Anda di halaman 1dari 10

Nama : Dwi Astutik

NPM : 1702106020

Sengketa Pajak PT Asian Agri Grup


Kasus
PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di
Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah
Forbes, pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan
kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun). Di Asia, PT AAG
merupakan salah satu penghasil minyak sawit mentah terbesar, yaitu memiliki 19
pabrik yang menghasilkan 1 juta ton minyak sawit mentah – selain tiga pabrik
minyak goreng.
Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi
Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis
Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu
menjabat sebagai group financial controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-
beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan
ke Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam akan dibunuh. Vincent kabur
ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting perusahaan tersebut.
Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent dan wartawan
Tempo.
Pelarian Vincent berakhir setelah pada tanggal 11 Desember 2006 ia
menyerahkan diri ke Polda Metro Jawa. Namun, sebelum itu, pada tanggal 1
Desember 2006 Vincent sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan
keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data
digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross
Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002.
Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci.
Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude
Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di
bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga
tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya
perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian adalah
perusahaan fiktif.
Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan
menyerahkan permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang
permasalahan PT AAG tersebut terkait erat dengan perpajakan.Menindaklanjuti hal
tersebut, Direktur Jendral Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim
khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama
dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan
Agung. Tim khusus tersebut melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk
penggeladahan terhadap kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan
Terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh)
dan pajak pertambahan nilai (PPN).selain itu juga “bahwa dalam tahun pajak 2002-
2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa
menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak
kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889
miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan
untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang
digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan
penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3
triliun.
Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007
telah ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA,
TBK, AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan
pengurus, direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di samping itu, pihak
Depertemen Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka tersebut.
Terungkapnya kasus penggelapan pajak oleh PT AAG tidak terlepas dari
pemberitaan investigatif Tempo – baik koran maupun majalah – dan pengungkapan
dari Vincent. Dalam konteks pengungkapan suatu perkara, apalagi perkara tersebut
tergolong perkara kakap, mustinya dua pihak ini mendapat perlindungan sebagai
whistle blower. Kenyataannya, dua pihak ini di-blaming. Alih-alih memberikan
perlindungan, aparat penegak hukum malah mencoba mempidanakan tindakan para
whistle blower ini. Vincent didakwa dengan pasal-pasal tentang pencucian uang –
karena memang dia, bersama rekannya, sempat mencoba mencairkan uang PT
AAG. Bahkan Vincent telah divonis dan dihukum 11 tahun penjara. Sementara itu,
pesan pendek (SMS) Metta Dharmasaputra – wartawan Tempo – disadap aparat
penegak hukum, print-out-nya beredar di kalangan pers. Pemberitaan investigatif
Metta Dharmasaputra dan komunikasinya dengan Vincent sempat menjadi urusan
Dewan Pers, bahkan nyaris diproses secara pidana.Selain itu, pemberitaan Tempo
juga di-blaming melalui riset di bidang komunikasi publik oleh dosen Fisipol UGM
atas pesanan PT AAG – yang menyatakan bahwa pemberitaan-pemberitaan seputar
kasus penggelapan pajak tersebut tidak mencari solusi yang komprehensif.
Sedangkan P3-ISIP UI – yang melakukan riset serupa atas pesanan PT AAG –
menyimpulkan bahwa pers (pemberitaan Tempo) cenderung melakukan bias dan
keberpihakan yang secara etis patut direnungi. Bisa jadi hasil-hasil riset tersebut
sebagai legitimasi untuk memperkarakan Tempo.Apa yang dialami Vincent dan
Tempo tersebut sebenarnya merupakan cermin buram bagi perlindungan saksi di
Indonesia selama ini. Kejadian ini bukanlah yang pertama dialami para pengungkap
fakta. Tetapi kejadian berulang yang tujuannya tidak lain adalah untuk menutupi
kejahatan yang sesungguhnya. Para pengungkap fakta semacam ini sering
mengalami berbagai bentuk kekerasan – intimidasi dan teror, bahkan diperkarakan
secara hukum – baik perdata maupun pidana. Lihat saja misalnya Kasus Udin, kasus
Endin Wahyudi, Kasus Ny Maria Leonita, Kasus Romo Frans Amanue, dan banyak
lagi.Jangan sampai apa yang dialami Vincent dan Tempo tersebut menjadi alat
untuk membungkam pengungkapan kasus yang sesungguhnya, dalam hal ini
dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG.

Dasar Hukum Undang – Undang dan Penyelesaian Kasus


PT Asian Agri Group (AAG) diduga telah melakukan penggelapan pajak
(tax evasion) selama beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian
negara senilai trilyunan rupiah. Belum lagi kelar penyidikan, berkembang wacana
mengenai penyelesaian kasus itu di luar pengadilan (out of court settlement). Hal
ini sangat menggelisahkan kalangan yang menginginkan tegaknya hukum dan
terwujudnya keadilan, tanpa pandang bulu. Sangat ironis jika para penjahat kelas
teri ditangkapi, ditembaki, disidangkan, dan dimasukkan bui, sementara itu
penjahat kerah putih (white collar criminal) yang mengakibatkan kerugian besar
pada negara justru dibiarkan melenggang karena kekuatan kapital nya.
Meski peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan
dengan sanksi pidana penjara dan denda yang cukup berat, nyatanya masih ada
celah hukum untuk meloloskan para penggelap pajak dari ketok palu hakim di
pengadilan. Pasal 44B UU No.28/2007 membuka peluang out of court settlement
bagi tindak pidana di bidang perpajakan. Ketentuan itu mengatur bahwa atas
permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan.
Dengan demikian, kasus berakhir (case closed) jika wajib pajak yang telah
melakukan kejahatan itu telah melunasi beban pajak beserta sanksi administratif
berupa denda. Ketentuan hukum nyatanya begitu lunak dalam mengatur tindak
pidana perpajakan. Peluang out of court settlement dimungkinkan bagi segala jenis
tindak pidana perpajakan. Peluang itu tidak hanya berlaku untuk “Perlawanan Pasif
terhadap Pajak”, yaitu perlawanan yang tidak dilakukan secara sadar atau disertai
niat dari warga masyarakat untuk merintangi aparat pajak dalam melakukan
tugasnya. Penghentian penyidikan dan penyelesaian di luar sidang juga berlaku
untuk “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” yang perbuatannya dilakukan lewat cara-
cara ilegal dan langsung ditujukan pada fiskus/pemerintah.
Jadi, penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group
meski masuk kategori “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” sekalipun – tetap dapat
diselesaikan di luar sidang pengadilan. Dengan demikian, harapan kita bergantung
pada Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sebagai pihak yang paling menentukan
dalam proses penyelesaian tindak pidana perpajakan ini.

Dasar hukum

Dasar hukum sengketa pajak adalah sebagai berikut :

 Undang – undang no. 14 tahun 2002 tentang pengadilan pajak.


 Undang – undang no. 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara
perpajakan.
 Undang – undang no. 16 tahun 2000, no 28 tahun 2007, dan peraturan
pelakssanaan terkait.
 PASAL 1 angka 5 UU PP; Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul
dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan
pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang
dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas
pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa.
 Pasal 31 UU PP; Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang
memeriksa dan memutus Sengketa Pajak; Pengadilan Pajak dalam hal
Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan,
kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku; Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus
sengketa atas pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembetulan atau
Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-
undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, undang-undang Nomor 28 tahun
2007 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Analisa kasus
Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi
Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis
Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu
menjabat sebagai group financial controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-
beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan
ke Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam akan dibunuh. Vincent kabur
ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting perusahaan tersebut.
Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent dan
wartawan Tempo.
Pelarian VAS berakhir setelah pada tanggal 11 Desember 2006 ia
menyerahkan diri ke Polda Metro Jawa. Namun, sebelum itu, pada tanggal 1
Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan
keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data
digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross
Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002.
Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci.
Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude
Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di
bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga
tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya
perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian adalah
perusahaan fiktif.
Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan
menyerahkan permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang
permasalahan PT AAG tersebut terkait erat dengan perpajakan. Menindaklanjuti
hal tersebut, Direktur Jendral Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim
khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama
dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan
Agung. Tim khusus tersebut melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk
penggeladahan terhadap kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan
Terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh)
dan pajak pertambahan nilai (PPN). Selain itu juga “bahwa dalam tahun pajak 2002-
2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa
menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak
kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889
miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan
untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang
digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan
penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3
triliun. Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007
telah ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA,
TBK, AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan
pengurus, direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di samping itu, pihak
Depertemen Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka tersebut.

Kajian Hukum Sebuah Kasus


Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ternyata diketahui
bahwa Majelis Hakim Pengadilan menolak eksepsi dari Manajer Asian Agri Group
yang diwakili oleh Pengacaranya. Eksepsi yang disampaikan Pengacara Asian Agri
Group pada dasarnya menegaskan bahwa penyelesaian kasus dugaan
penyelewengan pajak merupakan kewenangan Pengadilan Pajak karena merupakan
persoalan atau sengketa pajak yang sudah diatur dalam undang-undang pajak.
Sengketa pajak yang muncul sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang tidak
memuaskan Wajib Pajak harus diupayakan penyelesaiannya secara baik, sederhana,
murah, dan cepat. Artinya, ada jalan penyelesaian secara kekeluargaan dengan
musyawarah antara kedua belah pihak yang bersengketa dan tetap memperhatikan
peraturan perpajakan.
Namun, Majelis Hakim menolak eksepsi Pengacara Asian Agri Group dan
berpendapat bahwa kasus Asian Agri Group bukan merupakan sengketa pajak
karena tidak adanya surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal
Pajak. Kalau sengketa pajak akan ada upaya hukum untuk menyelesaikannya, yaitu
melalui upaya hukum keberatan. Oleh karenanya, kasus Asian Agri Group bisa
diadili oleh Pengadilan Negeri. Penolakan eksepsi inilah yang perlu mendapat
kajian apakah benar argumentasi hukum yang dibangun Majelis Hakim hingga
kasus dugaan penggelapan pajak bisa dipidana karena tidak adanya surat ketetapan
pajak yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak sebagai dasar adanya sengketa
pajak. Kalau permasalahan pajak dibawa dalam ranah hukum pidana, tentu menjadi
kontradiktif terkait proses administrasi pajak yang tujuan utamanya mengumpulkan
uang pajak. Pilihan memidanakan Wajib Pajak atau memprioritaskan penerimaan
tentu menjadi politik kepentingan pemerintah. Untuk itu, kajian komprehensif
pemidanaan atas pajak, patut menjadi perhatian serius agar tidak terjadi keresahan
terus menerus di kalangan dunia usaha dan pegawai pajak.
Seperti diuraikan diatas, dalam banyak literatur disebutkan bahwa hukum
pajak tergolong sebagai hukum publik, termasuk hukum administrasi/tata usaha
negara. Jalur hukum administrasi (hukum pajak) mempunyai cara penyelesaiannya
sendiri sesuai dengan aturan yang sudah ditegaskan dalam undang-undang pajak
yang mengaturnya. Jika seperti itu, menyelesaikan persoalan administrasi pajak
dengan cara pidana menjadi kontradiktik ketika negara membutuhkan dana pajak
sebagai sumber pembiayaan pembangunan yang tiap tahun jumlahnya terus naik
(meningkat). Persoalan memidana Wajib Pajak jelas membawa keresahan tersendiri
bagi pelaku dunia usaha. Artinya, pelaku usaha menjadi takut dipidana ketika
persoalan penghitungan pajak yang cukup rumit akan dipersoalkan menjadi
persoalan berindikasikan tindak pidana. Pendapat pakar hukum dalam kasus Asian
Agri Group di atas, menarik untuk dikaji dan dipahami dengan baik oleh semua
aparat penegak hukum terutama aparat Kepolisian, Kejaksaan, maupun Hakim.
Kesamaan visi memandang pajak tidak boleh dipidana karena merupakan bagian
dari hukum administrasi, harus menjadi perhatian bersama.

Hukum pajak sebagai bagian hukum tata usaha negara memang bersumber
pada peristiwa perdata, yang apabila dilanggar dapat diancam dengan pelanggaran
pidana. Dalam hukum pajak memuat unsur-unsur :

 Hukum tata negara dan hukum tata usaha negara.


 Hukum perdata;
 Hukum pidana. Menyamakan persepsi demikian memang tidak mudah.
Diperlukan satu koordinasi yang kuat. Presiden selaku pimpinan eksekutif
sebaiknya memimpin proses koordinasi demikian.

Penyelesaian Kasus PT Asian Agri Grup


PT Asian Agri Group (AAG) telah diduga melakukan penggelapan pajak
(tax evasion) selama beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian
negara senilai trilyunan rupiah. Belum lagi kelar penyidikan, berkembang wacana
mengenai penyelesaian kasus itu di luar pengadilan (out of court settlement). Hal
ini sangat menggelisahkan kalangan yang menginginkan tegaknya hukum dan
terwujudnya keadilan, tanpa pandang bulu. Sangat ironis jika para penjahat kelas
teri ditangkapi, ditembaki, disidangkan, dan dimasukkan bui, sementara itu
penjahat kerah putih (white collar criminal) yang mengakibatkan kerugian besar
pada negara justru dibiarkan melenggang karena kekuatan kapital nya.
Meski peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan
dengan sanksi pidana penjara dan denda yang cukup berat, nyatanya masih ada
celah hukum untuk meloloskan para penggelap pajak dari ketok palu hakim di
pengadilan. Pasal 44B UU No.28/2007 membuka peluang out of court
settlement bagi tindak pidana di bidang perpajakan. Ketentuan itu mengatur bahwa
atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan.
Dengan demikian, kasus berakhir (case closed) jika wajib pajak yang telah
melakukan kejahatan itu telah melunasi beban pajak beserta sanksi administratif
berupa denda.
Ketentuan hukum nyatanya begitu lunak dalam mengatur tindak pidana
perpajakan. Peluang out of court settlement dimungkinkan bagi segala jenis tindak
pidana perpajakan. Peluang itu tidak hanya berlaku untuk “Perlawanan Pasif
terhadap Pajak”, yaitu perlawanan yang tidak dilakukan secara sadar atau disertai
niat dari warga masyarakat untuk merintangi aparat pajak dalam melakukan
tugasnya. Penghentian penyidikan dan penyelesaian di luar sidang juga berlaku
untuk “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” yang perbuatannya dilakukan lewat cara-
cara ilegal dan langsung ditujukan pada fiskus/pemerintah.
Jadi, penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group
meski masuk kategori “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” sekalipun – tetap dapat
diselesaikan di luar sidang pengadilan. Dengan demikian, harapan kita bergantung
pada Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sebagai pihak yang paling menentukan
dalam proses penyelesaian tindak pidana perpajakan ini. Asian Agri akhirnya benar
- benar melayangkan surat keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terkait
Surat Ketetapan Pajak (SKP) kepada 14 anak perusahaannya. Perusahaan
perkebunan sawit milik taipan Sukanto Tanoto ini melayangkan surat keberatan
setelah membayar senilai Rp 969,675 miliar atau 49% dari total pajak terutang
yakni mencapai Rp 1,95 triliun.
Sedari awal Asian Agri memang berniat banding atas penetapan SKP yang
ditetapkan DJP. Namun mereka harus terlebih dulu membayar setengah dari total
utang pajak. Asian Agri melayangkan keberatan karena menganggap SKP yang
mencapai Rp 1,95 triliun tidak sesuai, sebab melebihi total keuntungan
perusahaannya yang pada 2002-2005 hanya Rp 1,24 triliun. Total utang pajak plus
denda Asian Agri sendiri mencapai Rp 1,959 triliun. General Manajer Grup Asian
Agri, Freddy Widjaya mengatakan, surat keberatan SKP telah disampaikan ke
Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar. "Sesuai dengan jangka waktu
tiga bulan sejak tanggal penerbitan SKP." ujarnya kepada KONTAN di Jakarta,
Rabu (4/9). Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Kismamtoro Petrus
mengakui telah menerima surat keberatan Asian Agri pada 28 Agustus 2013. DJP
wajib memberikan keputusan atas keberatan itu paling lambat dua belas bulan.
Meski keberatan, Asian Agri tetap harus membayar sisa utang pajak seperti
dalam SKP. Jika Asian Agri tidak melunasi seluruh tagihan SKP setelah jatuh
tempo, DJP dapatmelakukan penagihan aktif berupa teguran, penerbitan surat
paksa, penyitaan dan blokir rekening hingga pelelangan aset. Berdasarkan hasil
kasus analisis diatas apabila sudah terjadi suatu kasus sengketa pajak antara Wajib
pajak dengan Fiskus, maka otomatis Wajib Pajak mempunyai Hak dan Kewajiban
dalam menangani sengketa pajak tersebut. Hak dari Wajib Pajak sendiri ialah dapat
mengajukan keberatan kepada Surat Keputusan Pajak yang dibuat oleh DJP sesuai
pasal 25 UU no 28 tahun 2007, serta dapat mengajukan banding ke Peradilan Pajak
apabila tidak puas dengan Surat Ketetapan Pajak yang dijatuhkan oleh Fiskus sesuai
pasal 27 UU no 28 tahun 2007.
Namun yang menjadi kewajiban Wajib Pajak sebelum mengajukan
keberatan maupun banding ialah Wajib Pajak terlebih dahulu harus melunasi pajak
yang disetujui dalam keputusan keberatan maupun banding tersebut. Dalam kasus
sengketa pajak Asian Agri, dijelaskan bahwa Asian Agri melakukan penggelapan
pajak yang mengarah kepada kerugian negara. Maka dari itu Peradilan Pajak
dituntut untuk bijaksana dalam menyelidiki dan menyelesaikan permasalahan kasus
tersebut sesuai dengan ketentuan Undang Undang yang berlaku.

Sumber :
http://tulusramdhani.blogspot.com/2016/09/contoh-kasus-pajak-dan-
penyelesaiannya.html

Anda mungkin juga menyukai