Anda di halaman 1dari 110

Menghitung

Ulang
Ancaman
Krisis
Listrik di
Masa Depan
Oleh: Frendy Kurniawan - 4 April 2017

Dibaca Normal 3 menit

Sejak beberapa tahun lalu kekhawatiran krisis listrik bakal


melanda Jawa-Bali sudah terdengar. Di sisi lain, wilayah lain di
luar Jawa dan Bali sudah lebih dulu mengalaminya. Krisis listrik
total pun sudah di depan mata.

tirto.id - "Setiap saya ke daerah ke provinsi, kabupaten, kota


selalu keluhannya adalah kurang listrik, krisis listrik, mati
lampu," kata Presiden Jokowi saat peresmian "Marine Vessel
Power Plant" (MVPP) PT PLN (Persero) di Tanjung Priok,
Desember 2015 lalu.

Defisit pasokan listrik di Indonesia memang menjadi masalah


klasik yang sudah menahun tapi belum tuntas diselesaikan.
Setiap tahun, kebutuhan listrik masyarakat Indonesia
bertambah 5.000 megawatt (MW). Namun, pertumbuhan
pasokan listrik selalu kalah cepat dari kenaikan kebutuhan,
dampaknya diperkirakan seluruh Indonesia pada 2018 akan
mengalami krisis listrik total 1.000 MW.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya


Mineral (ESDM) hingga 4 April 2016, terdapat lima wilayah
yang mengalami defisit cadangan listrik. Kota Palu merupakan
wilayah dengan defisit cadangan terbesar yaitu 23,37 persen.
Selain di Indonesia Timur, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan
Lampung pun mengalami defisit cadangan listrik sebesar 6,70
persen.
Pada periode yang sama, ada 14 wilayah dinyatakan dalam
kondisi siaga atau memiliki cadangan yang lebih kecil dari
pembangkit terbesarnya. Misalnya Kota Jayapura, Lombok dan
Batam. Sementara, hanya terdapat empat wilayah yang
berstatus normal soal cadangan listrik, yaitu Jawa-Bali,
Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Poso, Tentena, dan
Kupang.

Kondisi 4 April 2016 relatif masih lebih baik, sebab


Kementerian ESDM sempat mencatat kondisi kelistrikan per 2
November 2015, situasinya malah lebih mengkhawatirkan.
Ada sembilan wilayah di Indonesia yang tercatat berstatus
defisit, seperti Kota Kendari dengan defisit cadangan listrik
sebesar 21,75 persen dan Lombok dengan defisit sebesar
10,87 persen.

Hanya ada tiga wilayah yang berstatus normal, yaitu Ternate


dan Maluku, Ambon, dan NTT. Imbasnya, PT PLN selaku BUMN
penyedia listrik harus melakukan pemadaman secara bergilir di
beberapa wilayah provinsi karena krisis listrik yang sudah
terjadi di beberapa daerah.

Di lain sisi, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik


(RPTUL) 2016-2025, PLN memproyeksikan pertumbuhan
permintaan tenaga listrik di Indonesia rata-rata 8,6 persen
per tahun. Sehingga, diperkirakan kebutuhan listrik pada 2025
akan mencapai lebih dari dua kali lipat dari 217
Terawatt-hour (TWh) menjadi 457 TWh di 2016.

Situasi itu tentu membuat ancaman krisis listrik total semakin


nyata di depan mata. Saat ini, sistem kelistrikan Jawa-Bali
dengan kapasitas daya besar pun tetap masih menanggung
beban berat, terutama saat defisit listrik pada waktu sibuk
pemakaian (antara pukul 6-12 malam).

Pada 2015, total konsumsi tenaga listrik nasional mencapai


228 TWh. Nilai ini setara dengan rata-rata 910 kWh per
kapitanya. Golongan pengguna listrik terbesar adalah industri
dan rumah tangga. Pada 2015, sebanyak 40 persen konsumsi
listrik nasional digunakan oleh sektor industri dan 38 persen
sektor rumah tangga. Sedangkan, layanan umum hanya
mengonsumsi 6 persen dari listrik nasional.

Kebutuhan listrik itu berasal dari kapasitas yang terpasang


pada pembangkit di seluruh Indonesia yang mencapai 55.500
MW. Dari kapasitas tersebut, proporsi sumber energi yang
berasal dari fosil masih dominan.

Sumber energi utama pembangkit listrik berasal dari batu bara


menyumbang 56,06 persen. Batu bara cenderung diandalkan
karena memang kompetitif dibandingkan dengan harga jual
produksi listrik dari pembangkit.
Sementara itu, pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT)
masih terlihat rendah. Selama kurun waktu 2010-2015, tren
yang terjadi malah cenderung menurun. Pada 2010,
pemanfaatan EBT sebesar 15 persen dari total sumber energi
pembangkit dan menurun hingga hanya 10,47 persen pada
2015.

Rendahnya pemanfaatan EBT ini menjadi ironi. Alasannya


karena Indonesia pernah memperlihatkan komitmen soal
pemanfaatan EBT dalam kesepakatan bersama 14
negara-negara lain di Paris, Perancis, saat Konferensi tentang
Perubahan Iklim (United Nations Climate Change Conference,
COP 21) pada November-Desember 2015 lalu.

Peraturan Pemerintah (PP) No.79 Tahun 2014 tentang


Kebijakan Energi Nasional pun sudah menegaskan soal EBT.
Dalam PP tersebut, Presiden Jokowi menargetkan
pemanfaatan EBT sebesar 23 persen pada 2025 nanti. Artinya,
sampai menuju angka 23 persen, porsi pemanfaatan EBT tentu
harus meningkat signifikan setiap tahun.

Dari sisi potensi, beragam jenis EBT di Indonesia dapat


dikatakan sangat besar. Tenaga air misalnya, diproyeksikan
memiliki potensi mampu memproduksi kapasitas tenaga listrik
hingga 94.476 MW. Begitu juga dengan sumber panas bumi,
dicatat memiliki potensi 29.544 MW. Sementara, Bioenergi
diproyeksikan memiliki potensi hingga mencapai 32.000 MW.
Potensi EBT di Indonesia

Meski begitu, tidak semua jenis EBT lantas didayagunakan


sebagai sumber energi pembangkit. Sumber tenaga air misalnya,
porsi pemanfaatannya pun baru mencapai 5,3 persen. Begitu
juga dengan panas bumi yang baru termanfaatkan 4,8 persen
saja.

Sementara itu, EBT yang berasal dari bioenergi baru


dimanfaatkan sebesar 5,4 persen dengan kapasitas terpasang
yang sangat kecil, hanya sebesar 78,5 MW. Padahal, jenis EBT
ini cenderung lebih ramah lingkungan karena berpotensi
mengolah kembali beragam sampah atau hasil buangan.

Potensi EBT di Indonesia telah menarik perhatian


negara-negara lain ataupun lembaga internasional melalui
berbagai bantuan dan program pengembangan. Bank Dunia
misalnya, pernah memiliki program yang terkait dengan
penyediaan sistem solar skala rumahan. Nama programnya
Home Solar Indonesia dengan tujuan untuk menyediakan
sistem PV (photovoltaic) untuk 200.000 rumah Indonesia.
Program tersebut berlangsung sejak pertengahan 1990-an.

Bank Pembangunan Asia (ADB) telah banyak aktif dalam


berbagai proyek dari pengembangan listrik pedesaan
menggunakan energi terbarukan. Sebuah proyek dimulai pada
2002 yang berusaha menyediakan lebih dari 150 juta dolar AS
dalam pinjaman, termasuk menyediakan 10.000 keluarga
berpenghasilan rendah di pulau-pulau terluar Indonesia solar
home system dan pembangkit listrik mikro hidro (MH).
Selain itu, Belanda pun telah membiayai sebuah kegiatan
bernama “CASINDO”. Program yang mendukung terbentuknya
forum bersama antar kepentingan di daerah terutama
berkaitan dengan perencanaan investasi energi. Begitu juga
dengan Denmark, Australia, Inggris dan Kanada mendukung
Green PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat).
Program lain dalam konteks ASEAN, bernama Program Energi
Terbarukan Dukungan untuk ASEAN. Bahkan, awal 2017,
Perancis dan Swedia pun mulai menjajaki soal EBT di Indonesia.

Mengubah ketergantungan Indonesia atas sumber energi listrik


dari fosil menjadi EBT memang bukan perkara mudah. Selain
masalah infrastruktur, penghambat pengembangan EBT
sebagai sumber energi adalah rasio biaya produksi dan harga
jual.

Saat ini, dengan masih barunya EBT, tentu tingkat rasio harga
dan biaya produksinya tidak serta merta dapat sebanding
langsung dengan batubara. Namun, dengan tingginya potensi
EBT yang Indonesia miliki dan ancaman krisis pasokan listrik
bagi masyarakat.

Pembangkit listrik dari EBT di Indonesia masih dalam skala


kecil hingga menengah sehingga belum kompetitif. Bila ingin
kompetitif pembangkit EBT harus menggunakan teknologi yang
tepat dan sesuai dengan karakteristik wilayah masing-masing
kondisi geografi, infrastruktur dan lainnya. Di beberapa daerah,
pemanfaatan EBT memang membantu mengurangi
kekurangan listrik terutama di daerah terpencil seperti energi
tenaga surya.

Pemerintah memang punya dua target besar yaitu


mewujudkan target rasio elektrifikasi sebesar 99 persen pada
2019 dan program listrik 35.000 MW, yang menargetkan
25% atau 8.800 MW bersumber dari EBT. Jumlah ini sangat
cukup membantu signifikan menambal ancaman defisit listrik
di tahun depan.

Dua masalah besar lainnya yaitu ancaman krisis listrik skala


nasional, dan yang tak kalah krusialnya soal pembangkit listrik
EBT yang masih rendah. Momen seremonial peluncuran proyek
listrik 35.000 MW pada Mei 2015 lalu oleh Presiden Jokowi di
Pantai Samas, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang
ditandai peluncuran perdana proyek EBT pembangkit tenaga
angin menandai kesadaran pemerintah soal EBT.

Namun, kesadaran soal EBT ini tak menjadi garansi


membebaskan Indonesia dari kekurangan pasokan dan krisis
listrik, tapi hanya dengan kerja keras maka ancaman krisis
listrik total tak benar-benar terjadi.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan menarik


lainnya Frendy Kurniawan

(tirto.id - Ekonomi)
Teknologi batubara bersih jadi solusi
krisis listrik Tanah Air
Rabu, 28 September 2016 11:54 Reporter : Idris Rusadi Putra



4

SHARES

pltu muara karang. 漏 2012 Merdeka.com/dok

Merdeka.com - Indonesia saat ini masih dihantui krisis listrik.


Kebutuhan akan energi ini belum seimbang dengan pembangunan
yang ada. Dalam 50 tahun terakhir, Indonesia menghasilkan
55.000 Megawatt (MW) listrik untuk memenuhi kebutuhan hidup
rakyatnya. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan
perekonomian negeri membuat kebutuhan listrik Indonesia naik
hampir 9 persen per tahun.

BERITA TERKAIT

 Bertemu Dubes China, Menko Luhut Bahas Kerja Sama


Pengembangan SDM

 Menko Luhut Tagih Janji Maskapai Turunkan Harga Tiket


Pesawat

 Respons Menko Luhut soal Mahalnya Harga Tiket Pesawat


Sumbang Inflasi Maret
Hingga 2019, dibutuhkan tambahan kapasitas 35.000 MW. Apabila
hal ini tidak terpenuhi, maka krisis listrik yang berujung
pemadaman di berbagai daerah. Konsumsi Energi Indonesia akan
meningkat sebesar 30 persen hingga 2020. Hampir 40 persen dari
peningkatan ini berasal dari konsumsi sektor industri.

Tahun 2024, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai


angka 284 juta jiwa, dengan proyeksi kebutuhan listrik sebesar
74.000 Megawatt. Saat ini angka pasokan listrik Indonesia terendah
di Asia. Pemerintah hanya mampu memasok 210 Megawatt kepada
setiap warga, jauh dibawah standar regional sebesar 500 MW per
orang. Sebagai perbandingan, angka pasokan listrik Thailand berada
di level 802 MW per orang, Malaysia 982 MW per orang, dan
Singapura 2.028MW per orang. Akibatnya, hari ini, 40 juta jiwa
rakyat Indonesia belum menikmati listrik. Separuh desa di Indonesia
dan 4.000 pulau berpenghuni masih gelap. Untuk itulah Pemerintah
Jokowi-JK meluncurkan program 35.000 Megawatt tahun 2015.

Saat ini, Indonesia memiliki lebih dari 5.000 pembangkit listrik


dengan Kapasitas total 55.000 MW. Sebagian besar di antaranya
masih menggunakan 'Subcritical Technology' sehingga konsumsi
batubara tinggi, emisi gas buang tinggi, dan penanganan limbah
industri seringkali belum memenuhi standar. Hal ini menyebabkan
PLTU batu bara dinilai merusak lingkungan. Sejumlah pihak
mendorong peralihan ke energi terbarukan, seperti yang dilakukan
negara-negara lain. Namun biaya pengembangan Renewable Energy
mencapai 4x lipat.

Meski demikian, teknologi batu bara ramah lingkungan bisa menjadi


jalan keluar, seperti yang dilakukan PLTU Cirebon. Pembangkit ini
menggunakan teknologi batu bara bersih, atau supercritical. Dengan
teknologi ini, PLTU bisa beroperasi dengan lebih efisien. Less coal, less
emission.
Director PT Cirebon Electric Power dan President Director of PT
Cirebon Energi Prasarana, Heru Dewanto mengatakan, Indonesia
saat ini hanya memiliki 2 PLTU dengan teknologi batu bara bersih.
Salah satunya adalah PLTU Cirebon dengan kapasitas 660 MW,
beroperasi sejak tahun 2012 dan telah menerangi lebih dari
600.000 rumah.

"Dengan teknologi batu bara bersih, PLTU Cirebon mampu


memproduksi listrik dengan penggunaan batu bara yang lebih
sedikit, menghasilkan emisi lebih rendah, dan mengelola limbah
industri dengan lebih baik," katanya di Jakarta, Rabu (28/9).

PLTU ini menghasilkan jumlah abu sisa pembakaran yang lebih


sedikit, di mana sisa pembakaran yang dihasilkan, setiap harinya
dibawa ke pabrik semen terdekat untuk digunakan sebagai bahan
baku pembuatan semen. Sehingga bak penampungan abu selalu
dalam kondisi kosong. Agar debu batubara tidak merusak
lingkungan, PT Cirebon Electric Power memasang wind breaker
setinggi 13 meter di sekitar area penampungan batu bara. Selain itu
juga ditanam tiga lapis pohon untuk memaksimalkan fungsi.

Atas teknologi ini, PLTU Cirebon baru saja diganjar penghargaan


dari Asian Power Awards sebagai 'Coal Power Project of the Year'
tahun ini. "Penghargaan ini mendorong kami untuk terus
berkomitmen mendukung Indonesia menerapkan keseimbangan
antara kebutuhan akan energi dan pembangunan berkelanjutan,"
tegas Heru. [sau]
Tenaga listrik merupakan sumber energi yang sangat penting
bagi kehidupan manusia baik untuk kegiatan industri, kegiatan
komersial maupun dalam kehidupan sehari-hari rumah tangga.
Energi listrik dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan penerangan
dan juga proses produksi yang melibatkan barang-barang elektronik
dan alat-alat/mesin industri. Mengingat begitu besar dan
pentingnya manfaat energi listrik sedangkan sumber energi
pembangkit listrik terutama yang berasal dari sumber daya tak
terbarui keberadaannya terbatas, maka untuk menjaga kelestarian
sumber energi ini perlu diupayakan langkah-langkah strategis yang
dapat menunjang penyediaan energy listrik secara optimal dan
terjangkau.
Saat ini, ketersediaan sumber energi listrik tidak mampu
memenuhi peningkatan kebutuhan listrik di Indonesia. Terjadinya
pemutusan sementara dan pembagian energi listrik secara bergilir
merupakan dampak dari terbatasnya energy listrik yang dapat
disupply oleh PLN. Hal ini terjadi karena laju pertambahan sumber
enegri baru dan pengadaan pembangkit tenaga listrik tidak
sebanding dengan peningkatan konsumsi listrik.
Upaya menambah pembangkit sebenarnya telah dilakukan
pemerintah. Namun membutuhkan proses yang lama dan anggaran
yang besar. Apalagi saat ini PLN sedang mengalami kerugian dan
menanggung utang yang cukup besar. Hal ini tak lepas dari akibat
praktek KKN yang masih melekat pada birokrasi dan kepengurusan
PLN. Oleh karena itu, kerja sama dan partisipasi berbagai pihak
sangat diperlukan untuk mengatasi krisis energy listrik ini.
Berbagai upaya perlu untuk mengatasi krisis energy listrik ini
secara simultan dan terstruktur. Adapun langkah strategis yang
dapat dilakukan diantaranya perbaikan system distribusi listrik,
mengurangi ketergantungan kepada BBM sebagai bahan bakar
pembangkit tenaga listrik, internalisasi hidup hemat kepada
khalayak baik dari mulai level rumah sampai perusahaan besar, dan
perapihan internal pengurus PLN.
Perbaikan system distribusi listrik
Saat ini system distribusi listrik yang digunakan oleh PLN
umumnya adalah system sentralisasi listrik. System tersebut
ternyata dapat membawa dampak buruk dalam distribusi listrik di
Indonesia. Diantaranya menyebabkan banyaknya wilayah yang sulit
dicapai oleh jaringan listrik dan faktor geologisnya buruk, tidak
dapat menikmati listrik. Selain itu, dapat juga menyebabkan
terjadinya penyusutan tenaga listrik, tidak stabilnya tegangan listrik
hingga pada pemadaman aliran listrik yang berakibat seluruh
wilayah yang bergantung pada gardu tertentu akan mengalami
black out.
Contoh kasus listrik terbesar yang terjadi adalah mati listrik
Jawa-Bali pada 18 Agustus 2005 di Indonesia, di mana listrik di
Jakarta dan Banten mati total selama tiga jam. Mati listrik ini
terjadi akibat kerusakan di jaringan transmisi Saluran Udara
Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 500 KV Jawa-Bali. Dampak yang
diakibatkan antara lain : Sebanyak 42 perjalanan kereta rel listrik
(KRL) rute Jakarta-Bogor-Tanggerang-Bekasi dibatalkan. Sebanyak
26 KRL yang sedang beroperasi tertahan di beberapa perlintasan.
Potensi kehilangan pendapatan mencapai Rp 200 juta. Di Bandara
Soekarno-Hatta gangguan listrik berlangsung sekitar empat jam
dan menyebabkan 15 penerbangan tertunda. PLN memperkirakan
ada sekitar 3,2 juta pelanggan yang terkena pemadaman total,
terutama di daerah Jakarta dan Banten (Kompas,19/08/05)
Mati listrik bagi masyarakat pada umumnya bila dilihat
sepintas memang merupakan hal yang sepele, tapi bayangkan jika
hal ini terjadi pada sebuah pabrik produksi skala besar atau pusat
perbelanjaan dan perkantoran yang tidak dapat ‘hidup’ tanpa
pasokan listrik. Satu menit aliran listrik sangat berarti bagi mereka.
Gara-gara mati listrik, satu pekerjaan terhambat akan membuat
efek domino hingga pekerjaan lain pun terhambat. Bila hal ini
dibiarkan, kegiatan perekonomian, pendidikan, dan bidang vital
lainnya akan terganggu.
Meninjau masalah di atas, sangatlah diperlukan suatu sistem
baru yang dapat menyokong penyediaan energi listrik saat ini. Suatu
sistem yang dapat menjangkau seluruh pelosok tanah air. Itulah
sistem desentralisasi listrik. Sistem ini menggunakan pembangkit
listrik berskala kecil yang terdesentralisasi (tersebar) di seluruh
daerah rawan listrik dan membutuhkan pasokan listrik yang besar.
Saat ini alat untuk mendukung sistem desentralisasi listrik telah
tersedia, misalnya turbin gas mikro, dan mikro hidro. Yang perlu
dilakukan sekarang adalah bagaimana PLN, para akademisi, dan
investor melakukan kaji ulang dan mengimplementasi sistem
tersebut.
Kurangi Ketergantungan kepada BBM
BBM merupakan sumber daya yang tak dapat diperbarui yang
semakin lama akan semakin berkurang persediaannya. Oleh karena
itu, ketergantungan terhadap BBM sebagai bahan bakar pembangkit
tenaga listrik harus dikurangi. Pemenuhan kebutuhan energi yang
tergantung pada BBM sering kali mengganggu pasokan energi
nasional, apalagi jika terjadi kelangkaan atau meningkatnya harga
BBM di pasar internasional.
Selama 2-3 tahun terakhir ini harga minyak mentah di dunia
meningkat. Pasokan listrik akan berkurang dan subsidi listrik pun
meningkat. Perlu diketahui bahwa cadangan minyak bumi di tanah
air hanya tinggal 1,2 % dari cadangan minyak bumi dunia. Kalau
tidak ada penemuan baru, maka cadangan kita tinggal hanya
bertahan sampai 20 tahun. Gas tinggal sekitar 60 tahun saja, kalau
tidak ada penemuan baru. Batu bara lebih panjang dari itu, masih
150 tahun lagi. (Sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dalam Peresmian PLTU Tanjung Jati B Jepara, Jawa Tengah)
Upaya mengurangi pemanfaatan minyak bumi dan beralih
pada sumber energi lain, terutama sumber energi non fosil dan
energi terbarukan perlu kita lakukan. Indonesia memiliki cadangan
sumber energi non fosil yang cukup melimpah, namun belum
dimanfaatkan secara optimal, misalnya bahan bakar nabati dari
jarak, singkong, tebu, kelapa sawit, dan sampah.
Salah satu perkembangan teknologi yang mendukung
penyediaan energy saat ini adalah pembangkit listrik tenaga sampah
(PLTSa). Beberapa waktu lalu ITB telah membuat PLTSa walaupun
ada pro dan kontra.
Sebagai tambahan, saat ini sampah telah menjadi masalah
besar terutama di kota-kota besar di Indonesia. Hingga tahun 2020
mendatang, volume sampah perkotaan di Indonesia diperkirakan
akan meningkat lima kali lipat. Tahun 1995, menurut data yang
dikeluarkan Asisten Deputi Urusan Limbah Domestik, Deputi V
Menteri Lingkungan Hidup, Chaerudin Hasyim, di Jakarta
baru-baru ini, setiap penduduk Indonesia menghasilkan sampah
rata-rata 0,8 kilogram per kapita per hari, sedangkan pada tahun
2000 meningkat menjadi 1 kilogram per kapita per hari. Pada
tahun 2020 mendatang diperkirakan mencapai 2,1 kilogram per
kapita per hari. (kompas, 18/09/’03). Semoga dengan adanya
PLTSa ini, persoalan sampah dapat terselesaikan sekaligus krisis
energi listrik dapat tertangani.
Internalisasi Hidup Hemat
Pemborosan merupakan salah satu penyebab terbesar krisis energy
listrik yang terkadang dirasakan kecil pengaruhnya. Padahal bila
kita kalkulasikan secara kumulatif, energy yang terbuang secara
sia-sia akibat pemborosan listrik ini sungguh besar. Mengutip
kata-kata bijak dari Bapak H. Usep Romli dalam artikel Pikiran
Rakyat 23 April 2006, bahwa perkara kecil memang suka dianggap
sepele dan tak penting. Justru yang kecil itulah, yang tak ditangani
serius, yang akan mengubah situasi dan kondisi secara fatal. Virus
hanya sebentuk makhluk kecil yang dikategorikan mikroskopis.
Hanya dapat dilihat dengan mikroskop berkekuatan lipat-ganda.
Tetapi dari virus itulah muncul aneka macam penyakit. Terutama flu,
baik flu manusia maupun flu burung yang menghebohkan itu. Dalam
sejarah Arab pra-Islam, pasukan gajah Abrahah dikalahkan oleh
burung-burung “ababil” yang kecil-kecil. Dalam sejarah Mesir Kuno,
seorang Firaun dikalahkan oleh serangan kutu-kutu kecil dan
katak-katak kecil. Oleh karena itu, janganlah menyepelekan yang
hal kecil.
Saat ini, jumlah kerugian akibat pemborosan listrik mencapai
triliunan rupiah. Kondisi memiriskan ini, memaksa kita berhemat
untuk memakai listrik. Sampai-sampai ketika 2 tahun yang lalu
para pejabat negara dan pihak-pihak dari instansi mencanangkan
gerakan hemat listrik di kantornya. Gerakan itu merupakan
pengejawantahan dari Inpres No 10 Tahun 2005 tentang
Penghematan Energi yang dikeluarkan Presiden, Susilo Bambang
Yudhoyono pada 10 Juli 2005.
Memang terjadi telah penghematan yang cukup signifikan,
terutama pada instansi pemerintah. Namun seiring dengan waktu,
gerakan hemat listrik ini tinggal sejarah. Pola konsumsi listrik
berlebihan dan tidak berdaya guna, kembali menjadi kebiasaan di
mana-mana. Di gedung pemerintahan sekalipun, itu hanya tinggal
sebatas imbauan di atas kertas yang ditempel di dinding-dinding
kantor. Di sana, lampu dibiarkan tetap menyala –bahkan disengaja
untuk dihidupkan– kendati cahaya mentari sudah cukup memberi
terang pada tiap ruang. Gerakan ini idealnya tetap dilaksanakan
dan harus dilaksanakan. Tapi, perlu adanya kerjasama antara pihak
pemerintah, LSM, para pelajar, dan media untuk menyuarakan
gerakan hemat listrik secara berkelanjutan.
Untuk menghemat energi listrik masyarakat disarankan untuk
mengurangi penggunaan alat elektronik yang banyak menyedot
daya listrik, seperti kulkas, mesin cuci, AC dan mesin pompa air.
Diharapkan juga untuk menggunakan lampu hemat energi (LHE).
Komparasi penggunaan LHE jauh berbeda dengan lampu pijar biasa.
Bagi pengguna LHE, misalnya dengan daya 900 watt bisa
menghemat biaya 10.000 sampai 12.000 rupiah per bulan.
Rekening listrik yang dibayarkanpun akan semakin berkurang.
Perapihan dan Transparansi Internal Pengurus PLN
Dibandingkan dengan negara-negara lain, harga pokok listrik
di Indonesia tergolong tidak efisien. Harga pokok listrik di Indonesia
mencapai 6,5 sen dollar AS per kWh, masih lebih tinggi daripada
negara-negara lain di sekitarnya. Seperti Malaysia dengan biaya
listriknya hanya 6,2 sen dollar AS per kWh, Thailand hanya 6,0 sen
dollar AS per kWh, Vietnam 5,2 sen dollar AS per
kWh.(http://portal.djlpe.esdm.go.id)
Jika dibandingkan dengan berbagai inovasi yang dilakukan
swasta dalam mengatasi energinya sendiri, tidak sedikit biaya
produksi listrik swasta lebih rendah dari PLN, terutama listrik untuk
kebutuhan perusahaan sendiri. Namun, karena PLN masih bersifat
monopoli, tidak ada pembanding dan tidak ada tekanan terhadap
PLN untuk melakukan efisiensi.
Yang terjadi selama ini dalam sejarah PLN tidak lain adalah
rangkaian KKN, yang memeras sumber daya perusahaan ini.
Pembangkit swasta bernuansa KKN dipaksakan masuk ke PLN
dengan harga penjualan daya listrik lebih tinggi dari harga PLN,
yang dijual kepada masyarakat. Pengadaan mesin yang tidak efisien
banyak terjadi di lingkungan PLN.
Hasil audit BPK yang telah menurunkan defisit yang diajukan
PLN sebenarnya masih bisa menemukan titik kritis lebih jauh lagi di
dalam sistem tubuh PLN, terutama masalah inefisiensi. Biaya yang
diajukan PLN terlalu besar, yakni sebesar 93,2 triliun rupiah, tanpa
ada upaya efisiensi semaksimal mungkin
Dalam hal ini, PLN ditantang untuk bisa berlaku transparan
terhadap besaran BPP yang ditanggungnya. Hal ini diperlukan agar
masyarakat bisa mengetahui seberapa besar biaya pruduksi yang
ditanggung PLN untuk memproduksi listrik. Dari situ dapat
diketahui pula apakah PLN sudah melakukun efisiensi dan efektivitas
dalam manajemen. Di samping perlu juga dilakukan evaluasi soal
sejauh mana upaya PLN dalam mencegah pencurian listrik.
Penutup
Beberapa langkah strategis yang dijelaskan di atas tidak akan
bermakna manakala tidak adanya kerjasama antara pihak
pemerintah, masyarakat, dan instansi terkait dalam menangani
krisis energi listrik. Oleh karena itu, kerjasama antara pihak-pihak
tersebut amatlah penting. Mulai dari penanaman budaya hemat
listrik, sampai masalah teknis penanganan dan pengelolaan sistem
distribusi listrik baik dalam hal pemakaian pembangkit listrik
maupun akuntabilitas finansialnya yang diharapkan lebih
transparan. Semoga krisis energi listrik tidak terjadi lagi di negara
kita tercinta ini. (Aep Saepudin)

Bali di Tahun 2021


Kritis Pasokan Listrik,
Begini Sebabnya
Kamis, 27 Desember 2018 14:19
Tribunnews
Pembenahan instalasi listrik oleh petugas PLN.

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Untuk


diketahui, pertumbuhan permintaan listrik
di Bali dalam lima tahun terakhir sebesar
8,7 persen tiap tahun.
Pertumbuhan itu melebihi pertumbuhan
permintaan listrik nasional yang cuma 7
persen per tahun.
Saat ini, berdasarkan data PLN Bali,
pasokan listrik di Bali memang masih
mencukupi, yakni dengan daya mampu
1100 MW dan beban puncak 860 MW.
Artinya, masih ada sisa pasokan.
Namun, menurut PLN, perlu diketahui
bahwa beban puncak harus ada selisih 20
persen dari daya mampu.
Sebab, dalam operasional pembangkit listrik,
pasti ada proses pemeliharaan dan
sejenisnya yang mengharuskan ada daya
cadangan agar tidak terjadi pemadaman
tiba-tiba.
Mengacu pada proyeksi pertumbuhan listrik
di Bali, jika Bali tidak memiliki pasokan
listrik baru lagi, maka tahun 2021 listrik
Bali sudah kritis alias bisa sering terjadi
pemadaman bergilir.

Baca: Pasca Penolakan JBC Bali Kembali


Bangun Pembangkit, Begini Tanggapan
PHDI

Ketua Komisi II DPRD Provinsi Bali, I Ketut


Suwandhi mendukung langkah PLN untuk
menyiapkan pasokan listrik yang cukup bagi
jangka panjang.
Sebab, menurut Suwandhi, kebutuhan listrik
bagi Bali sangat riskan, terutama dalam 5
sampai 10 tahun ke depan.
Dengan pertumbuhan ekonomi Bali yang
sangat luar biasa, menurut Suwandhi,
kebutuhan listrik sangat vital.

Suwandhi yang mengikuti betul proyek


Jawa Bali Crossing (JBC) dari awal,
mengaku ada yang aneh.
Sebab, dulu pihaknya pernah ikut rapat
sampai sepuluh kali membahas proyek
tersebut. Waktu itu masalah sudah clear,
dan tidak ada penolakan.
“Tapi kok pas pelaksanaannya tiba-tiba
ditolak. Saya dulu waktu jadi Ketua Komisi
III, ikut rapat sampai sepuluh kali bahkan,”
ungkapnya.
Suwandhi berharap agar pihak yang masih
menolak proyek menyelamatkan pasokan
listrik Bali memberikan solusi. “Harusnya
boleh saja menolak, tapi kasih dong
solusinya,” harap Suwandhi.
LNG Hub Lebih Pas
Anggota Komisi II DPRD Bali, AA Ngurah
Adhi Ardana mendesak Pemprov Bali untuk
segera merealisasikan program Bali Mandiri
Energi dengan menggunakan bahan bakar
gas atau LNG Hub.
Rencana PLN untuk proyek Jawa Bali
Connection nantinya bisa dipakai cadangan
listrik Bali.
“Jadi dimulai dari merancang hub gas
apung di daerah Celukan Bawang dan
seterusnya, sementaraJawa Bali Connection
bisa untuk cadangan,” kata Adhi Ardana.
Tentang sebelumnya ada penolakan dari
PHDI dan pemerintah terhadap JBC,
menurut Adhi, hal itu wajar karena
pemerintah pasti berhitung antara
kecepatan pertumbuhan kebutuhan listrik di
Bali dengan seberapa cepat menyiapkan
kemandirian energi.
“Apabila memang tidak seimbang, jadi
wajar untuk mempertimbangkan
sambungan Jawa-Bali. Itu tentu dengan
aturan sastra agama yang baik dan demi
masyarakat Bali,” jelasnya.

MENUJU BALI MANDIRI


LISTRIK
Senin, 7 Januari 2019 | 10:03:18

Berbagi di Facebook

Tweet di Twitter


Ilustrasi pemeliharaan jaringan listrik. (BP/dok)

Oleh Dr. I Wayan Jondra

Bali membutuhkan Jawa Bali Crossing, karena defisit daya listrik


sebesar 70,51 MW, jika terjadi
perbaikan/pemeliharaan/gangguan PLTU Celukan Bawang
(pembangkit terbesar di Bali), sehingga masyarakat tidak dibuat
kelimpungan karena pemadaman listrik pada saat beban puncak
antara pukul 18.00-20.00 Wita.

Beberapa minggu ini, pemadaman bergilir dilakukan karena terjadinya


perawatan berkala terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
Celukan Bawang. Terjadi pengurangan suplai daya untuk Bali dari
1.270 MW dikurangi 380 MW menjadi 890 MW. Jika efisiensi sistem
ketenagalistrikan Bali 90%, maka hanya tersedia daya 801 MW,
sedangkan beban puncak 871,51 MW, sehingga defisit daya pada
sistem kelistrikan Bali sebesar 70,51 MW.

Bali memiliki daya mampu listrik sebesar 1.270 MW dari sejumlah


pemasok. Kondisi kelistrikan tersebut dipasok oleh transmisi kabel laut
dari Jawa menuju Bali sebesar 340 MW, PLTU Celukan Bawang 380
MW, Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Pesanggaran 340 MW,
PLTG Gilimanuk 130 MW, dan PLTG Pemaron 80 MW.

Dalam kondisi normal, beban puncak listrik di Bali hanya 871,51 MW.
Artinya, Bali masih mampu menambah beban puncak (1.270
MWx0,9)-871,51 MW = 1.143-871,51 = 271,49 MW atau 31,15%
dari beban puncak yang ada sekarang. Jika beban puncak 80% dari
daya terpasang, sistem kelistrikan Bali masih dapat menambah
konsumen listrik 271,49 MW dibagi 80% yaitu 339,36 MW, dengan
catatan semua pemasok dalam kondisi normal.

Permasalahan akan muncul apabila terjadi kondisi abnormal


(gangguan/pemeliharaan/perbaikan) pada pemasok daya listrk yang
memiliki kapasitas lebih besar dari 271,49 MW. Adapun sumber
pemasok daya listrik lebih besar dari itu antara lain : kabel laut
Jawa-Bali = 340 MW, PLTU Celukan Bawang = 380 MW, PLTG
Pesanggaran = 340 MW. Jika salah satu pemasok tersebut terjadi
kondisi abnormal karena gangguan atau pemeliharaan atau perbaikan,
dipastikan sistem kelistrikan Bali tidak andal. Konsekuensinya adalah
pemadaman bergilir.

Saat ini, keandalan sistem ketenagalistrikan hanya mampu terjaga


apabila terjadi gangguan pada pasokan oleh PLTG Gilimanuk = 130
MW dan/atau PLTG Pemaron = 80 MW. Kondisi abnormal ini masih
dapat ditanggulangi oleh pemasok lainnya. Dengan demikian, tidak
akan terjadi pemadaman bergilir terhadap konsumen di Pulau Bali ini.
Kondisinya akan berubah jika terjadi pertumbuhan beban/konsumen.

Beberapa hari yang lalu saat terjadi pemeliharaan terhadap PLTU


Celukan Bawang, kosumen mengalami pemadaman bergilir pada saat
beban puncak yaitu pada pukul 18.00 s.d. 20.00 Wita. Perlu disadari
bahwa kabel laut juga sudah tua, kemungkinan rusak sangat tinggi,
sehingga akan mengancam keandalan sistem ketenagalistrikan Bali.
Terlebih-lebih jika terjadi kondisi abnormal dalam PLTU Celukan
Bawang, PLTG Pesanggaran, maka keandalan listrik Bali akan
terancam.

Program Gubernur Koster tentang green energy menjadi hal yang


sangat penting dipersiapkan secara bertahap. Mewujudkan green
energy ini tidaklah mudah apalagi murah. Perlu waktu yang panjang
untuk mewujudkan ini hingga Bali menjadi mandiri energi. Kedua
cita-cita mulia itu perlu ditapaki secara bertahap dengan roadmap
yang jelas. Kenyataan yang terjadi saat ini adalah sistem
ketenagalistrikan Bali tidak andal, karena pasokan listrik kurang. Bali
membutuhkan pasokan saat ini minimal 70,51 MW, dengan asumsi
tidak terjadi pertumbuhan konsumen listrik.

Baca juga: Listrik di 3 Gili Berhasil Dipulihkan

Faktanya adalah perekonomian Bali tumbuh 5,1% pada tahun 2017.


Pertumbuhan perekonomian pasti akan diikuti oleh pertumbuhan
pemanfaatan energi listrik. Jika pasokan listrik untuk Bali tidak segera
ditambah, hal ini berpeluang terjadinya gangguan atas pertumbuhan
ekonomi Bali, dan mengganggu hak-hak masyarakat untuk dapat
memanfaatkan listrik. Dengan demikian, maka Bali sebenarnya saat ini
terjadi darurat listrik.

Sambil meniti roadmap green energy dan Bali mandiri energi, saat ini
perlu solusi segera tentang pasokan energi listrik. Ketersediaan pasokan
dan keandalan sama-sama penting dengan green dan mandiri energi.
PLN harus bahu-membahu bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi
Bali, pemerintah kabupaten/kota, tokoh agama, tokoh adat, tokoh
masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat, untuk mewujudkan
pembangunan tower 500 kV Jawa Bali Crossing.

Pembangunan Jawa Bali Crossing lebih sejalan dengan program


Gubernur Koster untuk mewujudkan Bali green energy, dibandingkan
dengan menambah pembangkit baru. Penambahan pembangkit baru
akan menambah polutan terhadap udara Bali, sehingga menjauhkan
Bali dari green energy.

Sebagai contoh pengoperasian PLTD Gas Pesanggaran, walaupun


berbahan bakar gas, bukanlah nihil polutan. Beroperasinya PLTD Gas
Pesanggaran adalah menurunkan kebisingan dan getaran, menurunkan
emisi CO2 gas buang, sebelumnya emisi yang dihasilkan sebesar
978.448 ton emisi per tahun menjadi 694.170 ton emisi per tahun.

Pemanfaatan Jawa Bali Crossing ini hanya sifatnya sementara. Sembari


Bali mempersiapkan green energy dan mandiri energi. Tatkala Bali
telah siap dengan green energy dan mandiri energi, jika dianggap tidak
perlu Jawa Bali Crossing dapat saja dibongkar.
Membangun Jawa Bali Crossing lebih green bagi Bali dibanding dengan
membangun pembangkit konvensional. Dengan demikian, Jawa Bali
Crossing ini perlu segera diwujudkan dengan memerhatikan kearifan
lokal masyarkaat Bali.

TAHUN 2018, PLN


BANGUN TIGA
PEMBANGKIT LISTRIK DI
BALI
Jumat, 16 Februari 2018 | 16:30:14

Berbagi di Facebook

Tweet di Twitter


Ilustrasi pemeliharaan jaringan listrik. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bali memiliki ptotensi untuk


dikembangkan Energi Baru Terbarukan (EBT). Total potensi energi
yang dihasilkan dari pembangkit EBT di Bali lebih dari 104.392
MW. Namun dengan pembangkit EBT saja tidak cukup dalam
menjaga keandalan listrik di Bali. Bali perlu back up, jika
pembangkit dari EBT terganggu.

Sebelumnya Deputi Manajer Komunikasi dan Bina Lingkungan PLN


Dsitribusi Bali I Gusti Ketut Putra mengatakan, tahun 2018 PLN
menargetkan 3 lokasi pembangkit dari EBT terealisasi. Diantaranya,
Muara, Bangklet (Bangli) dan Kubu (Karangasem).
PLTM Muara bisa menghasilkan energi 1,4 MW, PLTS Bangklet (Bangli)
sebesar 1 MWp (Mega Watt peak) dan PLTS Kubu (Karangasem) sebesar
1 MW.

PLT Sampah (PLTsa) di Suwung sebelumnya juga sempat beroperasi,


meskipun saat ini sudah nonaktif akibat kendala biaya. Namun PLTsa
Suwung telah mampu menyumbang energi sebesar 0,5 MW. Demikian
juga PLT Bayu yang menghasilkan daya 2 kali 30 Kw.

Selain itu, PLN juga memiliki rencana pembangkit EBT di Bali dari
tahun 2018 -2025. Yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa
(PLTBm) letaknya tersebar dengan kapasitas 0,9 MW, PLTsa yang juga
tersebar dengan kapasitas 15 MW, PLTP Bedugul 10 MW, PLTM Ayung
2,34 MW, PLTM Tukad Daya 8,2 MW, PLTM Sunduwati 2,2 MW,
PLTM Telagawa Ayu 1 MW, PLTM Tukad Balian 2,5 MW, PLTM
Telagawaja 4 MW, PLTM Sambangan 1.852 MW, PLTP Bedugul 55
MW.

DM Energi Alternatif Divisi EBT PLN Dewanto mengatakan, listrik dari


pembangkit EBT tidak selalu andal, karena tergantung situasi alam.
Misalnya untuk PLTS ketika hujan, tidak bisa beroperasi maksimal.
Akibatnya terjadi kekurangan pasokan atau tegangan menjadi rendah.
Maka lampu akan redup atau malah mati sama sekali.

Seperti di Eropa yang mulai mengurangi penggunaan batubara sebagai


pembangkit listriknya. Namun suatu ketika terjadi gangguan di Jerman
yang memakai pembangkit bio dan PV (photovoltaic) mengalami
pemadaman. Sehingga digunakanlah crossing dari Perancis.
Baca juga: Menteri ESDM Minta Instalasi Listrik Juga Diperhatikan

Konsep EBT adalah mengurangi pemakaian batubara. Dengan begitu,


emisi yang timbul dari pembakaran batubara bisa berkurang. Dalam
upaya pengurangan penggunaan batubara ini, di negara maju sudah
memberikan insentif pada perusahaan-perusahaan yang sudah
berupaya mengurangi gas buangnya dan limbahnya. “Dia dapat insentif
dari pemerintah. Tapi negara kita belum, walaupun wacananya sudah
pernah disampaikan,” ungkapnya.

Sementara di Bali ada pembangkit EBT yaitu PV. Kelemahannya,


sifatnya intermiten, hanya beroperasi 4 -8 jam dalam kondisi panas
yang normal. Jika dikembangkan dengan kapasitas besar dengan
kondisi panas yang kurang, sangat berbahaya bagi sistem. Sehingga
perlu di-back up. “Yang paling efektif dan efisien adalah JBC, untuk
mem-back up jika PV mengalami gangguan alam, mendung dan
sebagainya,” bebernya saat diskusi Masa Depan Energi Terbarukan di
Bali, Kamis (15/2).

Biaya investasi EBT yang dinilai mahal mencapai miliaran menjadi


kendala. Bahkan untuk mengelola sampah menjadi energi listrik lebih
mahal lagi. Namun menurutnya nilai investasi itu bersifat anomali.
Karena teknologi yang baru masuk, dinilai wajar investasinya mahal.
Namun, pengembang harus siap mengikuti harga sesuai dengan
ketetapan pemerintah. Karena harga jual listrik dari swasta ke PLN
perlu persetujuan dari Menteri ESDM.
Studi Kelayakan PLTSa
TPA Suwung Mulai
Dikerjakan, Target
Rampung Pertengahan
2019
Studi kelayakan atau Feasibility Study untuk pengerjaan proyek
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di TPA Suwung mulai dikerjakan dan
ditarget rampung pertengahan 2019.

Ni Putu Eka Wiratmini | 13 Februari 2019 18:17 WIB


Studi Kelayakan PLTSa TPA Suwung Mulai Dikerjakan - BISNIS/Ni
Putu Eka Wiratmini

A+ A-

Share






Bisnis.com, DENPASAR – Studi kelayakan atau Feasibility
Study untuk pengerjaan proyek Pembangkit Listrik Tenaga
Sampah di TPA Suwung mulai dikerjakan dan ditarget
rampung pertengahan 2019.

Kepala Divisi Pengembangan Bisnis PT Indonesia Power


Erwin Putranto mengatakan PT Waskita Karya telah terpilih
sebagai strategic partner atau mitra untuk pengerjaan
proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di TPA
Suwung.

Baca juga: Pemprov Bali Pantau Pajak Hotel dan


Restoran Secara Elektronik

Joint venture company antara Indonesia Power dan Wakita


Karya ini akan menarget pengerjaan FS selama enam bulan
sehingga proyek pengerjaan PLTSa tersebut dapat segera
rampung.

FS tersebut diharapkan mampu memerinci masalah


komposisi sampah, keberlangsungan pengiriman sampah,
hingga anggaran yang diperlukan.

Baca juga: Tabanan Kejar Target Kunjungan 6 Juta


Wisatawan Tahun 2019
Setelah itu, Detail Engineering Design (DED) akan mulai
dikerjakan dan diharapkan proyek pembangunan PLTSa
TPA Suwung mulai dikerjakan pada 2020. Sementara,
PLTSa tersebut ditarget beroperasi pada 2022.

“Start bangunnya kalau bisa kita buat lebih cepat,” kata


Erwin kepada Bisnis, Rabu (13/2/2019).

Baca juga: Masih Low Season, Bisnis Oleh-Oleh di Bali


belum Terdampak Bagasi Berbayar

Direktur Teknik dan BD PT Waskita Karya Energi Hokkop


Situngkir mengatakan berdasarkan kajian pra-FS,
pertumbuhan sampah di TPA Suwung setiap tahunnya
mencapai 4%.

Apabila pengerjaan pembangunan mampu dilakukan selama


3 tahun, PLTSa ini diyakini mampu mengatasi laju
pertumbuhan sampah di TPA Suwung.

“Sekarang menurut penjelasan yang kami terima,


pertumbuhan sampah datang terus ke TPA Suwung,
sementara lahan yang tersedia berkurang, secara teknis
pengolahan sampah ingin dipercepat,” kata Hokkop.
Gubernur Bali I Wayan Koster mengatakan pihaknya
mengharapkan penyelesaian masalah sampah di TPA
Suwung dapat segera berakhir lewat proyek PLTSa tersebut.
Target pembangunan PLTSa pada 2010 diharapkannya
mampu dipercepat menjadi 2019 akhir.

Menurut Koster, dengan kehadiran dua Badan Usaha Milik


Negara (BUMN) ini maka tipping fee atau bayaran
membuang sampah kemungkinan dapat dihindari. Setelah
proyek PLTSa ini rampung, Bali menargetkan pengelolaan
sampah dari hulu ke hilir, terutama dari rumah tangga dan
desa.

“Sekarang gak akan gagal karena yang mengerjakan BUMN,


kalau swasta kan minta tipping fee,” kata Koster.

Berdasarkan data yang diterima Bisnis dari Dinas Pekerjaan


Umum (PU) Bali, rata-rata TPA Suwung menerima 1.700
ton sampah dalam sehari. Jumlah ini masih fluktuatif
tergantung pelaksanaan hari raya maupun liburan. Jika
proyek PLTSa ini terealisasi, 1.700 ton sampah tersebut
diprediksi menghasilkan 10 MW listrik.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, disini :


bali, pltsa
Pembangkit listrik tenaga sampah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Artikel atau bagian artikel ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya
sehingga isinya tidak bisa dipastikan. Bantu perbaiki artikel ini dengan
menambahkan referensi yang layak. Tulisan tanpa sumber dapat dipertanyakan dan
dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus.

Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda
dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan
tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampilkan] di bagian kanan. [tampilkan]

Pembangkit listrik tenaga sampah atau Pembangkit listrik sampah atau Pembangkit
listrik tenaga biomasa sampah adalah pembangkit listrik thermal dengan uap
supercritical steam dan berbahan bakar sampah atau gas sampah methan. Sampah
atau gas methan sampah dibakar menghasilkan panas yang memanaskan uap pada
boiler steam supercritical. Uap kompresi tinggi kemudian menggerakkan turbin uap
dan flywheel yang tersambung pada generator dinamo dengan perantara gear
transmisi atau transmisi otomatis sehingga menghasilkan listrik. Daya yang dihasilkan
pada pembangkit ini bervariasi antara 500 KW sampai 10 MW. Bandingkan dengan
PLTU berbahan bakar batubara dengan daya 40 MW sampai 100 MW per unit atau
PLT nuklir berdaya 300 MW sampai 1200 MW per unit.

Proses Kerja PLTsa terdapat dua macam yaitu: Proses pembakaran dan proses
teknologi fermentasi metana

Daftar isi

 1 Proses pembakaran
 1.1 Pemilahan dan Penyimpanan Sampah
 1.2 Pembakaran Sampah
 1.3 Pemanasan Boiler
 1.4 Penggerakan Turbin dan Generator Serta Hasil
 2 Teknologi Fermentasi Metana
 3 Referensi
Proses pembakaran[sunting | sunting sumber]

PLTSa dengan proses pembakaran menggunakan proses konversi Thermal dalam


mengolah sampah menjadi energi. Proses kerja tersebut dilakukan dalam beberapa
tahap yaitu:

Pemilahan dan Penyimpanan Sampah[sunting | sunting sumber]

 Limbah sampah kota yang berjumlah ± 500-700 ton akan dikumpulkan pada
suatu tempat yang dinamakan Tempat Pengolahan Akhir (TPA).
 Pemilahan sampah sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan PLTSa.
 Sampah ini kemudian disimpan didalam bunker yang menggunakan teknologi
RDF (Refused Derived Fuel).Teknologi RDF ini berguna dalam mengubah limbah
sampah kota menjadi limbah padatan sehingga mempunyai nilai kalor yang tinggi.
 Penyimpanan dilakukan selama lima hari hingga kadar air tinggal 45 % yang
kemudian dilanjutkan dengan pembakaran.

Pembakaran Sampah[sunting | sunting sumber]

 Tungku PLTSa pada awal pengoperasiannya akan digunakan bahan bakar


minyak.
 Setelah suhu mencapai 850oC – 900oC, sampah akan dimasukkan dalam
tungku pembakaran (insenerator) yang berjalan 7800 jam.
 Hasil pembakaran limbah sampah akan menghasilkan gas buangan yang
mengandung CO, CO2, O2, NOx, dan Sox. Hanya saja, dalam proses tersebut juga
terjadi penurunan kadar O2. Penurunan kadar O2 pada keluaran tungku bakar
menyebabkan panas yang terbawa keluar menjadi berkurang dan hal tersebut
sangat berpengaruh pada efisiensi pembangkit listrik.

Pemanasan Boiler[sunting | sunting sumber]

Panas yang dipakai dalam memanaskan boiler berasal dari pembakaran sampah.
Panas ini akan memanaskan boiler dan mengubah air didalam boiler menjadi uap.

Penggerakan Turbin dan Generator Serta Hasil[sunting | sunting sumber]

Uap yang tercipta akan disalurkan ke turbin uap sehingga turbin akan berputar.
Karena turbin dihubungkan dengan generator maka ketika turbin berputar generator
juga akan berputar. Generator yang berputar akan mengahsilkan tenaga listrik yang
kan disalurkan ke jaringan listrik milik PLN. Dari proses diatas dengan jumlah sampah
yang berkisar 500-700 ton tiap harinya dapat diolah menjadi sumber energi berupa
listrik sebesar 7 Megawatt

Teknologi Fermentasi Metana[sunting | sunting sumber]

Pada tauhn 2002, di Jepang, telah dicanangkan “biomass-strategi total Jepang”


sebagai kebijakan negara. Sebagai salah satu teknologi pemanfaatan biomass sumber
daya alam dapat diperbaharui yang dikembangkan di bawah moto bendera ini, dikenal
teknologi fermentasi gas metana. Sampah dapur serta air seni, serta isi septic tank
diolah dengan fermentasi gas metana dan diambil biomassnya untuk menghasilkan
listrik, lebih lanjut panas yang ditimbulkan juga turut dimanfaatkan. Sedangkan
residunya dapat digunakan untuk pembuatan kompos.

Karena sampah dapur mengandung air 70–80%, sebelum dibakar, kandungan air
tersebut perlu diuapkan. Di sini, dengan pembagian berdasarkan sumber penghasil
sampah dapur serta fermentasi gas metana, dapat dihasilkan sumber energi baru dan
ditingkatkan efisiensi termal secara total. Pemanfaatan Gas dari Sampah untuk
Pembangkit Listrik dengan teknologi fermentasi metana dilakukan dengan dengan
metode sanitary landfill yaitu, memanfaatkan gas yang dihasilkan dari sampah (gas
sanitary landfill/LFG).

Landfill Gas (LFG) adalah produk sampingan dari proses dekomposisi dari timbunan
sampah yang terdiri dari unsur 50% metan (CH4), 50% karbon dioksida (CO2) dan
<1% non-methane organic compound (NMOCs). LFG harus dikontrol dan dikelola
dengan baik karena lanjut Dia, jika hal tersebut tidak dilakukan dapat menimbulka
smog (kabut gas beracun), pemanasan global dan kemungkinan terjadi ledakan gas,
sistem sanitary landfill dilakukan dengan cara memasukkan sampah kedalam lubang
selanjutnya diratakan dan dipadatkan kemudian ditutup dengan tanah yang gembur
demikian seterusnya hingga menbentuk lapisan-lapisan.

Untuk memanfatkan gas yang sudah terbentuk, proses selanjutnya adalah memasang
pipa-pipa penyalur untuk mengeluarkan gas. Gas selanjutnya dialirkan menuju tabung
pemurnian sebelum pada akhirnya dialirkan ke generator untuk memutar turbin.
Dalam penerapan sistem sanitary landfill yang perlu diperhatikan adalah, luas area
harus mencukupi, tanah untuk penutup harus gembur, permukaan tanah harus dalam
dan agar ekonomis lokasi harus dekat dengan sampah sehingga biaya transportasi
untuk mengangkut tanah tidak terlalu tinggi.

Referensi[sunting | sunting sumber]


DIGITAL NETWORK TELEKOMUNIKASI AND
ELECTRICAL BUSINESS
 PEMBANGKIT LISTRIK

Diposkan pada Oktober 9, 2016

PLTSA ( Pembangkit
Listrik Tenaga
Sampah ) atau
BIO MASSA

PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SAMPAH (PLTSa)


Pola Pengelolaan Sampah sampai saat ini masih
menganut paradigma lama dimana sampah masih
dianggap sebagai sesuatu yang tak berguna, tak
bernilai ekonomis dan sangat menjijikkan. Masyarakat
sebagai sumber sampah tak pernah menyadari bahwa
tanggung jawab pengelolaan sampah yang dihasilkan
menjadi tanggung jawab dirinya sendiri.

Apabila sampah – sampah yang luar biasa ini mulai


menjadi masalah bagi manusia, barulah manusia
menyadari ketidak perduliannya selama ini terhadap
sampah dan mulai menimbulkan kepanikan dan
menghantui di mana – mana tanpa tahu apa yang
harus dilakukan untuk mengatasinya.

Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas


manusia, karena setiap aktifitas manusia pasti
menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau
volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi
kita terhadap barang/material yang kita gunakan
sehari-hari. Sehari setiap warga kota menghasilkan
rata-rata 900 gram sampah, dengan komposisi, 70%
sampah organik dan 30% sampah anorganik.
Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat
berpengaruh pada volume sampah.

Sampah yang dihasilkan oleh (manusia) pengguna


barang, dengan kata lain adalah sampah-sampah yang
di buang ke tempat sampah walaupun masih jauh lebih
kecil dibandingkan sampah-sampah yang dihasilkan
dari proses pertambangan dan industri, tetapi
merupakan sampah yang selalu menjadi bahan
pemikiran bagi manusia.

PENANGGULANGAN SAMPAH

Prinsip-prinsip yang juga bisa diterapkan dalam


keseharian dalam menanggulangi sampah misalnya
dengan menerapkan Prinsip 4R (WALHI, 2004) yaitu:

 Reduce (Mengurangi); sebisa mungkin lakukan


minimalisasi barang atau material yang kita
pergunakan. Semakin banyak kita
menggunakan material, semakin banyak sampah yang
dihasilkan.

 Reuse (Memakai kembali); sebisa mungkin pilihlah


barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari
pemakaian barang-barang yang disposable (sekali
pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu
pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah.

 Recycle (Mendaur ulang); sebisa mungkin,


barang-barang yg sudah tidak berguna lagi, bisa
didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur
ulang, namun saat ini sudah banyak industri
non-formal dan industri rumah tangga yang
memanfaatkan sampah menjadi barang lain.

 Replace ( Mengganti); teliti barang yang kita


pakai sehari-hari. Gantilah barang barang yang hanya
bisa dipakai sekali dengan barang yang lebih tahan
lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai
barang-barang yang lebih ramah lingkungan.
Misalnya, ganti kantong keresek kita dengan keranjang
bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam
karena kedua bahan ini tidak bisa didegradasi secara
alami.

Daripada mengasumsikan bahwa masyarakat akan


menghasilkan jumlah sampah yang terus meningkat,
minimisasi sampah harus dijadikan prioritas utama.

PENGOLAHAN SAMPAH

Pada umumnya, sebagian besar sampah yang


dihasilkan di Indonesia merupakan sampah basah,
yaitu mencakup 60-70% dari total volume sampah.
Selama ini pengelolaan persampahan, terutama di
perkotaan, tidak berjalan dengan efisien dan efektif
karena pengelolaan sampah bersifat terpusat, di buang
ke sistem pembuangan limbah yang tercampur.

Seharusnya sebelum sampah dibuang dilakukan


pengelompokkan sampah berdasarkan jenis dan
wujudnya sehingga mudah untuk didaurulang
dan/atau dimanfaatkan (sampah basah, sampah
kering yang dipilah-pilah lagi menjadi botol gelas dan
plastik, kaleng aluminium, dan kertas). Untuk tiap
bahan disediakan bak sampah tersendiri, ada bak
sampah plastik, bak gelas, bak logam, dan bak untuk
kertas. Pemilahan sampah itu dimulai dari tingkat
RT(Rumah tangga), pasar dan aparteme. Bila kesulitan
dalam memilih sampah tersebut minimal sampah
dipisahkan antara sampah basah (mudah membusuk)
dan sampah kering (plastik,kaleng dan lain-lain)

Pemerintah sendiri menyediakan mobil-mobil


pengumpul sampah yang sudah terpilah sesuai dengan
pengelompokkannya. Pemerintah bertanggung jawab
mengorganisasi pengumpulan sampah itu untuk
diserahkan ke pabrik pendaur ulang. Sisa sampahnya
bisa diolah dengan cara penumpukan (dibiarkan
membusuk), pengkomposan (dibuat pupuk),
pembakaran. Dari ketiga cara pengelolaan sampah
basah yang biasa dilakukan dibutuhkan TPA (Tempat
Pembuangan Akhir) yang cukup luas. Selain itu efek
yang kurang baikpun sering terjadi seperti
pencemaran lingkungan, sumber bibit penyakit
ataupun terjadinya longsor.

PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SAMPAH (PLTSa)

Selain dengan cara pengelolaan tersebut di atas ada


cara lain yang akan dilakukan oleh Pemerintah Kota
Bandung yaitu sampah dimanfaatkan menjadi sumber
energi listrik (Waste to Energy) atau yang lebih dikenal
dengan PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah).

Konsep Pengolahan Sampah menjadi Energi (Waste to


Energy) atau PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga
sampah) secara ringkas (TRIBUN, 2007) adalah
sebagai berikut :

1. Pemilahan sampah

Sampah dipilah untuk memanfaatkan sampah yang


masih dapat di daur ulang. Sisa sampah dimasukkan
kedalam tungku Insinerator untuk dibakar.
1. Pembakaran sampah

Pembakaran sampah menggunakan teknologi


pembakaran yang memungkinkan berjalan efektif dan
aman bagi lingkungan. Suhu pembakaran
dipertahankan dalam derajat pembakaran yang tinggi
(di atas 1300°C). Asap yang keluar dari pembakaran
juga dikendalikan untuk dapat sesuai dengan standar
baku mutu emisi gas buang.

1. Pemanfaatan panas

Hasil pembakaran sampah akan menghasilkan panas


yang dapat dimanfaatkan untuk memanaskan boiler.
Uap panas yang dihasilkan digunakan untuk memutar
turbin dan selanjutnya menggerakkan generator
listrik.

1. Pemanfaatan abu sisa pembakaran


Sisa dari proses pembakaran sampah adalah abu.
Volume dan berat abu yang dihasilkan diperkirakan
hanya kurang 5% dari berat atau volume sampah
semula sebelum di bakar. Abu ini akan dimanfaatkan
untuk menjadi bahan baku batako atau bahan
bangunan lainnya setelah diproses dan memiliki
kualitas sesuai dengan bahan bangunan.

Dikota-kota besar di Eropah, Amerika, Jepang,


Belanda dll waste energy sudah dilakukan sejak
berpuluh tahun lalu, dan hasilnya diakui lebih dapat
menyelesaikan masalah sampah. Pencemaran dari
PLTSa yang selama ini dikhawatirkan oleh masyarakat
sebenarnya sudah dapat diantisipasi oleh negara yang
telah menggunakan PLTSa terlebih dahulu.
Pencemaran- pencemaran tersebut seperti :

 Dioxin

Dioxin adalah senyawa organik berbahaya yang


merupakan hasil sampingan dari sintesa kimia pada
proses pembakaran zat organik yang bercampur
dengan bahan yang mengandung unsur halogen pada
temperatur tinggi, misalnya plastic pada sampah,
dapat menghasilkan dioksin pada temperatur yang
relatif rendah seperti pembakaran di tempat
pembuangan akhir sampah (TPA) (Shocib, Rosita,
2005).

PLTSa sudah dilengkapi dengan sistem pengolahan


emisi dan efluen, sehingga polutan yang dikeluarkan
berada di bawah baku mutu yang berlaku di Indonesia,
dan tidak mencemari lingkungan.

 Residu

Hasil dari pembakaran sampah yang lainnya adalah


berupa residu atau abu bawah (bottom ash) dan
abu terbang (fly ash) yang termasuk limbah B3,
namun hasil-hasil studi dan pengujian untuk
pemanfaatan abu PLTSa sudah banyak dilakukan di
negara-negara lain. Di Singapura saat ini digunakan
untuk membuat pulau, dan pada tahun 2029
Singapura akan memiliki sebuah pulau baru seluas 350
Ha (Pasek, Ari Darmawan, 2007).

PLTSa akan memanfaatkan abu tersebut sebagai


bahan baku batako atau bahan bangunan.

 Bau

Setiap sampah yang belum mengalami proses akan


mengeluarkan bau yang tidak sedap baik saat
pengangkutan maupun penumpukkan dan akan
mengganggu kenyamanan bagi masyarakat umum.

Untuk menghindari bau yang berasal dari sampah


akan dibuat jalan tersendiri ke lokasi PLTSa melalui
jalan Tol, di sekeliling bagunan PLTSa akan ditanami
pohon sehingga membentuk greenbelt (sabuk hijau)
seluas 7 hektar.

Pembangkit listrik tenaga sampah atau Pembangkit


listrik sampah atau Pembangkit listrik tenaga biomasa
sampah adalah pembangkit listrik thermal dengan uap
supercritical steam dan berbahan bakar sampah atau
gas sampah methan. Sampah atau gas methan sampah
dibakar menghasilkan panas yang memanaskan uap
pada boiler steam supercritical. Uap kompresi tinggi
kemudian menggerakkan turbin uap dan flywheel yang
tersambung pada generator dinamo dengan perantara
gear transmisi atau transmisi otomatis sehingga
menghasilkan listrik. Daya yang dihasilkan pada
pembangkit ini bervariasi antara 500 KW sampai 10
MW. Bandingkan dengan PLTU berbahan bakar
batubara dengan daya 40 MW sampai 100 MW per
unit atau PLT nuklir berdaya 300 MW sampai 1200
MW per unit.

Proses Kerja PLTsa terdapat dua macam yaitu: Proses


pembakaran dan proses teknologi fermentasi
metanaPada tauhn 2002, di Jepang, telah
dicanangkan “biomass-strategi total Jepang” sebagai
kebijakan negara. Sebagai salah satu teknologi
pemanfaatan biomass sumber daya alam dapat
diperbaharui yang dikembangkan di bawah moto
bendera ini, dikenal teknologi fermentasi gas metana.
Sampah dapur serta air seni, serta isi septic tank
diolah dengan fermentasi gas metana dan diambil
biomassnya untuk menghasilkan listrik, lebih lanjut
panas yang ditimbulkan juga turut dimanfaatkan.
Sedangkan residunya dapat digunakan untuk
pembuatan kompos.

Karena sampah dapur mengandung air 70–80%,


sebelum dibakar, kandungan air tersebut perlu
diuapkan. Di sini, dengan pembagian berdasarkan
sumber penghasil sampah dapur serta fermentasi gas
metana, dapat dihasilkan sumber energi baru dan
ditingkatkan efisiensi termal secara total.
Pemanfaatan Gas dari Sampah untuk Pembangkit
Listrik dengan teknologi fermentasi metana dilakukan
dengan dengan metode sanitary landfill yaitu,
memanfaatkan gas yang dihasilkan dari sampah (gas
sanitary landfill/LFG).

Landfill Gas (LFG) adalah produk sampingan dari


proses dekomposisi dari timbunan sampah yang terdiri
dari unsur 50% metan (CH4), 50% karbon dioksida
(CO2) dan <1% non-methane organic compound
(NMOCs). LFG harus dikontrol dan dikelola dengan
baik karena lanjut Dia, jika hal tersebut tidak
dilakukan dapat menimbulka smog (kabut gas beracun),
pemanasan global dan kemungkinan terjadi ledakan
gas, sistem sanitary landfill dilakukan dengan cara
memasukkan sampah kedalam lubang selanjutnya
diratakan dan dipadatkan kemudian ditutup dengan
tanah yang gembur demikian seterusnya hingga
menbentuk lapisan-lapisan.

Untuk memanfatkan gas yang sudah terbentuk, proses


selanjutnya adalah memasang pipa-pipa penyalur
untuk mengeluarkan gas. Gas selanjutnya dialirkan
menuju tabung pemurnian sebelum pada akhirnya
dialirkan ke generator untuk memutar turbin. Dalam
penerapan sistem sanitary landfill yang perlu
diperhatikan adalah, luas area harus mencukupi, tanah
untuk penutup harus gembur, permukaan tanah harus
dalam dan agar ekonomis lokasi harus dekat dengan
sampah sehingga biaya transportasi untuk
mengangkut tanah tidak terlalu tinggi.

cara kerja PLTSA / PLTMA :


cara kerja :

Sampah diperkotaan sudah lama


menjadi masalah dari segi
kebersihan maupun gangguan
terhadap keindahan kota dan
kesehatan masyarakat. Pemanfaatan
sampah menjadi bahan baku untuk
pembakaran air yang mendorong
turbin listrik sangat ditunggu
oleh masyarakat di perkotaan.
Pengusaha dapat untung dari
tipping sampah dan dari penjualan
listrik ke PLN
Sebaiknya Pemeritah Daerah dapat
menunjuk lebih dari 1
(satu )pengusaha yang bergerak
mengolah sampah menjadi listrik.
Pengalaman di Jakarta, pengolahan
sampah oleh satu perusahaan tidak
dapat menyelesaikan menumpuknya
timbunan sampah di TPA (Tempat
Pembuangan Akhir) Bantargebang.

Teknologi pengolahan sampah ini untuk menjadi energi


listrik pada prinsipnya sangat sederhana sekali yaitu:

Sampah dibakar sehingga


menghasilkan panas (proses
konversi thermal)Panas dari hasil
pembakaran dimanfaatkan untuk
mengubah air menjadi uap dengan
bantuan boiler

Uap bertekanan tinggi digunakan untuk memutar


bilah turbin.Turbin dihubungkan ke generator dengan
bantuan poros generator yang menghasilkan listrik
dan listrik dialirkan ke rumah – rumah atau ke pabrik.


 Proses Konversi Thermal

 Proses konversi thermal dapat dicapai melalui


beberapa cara, yaitu insinerasi, pirolisa, dan gasifikasi.
Insinerasi pada dasarnya ialah proses oksidasi
bahan-bahan organik menjadi bahan anorganik.
Prosesnya sendiri merupakan reaksi oksidasi cepat
antara bahan organik dengan oksigen.

 Pembangkit listrik tenaga sampah yang banyak


digunakan saat ini menggunakan proses insenerasi
salah. Sampah dibongkar dari truk pengakut sampah
dan diumpankan ke inserator. Di dalam inserator
sampah dibakar. Panas yang dihasilkan dari hasil
pembakaran digunakan untuk mengubah air menjadi
uap bertekanan tinggi. Uap dari boiler langsung ke
turbin. Sisa pembakaran seperti debu diproses
lebih lanjut agar tidak mencemari lingkungan (truk
mengangkut sisa proses pembakaran).

 Teknologi pengolahan sampah ini memang lebih


menguntungkan dari pembangkit listrik lainnya.
Sebagai ilustrasi: 100.000 ton sampah sebanding
dengan 10.000 ton batu bara. Selain mengatasi
masalah polusi bisa juga untuk menghasilkan energi
berbahan bahan bakar gratis(malah dibayar oleh
pemda dengan tipping fee pengurangan sampah),
juga bisa menghemat devisa.

 Pemanfaatan sampah untuk tenaga listrik di


beberapa negara
 Di Amerika Serikat, sekitar 2.500 MW listrik
dihasilkan setiap tahunnya dari 35 juta ton sampah
(17% dari total sampah yang dihasilkan). Lebih dari
80% volume sampah di Denmark dan 60% di Jepang
juga diproses di fasilitas WTE. Akibat pola pikir ini
pemerintah maupun masyarakat mau menangani
sampah secara maksimal.

 Cara kerja ini mirip dengan sistem thermal biasa


(PLTU) hanya saja sumber panas diganti dari
pembakaran bahan bakar fosil menjadi dari
pembakaransampah. Dengan kapasitas penerimaan
740 ton sampah per hari atau sepertiga dari sampah
yang dihasilkan di Kabupaten Bandung, sebuah PLTS
(Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) dapat
menghasilkan listrik sebesar 168.977 MWh/tahun
dengan kapasitas daya 21 MW. Jumlah ini sama
dengan kebutuhan rata-rata 57 ribu rumah tangga
per tahun.


 Teknologi ini pun mampu mengurangi emisi gas
rumah kaca sebesar 165.404 ton ekuivalen CO2 yang
sama dengan emisi dari penggunaan 30.294 mobil bila
dibandingkan energi dari PLTU batu bara.

 Pembangunan diestimasi membutuhkan lahan


seluas 14 hektar, dengan biaya awal sekitar Rp 332
miliar dan biaya operasional tahunan Rp 74 miliar.

 Kapan Bisa Balik Modal Investasi Listrik dari


pembakaran Sampah ?

 Bila listrik yang dihasilkan dijual ke PLN dengan


tarif Rp 787,20 per kWh (diadaptasi dari nilai tarif
pembelian listrik oleh PLN dari PLTU batu bara yang
sedang dibangun oleh PT Bukit Asam Tbk.) maka
setelah tahun ke- 4 pembangunan akan balik modal
dan memiliki IRR (Internal Rate of Return) sebesar
31%. Hal ini menunjukkan manfaat yang sangat besar
pula dari segi ekonomi.

 Landfill Gas

 Gas hasil dekomposisi sampah biasanya terdiri


dari 50% metana dan 50% karbon dioksida. Gas
metana tersebut sama dengan gas alam yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan bakar.

 Agar gas tersebut dapat dikumpulkan dan


digunakan, diperlukan lahan penimbunan yang disebut
dengan engineered sanitary landfill. Jadi bukan dengan
sistem penimbunan terbuka sebagaimana praktek
sekarang ini di Indonesia.

 Pada bagian teratas terdapat lapisan tanah


penutup yang menjaga proses anaerobik dan
mencegah masuknya air hujan yang bisa menciptakan
air lindi (air yang bersifat asam dan mengandung zat
pencemar dari sampah).
 Konstruksi dilengkapi lapisan liner sehingga air
lindi tidak merembes dan mencemari air tanah.
Pengumpulan dilakukan dengan sumur vertikal yang
dihubungkan dengan pipa yang dalamnya hampa. Gas
digunakan sebagai bahan bakar mesin genset untuk
menghasilkan listrik. Namun sebelumnya, gas perlu
dikeringkan dan dibersihkan dari partikel agar mesin
tidak cepat rusak.

 Lahan yang diperlukan seluas 45 hektar. Listrik


yang mampu dihasilkan sebesar 48.000 MWh dalam
setahun dengan kapasitas daya 6 MW. Terlihat bahwa
alternatif ini membutuhkan lahan tiga kali lebih luas
dan hanya menghasilkan seperempat jumlah listrik
dari insinerasi sampah.

 Keunggulan landfill berada di faktor emisi dan


ekonomi. Dibandingkan dengan PLTU batubara, untuk
sejumlah listrik yang sama, emisinya lebih rendah
358.477,5 ton CO2 atau sama dengan mengurangi
penggunaan 65.655 mobil.

 Kapan bisa Balik Modal dengan produk gas dari


landfill ?

 Jumlah ini jauh lebih besar daripada alternatif


insinerasi. Biaya pembangunan hanya Rp143 miliar
atau kurang setengah dari biaya insinerasi dan biaya
operasional juga lebih murah yaitu Rp 25 miliar. Lama
periode balik modal 4 tahun, dengan nilai IRR 28.6%.

 Apabila pemerintah berencana menerapkan


alternatif ini maka tidak akan ada hambatan yang
timbul dari kecemasan masyarakat tentang polusi
udara.Realisasi pembangunan insinerator sampah
selalu diikuti protes dari masyarakat terkait
kekhawatiran akan zat berbahaya seperti Dioxin dan
Furan. Hal inilah yang menghambat pembangunan
PLTSa Gedebage (Bandung) yang sudah
direncanakan sejak 2008.

 Peningkatan Kualitas Hidup dan Martabat


Masyarakat

 Dengan memandang sampah sebagai sumber daya


(energi), secara alamiah kepedulian dan perhatian
khusus terkait penanganan sampah akan muncul dari
pemerintah dan masyarakat.

 Pertama-tama akan ada penciptaan lapangan


pekerjaan yang diikuti oleh peningkatan derajat
profesi pengelolaan sampah. Pengumpulan sampah dan
segregasi sampah akan bisa dilakukan secara maksimal.


 Tidak ada lagi sampah yang berserakan, membuat
kota lebih indah dan kehidupan lebih sehat. Sampah
ditanggulangi secara tuntas sehingga tidak ada lagi
penimbunan terbuka yang mengancam warga
bagaikan bom waktu. Dan yang terpenting pula,
berkurangnya kerusakan lingkungan.

 Penerapan teknologi akan dikembalikan pada


cara pandang kita terhadap masalah. Bila tidak ada
perubahan dalam sikap dan cara pandang kita,
tentunya peningkatan kualitas hidup dan martabat
tidak bisa terjadi. Untuk itu, apakah kita sudah berani
untuk memandang sampah sebagai sumber daya?

 PD Kebersihan Kotamadya Bandung dalam


pemaparan ke DPRD menyatakan : dalam kontrak
awal bersama pemenang lelang pengadaan PLTSa
oleh PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL) muncul
nilai untuk tipping fee PLTSa

 mencapai Rp 350 ribu per ton sehingga biaya


yang harus dikeluarkan untuk jasa pengolahan (tipping
fee) sebesar Rp 88 miliar per tahun atau Rp
245-350 juta per hari. Hal ini menuai protes karena
memberatkan APBD daerah.

 Sebagai perbandingan tipping fee penghapusan


sampah di Benowo Kota Surabaya sebesar Rp
119.000/ton kurang dari setengah tipping fee dari
Kota Bandung. Hal ini juga mendapat protes karena
kenyataan di lapangan, perusahaan hanya membuat
terasering sampah tanpa memusnahkannya,sedangkan
anggaran naik terus tiap tahun.


 Berdasarkan perhitungan BEP diatas, seharusnya
setelah 5 tahun dana tipping fee untuk perusahaan
bisa dikurangi karena penjualan produksi listrik dari
pembakaran sampah telah berjalan lancar.

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Potensi Pembangkit


Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Bali mencapai 100 megawatt
(MW) berdasarkan studi yang dilakukan PT PLN. Deputi
Manager Alternatif Direktorat Pengadaan Strategis PLN,
Dewanto, mengatakan, Bali saat ini sudah memiliki PLTS
Karangasem dan PLTS Bangli yang masing-masingnya
berkapasitas satu MW On-Grid.

"Potensi 100 MW ini bisa dipasang di barat dan timur Bali


dengan kisaran masing-masingnya 25-50 MW," kata
Dewanto kepada Republika.co.id, Kamis (15/2).

Dewanto mengatakan, ada lebih dari 232 investor asing dan


dalam negeri yang menaruh minat tinggi pada proyek energi
terbarukan di Indonesia. Pemerintah pusat pun terus
mendorong pemerintah daerah untuk menyediakan lahan
untuk pengembangan energi baru dan terbarukan,
khususnya tenaga surya.

"PLTS Bangli telah beroperasi, sementara PLTS Karangasem


menyusul, menunggu pembentukan perusahaan daerah
(Perusda) sebagai pengelola setelah diserahterimakan dari
PLN ke pemerintah Kabupaten Karangasem," ujar Dewanto.

ADVERTISEMENT

Meski pemerintah berkomitmen mengembangkan energi


terbarukan, Dewanto mengatakan Bali sebagai daerah
pariwisata dunia juga memerlukan sumber daya listrik yang
efisien untuk mengantisipasi kekurangan daya beberapa
tahun mendatang melalui proyek Jawa Bali Crossing (JBC).

Praktisi energi terbarukan dari Bali, I Gusti Ngurah Agung


Putradhyana atau Gung Kayon mengatakan, Indonesia
memiliki sumber energi mencapai seribu watt per jam.
Alat-alat panel surya yang beredar di pasaran bisa
mengubah energi tersebut menjadi tenaga listrik 15-200
watt per jam.

"Dengan sistem smart on grid (rooftop), daya dari panel


surya bisa dengan mudah digabungkan ke jaringan PLN dan
bisa mandiri sendiri dengan baterai," katanya.

Gung Kayon mengatakan pelanggan yang membayar listrik


kurang dari Rp 100 ribu per bulan hanya membutuhkan luas
atap satu meter per segi untuk tempat meletakkan panel
surya.

Pelanggan yang membayar listrik Rp 100 ribu dan kurang


dari satu juta rupiah per bulan cukup menyediakan atap 10
meter per segi, sementara pelanggan yang membayar di atas
satu juta rupiah per bulan atau skala besar cukup
menyediakan atap seluas 100 meter per segi.
Luas Bali mencapai 5.780 kilometer per segi. Gung Kayon
mengansumsikan dengan satu persen saja wilayah Bali yang
digunakan sebagai bidang solar panel atau berkisar 57,8 km
per segi, maka potensi daya listrik yang dihasilkan mencapai
8.670 MW per jam. Ini kondisinya jika intensitas sinar
matahari cerah di Bali berkisar empat hingga delapan jam
per hari.

Riset Membuktikan Ini Jenis Sa


mpah Laut Terbanyak di Pesisir
Bali
oleh Luh De Suriyani [Denpasar] di 15 February 2018

Tim peneliti sampah di lautan mengembangkan lingkup


penelitiannya. Tak hanya memetakan sampah dan muasal
sampah di pantai-pantai populer seperti Kuta juga mencatat
jenis sampah di seluruh pesisir Bali. Apa saja sampah yang
memenuhi pesisir pulau dewata ini?
Sekelompok peneliti dari Fakultas Kelautan dan Perikanan
(FKP) Universitas Udayana menyebar ke seluruh pesisir Bali
pada November 2017. Sekitar 70 orang membagi diri,
menyebar tiap 10 km. Mereka mempraktikkan metode
CSIRO, lembaga penelitian Australia dalam memetakan
distribusi sampah pesisir dengan random sampling. Di tiap
titik pengamatan, mereka mencatat jumlah dan jenis sampah
yang ditemukan tiap 100 meter.

baca : Siaga Sampah Bali. Ada Apakah?

Ade Narayana, staf magang di Laboratorium Komputasi


Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Udayana adalah
salah satu penelitinya. Ia bersama rekannya membaca sampah
yang ditemukan. Misal apakah kemasan makanan atau
minuman, teks yang tertera, dan jumlahnya.

Hasilnya, sebagian besar (45%) jenis sampah adalah plastik


‘lunak’ atau soft plastic. Kemudian hard plastics atau plastik
keras (15%) dan besi. Lainnya karet, kayu, busa, baju, gelas,
dan lainnya. Dari sampah plastik itu, terbanyak adalah plastik
kemasan (40%) makanan atau yang berlabel, kemudian
sedotan (17%), dan kresek (15%).

baca : Puncak Sampah di Pantai Kuta Awal 2018. Apa yang


Bisa Dilakukan?
Gelombang sampah organik dan anorganik terlihat mengapung di Selat
Bali, perairan antara Bali dan Jawa. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay
Indonesia

Sementara dari peta sebaran sampah, terlihat hampir rata di


seluruh pesisir. Makin besar bulatan, maka volumenya makin
besar. Termasuk pantai-pantai terkenal di Bali Selatan
seperti Serangan, Kedonganan, Kuta, Legian, kemudian Bali
Utara, dan Bali Barat.

Ini adalah bagian dari sejumlah aspek yang diteliti tentang


sampah laut. Penelitian sebelumnya adalah pergerakan
sampah dan jenis sampah yang mendarat di pantai-pantai
berhadapan dengan Selat Bali sejak 2014. Kemudian jenis
sampah yang terdampar di Pantai Kuta, karena paling
banyak terekspos oleh turis.

baca : Bukan Penebangan Liar, Sampah Ternyata Jadi


Masalah Berat di TN Bali Barat

Selanjutnya pergerakan sampah berdasar arus. Dengan


memanfaatkan data arus dan pergerakan angin di Selat Bali
saat musim hujan, salah satu peneliti Andhita Triwahyuni
memperlihatkan hasil modeling, sampah yang terbawa dari
Selat Bali berlayar dan mendarat ke pesisir Barat dan Selatan
Bali. Volume sampah di antara pulau Bali dan Jawa akan
berkurang, terdistribusikan ke hilir.

Penelitian lain akan dikembangkan agar lebih komprehensif


memotret fenomena sampah laut dan bagaimana
menanggulanginya. Rencana berikut adalah meneliti dampak
sampah dan kualitas pangan. “Kami akan meneliti Lemuru di
Selat Bali. Ini jenis ikan yang banyak diekspor jadi ikan
kaleng,” kata Dr I Gede Hendrawan, Kepala Lab Komputasi
FKP yang melakukan serial penelitian ini. Tak hanya
mikroplastik yang bisa dilihat secara visual tapi yang terurai
dalam ikan seperti pestisida dan logam berat.

baca : OutSIDers Bali Rayakan Pesta Ultah Dengan


Mengangkat Sampah…
Hasil survei menunjukkan mayoritas sampah di pesisir Bali adalah
plastik dan sumbernya dari daratan, sampah manusia yang dibuang
sembarangan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Menurutnya topik plastics on the menu tak bisa ditampik


karena sampah yang terkonsentrasi lama di laut akan
menjadi mikroplastik. Ini menjadi masalah baru terkait
keamanan pangan laut. Hal ini sudah dibuktikan oleh peneliti
Kanada dan Makassar yang menemukan cemaran plastik
pada satwa laut di perairan Sulawesi.

Dikutip dari koran Kompas (12/06/2017), riset bersama


Universitas Hasanuddin dan University of California Davis
(2014 dan 2015) menemukan cemaran plastik mikro di
saluran pencernaan ikan dan kerang yang dijual di tempat
pelelangan ikan terbesar di Makassar, Sulawesi Selatan. Hasil
riset dipublikasikan di jurnal ilmiah internasional, Nature,
September 2015. Disebutkan sepertiga sampel atau 28
persennya mengandung plastik mikro. Ada 76 ikan yang
diteliti kandungan plastik mikronya dari 11 jenis ikan
berbeda.

baca : Inilah Gringgo, Aplikasi Android Pengelolaan Sampah di


Bali
Sebaran distribusi sampah di seluruh pesisir Pulau Bali pada 2017.
Sumber : Riset FKP Universitas Udayana dan CSIRO Australia

Soal dampak pada satwa laut, Hendrawan bergabung dengan


peneliti lain sudah mempublikasikan jumlah mikroplastik di
perairan jalur migrasi Pari Manta yakni Nusa Penida, Bali
dan Taman Nasional Komodo, NTT. Para peneliti adalah
Elitza Germanov, Andrea Marshall, I Gede Hedrawan, dan
Neil Loneragan kolaborasi Marine Megafauna Foundation,
Universitas Murdoch, Australia, dan Universitas Udayana, Bali.
Sejumlah poster publikasi temuan mikroplastik ini sudah
disebarluaskan.

baca : Memprihatinkan, Satwa Laut di Bali dan NTB Makin


Beresiko Keracunan karena Ini…

Temuan mereka adalah mikroplastik ditemukan pada setiap


pelaksanaan survei di kedua lokasi selama musim hujan (wet
northwest monsoon season). Kategori mikroplastik adalah
serpihan plastik di bawah 5 milimeter. Rata-rata serpihan
plastik yang ditemukan di perairan Nusa Penida yaitu 0,48
potong per meter kubik dan di Taman Nasional Komodo 1,11
per meter kubik. Sehingga diperkirakan potensi Pari Manta
menelan mikroplastik berkisar 40-90 potong per jam.
tipe sampah plastik yag ditemukan di pesisir Pulau Bali pada 2017.
Sumber : Riset FKP Universitas Udayana dan CSIRO Australia
Tipe sampah laut (marine debris) yang ditemukan di perairan Pulau Bali
pada 2017. Sumber : Riset FKP Universitas Udayana dan CSIRO
Australia

Badung darurat sampah laut


Bagaimana mendorong hasil-hasil penelitian ini jadi rujukan
untuk program penanggulangan sampah? Ini juga jadi
motivasi peneliti. Misalnya membeli dan memasang
perangkap sampah, di mana lokasi yang strategis agar
sampah tak banyak masuk ke laut.

Hendrawan menyontohkan Kabupaten Badung, daerah


terkaya di Bali karena pajak hotel dan restoran jika ingin
mengurangi sampah terdampar harus membantu kabupaten
Jembrana di Bali Barat atau daerah lain di Selat Bali untuk
instalasi perangkap sampahnya.

Pemetaan sumber sampah dari sungai menurutnya belum


tergarap karena berpotensi tinggi pada kontribusi sampah
laut. “Seberapa parah sampah dari hulu ini, bagaimana
mencegah?” tanyanya. Pengelolaan sungai tak bisa sektoral
karena mengalir lintas daerah. Jika sistem pengendalian
sampah terintegrasi namun masih banyak mendapat sampah
terdampar baru bisa menyebut ini bukan sampah dari Bali.

Strategi pragmatis jangka pendek adalah pengurangan


sampah plastik, sementara jangka panjangnya mengubah
perilaku. Sejumlah penelitian lain yang diperlukan adalah
infrastruktur penampungan, pengangkutan sampah, dan
pengolahannya. Misal mendekatkan pengolahan sampah ke
pemukiman untuk mengurangi terbuang ke saluran air.

baca : Inilah Para Pahlawan Sampah Bali

I Putu Eka Merthawan, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan


Kebersihan (DLHK) Kabupaten Badung menyatakan daerah
pusat pariwisata ini masih darurat sampah laut sejak
November 2017 lalu. Terutama dari pesisir Parerenan sampai
Jimbaran sepanjang 8 km selama musim angin monsoon
barat ini.
Sampah di tepi pantai TN Bali Barat. Sampah dari laut umumnya
terbawa oleh arus laut. Foto: Luh De Suriyani/ Mongabay Indonesia
Ia menyebut ini fenomena alam tahunan, ketika gelombang
dan angin kencang membawa sampah dari mana saja
termasuk sampah dunia, Bali bagian Barat, Jawa, Sumatera,
dan Kalimantan.

Pihaknya mencatat sejak November sudah mengangkut


sedikitnya 6000 ton sampah laut. Sementara sampah dari
daratan Badung hanya 250 ton. “Coba bayangkan beratnya,
juga terkendala cuaca dan campur pasir, susah menyapunya,”
lanjut Eka.

Penetapan status darurat bencana sampah laut ini


menurutnya penting sebagai informasi dan peringatan untuk
wisatawan. Misalnya jangan heran kalau berenang bersama
sampah. Ia mengelompokkan status sampah menjadi 3,
waspada (volume sampah 0-10 ton per hari), siaga (11-40
ton/hari), dan darurat (di atas 50 ton/hari). “Bukan
gagah-gagahan, kami gentle menyampaikan jika saat ini alam
tak bersahabat,” jelasnya.

Penelitian terkait pergerakan sampah dan lainnya menurut


Eka pasti berguna tapi pihaknya hanya eksekutor yang
mengurus sampah dari menyiapkan tenaga kebersihan sampai
pengangkutan.

Menurutnya penanganan ini harus melibatkan pemerintah


provinsi dan pusat. Eka menyebut sudah menaruh banyak
jaring penangkap sampah di sejumlah sungai yang melintas
kabupaten pusat akomodasi ini. “Badung kan jadi korban,”
serunya.
(Visited 1 times, 1 visits today)

BPPT Bangun PLTSa


dengan Unsur Teknologi
Termal dan Kriteria
Batman
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi menggunakan teknologi
berbasis termal untuk mengoperasikan fasilitas pembangkit listrik tenaga
sampah di pilot project Bantar Gebang.

Regi Yanuar Widhia Dinnata | 21 Maret 2018 16:20 WIB


A+ A-

Share

Bisnis.com, BEKASI -- Badan Pengkajian dan Penerapan


Teknologi menggunakan teknologi berbasis termal untuk
mengoperasikan fasilitas pembangkit listrik tenaga sampah di
pilot project Bantar Gebang.
Seperti diketahui, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT) bersama Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta
melakukan ground breaking pembangkit listrik tenaga sampah
(PLTSa) di tempat pengelolaan sampah terpadu (TPPST)
Bantar Gebang, Bekasi. Adapun fasilitas PLTSa tersebut
merupakan yang pertama di Tanah Air dan masih dalam status
pilot project, PLTSa ini dibangun sebagai salah satu solusi untuk
mereduksi sampah yang berada di Ibu Kota sebanyak 7.000 ton
per hari.

Baca juga: Menteri Agraria Bantah Tudingan Amien Rais

Direktur Pusat Teknologi Lingkungan BPPT, Rudi Nugroho,


menjelaskan bahwa pemilihan teknologi termal dilakukan oleh
BPPT berdasarkan kriteria Best Available Technology Meet
Actual Need (Batman). Dia menambahkan bahwa teknologi
termal dan kriteria yang dibuat oleh BPPT tersebut merupakan
inovasi terbaik yang banyak digunakan di negara maju seperti
Jerman, Jepang, dan negara di Eropa lainnya.

Adapun teknologi termal ini dinilai cocok untuk jenis dan kondisi
sampah di Tanah Air. Selain itu, teknologi tersebut dinilai BPPT
ramah terhadap lingkungan dan memiliki potensi tingkat
komponen dalam negeri (TKDN) yang terbilang tinggi.
Baca juga: Ternyata Kemenangan Trump Ditentukan
Facebook

“Pilot Project Pengolahan Sampah Proses Termal atau bisa


disebut PLTSa di Bantar Gebang ini sebagian besar peralatan
merupakan produksi dalam negeri," kata Rudi dalam siaran
pers yang diterima Bisnis, Rabu (21/3/2018).

Dia menjelaskan PLTSa terdiri dari empat peralatan utama,


yaitu bunker terbuat dari concrete yang dilengkapi dengan
platform dan crane. Adapun ruang bakar dengan reciprocating
grate yang didesain dapat membakar sampah dengan suhu
diatas 950 celcius sehingga meminimalisir munculnya gas buang
yang mencemari lingkungan.

Baca juga: Ginsi Desak Revisi Pengenaan Bea Impor

Lebih lanjut, panas yang terbawa pada gas buang hasil


pembakaran sampah digunakan untuk mengkonversi air dalam
boiler menjadi steam di dalam boiler. Steam yang dihasilkan
tersebut digunakan untuk memutar turbin untuk menghasilkan
listrik.

Menurutnya, pilot project PLTSa ini akan menggunakan


sampah dari tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang
dengan desain nilai kalori (LHV) yang ditetapkan sebesar 1500
kkal/kg. Adapun dengan nilai kalori tersebut maka bisa
menghasilkan listrik sebesar 400 Kw dan mampu mereduksi
sampah hingga sebanyak 50 ton per hari.

Dia menambahkan produksi listrik sebesar 400 Kw tersebut


dapat mencukupi kebutuhan energi internal peralatan PLTSa.
Selain itu, emisi gas buang yang dihasilkan juga telah ditetapkan
memenuhi Baku Mutu Emisi dalam Permen LHK Nomor 70
Tahun 2016.

“Desain Pilot Project PLTSa ini sangat kompak, estetis, dan


tertutup rapi yang akan digunakan sebagai pusat studi sekaligus
wisata edukasi pengolahan sampah. Semoga dapat menjadi
percontohan serta pilihan teknologi pengolahan sampah yang
ramah lingkungan, guna menyelesaikan permasalahan sampah
kota-kota besar di tanah air,” ujarnya.

Menurut catatan BPPT, pengelolaan sampah di Tanah Air masih


menggunakan Tempat Pemrosesan Akhir sistem landfill atau
penimbunan. Teknologi landfill ini memerlukan waktu yang
lama, lahan yang luas, dan berpotensi menimbulkan
pencemaran lingkungan.
Potensi pencemaran dari landfill tersebut berupa air lindi dan
emisi gas-gas berbahaya bagi lingkungan. Pemantauan dan
penanganan potensi pencemaran dari landfill ini juga
memerlukan biaya yang tidak sedikit karena berlangsung dalam
waktu yang lama.

Indonesia
Adaptasi
Teknologi
PLTSa dari
Jepang
sampai
Skandinavia
Sampah-sampah dipilah menggunakan alat berat eskavator dan beberapa pemulung
mengawasi sampah-sampah tersebut untuk menemukan barang-barang buangan
yang berharga di area TPU Bantar Gebang, Bekasi. tirto.id/Bhaga

Oleh: Selfie Miftahul Jannah - 25 Maret 2019

Dibaca Normal 1 menit

Studi banding sudah dilakukan ke beberapa negara, seperti


Jepang sampai Skandinavia untuk membangun Pembangkit
Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Bantar Gebang.

tirto.id - Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi


(BPPT) Hammam Riza menjelaskan, jenis sampah di Indonesia
berbeda, jadi pihaknya perlu penanganan khusus untuk
mengubah sampah menjadi listrik.

Menurutnya, studi banding sudah dilakukan ke beberapa


negara, seperti Jepang sampai Skandinavia untuk membangun
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Bantar Gebang,
Bekasi yang hari ini sudah beroperasional.
"Sampah kita itu basah, bercampur, di kota lain yang sudah
dipilah, kita lebih mudah lakukan teknologinya. Makanya di
Indonesia kita cari teknologi yang menghancurkan sampah
sekaligus, dibakar sampe habis, kecuali sampah logam, B3, B3
nggak boleh dibakar, ini karena banyak negara lain, kita sudah
terlambat, Vietnam sudah mau bangun berapa PLTSa dia, kita
ketinggalan Indonesia ini," jelas dia di Bantar Gebang, Bekasi,
Jawa Barat, Senin (25/3/2019).

Ia menjelaskan, Pilot Project PLTSa dipilih menggunakan


teknologi termal dengan tipe insinerasi menggunakan tungku
jenis reciprocating grate.

Teknologi tersebut, lanjutnya, dipilih karena merupakan


teknologi yang sudah proven, banyak dipakai untuk Waste to
Energy (WtE) di dunia, ramah lingkungan (dilengkapi dengan
alat pengendali polusi), ekonomis, dan bisa digunakan untuk
kondisi sampah di Indonesia, serta mempunyai potensi TKDN
yang tinggi.

Hammam menyebutkan, peralatan utama dari PLTSa terdiri


dari 4 (empat) peralatan utama yaitu bunker sebagai
penampung sampah yang dilengkapi platform dan grab crane
dan ruang bakar sistem reciprocating grate yang didesain
dapat membakar sampah dengan suhu di atas 850 derajat
celcius sehingga pembentukan dioxin dan furan dapat
diminimalisir.

"TKDN-nya 65 persen," ucapnya.

Ia menjelaskan, panas yang terbawa pada gas buang hasil


pembakaran sampah, digunakan untuk mengkonversi air
dalam boiler menjadi steam untuk memutar turbin
menghasilkan tenaga listrik.

Unit PLTSa juga dilengkapi dengan unit Pengendali


Pencemaran Udara untuk membersihkan bahan berbahaya
yang terbawa dalam gas buang, sehingga gas buang yang keluar
memenuhi baku mutu yang ditetapkan.

Pilot Project PLTSa ini juga dilengkapi dengan unit


pre-treatment, untuk memilah sampah tertentu yang tidak
diijinkan masuk PLTSa, seperti logam, kaca, batu, Limbah B3
dan juga sampah sampah yang berukuran besar.

"Pembangunan Pilot project ini berlangsung sejak


groundbreaking pada 21 Maret 2018 sampai hari ini. PLTSa
ini merupakan yang pertama di Indonesia yang menggunakan
teknologi termal yang sudah proven," kata dia.

Ia menjelaskan, saat ini plant masih dalam kondisi


commissioning, yang tentunya masih ada beberapa komponen
atau proses yang perlu disempurnakan oleh BPPT juga
Pemprov DKI Jakarta agar PLTSa ini berjalan dengan lancar.

Diharapkan kerja sama BPPT dengan Pemerintah Provinsi DKI


Jakarta dalam membangun dan mengoperasikan Pilot Project
PLTSa ini dapat berhasil baik dan bermanfaat bagi penerapan
PLTSa secara nasional.

Baca juga:

 Beberapa Komponen PLTSa Bantar Gebang Impor dari


Cina dan India
 PLTSa TPA Bantar Gebang Mulai Beroperasional Hari Ini

Pembangkit Listrik dari Sampah


Hasilkan 750 Watt per Hari
CNN Indonesia | Rabu, 27/03/2019 06:30 WIB

Bagikan :

Ilustrasi (Yudhi Mahatma)


Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah meresmikan Pembangkit Listrik
Tenaga Sampah (PLTSa) di Tempat Pembuangan Sampah Akhir Bantar
Gebang, Bekasi, Senin (25/3). Fasilitas pengolahan sampah menjadi listrik
ini memiliki kapasitas pengolahan sampah sebesar 100 ton/hari.

PLTSa ini dapat menghasilkan listrik sebanyak 750 kWh perhari


menggunakan sampah yang sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi. Jika
dikonversi, daya sebesar ini bisa digunakan untuk menyalakan 68 AC
berkekuatan 1 PK yang digunakan 15 jam setiap harinya.

"Kalau kita tidak mulai, kapan kita mau maju. Ini penting, kita bikin saja.
Nanti kalo ini (PLTSa) sudah jadi 100 ton/hari, (selanjutnya) kita bikin
untuk kota-kota seperti Labuan Bajo, Balige, Pontianak, kota-kota yang
produksi sampahnya sekitar 100-200 ton/hari," jelas Menteri Koordinator
Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan melalui siaran pers seperti
dikutip dari Antara, Selasa (26/3).

Lihat juga:

Anies Ingin Bantargebang Jadi Pusat Studi Persampahan

Luhut juga menambahkan teknologi PLTSa ini dapat dimasukan dalam


"e-katalog" milik pemerintah untuk mempercepat proses pengadaan bagi
kota-kota yang ingin mengaplikasikan PLTSa.

Menurut dia, jika dapat diterapkan pada kota-kota lain di Indonesia, maka
permasalahan penyediaan lahan untuk pembuangan sampah akan teratasi.

Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan PLTSa Merah-Putih


menggunakan teknologi thermal yang terbukti dan telah banyak dipakai
untuk proyek waste to energy di dunia.
Lihat juga:

Anies Resmikan Fasilitas 'Mandi' Truk Sampah di Bantargebang

Teknologi thermal tersebut juga ramah lingkungan karena dilengkapi


dengan pengendali polusi. Selain itu, PLTSa ini ekonomis dan cocok
digunakan untuk karakter sampah di Indonesia yang umumnya tercampur
karena kurangnya kesadaran untuk memilah sampah sebelum dibuang.

Karakter sampah di Indonesia juga mengandung bahan organik yang tinggi,


memiliki kelembapan yang tinggi, dengan nilai kalori yang rendah. Lebih
jauh lagi, teknologi dan alat yang digunakan mengandung TKDN yang tinggi.

"Ini merupakan hasil kajian BPPT dan dibangun dengan mitra lokal.
Sebagian besar peralatan merupakan produksi dalam negeri sehingga kami
dengan bangga menamakannya PLTSa Merah-Putih," ungkap Riza.

Pengelolaan sampah menjadi listrik di Bantar Gebang diharapkan bisa mengurangi maslaah dari limbah buangan
itu (CNN Indonesia/Eky Wahyudi)

Sementara itu, Menristekdikti M. Nasir menyinggung bahwa yang


terpenting adalah pengelolaan sampah bukan listriknya, melainkan upaya
membuat kota lebih bersih.
"Jangan sampai berpikir untuk menghasilkan energi, tapi berpikir
bagaimana Jakarta bersih, Bekasi bersih, itu yang penting. Kita jangan
menghitung berapa cost (biaya) per kWh-nya," pungkas Menristekdikti.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan


meresmikan proyek percontohan (pilot project) Pengolahan Sampah Proses
Thermal PLTSa Bantargebang di Bekasi, Jawa Barat, yang hampir
seluruhnya memanfaatkan komponen lokal.

"Sampah ini menurut saya masalah yang harus kita selesaikan. Kita gunakan
teknologi dalam negeri. Pilot project ini hampir seluruhnya menggunakan
Tingkat Komponen dalam negeri (TKDN)," katanya dalam siaran pers di
Jakarta, Selasa.

Lihat juga:

Menyusuri 'Serbuan' Kantong Plastik dari Pluit

Peresmian itu juga dilakukan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Mohamad Nasir, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
Hammam Riza, dan Asisten Bidang Pembangunan dan Lingkungan Hidup
pemprov DKI Jakarta Yusmada Faizal.

Selain itu juga dihadiri oleh Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur


Kemenko Bidang Kemaritiman, Dirjen Pengolahan Sampah dan Limbah B3
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Walikota Bekasi, Walikota
Tangerang Selatan, dan Para Pejabat Eselon 1 BPPT.

Luhut menuturkan, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah


(PLTSa) yang diberi nama PLTS Merah-Putih ini adalah upaya pemecahan
masalah sampah perkotaan di Indonesia. (Antara/eks)
Media kolaborasi untuk berita-berita tentang Bali # Partner kumparan 1001
Media

Ikuti

21 Februari 2019 8:04 WIB

30 Hektare Lahan Mangrove di


Bali Dijadikan TPA
Kondisi TPA Suwung di Denpasar, bali (dok.kanalbali)

DENPASAR, kanalbali.com – Kondisi Tempat Pembuangan Akhir


(TPA) Suwung, Bali, kini sudah tak layak lagi digunakan. Hal itu
dikarenakan TPA tersebut telah mengambil lahan mangrove seluas
30 hektare.
Koordinator Komunitas Peduli Sampah (KPS) Bali, Catur Yudha
Hariani, mengatakan pemerintah mengajukan solusi dengan
membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLSTa) di Bali.
Namun sayangnya menurut Hariani, kegiatan tersebut justru
berbahaya untuk masyarakat.
"PLSTa pasti menggunakan insenerator jarak radiasinya mencapai
30 kilometer dari lokasi, itu berbahaya,” ujarnya, Kamis (21/2) di
Denpasar, Bali.
Menurutnya, ada salah satu cara yang bisa dilakukan untuk
menanggulagi sampah-sampah yang terlanjur menggunung dan
lebih ramah lingkungan. Yakni dengan menginisiasi gerakan zero
waste yang dimulai dari sumber sampah sekaligus mengembangkan
circular economy sampah.
Salah satunya adalah dikelola dengan metode sanitary landfill.
Apabila ide zero waste segera dijalankan, maka harus mulai
dipisahkan lokasi baru dengan metode baru dengan yang lama.
Dengan zero waste, diharapkan sampah yang dibuang ke TPA hanya
residunya saja.
Sementara itu, para pemulung bisa dipekerjaan pada sektor
composting dan unit penjualan sampah anorganik. “Pemerintah
harus serius menyediakan dana edukasi door to door, pelatihan SDM
para petugas pengambil sampah,” kata Hariani.
Namun pada kenyataannya kesadaran masyarakat sendiri untuk
mengurangi sampah dan mengelolanya dengan benar masih sangat
rendah.
“Sekarang secara wacana bagus, tetapi secara praktik minim.
Gerakan dan kampanye clean up ramai tetapi ternyata di rumahnya
tidak melakukan pemilahan dan pengelolaan,” ucap Hariani.
Masyarakat, kata dia, sudah tahu bahwa sumber sampah sebagian
besar ada di rumah. Tapi mereka sangat malas untuk memulai
inisiatif dari rumah . “Padahal kita sudah darurat sampah,” kata
dia.
Catur Yudha Hariani (IST)

Hariani menyambut baik Peraturan Gubernur dan Peraturan Wali


Kota soal larangan kresek serta penggunaan beberapa plastik sekali
pakai. “Sekarang banyak warga yang mengeluh tapi itu hanya reaksi
awal saja. Saya yakin lambat laun masyarakat akan mencari
alternatif pengganti,” ujar Direktur Pusat Pendidikan Lingkungan
Hidup (PPLH) Bali ini.
Pekerjaan rumahnya, kata dia, adalah terus melakukan edukasi,
penegakan hukum, evaluasi dan monitoring. Jangan sampai
peraturan ini hanya hangat-hangat di awal saja lalu tahun
berikutnya kendor. (kanalbali/RFH)
Revitalisasi TPA Suwung
perpanjang layanan hingga
2024
Selasa, 9 Oktober 2018 8:18 WIB
Arsip Foto- Tiga ekor sapi mencari makan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung, Kota
Denpasar, Bali. (ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/wdy)

Jakarta (Antaranews Bali) - Revitalisasi Tempat Pembuangan Akhir


(TPA) Regional Sarbagita Suwung, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota
Denpasar, Bali yang dilakukan selama 2017-2019 dengan anggaran
Rp250 miliar akan memperpanjang masa layanannya hingga 2024 dari
sebelumnya habis tahun 2020/2021.

"Sebagian lahan TPA yang sudah habis masa layanannya kini sudah
ditimbun tanah dan mulai ditata lansekapnya menjadi ruang terbuka
hijau," demikian siaran pers Biro Komunikasi Publik Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang diterima di Jakarta,
Selasa.
Pernyataan itu disampaikan saat Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono tiba di Bali dalam rangka
menghadiri IMF - World Bank Annual Meeting 2018 yang akan
berlangsung pada 8-14 Oktober 2018, Senin (8/10).

Dalam perjalanannya menuju lokasi acara di Nusa Dua Bali, Menteri


Basuki menyempatkan meninjau progres proyek Revitalisasi TPA
Regional Sarbagita Suwung di Kelurahan Pedungan, Kabupaten
Denpasar Selatan, Bali.

Menteri Basuki menyatakan revitalisasi juga akan memperluas daerah


layanan TPA Sarbagita Suwung dari semula hanya Kawasan
Metropolitan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan, sebentar lagi
mencakup Kabupaten Klungkung.

Pengolahan sampah nantinya juga bisa menjadi sumber energi listrik


dengan akan dibangun PLTSA (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) di
areal lahan seluas lima hektare.

"Sampah yang masuk ke TPA Regional Sarbagita


rata-rata sebesar 1.423 ton per hari dimana untuk lahan seluas 32,4
hektare yang ada saat ini daya tampungnya sudah maksimal. Untuk itu
diperlukan revitalisasi sebagai peningkatan kapasitas tampung dan
perbaikan infrastruktur pengolahan sampah agar kualitas lingkungan
menjadi lebih baik," kata Menteri Basuki.

Drainase area TPA yang ada saat ini juga sudah tidak dapat menampung
limpasan/debit air hujan, disamping itu juga mengandung lindi, sehingga
otomatis mencemari perairan mangrove dimana beban COD/BOD sudah
di atas ambang baku mutu.

Saat ini, luas lahan TPA Sarbagita Suwung adalah 32,4 hektare, dimana
ketinggian timbunan sampah antara 15 meter - 25 meter yang
berpotensi menimbulkan longsor.

Revitalisasi juga penting dilakukan mengingat TPA Sarbagita Suwung


berlokasi dekat dengan Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, yang
menjadi salah satu bandara tersibuk di ASEAN.

Bali juga merupakan salah satu destinasi wisata dunia sekaligus denyut
nadi utama ekonomi dan penghasil devisa negara.
Ketersediaan infrastruktur yang berkualitas seperti jalan, air bersih,
pengelolaan air limbah dan pengelolaan sampah sangat diperlukan agar
para turis dapat berwisata dengan nyaman.

Revitalisasi TPA Regional Sarbagita Suwung ini meliputi pekerjaan


penutupan serta penataan area TPA seluas 22,4 hektar yang telah
penuh dengan sampah. (WDY)
Produksi Sampah di Bali
Capai 12.000 Kubik Per
Hari
Minggu, 07 Januari 2018 | 21:20 WITA

 FACEBOOK
 TWITTER
 WHATSAPP
 GOOGLE+

beritabalicom
DOWNLOAD APP BERITABALI.COM

Beritabali.com, Denpasar. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali,


Gede Suarjana, menyebutkan bahwa produksi sampah di Bali mencapai
12.000 kubik per-hari. Hampir 70 persen dari jumlah sampah tersebut
merupakan sampah organik dan 30 persen sampah anorganik.

Data tersebut disampaikan Suarjana saat berorasi di atas Podium Bali


Bebas Bicara Apa Saja (PB3AS) di Renon, Minggu (7/1).

Menurut Suarjana, tercatat 11 persen dari keseluruhan jumlah sampah


per-hari tersebut merupakan sampah plastik.

“Sampah plastik yang menjadi momok karena jika dibakar menghasilkan


dioksin sementara ditanam lama sekali terdegradasi,” kata Suarjana.

Suarjana mengungkapkan upaya pengelolaan sampah menjadi penting


dilakukan di Bali. Salah satu langkah pengelolaan yang dapat dilakukan
yaitu menerapkan konsep 3R. Konsep 3R meliputi Reuse (menggunakan
kembali), Reduce (mengurangi) dan Recycle (mendaur ulang).

Suarjana menambahkan jika konsep 3R mampu dilakukan maka hanya


residunya saja yang akan masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA).
Jumlahnya residu setelah penerapan 3R diperkirakan hanya 13 persen
dari sampah sebenarnya.[mul/psk]

Anda mungkin juga menyukai