Anda di halaman 1dari 5

Ayo Kita Berantas, teman!

Kring... kring... bel sekolah sudah berbunyi. Jam pun sudah menunjukkan pukul satu siang.
Ini berarti sekolah hari ini telah berakhir. Para murid pun bersorak riang. Seperti biasanya Bu Anita,
guru pelajaran PKN menutup kelas hari ini sambil memberikan pesan kepada murid-muridnya.
“Alhamdulillah pembelajaran kita hari ini sudah berakhir, sebelum kita kembali kerumah mari kita
kaji kembali pelajaran kita hari ini tentang mencintai tanah air. Sebagai generasi muda penerus
bangsa kedepan kalian harus memimpin negara ini kearah yang lebih baik. Tegakkan kebenaran,
kejujuran, dan keadilan. Mulailah dari hal-hal kecil jadilah pelopor bangsa.” Ucap Bu Anita dengan
semangat. Kemudian Ia menyuruh kami untuk segera pulang kerumah.

Namaku Idris, aku bersekolah di SDN Harapan Aceh Besar dan duduk dibangku kelas 5 SD.
Sekolahku terletak di perkampungan. Jika pulang sekolah seperti ini aku biasanya berjalan kaki
bersama teman-teman, tidak seperti mereka yang tinggal di kota. Untuk pulang sekolah saja mereka
dijemput dengan mobil-mobil mewah. Tetapi pulang bersama teman cukup mengasyikkan. Kami bisa
saling berbagi cerita bersama tentang kejadian disekolah tidak hanya itu kami juga suka menjahili
teman-teman dalam perjalanan. Sungguh kenangan yang tidak bisa dilupakan. Aku pulang bersama
teman sepermainanku yaitu Agam, Hasbi, dan Rusli. Kami bersekolah disekolah yang sama namun
hanya Hasbi yang sekelas denganku sedangkan Agam dan Rusli juga murid kelas 5 tetapi mereka
berada dikelas yang berbeda. kami tinggal di kampung yang sama dan saling bertetangga. Kami
sudah benar-benar akrab sejak kecil.

Di saat perjalanan aku dan Hasbi bercerita banyak tentang kejadian dikelas tadi mulai dari
Syifa yang pingsan saat upacara hingga pesan yang diberikan oleh Bu Anita di akhir kelas. Agam dan
Rusli juga tidak mau ketinggalan mereka juga ingin berbagi cerita dengan kami. “Tadi dikelasku
masuk pak Amri pelajaran Sains, kami belajar tentang bentuk-bentuk daun ada yang sejajar,
menyirip, menjari, dan melengkung. Pak Amri juga memberikan contoh-contohnya. Ini contoh tulang
daun menyirip” ata Agam, seraya menunjukkan ujung jarinya mengarah ke pohon mangga.
Mendengar penjelasan dari Agam kami pun mengangguk bersama menunjukkan bahwa kami
mengerti dengan perkataannya. Tidak hanya berbagi cerita kami juga saling berbagi ilmu
pengetahuan.

Tak terasa kami semakin dekat dengan rumah walaupun perjalanan sedikit jauh namun jika
dilalui bersama akan menjadi ringan dan menyenangkan. Tibalah dirumah Rusli karena rumahnya lah
yang paling dekat namun sebelum berpisah seperti biasanya kami akan membuat rencana untuk
bermain bersama di sore hari.

“Kira-kira sore ini kita main kemana?” tanyaku.

“Hmmm kemana ya? Main layang-layang ditanah lapang yuk! Mumpung lagi berangin ni.” Usul Rusli

Agam tidak setuju dengan usulan Rusli karena ia sudah merasa bosan “Lapangan lagi layang-layang
lagi selalu itu, cari tempat baru lah kan kampung ini luas.”

“Jadi kemana lagi kasih usulan lah kalau gitu.” kata Hasbi

“kayaknya kalau menjelajah gitu seru lah? Gimana?” tanyaku sambil menaikkan alis menunggu
jawaban dari mereka.
“Boleh juga tu, kan kita bocah petualang, tapi mau jelajah kemana?” tanya Agam

“Hutan di kampung kita aja gimana? Kan kita belum pernah kesana. Aku dengar-dengar ada sungai
disana. Kita bisa berenang disana airnya juga sejuk.” usulku lagi.

“Ih takut masa ke hutan kan ngeri.” Hasbi ketakutan

“Jih masa takut, hutan yang disana kan gak berbahaya. Aku sering sih liat orang berlalu lalang
dihutan itu. Masa kamu takut, kalau kamu takut terus kapan bisa beraninya? Laki harus berani.” ujar
Agam dengan lantang sehingga Ia pun dapat meyakinkan Hasbi untuk tetap ikut.

“Oke berarti hari ini kita jadi pergi ke hutan. Nanti jam 3 sore kita kumpul di lapangan biasa, jangan
ada yang terlambat ya! Aku balik duluan.” Rusli menyimpulkan semuanya sambil pamit kembali
kerumah. Kami pun mengangguk dan melanjutkan perjalanan kami menuju kerumah masing-masing.

Jam menunjukkan pukul 3 sore, aku teringat akan janjiku bersama teman-teman untuk
berkumpul dilapangan. Baru saja melangkah keluar aku sudah disapa oleh sang surya yang masih
terik namun sudah sedikit melemah hingga sinarnya tidak begitu menusuk kulitku. Aku mengenakan
kaus hitam usang yang biasanya kupakai untuk pergi bermain dilengkapi dengan celana pendek
berwarna merah dan juga sepasang sandal jepit. Selangkah demi selangkah kutempuhi jarak antara
rumah dan lapangan yang tidak begitu jauh jaraknya. Aku ingat betul dengan jalan ini sebab jalan
inilah yang selalu kutempuh demi bermain bersama teman-teman seperjuanganku. Disungguhi
dengan pemandangan rumah tetangga yang terbuat dari kayu serta jalanan yang penuh dengan
kotoran sapi sudah menjadi rutinitas yang kulihat setiap harinya sudah menjadi pemandangan biasa
bagiku. Tak terasa langkah ku telah sampai pada tanah lapang yang terbentang begitu luas dengan
rumputnya yang hijau. Di salah satu sisi lapangan aku melihat teman-temanku sudah menunggu
disana. Tak kusangka mereka benar-benar semangat dengan petualangan hari ini. Aku harap ini bisa
menjadi petualangan yang tak terlupakan dan aku juga memohon agar kami selalu tetap dibawah
lindungan yang maha kuasa sehingga kembali dengan selamat.

Ketika aku tiba mereka pun datang menghampiriku. “Mengapa kamu lama sekali, kami sudah lelah
menunggu.” kata Hasbi.

Aku pun menjawab “Aku datang tepat waktu, kalian saja yang kecepatan, kok kayaknya kamu
semangat kali ya Hasbi bukannya kamu ketakutan?” candaku.

Tidak terima direndahkan olehku Hasbi pun membalas perkataanku “Enak aja siapa juga yang takut
aku hanya bercanda kok. Aku kan laki-laki harus berani dong.” sambil membusungkan dadanya.

Mendengar pernyataan Hasbi, kami pun tertawa bersama-sama.”Sudahlah jangan ribut lagi. Buang-
buang waktu saja. Yuk berangkat” Agam sudah tak sabar lagi. ”Eitsss, berdo’a dulu kepada Allah SWT
agar kita terlindungi.” seru Rusli. Mereka semua mengadahkan tangan keatas sambil berdo’a dalam
hati masing-masing. Kami pun melanjutkan perjalanan kehutan.

Ditengah perjalanan aku menatapi temanku satu persatu. Aku merasa bersyukur karena telah
memiliki teman-teman yang begitu baik yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri mereka bagai
anugerah untukku dan hal yang paling membanggakan ialah ketaqwaan yang kami miliki. Walaupun
kami masih kecil, namun orang tua kami telah menanamkan nilai-nilai agama pada diri kami. Mereka
mengajarkan kami mengaji pada malam hari. Begitulah tradisi masyarakat Aceh yang sangat begitu
kental dengan nilai-nilai islami. Aku juga senang akan antusias teman-temanku hari ini. Aku merasa
menjadi orang yang paling bahagia didunia ketika bersama mereka.

Hutan kampung sudah didepan mata kami. Aku pun memimpin mereka melalui hutan
tersebut. Aku tidak melewati jalan biasa yang dilalui untuk menuju sungai. Aku ingin sekali mencari
hal baru. Kami pun memilih jalan lain yang tak biasa. Daun-daun hijau beriringan mendampingi jalan
kami. Kicauan burung pun bak melodi di telinga kami. Udara segar terhirup, rasanya seperti tengah
membersihkan paru-paru. Rasa tenang dan nyaman menyelimuti kami walaupun begitu kami tetap
harus berjaga-jaga selama perjalanan. aku pun mencabuti daun, bunga, dan ranting yang aku sukai.
Rencanaya aku akan mengeringkan dan menyelip diantara sela-sela buku dan menyimpannya
sebagai buku kenangan berjelajah dihutan untuk pertama kalinya. Setelah lelah berjalan, akhirnya
kami tiba dipinggir sungai. Benar kata orang-orang bahwa sungai disini sangat jernih dan sangat
indah. Suara alirannya mengalir dipikiran kami. Perjalanan ini sungguh tidak mengecewakan.
Tubuhku ingin sekali merasakan sejuknya air tersebut. Aku dan teman-temanku pun segera melepas
pakaian. Sebelum terjun aku meletakkan daun, ranting, dan bunga di pinggir sungai dan kututupi
pakaianku agar aman dan tidak basah. Setelah itu, aku pun segera terjun ke sungai. Airnya begitu
dingin, kami saling mencipratkan air satu sama lain. Ini benar-benar mengasyikkan sampai aku tidak
bisa mengungkapnya dalam kata-kata. Kami begitu menikmati hari ini.

Setelah lelah bermain air, kami pun kembali ke daratan dan mengeringkan diri. Aku pun mengambil
bajuku namun anehnya Agam sangat terkejut ketika ia melihat daun yang kupetik. Matanya
terbelalak dan mulutnya terbuka lebar.

“Astagfirullah Idris dimana kamu mendapat daun itu?” kata Agam.

“Tadi waktu dijalan aku iseng-iseng aja petik daun, kenapa agam? Unik kan daunnya bentuknya
menjari kayak daun ubi tapi bedanya ini ada geriginya terus jumlah daunnya ganjil. Aku mau tanya
sama ibu ini ubi jenis apa.” Sahutku.

“Eh jangan jangan. Aku pernah liat daun ini dibuku sains waktu belajar daun dipelajaran pak Amri
dan seingat aku itu daun... daun... daun ganja” jawab Agam terbata-bata.

“Apa? Daun ganja? Barang haram yang terkenal dari Aceh itu? Ih gimana ni kalau kita tertangkap
polisi bagaimana?” Kataku dengan panik.

“Apa!!? Ditangkap polisi?” Sahut Rusli dan Hasbi bersamaan.

“Aku gak mau! Aku mau pulang sekarang! Mama....” Ringis Hasbi.

“Udah udah gak usah panik, gini aja sekarang kasih tau kita dimana kamu dapat daun itu.” Tegas
Agam

Kami pun bergegas pergi ke tempat tersebut. Ketika di perjalanan tiba-tiba saja dari
kejauhan ada seseorang yang lewat dengan pakaian serba hitam. Ia juga menggunakan topi. Gerak-
geriknya juga sangat was-was. Ia kerap kali mengawasi sekelilingnya. Orang tersebut benar-benar
mencurigakan. Kami sangat penasaran dengan apa yang akan dilakukannya. Kami pun segera
menguntitnya secara diam-diam. Berjalan mengendap-ngendap dan perlahan. Bersembuyi dibalik
semak, mengatur langkah kami yang seakan-akan telah membuat kesepakatan dengan semak-semak
disekitar agar tidak menimbulkan bunyi gaduh yang akan membuatnya curiga. Tak disangka, ia
menuntun kami kesebuah ladang yang penuh dengan ganja. Benar firasat kami bahwa Ia bukanlah
orang biasa.

“Ih gak mau, aku takut mending pulang aja yuk.” Kata Hasbi.

“Gak bisa gitu dong Hasbi, kamu masih ingat kan kata buk Anita dikelas kita harus tegakkan
kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Kita kan generasi penerus bangsa. Kita gak bisa biarin negara
kita hancur! Upaya kita hari ini dapat menyelamatkan negara kita.” Kataku.

“Iya benar kata Idris, gini aja aku sama Rusli pergi ngelapor ke kantor polisi, sedangkan kalian berdua
tunggu disini dan terus awasi bapak itu.” Perintah Agam.

Mereka pun langsung pergi kekantor polisi terdekat, sesampainya disana mereka tampak sangat
ngos-ngosan dan sangat panik. Pak polisi pun bertanya “Kenapa dik?”

“Itu pak anu.” sambil menunjuk arah hutan

“Anu kenapa?” tanya polisi itu kebingungan.

Rusli langsung berkata “Ada ganja pak!”

“Hah ganja?dimana? kalian yakin itu ganja? Ubi kali tu, haha” polisi tersebut masih tidak percaya
karena yang berbicara didepannya hanyalah anak kecil yang berumur 13 tahun.

Agam sangat geram dengan polisi tersebut tanpa basa-basi ia langsung menarik tangan polisi itu
“Ayo pak cepat!” Pinta Agam.

Sementara itu dihutan, aku dan Hasbi tetap memata-matai pak tua itu walaupun aku agak
sedikit kesal dengan Hasbi yang terkadang menangis kecil. Ternyata pak tua itu tidak sendiri. Tiba-
tiba saja seseorang lain datang menghampirinya. Lalu, pak tua itu memberi sebungkus rokok. Setelah
itu, dia membayarnya dengan amplop yang sangat tebal. Bagaimana mungkin sebungkus rokok
semahal itu. Aku sangat yakin bahwa dia mengelabui aparat dengan bungkus rokok.

“mama...” tiba-tiba saja Hasbi melepaskan teriakannya. Dia sudah tidak tahan lagi,
ketakutannya membuat Ia pipis dicelana. Ingin sekali rasanya kucekik Hasbi seketika.

Pak Tua itu mendengar teriakan Hasbi segera menoleh kearah kami. Aku sangat takut.
Rasanya jantungku ingin berhenti berdetak. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tubuhku membeku
seketika. Ini soal hidup matiku!.

Pak Tua itu melangkah kearah kami. Langkah kakinya semakin mendekat. Pak tua telah
mendapat mangsanya. Tanpa kata apapun, Ia menarik kerah baju kami Ia menyeret kami entah
kemana. Aku tak berani melawannya. Aku hanya pasrah, semoga saja Agam dan Rusli daatang dan
menyelamatkan kami. Hasbi meronta-ronta tapi tidak ada yang menghiraukannya. Aku menyesalI
petualangan hari ini, ini akan menjadi akhir hidupku.

Kami dibawa kesebuah gudang tua dan gelap. Dinding yang terbuat oleh kayu telah lapuk
dimakan oleh waktu. Ruangan itu dikunci oleh si pak tua. dia menatap kami tajam,lalu dia
mengambil seikat tali tambang disampingnya. Ia melilitkan tubuhku dan Hasbi disebuah tiang kayu.
Tidak sanggup mendengar teriakan Hasbi. Iapun menempelkan lem pada mulut kami. Ya Allah tolong
hamba Ya Allah. Bibirku tidak henti-hentinya mengucapkan doa meminta perlindungan dari Yang
Maha Kuasa. Ayah, ibu maafkan aku. Maaf jika aku belum bisa membanggakan kalian. Air mataku
sudah mengalir memnasahi pipi.

“tolongg...tolong... aaaaaaaaaaa” Hasbi tak berhenti berteriak.

Agam dan Rusli tiba di ladang ganja bersama polisi. Mereka sangat kecewa karena
kehilangan jejak si Pak Tua dan yang paling menyedihkan ialah mereka juga kehilangan kami. Raut
wajah takut dan bingung tergambar di wajah mereka. Namun tiba-tiba saja

“Agam itu kan bunga dan daun yang dikumpulkan oleh Idris” kata Rusli.

“iya! Banyak banget berserakan dimana-mana.” Sahut Agam.

“ikutin aja kemana bunga jatuh. Biar kita tau dimana mereka.” Kata polisi tersebut.

Kemudian Agam dan Rusli pun mengikuti saran pak polisi. Bunga dan daun itu menuntun
kami kesebuah gudang kecil. Semakin dekat semakin terdengar suara teriakan anak kecil yang
meminta tolong. Dengan sigap pak polisi mendobrak pintu gudang tersebut.

Brukkkk...., pintu pun terjatuh. Pak tua terkejut dengan kedatangan Agam dan Rusli serta
seorang polisi disamping Agam dan Rusli. Begitu pula kami, terima kasih yaAllah telah mengirimkan
penyelamat untukku.

“Angkat tangan!” ucap pak polisi dengan tegas.

Pak tua tidak bisa melakukan apapun ia terperangkap dalam permainannya sendiri. Tanpa
perlawanan, pak tua itu mengangkat tangannya dan pak polisi pun segera memborgol tangannya. Ia
segera membawa pak tua itu ke markas polisi. Usut punya usut ternyata pak tua itu adalah buronan
yang tengah diburon oleh kepolisian setempat. Ia merupakan bandar narkoba yang sudah memiliki
jaringan internasional.

“ Hasbi, Idris ayo kita pulang tenangkan diri kalian. Sekarang kalian aman.” Kata Agam.

Setelah kejadian itu, kami mulai terkenal dikampung kami karena keberanian kami
memberantas narkoba. Pemerintah pun telah memberikan penghargaan kepada kami dan kini
orang-orang menjuluki kami ‘pemberantas cilik’.

Memang Aceh terkenal akan kekayaan alamnya namun sayangnya dibalik semua itu ada hal
negatif yang terselebung seperti suburnya ganja. Memang ganja memiliki keuntungan dengan harga
jual yang mahal. Namun, ini adalah keuntungan yang membawa kerugian. Sungguh malang.

Petualangan yang tak terlupakan. Bayangkan saja jika kami tidak mengambil tindakan berapa
banyak generasi yang akan dibodohi oleh mereka. Kami berempat sangat bangga telah memberikan
sebuah aksi kecil yang memberikan manfaat yang besar. Inilah semangat cinta tanah air yang kami
miliki.Tanpa kita sadari narkoba juga merupakan penjajahan bagi kita. Narkoba dapat merusak moral
bangsa. Sebagai generasi muda kami menyatakan perang terhadap narkoba.

Anda mungkin juga menyukai