Anda di halaman 1dari 12

ALINYEMEN VERTIKAL

Alinyemen vertikal adalah perpotongan bidang vertikal dengan bidang permukaan


perkerasaan jalan melalui sumbu jalan untuk jalan 2 lajur 2 arah atau melalui tepi dalam
masing-masing perkerasan untuk jalan dengan median. Seringkali disebut juga sebagni
penampang memanjang jalan.

Perencanaan alinyemen vertikal dipengaruhi oleh besarnya biaya pembangunan yang


tersedia. Alinyemen vertikal yang mengikuti muka tanah asli akan mengurangi pekedaan
tanab tetapi mungkin saja akan mengakibatkan jalan itu terlalu banyak tikungan. Tentu saja
hal ini belum tentu, sesuai dengan persyaratan yang diberikan sehubungan dengan fungsi
jalannya. Muka jalan sebaiknya diletakkan sedikit di atas muka tanah asli sehingga
memudahkan dalam pembuatan drainase jalannya, terutama di daeratr yang datar. Pada
daerah yang seringkali dilanda banjir sebaiknya penampang memanjang jalan diletakkan
diatas elevasi muka banjir. Di daeratr perbukitan atau pergunungan diusahakan banyaknya
pekerjaan galian seimbang dengan pekerjaan timbunan sehingga secara keseluruhan biaya
yang dibutuhkan tetap dapat dipertanggung jawabkan. Jalan yang terletak di atas lapisan
tanah yang lunak harus pula diperhatikan akan kemungkinan besarnya penurunan dan
perbedaan penurunan yang mungkin terjadi. Dengan demikian penarikan alinyemen vertikal
sangat dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan seperti :

 kondisi tanah dasar


 keadaan medan
 fungsi jalan
 muka air banjir
 muka air tanah
 kelandaian yang masih memungkinkan

Perlu pula diperhatikan bahwa alinyemen vertikal yang direncanakan itu akan berlaku
untuk masa panjang, sehingga sebaiknya alinyemen vertikal yang dipilih tersebut dapat
dengan mudah mengikuti perkembangan lingkungan. Alinyemen vertikal disebut juga
penampang memanjang jalan yang terdiri dari garis-garis lurus dan garis-garis lengkung.
Garis lurus tersebut dapat datar, mendaki atau menurun, biasa disebut berlandai. Landai jalan
dinyatakan dengan persen. Pada umumnya gambar rencana suatu jalan dibaca dari kiri ke
kanan maka landai jalan diberi tanda positif untuk pendakian dari kiri ke kanan, dan landai
negatif untuk penurunan dari kiri. Pendakian dan penurunan memberi efek yang berarti
terhadap gerak kendaraan.

Landai Minimum

Berdasarkan kepentingan arus lalu-lintas, Iandai ideal adalah landai datar (0 %). Sebaliknya
ditinjau dari kepentingan drainase jalan, jalan berlandailah yang ideal.

Dalam perencanaan disarankan menggunakan :


a. Landai datar untuk jalan-jdan di atas tanah timbunan yang tidak mempunyai kereb.
Lereng melintang jalan dianggap cukup untuk mengalirkan air di atas badan jalur dan
kemudian ke lereng jdan.
b. Landai 0,l5 % dianjurkan untuk jalan-jalan di atas tanah timbtrnan dengan medan
datar dan mempergunakan kereb. Kelandaian ini cukup membantu meryalirkan air
hujan ke inlet atau saluran pembuangan.
c. Landai minimum sebesar 0,3 - 0,5 % dianjurkan dipergunakan untuk jalan-jalan di
daerah galian atau jalan yang memakai kereb. Lereng melintang hanya cukup untuk
mengalirkan air hujan yang jatuh diatas badan jalan, sedangkan landai jalan
dibutuhkan untuk membuat kemiringan dasar saluran samping.

Landai Maksimum

Kelandaian 3% mulai memberikan pcngaruh kepada gcrak kendaraan mobil


penumpang, walaupun tidak sebcrapa dibandingkan dengan gerakan kendaraan truk yang
tcrbebani penuh. Pengaruh dari adanya kelandaian ini dapat tcrlihat dari berkurangnya
kecepatan jalan kendaraan atau mulai dipergunakannya gigi rendah. Kelandaian tertentu
masih dapat diterinra jika kelandaian tersebut mengakibatkan kecepatan jalan tetap lebih
besar\ dari setengah kecepatan rencana. Untuk membalasi pengaruh perlambatan kendaraan
truk terhadap arus lalu-lintas, maka ditetapkan landai maksimurn untuk kecepatan rencana
tertentu. Bina Marga (luar kota) menetapkan kelandaian maksimum, yang dibedakan atas
kelandaian maksimum standar dan kelandaian maksimum mutlak. Jika tidak terbatasi oleh
kondisi keuangan, maka sebaiknya dipcrgunakan kelandaian standar. AASHTO membatasi
kelandaian maksimum berdasarkan keadaan medan apakah datar, perbukitan ataukah
pegunungan.

Panjang Kritis Suatu Kelandaian

Landai maksimum saja tidak cukup merupakan faktor penentu dalam perencanaan
alinyemen vertikal, karena jarak yang pendek memberikan faktor penganrh yang berbeda
dibandingkan dengan jarak yang panjang pada kelandaian yang sama. Kelandaian besar akan
mengakibatkan penurunan kecepatan truk yang cukup berarti jika kelandaian tersebut dibuat
pada panjang jalan yang cukup panjang tetapi kurang berarti jika panjang jalan dengan
kelandaian tersebut harya pendek saja.

Batas kritis umumnya diambil jika kecepatan truk berkurang rnencapai 30 - 75 %


kecepatan rencana, atau kendaraan terpaksa mempergunakan gigi rendah. Pengurangan
kecepatan truk dipenganrhi oleh besarnya kecepatan rencana dan kelandaian. Kelandaian
pada kecepatan rencana yang tinggi akan mengurangi kecepatan truk sehingga berkisar antara
30 – 50 % kecepatan rencana selama 1 menit perjalanan. Tetapi pada kecepatan rencana yang
rendah, kelandaian tidak begitu mengurangi kecepatan truk. Kecepatan truk selama 1 menit
perjalanan, pada kelandaian ± 10% dapat mencapai 75% kecepatan rencana.

Tabel 1. memberikan panjang kritis yang disarankan oleh Bina Marga (luar kota),
yang merupakan kira-kira panjang I menit perjalanan, dan truk bergerak dengan beban penuh.
Kecepatan truk pada saat mencapai panjang kritis adalah sebesar l5 - 20 km/jam.
Lajur Pendakian

Pada jalan berlandai dan volume yang tinggi, seringkali kendaraan-kendaraan berat
yang bergerak dengan kecepatan di bawah kecepatan rencana menjadi penghalang kendaraan
lain yang bergerak dengan kecepatan sekitar kecepatan rencana. Untuk menghindari hal
tersebut perlulah dibuatkan lajur pendakian. Lajur pendakian adalah lajur yang disediakan
khusus untuk truk bermuatan berat atau kendaraan lain yang berjalan dengan kecepatan lebih
rendah, sehingga kendaraan lain dapat mendahului kendaraan yang lebih lambat tanpa
mempergunakan lajur lawan.

Tabel 1. Panjang kritis untuk kelandaian yang melebihi

kelandaian maksimum standar

Gambar 1 . Lajur pendakian

LENGKUNG VERTIKAL

Pergantian dari satu kelandaian ke kelandaian yang lain dilakukan dengan


mempergunakan lengkung vertikal. Lengkung vertikal tersebut direncanakan sedemikian
rupa sehingga memenuhi keamanan, kenyamanan dan drainase. Jenis lengkung vertikal
dilihat dari letak titik perpotongan kedua bagian lurus (tangen), adalah :

1. Lengkung vertikal cekung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua
tangen berada di bawah permukaan jalan.
2. Lengkung vertikal cembung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua
tangen berada di atas permukaan jalan yang bersangkutan.
Lengkung vertikal dapat berbentuk salah satu dari enam kemungkinan pada gambar dibawah
ini:

Gambar 2. Jenis lengkung vertikal dilihat dari titik perpotongan kedua tangen.

Lengkung vertikal type a,b dan c dinamakan lengkung vertikal cekung.

Lengkung vertikal type d,e dan f dinamakan lengkung vertikal cembung.

Lengkung Vertikal Cembung

Bentuk lengkung vertikal seperti yang diuraikan terdahulu, berlaku untuk lengkung
vertikal cembung atau lengkung vertikal cekung. Hanya saja untuk masing-masing lengkung
terdapat batasan-batasan yang berhubungan dengan jarak pandangan:

Pada lengkung vertikal cembung, pembatasan berdasarkan jarak pandangan dapat


dibedakan atas2 keadaan yaitu :

1. Jarak pandangan berada seluruhnya dalam daerah lengkung (S<L).


2. Jarak pandangan berada diluar dan didalam daerah lengkung (S<L).

Lengkung vertikal cembung dengan (S < L)

PPV
A
g1 g2
Ev

h1 h2
d1 d2 PTV

PLV
S

Gambar 5.5 Jarak pandangan pada lengkung vertikal cembung (S<L).


Ax 2
Dari persamaan (35) diperoleh v = 200L , atau dapat pula dinyatakan dengan y =
kx2, dimana :
Ax 2
k=
200L
Lengkung parabola y = k x2 (k konstanta)
y = Ev Ev = k (½ L)2
y = h1 h1 = k d12
y = h2 h2 = k d22

h kd 2 h kd 2
1
 1 12 2
 2

Ev k L Ev k 1 L2
4 4

h 4d 2 h 4d 2
1
 1 2
 2

Ev L2 Ev L2
2
hL h L2
1 1

d1 = 4Ev d2 = 4Ev

h L2 h L2
1 1

S = d1 + d2 = 4Ev + 4Ev
AL
Ev =
800

S = 200h1 L + 200h2 L
A A

S =
100L .  2h1  2h2 
A
100L 2

S 2
= A  2h1  2h2 
L = AS 2 ………………………………………(37)

2

100 2h1  2h2 


Jika dalam perencanaan dipergunakan jarak pandangan henti menurut Bina Marga,
dimana h1 = 10 cm = 0,10 m dan h2 = 120 cm = 1,20 m, maka :

AS 2
L= 2


100 2h1  2h2 
AS 2
L=  CAS 2 …………………………………………….(38)
399

Jika dalam perencanaan dipergunakan jarak pandangan menyiap menurut Bina Marga,
dimana h1 = 120 cm = 1,20 m dan h2 = 120 cm = 1,20 m, maka :

AS 2
L= 2


100 2,40  2,40 
AS 2
L=  CAS 2 …………………………………………….(39)
960
C = konstanta garis pandangan untuk lengkung vertikal cembung dimana S<L.

Tabel 5.3 Nilai C untuk beberapa h1 & h2 berdasarkan AASHTO dan Bina Marga

AASHTO ‘90 Bina Marga ‘90

JPH JPM JPH JPM

Tinggi mata pengemudi (h1) (m) 1,07 1,07 1,20 1,20


Tinggi objek (h2) (m) 0,15 1,30 0,10 1,20
Konstanta C 404 946 399 960

JPH = Jarak pandangan henti


JPM = Jarak pandangan menyiap
Lengkung vertikal cembung dengan S>L

PPV
g2 g2

Ev

h1 h2
PLV L/2 PTV

100 h1/g1 L/2 100 h2/g2

Gambar 5.6 Jarak pandangan pada lengkung vertikal cembung (S>L).

1 100h1 100h2
S = 2 L + g1  g 2

200h1 200h2
L = 2S - 
g1 g2
Panjang lengkung minimum jika dL/dg = 0, maka diperoleh :
h1 h2 h1 h2
 0 
g2 g 2 g2 g 2
1 2 1 2

g2 = g1 h2
h
1

A merupakan jumlah aljabar dari g1 + g2

 h2 
A= 

 1  g1 

 h1 
h
g1 = A 1

h h
 1 2

A h2
g2 =
h h
1  2

L = 2S -
200h1  h1  h2  200h2  h1  h2 
A h1 A h2
2

L = 2S - 
200 h1  h2  ……………………………………..(40)
A
Jika dalam perencanaan dipergunakan jarak pandangan henti menurut Bina Marga,
dimana h1 = 10 cm = 0,10 m dan h2 = 120 cm = 1,20 m, maka :
2

L = 2S - 
200 0,10  1,20 
A

L = 2S - 399  2S  C1 ………………………………………….(41)
A A
Jika dalam perencanaan dipergunakan jarak pandangan henti menurut Bina Marga,
dimana h1 = 120 cm = 1,20 m dan h2 = 120 cm = 1,20 m, maka :
2

L = 2S - 
200 1,20  1,20 
A

L = 2S - 960  2S  C1 ………………………………………..(42)
A A
C1 = konstanta garis pandangan untuk lengkung vertikal cembung dimana S>L.

Tabel 5.3 dan tabel 5.4 menunjukkan konstanta C = C1 tanpa melihat apakah jarak
pandangan berada di dalam atau di luar lengkung.

Tabel 5.4 Nilai C1 untuk beberapa h1 & h2 berdasarkan AASHTO dan Bina Marga

AASHTO ‘90 Bina Marga ‘90

JPH JPM JPH JPM

Tinggi mata pengemudi h1 (m) 1,07 1,07 1,2 1,2


Tinggi objek h2 (m) 0,15 1,3 0,1 1,2
Konstanta C1 404 946 399 960

JPH = Jarak pandangan henti


JPM = Jarak pandangan menyiap
Panjang lengkung vertikal cembung berdasarkan kebutuhan akan drainase
Lengkung vertikal cembung yang panjang dan ralatif datar dapat menyebabkan
kesulitan dalam masalah drainase jika disepanjang jalan dipasang kereb. Air di samping jalan
tidak mengalir lancar. Untuk menghindari hal tersebut di atas panjang lengkung
vertikal biasanya dibatasi tidak melebihi 50 A.
Persyaratan panjang lengkung vertikal cembung sehubungan dengan drainase :
L = 50 A
………………………………………………………….
(43)

Panjang lengkung vertikal cembung berdasarkan kenyamanan


perjalanan
Panjang lengkung vertikal cembung juga harus baik dilihat secara visual.
Jika perbedaan aljabar landai kecil, maka panjang lengkung vertikal yang
dibutuhkan pendek, sehingga alinyemen vertikal tampak melengkung. Oleh
karena itu disyaratkan panjang lengkung yang diambil untuk perencanaan tidak
kurang dari 3 detik perjalanan.

Contoh soal

PPV
PTV g2

PLV Ev
g1

60 m 25 m

Gambar 5.3 Alinyemen vertikal cembung

Perencanaan Alinyemen
Jenis lengkung : Vertikal cembung
Kecepatan rencana : 50 km/jam
Jarak pandang henti : 55 m
Jarak pandang menyiap : 220 m
g1 = 10 % ; g2 = 0 %
Untuk Jarak Pandang Henti
h1 = 1,25 m : h2 = 0,10 m
Untuk Jarak Pandang Menyiap
h1 = 1,25 m : h2 = 1,25 m
• Perbedaan aljabar kelandaian (A)
A = g2 − g1 = 10% − 0% = 10%

• Panjang lengkung vertikal (Lv)


a. Berdasarkan Jarak Pandang
Jarak pandang (S < L)
Diketahui S = 55 meter maka JPH sebesar :

A*S2 10 * 552

JPH L = ( h1 + h2 )
2
(
= 200 * 1,25 + 0,10 )2 = 73,53 m > S
(memenuhi) karena S = 55 m

121
Diketahui S = 220 meter maka JPM sebesar :

A*S2 10 * 2202

JPM L = ( h1 + h2
2
)
= 200 * ( 1,25 + 1,25)2 = 484 m > S
(memenuhi) karena S = 220
m Jarak pandang (S > L)
Diketahui S = 55 meter maka JPH sebesar :
2 2
200 * h1 + h2 ) 200 * 1,25 + 0,10 )

JPH L = 2 * S - = 2 * 55 -
A 10
= 68,86 m > S (tidak memenuhi)
Diketahui S = 220 meter maka JPM sebesar :
h 2
200 * 1 + h2 )

JPM L = 2 * S -
A

200 * 1,25 2
+ 1,25)

= 2 * 220 - = 340 m > S


10
(tidak memenuhi)
b. Berdasarkan syarat keamanan
Dari grafik III hal 20 PPJJR didapat Lv = 50 meter
c. Berdasarkan syarat keluwesan bentuk
Lv = 0,6 x v = 0,6 x 50 = 30 m
d. Berdasarkan syarat drainase
Lv = 40 x A = 40 X 6,5 = 260 (tidak memenuhi karena > jarak A-
B) Dari data perhitungan diatas diambil Lv = 50 m
i. Pergeseran vertikal (Ev)

Ev = AxLv =10x50 = 0,625


800 800
ii. Elevasi rencana sumbu jalan
- Permukaan lengkung vertikal (PLV)
1
Elevasi PLV = Elevasi PPV - 2 x Lv x g1
1
= + 9,00 – 2 x 50 x 10%
= + 6,5

122
1
Stasion PLV = Sta PPV – 2 x Lv
1
= + 0.110 – 2 x 50
= + 0.85 m
- Pertengahan lengkung (PPV) Elevasi PPV =
Elevasi PPV – Ev
= + 9,00 – 0,625
= + 8,375 m
Stasion PPV = + 0,110 m

- Akhir lengkung (PTV)


1
Elevasi PTV = Elevasi PPV + 2 x Lv x g2
1
= + 9,00 + 2 x 50 x 0%
= + 9,00
1
Stasion PTV = STA PPV + 2 x Lv
1
= + 0,110 m + 2 x 50
= + 0,135 m

Anda mungkin juga menyukai