Hak Tanggungan
Hak Tanggungan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya
disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang
sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok – Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda – benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan
diutamakan kreditor lertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya. Hak-hak atas tanah yang dapat
dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan. Selain
Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan, hak atas tanah berupa Hak Pakai atas
tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat
dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan.
Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan
sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam perjanjian dan merupakan
bagian tidak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya
yang menimbulkan utang tersebut. Hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
Pendaftaran tersebut dilakukan selambat – lambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan Akta
Pemberian Hak Tanggungan.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka identifikasi masalah yang bisa ditarik adalah:
1. Apakah akibat hukum dari hak tanggungan yang tidak didaftarkan di Kantor
Pertanahan?
2. Apakah akibat dari pendaftaran hak tanggungan dilakukan melebihi jangka waktu yang
ditentukan perundang – undangan?
BAB II
TINJAUAN UMUM HAK TANGGUNGAN
D. Hak Tanggungan dapat digunakan untuk menjamin utang yang sudah ada atau yang akan ada.
Jika utang yang sudah ada, tentunya sudah jelas, tetapi untuk utang yang akan ada seperti apa? Yang
dimaksud dengan utang yang akan ada adalah utang yang pada saat dibuat dan
ditandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut belum ditetapkan jumlah ataupun
bentuknya. Dalam setiap APHT disebutkan bahwa debitur punya sejumlah utang tertentu, yang
dituliskan’……..yang dibuktikan dengan akta perjanjian kredit tertanggal (hh-bb-tt), Nomor xxx,
yang dibuat dihadapan xxxx, Notaris di xxx berikut perubahannya dan/atau
penambahannya…..’Misalnya, pada saat akta tersebut dibuat jumlah utang debitur masih sebesar
Rp 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah). Kemudian karena nilai Hak Tanggungan yang dipasang
masih cukup untuk penambahan Plafon Kredit, pada saat debitur memperoleh tambahan kredit
sebesar Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) dia tidak dibebani dengan Hak Tanggungan
baru. Hanya cukup menunjuk kepada jaminan yang sudah pernah diberikan oleh debitur dengan
nilai utang yang dijaminnya bertambah menjadi Rp. 150.000.000,- (Seratus Lima Puluh Juta
Rupiah).
Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekusi tanpa melalui putusan pengadilan melalui
penjualan di muka umum. Namun demikian, hal yang menarik dalam praktiknya adalah pada
saat pemilik jaminan melakukan penawaran atas upaya kreditur untuk melelang tanah dan
bangunan yang dijaminkan, kreditur masih tetap membutuhkan bantuan pengadilan untuk
mengeksekusi jaminan yang sudah dibebani Hak Tanggungan.
Sifat spesialitas dan publisitas yang menyebabkan timbulnya hak Preference kreditur. Dalam hal
terjadi peristiwa kepailitan debitur, Hak Preference kreditur tersebut tidak hilang dan menjadi
separatis. Artinya, kreditur punya hak terpisah atas obyek yang dibebani Hak Tanggungan
tersebut. Oleh karena itu kreditur berhak mendapatkan pelunasan utang terlebih dahulu dari hasil
penjualan tanah atau bangunan sebagai jaminan. Dengan adanya publisitas tersebut pihak ketiga
(Siapa pun) bisa mengecek status tanah tersebut melalui kantor pertanahan setempat. Tujannya
menghindari terjadinya suatu transaksi peralihan hak atas tanah dimaksud tanpa persetujuan dari
kreditur selaku pemegang Hak Tanggungan.[2]
1. Pasal 1 butir (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1996 menyebutkan bahwa “Hak Tanggungan
atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak
Tanggungan, adalah jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut
atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik, untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor
tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
2. Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai
jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak
terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan suatu perjanjian lainnya yang
menimbulkan utang tersebut, dan pemberian Hak Tanggungan tersebut dilakukan dengan
pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT (Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-
undang No. 4 Tahun 1996).
3. Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, dan sebagai bukti
adanya Hak Tanggungan, Kantor Pendaftaran Tanah menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan
yang memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA” (Pasal 13 ayat (I), Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).
4. Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan apabila debitur cidera janji maka
berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan tersebut,
pemegang hak tanggungan mohon eksekusi sertifikat hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang berwenang. Kemudian eksekusi akan dilakukan seperti eksekusi putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap.
5. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan
dapat dilaksanakan dibawah tangan, jika dengan demikian itu akan diperoleh harga tertinggi
yang menguntungkan semua pihak (Pasal 20 ayat (2) Undang-undang No.4 Tahun 1996).
6. Pelaksanaan penjualan dibawah tangan tersebut hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu)
bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pembeli dan/ atau pemegang Hak Tanggungan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat
kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/ atau media massa setempat, serta tidak ada
pihak yang menyatakan keberatan (Pasal 20 ayat (3) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).
7. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT,
dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada membebankan Hak
Tanggungan;
tidak memuat kuasa substitusi;
mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas
kreditornya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemberi Hak Tanggungan;
8. Eksekusi hak tanggungan dilaksanakan seperti eksekusi putusan Pengadilan yang berkekuatan
hukum yang tetap.
9. Eksekusi dimulai dengan teguran dan berakhir dengan pelelangan tanah yang dibebani dengan
Hak tanggungan.
10. Setelah dilakukan pelelangan terhadap tanah yang dibebani Hak tanggungan dan uang hasil
lelang diserahkan kepada Kreditur, maka hak tanggungan yang membebani tanah tersebut akan
diroya dan tanah tersebut akan diserahkan secara bersih, dan bebas dan semua beban, kepada
pembeli lelang.
11. Apabila terlelang tidak mau meninggalkan tanah tersebut, maka berlakulah ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 200 ayat (11) HIR
12. Hal ini berbeda dengan penjualan berdasarkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri
berdasarkan Pasal 1178 ayat (2) BW, dan Pasal 11 ayat (2) e UU No. 4 Tahun 1996 yang juga
dilakukan melalui pelelangan oleh Kantor Lelang Negara atas permohonan pemegang hak
tanggungan pertama, Janji ini hanya berlaku untuk pemegang Hak tanggungan pertama saja.
Apabila pemegang hak tanggungan pertama telah membuat janji untuk tidak dibersihkan (Pasal
1210 BW dan pasal 11 ayat (2) j UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan), maka apabila
ada Hak tanggungan lain-¬lainnya dan hasil lelang tidak cukup untuk membayar semua Hak
tanggungan yang membebani tanah yang bersangkutan, maka hak tanggungan yang tidak
terbayar itu, akan tetap membebani persil yang bersangkutan, meskipun sudah dibeli oleh
pembeli dan pelelangan yang sah. Jadi pembeli lelang memperoleh tanah tersebut dengan beban-
beban hak tanggungan yang belum terbayar. Terlelang tetap harus meninggalkan tanah tersebut
dan apabila ia membangkang, ia dan keluarganya, akan dikeluarkan dengan paksa.
13. Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, maka lelang tersebut hanya
dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan tidak dapat ditangguhkan dengan alasan
apapun oleh pejabat instansi lain, karena lelang yang diperintahkan oleh Ketua Pengadilan
Negeri dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara, adalah dalam rangka eksekusi, dan bukan
merupakan putusan dari Kantor Lelang Negara
14. Penjualan (lelang) benda tetap harus di umumkan dua kali dengan berselang lima belas hari di
harian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan obyek yang akan dilelang (Pasal
200 ayat (7) HIR, Pasal 217 RBg).[3]
BAB III
PEMBAHASAN
Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah. Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang
sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok - Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan diutamakan kreditor lertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya. Hak Tanggungan
diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Lahirnya undang-
undang tersebut diharapkan dapat memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan
jaminan dengan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut
sebagai jaminan yang selama ini pengaturannya menggunakan ketentuan-ketentuan
Creditverband dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Hak Tanggungan wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan, hal ini diatur dalam Pasal 13
Undang-Undang Hak Tanggungan, bahwa pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada
Kantor Pertanahan selambat-lambatnya tujuh (7) hari kerja setelah penandatanganan akta
pemeberian hak tanggungan, PPAT wajib mengirimkan akta tersebut dan warkah lain yang
diperlukan. Sebagai bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak
tanggungan. Apabila hak tanggungan tersebut terlambat didaftarkan, bukan suatu persoalan
penting karena Kantor Pertanahan tetap memproses pendaftaran Hak Tanggungan. Bagi pihak
yang terlambat mendaftarkan hak tanggungan hanya diberikan sanksi administratif berupa
teguran lisan atau teguran tertulis.
Lain halnya apabila hak tanggungan tersebut tidak didaftarkan. Jika hak tanggungan
tidak didaftarkan, maka hak tanggungan tidak akan mendapatkan sertifikat hak tanggungan.
Sertifikat hak tanggungan dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Nasional. Sertifikat hak
tanggungan menurut Pasal 14 Undang – Undang Hak Tanggungan merupakan bukti dari adanya
hak tanggungan. Dengan tidak didaftarkannya hak tanggungan kepada Kantor Pertanahan maka
hak tanggungan tidak memiliki sertifikat hak tanggungan yang didalamnya memberikan hak –
hak kepada kreditur seperti sertifikat hak tanggungan dapat dijadikan barang bukti di pengadilan,
dan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan
hukum yang tetap.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Masjehoen, Sri Soedewi. 1975. Hak Jaminan Atas Tanah, Yogyakarta: Liberty.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2005. Hak Tanggungan, Jakarta: Prenada Media.
Patrik ,Purwahid. 1986. Asas-asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Semarang :
Badan Penerbit UNDIP.
Satrio, J. 2002. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
[1] Sri Soedewi Masjehoen, Hak Jaminan Atas Tanah, (Yogyakarta: Liberty, 1975), hal. 6
[2] Purwahid Patrik, Asas-asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, (Semarang : Badan
Penerbit UNDIP, 1986), hal. 52
[3] Purwahid Patrik, Op.cit hal. 53
[4] J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2002), hal. 278.
[5] Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung: Alfabeta, 2003), hal.26
[6] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, (Jakarta:Prenada Media, 2005),
hal. 105
[7] Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Pasal 8 Ayat (1) dan Ayat
(2)
[8] Purwahid Patrik, Op. Cit., hlm 62.
[9] Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Pasal 9 Ayat (1)
[10] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. (Jakarta : Djambatan, 2000), hal.425
[11] Sutardja Sudrajat, Pendaftaran Hak Tanggungan dan Penerbitan Sertifikatnya, (Bandung:
Mandar Maju, 1997), hlm 54.
MAKALAH HUKUM AGRARIA
HAK PERTANGGUNGAN
Oleh :
Yoyok Siswoyo
NIM : 1201816140
UNIVERSITAS SURAKARTA
FAKULTAS HUKUM
JURUSAN HUKUM
2018