Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Obat yang diberikan lewat rectum dapat ditujukan untuk pengobatan local
(misalnya : wasir, radang rectum, konstipasi) maupun untuk aktivitas sistemik
bila cara lain sulit dilakukan, misalnya :
- Penderita dalam keadaan muntah atau terdapat gangguan saluran cerna.
- Bila terdapat kemungkinan zat aktif rusak oleh getah lambung yang asam atau
oleh enzim usus.
- Bila zat aktif mengalami kerusakan pada pelintasan pertama melalui hati.
- Bila penderita menolak untuk menelan obat dengan alas an karakter
organoleptis sediaan yang tidak menyenangkan atau karena resiko iritasi
lambung atau untuk menghindari cara pemberian parenteral.
Penggunaan lewat rektum mempunyai beberapa kekurangan, yaitu :
- Awal aktivitas terapetik lebih sering lambat dibandingkan cara pemberian
lainnya.
- Jumlah zat total zat aktif yang diserap kadang-kadang lebih kecil
dibandingkan cara pemberian lainnya.
Bentuk sediaan yang diberikan dengan cara ini terutama berupa supositoria,
laveman, dapar rectum dan kapsul rektum.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari rektum ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi rektum.
BAB II
ISI
2.1 Anatomi dan Fisiologi Rektum
2.2.1 Bentuk dan Ukuran
Rektum adalah bagian akhir saluran cerna yang terdiri atas dua bagian
yaitu bagian superior yang cembung dan bagian inferior yang cekung.
Bagian pelvinal melebar membentuk ampula recti yang berfungsi untuk
menampung feses.
Panjang total rectum pada wanita dewasa rata-rata 15-19 cm, 12-14 cm
bagian pelvinal dan 5-6 cm bagian perineal.
Anus sebagai bagian akhir rectum didukung oleh otot gelang (musculus
sphincterani) di bagian dalam dan luar.
2.2.2 Struktur Anatomi
Struktur anatomi rectum berbeda dari kolon, walau tidak ada batas
yang pasti kedua organ tersebut.
Terdapat empat lapisan rectum, dari arah luar ke dalam berurutan :
lapisan serosa pertional (tunica serosa peritonealis)
lapisan otot (tunica muscularis) dengan lapisan luar serabut yang
memanjang dan bagian dalam serabut yang melingkar.
Lapisan bawah mukosa (tunica sub mucosa) atau celluleuse yang
mengandung plexus vena haemorhaidales.
Lapisan mukosa (tunica mucosa) yang pada bagian-bagian tetentu
menunjukan sifat umum usus besar.
Pada permukaan bagian dalam rectum kosong ditemukan lipatan
mukosa yang longitudinal dan lipatan ini menghilang bila usus meregang.
Rektum pelvinal mempunyai lipatan permanen setengah bulat yang
merupakan valvula rectum (disebut juga valvula dari HOUSTON) dan
membentuk lipatan transversal. Mukosa ini terdiri dari lapisan sederhana
sel-sel epitel silindrik dan tidak mempunyai jojot usus (kebalikan dari usus).
Bagian perineal rectum mempunyai kanal dan kutub Morgani, yang
membentuk tonjolan longitudinal seperti sarang burung. Dengan
bertambahnya umur maka rektum mengalami perubahan zat yaitu adanya
pigmen dan ketebalan akibat adanya jaringan penghubung atau karena
atropi.

2.2.3 Vaskularis Darah dan Getah Bening


Rektum dialiri oleh tiga jenis vena haemorhaidales :
- Vena haemorhaidales superior yang bermuara ke vena mesentericum
inferior, selanjutnya masuk ke dalam vena porta, dan juga membawa
darah langsung ke peredaran darah.
- Venae haemorhaidales medialis dan vena haemorhaidales inferor yang
bermuara ke vena cava inferior dengan perantaraan venae iliaca interna
selanjutnya membawa darah ke peredaran umum (kecuali hati).

Anyaman vena-vena tersebut dimulai dari suatu pleksus sub-mukosa


yang kaya yaitu plexus haemorrhoidales dan yang membentuk suatu
anastomose porto-cava yang penting. Sulit untuk mengetahui dengan tepat
dari bagian mana zat aktif akan menembus, sesudah melewati mukosa dan
mengikuti aliran darah.
Anyaman getah bening juga terdiri dari tiga kelompok kanal :
- kanal bagian bawah (canalis inferior) yang berasal dari anus menuju
ganglion inguinalis di permukaan.
- kanal bagian tengah (canalis medialis) yang mengikuti Venae
haemorhaidales medialis dan berakhir dalam ganglion hypogastrium.
- kanal bagian atas (canalis superior) yang terutama mengalirkan getah
bening dari ampula recti dan rectum superior yang selanjutnya menuju
ganglion mesentericum inferior.

Vaskularisasi pada wanita mungkin lebih baik karena sejumlah obat


dapat diseerap lebih cepat pada wanita dibandingkan pria.

2.2.4 Persarafan
Persarafan rectum terdiri dari :
- Anyaman haemorrhoidales bagian atas (plexus haemorrhoidales superior)
- Anyaman haemorrhaidales yang keluar dari plexus hipogastricum
- Saraf haemorrhidales atau saraf anus yang merupakan cabang dari plexus
sacralis.

2.2.5 Fungsi Rektum


Rektum mempunyai dua peran mekanik, yaitu sebagai tempat
penampung feses dan mendorongnya saat pengeluaran.
Adanya mukosa memungkinkan terjadinya penyerapan yang tidak dapat
diabaikan, hal ini menguntungkan pada pengobatan dengan supositoria dan
lavemen nutritive.
2.2.6 Cara Transpor Zat Aktif dalam Tubuh Setelah Pemberian dan Penyerapan
Melalui Rektum

Penelitian tentang penyerapan zat aktif dari supositoria, pertama kali


dilakukan oleh Ravaud pada tahun 1936 (gambar 1).
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penyerapan di rectum dapat terjadi
dengan tiga cara, yaitu :
- lewat pembuluh darah secara langsung.
- lewat pembuluh getah bening
- lewat pembuluh darah secara tidak langsung melalui hati.
Ravaud menyatakan bahwa bila supositoria tinggal di daerah anal,
penyerapan terjadi melalui pembuluh darah secara langsung dan lewat
pembuluh getah bening sehingga tidak melalui sawar hepatic. Hanya vena
inferior dan vena intermedier yang berperan dan membawa zat aktif melalui
vena iliaca ke vena cava inferior.
Ravaud juga berpendapat bahwa faktor anatomik dapat menjelaskan
mengapa zat aktif tertentu yang dirusak oleh hati menjadi lebih aktif bila
diberikan lewat rektal dibandingkan pemberian per oral.
Zuns pada tahun 1930 melakukan percobaan pada katak dengan obat
strikinin sulfat. Hasil penelitian memperkuat hasil penelitian dari Ravaud,
karena pada dosis tertentu strikinin akan menimbulkan konvulsi setelah 7
menit bula diberikan melalui rectal, 14 menit bila obat diberikan ke usus
besar dan 30 menit setelah pemberian ke dalam esophagus. Kelebihan
terapiutik sediaan perektal dibandingkan per bukal telah dibuktikan.
Cestari mengungkapkan data-data serupa beberapa tahun kemudian
yaitu pada tahun 1941. Demikian pula halnya dengan peniadaan kinina
ternyata lebih lambat bila diberikan per rectal dibandingkan per oral (serbuk
terbagi). Skema dari Ravaud tentang peredaran darah rectum tidak
menunjukkan hubungan yang bermakna dari data cuplikan tanpa perlakuan
anatomik.
Beberapa tahun kemudian, tahun 1948 Bucher meneliti efek
supositoria yang mengandung natrium folat berlabel pada tikus menyatakan
bahwa tergantung pada posisi supositoria dalam rectum, ternyata 75 % zat
aktif berada diperedaran darah umum dan 25 % dalam vena porta atau 50 %
dalam keduanya. Hal tersebut membuktikan bahwa sawar hati tidak
sepenuhnya dihindari.
Tahun 1951, Canals mempelajari penyerapan kalsium radioaktif
melalui rectal, dan ternyata ditemukan adanya radioaktif yang tertukar di
dalam vena porta beberapa saat setelah pemberian supositoria berlabel.
Pada masa yang sama Quevauviller dan Jund mempelajari keadaan
rectum secara terperinci setelah pemberian supositoria berlabel pada
manusia. Dari klise radiografik ditemukan bahwa supositoria akan selalu
naik 5-6 cm di atas anus ( hal ini tergantung pada zat pembawa, missal
minyak coklat (oleum cacao) atau emulsi air dalam minyak). Data yang
sama juga diperoleh dari daerah yang diluar aliran vena haemorrhoidales
inferior yaitu daerah anal. penyerapan dimulai dari vena haemorrhoidales,
terutama vena haemorrhoidales superior menuju vena porta melalui vena
mesentricum inferior. Gambaran ini ternyata lebih rumit karena adanya
anastomosis antara vena haemorrhoidales bagian bawah dan atas. Jadi
sebagian darah dari vena haemorrhoidales melewati vena porta.
Saluran getah bening juga berperan pada penyerapan rektal yaitu
melalui saluran toraks yang mencapai vena subclavula sinistra. Menurut
Fabre dan Regnier, pengaruh tersebut hanya berlaku untuk obat-obat larut
lemak.
Selain itu perlu dicatat bahwa umumnya rectum selalu kosong, kecuali
saat defikasi.
Adanya sejumlah feses di luar saat defikasi kadang-kadang tidak dapat
diabaikan, karena telah dibuktikan bahwa pemberian lavement pembersih
sebelum pemberian obat oral per rektum dapat memperbaiki penyerapan.
Selain feses, selain feses di rectum terdapat senyawa lain, tetapi dalam
jumlah kecil, ampula recti mengandung sedikit air (sekitar 2 ml) dan
senyawa kental sejenis “mucin”.
Derajat keasaman pH cairan rectum juga menjadi objek penelitian
yang hasilnya kadang saling bertentangan. Peneliti tertentu menyatakan
bahwa pH rectum mirip pH usus besar yaitu 6,8, sedangkan peneliti lain
berpendapat sekitar 5,4. Namun dengan pengukuran diteliti dapat dibuktikan
bahwa cairan rectum bersifat netral yaitu 7,2-7,4.
Kemampuan pendaparan cairan rectum tidak bermakna, tergantung
pada sifat senyawa yang ada di dalamnya.
Jadi mukosa rectum dalam keadaan tertentu bersifat permeable
sempurna. Penyerapan rektum kadang-kadang lebih baik dari penyerapan
bukal dan hal ini membuktikan bahwa posologi harus bersifat individu
(missal pada pemberian tetrasiklin, bensil penisilin,paracetamol,
insulin,trevintik). Selain itu penyerapan tergantung pada derajat
pengosongan saluran cerna, jadi tidak dapat diberlakukan hal yang umum.
Bahkan beberapa obat tertentu tidak diserap oleh mukosa rectum (penislin,
vitamin B12).
Kelebihan cairan rektum dibandingkan cara bukal menurut Ravaud
hanya berlaku pada senyawa tertentu, karena dalam hal ini sawar hepatik
masih berperan penting.
vena haemorrhoidales

Anda mungkin juga menyukai