2016. Angka Kejadian Infeksi Saluran Kemih (Isk) Dan

Faktor Resiko Yang Mempengaruhi Pada Karyawanwanita Di

Universitas Lampung. Lampung : FK Universitas Lampung.

Purnomo B. 2009. Dasar-dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto.

Purnomo, Basuki. 2012. Dasar-Dasar Urologi Edisi 3. Jakarta : Sagung Seto

Ramadhan A. 2015. Bahaya Infeksi Saluran Kemih.

http://ppniaceh.or.id/informasi/seminar/artikel/bahaya+infeksi+saluran+k

emih. Diakses tanggal 10 Juli 2017.

Safitri. N. 2013. Infeksi Saluran Kemih. Http://www.alodokter.com/infeksi-

saluran-kemih/gejala. Diakses tanggal 03 maret 2016.

49
Samirah, Darmawati, Windarwati, Hardjono. 2012. Pola Dan Sensitivitas Kuman

Di Penderita Infeksi Saluran Kemih. Indonesian Journal of Clinical

Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 3.

Sanders & Scanlon, V.C, T. 2007. Essential of Anatomy and Physiology 5th

edition. Philadelpia: FA Davis Company: 420-432.

Schollum J. 2009. Urinary tract infection. In: Barrat J, Opham P, Harris K,

editors. Oxford desk reference: nephrology. 1st ed. New York: Oxford

University Press;. p. 243.

Sherwood, Luralee. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Ed. 6. Jakarta :

Penerbit buku kedokteran EGC.

Siregar P. 2009. Manfaat Klinis Urinalisis dalam Nefrologi. Disampaikan pada :

Pertemuan Ilmiah Nasional VII PB. PABDI di Medan.

Stockholm. 2011. Urinary Tract Infection Pathogenesis And Complications.

Published by Karolinska Institutet. Printed by US-AB. From the

Department of Microbiology, Tumor and Cell Biology Karolinska

Institutet, Sweden.

Sukandar E. 2006. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa. Dalam : Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbit IPD FK

UI.

Sukandar E. 2010. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa. Dalam : Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbit IPD FK UI.

Sukandar, E. 2009. Infeksi Saluran Kemih. In Sudoyo A.W, et all.ed. Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Internal Publishing :1008-

1014.

50
Sumolang Et Al. 2013. Pola Bakteri Pada Penderita Infeksi Saluran Kemih Di

BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal E-Biomedik (Ebm),

Volume 1, Nomor 1 Hlm. 597-601.

Tanto, Christ, Ni Made Hustrini. 2016. Infeksi Saluran Kemih. Buku Kapita

Selekta Kedokteran FK UI Jilid 2 Edisi IV Hal. 640 – 641. Jakarta : FK

UI

Terris, Martha. 2016. Urethritis. Di akses pada

http://emedicine.medscape.com/article/438091-overview#showall

tanggal 10 Juli 2017.

Thaha. 2016. Infeksi Saluran Kemih. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. II Jilid

1. Surabaya : Rumah Sakit Dr. Soetomo FK UNAIR.

Wagenlehner FM, Pilatz A, Naber G, Weidner W. 2008. Therapeutic challenges


of urosepsis. In .Eur J Clin Invest; 38 (S2): p45–49
Weissman, S.J, et all. 2007. Host-Pathogen Interactions and Host Defense

Mechanisms. In In Schrier R.W, ed. Diseases of the Kidney and Urinary

Tract 8th edition Vol.1. Newyork: Lippincott Williams & Wilkins

Publishers: 817-826.

51

Anda mungkin juga menyukai